Langsung ke konten utama

Cahaya Dibalik Bayang Bayang

Fiksi.
 Dari Kampus, Buron dan Penjara
Di saat udara masih sejuk dan hening, embun pagi menari-nari di atas permukaan daun rimba, Deiba dan Celin duduk di bawah rimbun pohon. Mereka saling pandang, lalu tertawa lepas.

"Sa tra sangka kita berdua akan berakhir seperti ini, Celin," kata Deiba sambil mencuci muka dengan tetesan embun. "Dulu kita hanya duduk di kampus, berdiskusi tentang ide-ide pembebasan."

Celin menjawab sambil menggumam, "Tapi sekarang kita berdiskusi dengan senapan di tangan kita." Siooo, biar sudah.

Celin dan Deiba adalah dua mahasiswa yang kini menjadi buron, mempertaruhkan nyawa mereka melawan tentara kolonial. Keduanya menolak tunduk setelah berbagai diskusi, mimbar kampus, demonstrasi di jalan-jalan kota tidak direspon penguasa penjajah.

Kini mereka menghirup udara segar dan merasakan semangat alam mengalir di sekeliling mereka. Burung-burung berkicau dengan riangnya, seakan memberikan semangat perjuangan.

"Ko tau, Deiba, ketika kita menghadapi musuh yang lebih besar dari kita, kita harus mengandalkan kecerdikan dan kekuatan tempat kita berada," kata Celin dengan serius.

"Seperti pepatah bijak yang pernah kita pelajari dulu, 'Jika kamu kecil, jadilah seperti semut yang bergerak lincah dan tangguh'."

Deiba tersenyum, mengutip kata-kata seorang pejuang terkenal, "Tepat sekali, Celin. Seperti yang pernah dikatakan Che Guevara, 'Gerilya adalah ikan dalam air revolusi. Ia tidak dapat hidup di luar airnya'."

Celin tertawa dan menambahkan, "Dan Mao Zedong berkata, 'Perguruan tinggi harus menjadi pusat dari gerakan revolusioner'. Tapi sepertinya Kampus kita lebih suka menjadi pusat ideologi kolonialisme."

Mereka berbagi tawa mereka lagi, menyadari bahwa keberanian dan semangat mereka berasal dari keindahan alam dan visi mereka untuk membebaskan tanah mereka dari penjajahan.

Deiba melihat bunga liar yang tumbuh di dekatnya dan berkata, "Ko lihat bunga itu, Celin. Meskipun ditanam di tanah yang keras dan tidak terawat, ia tetap bisa berkembang menjadi indah dan menarik. Kita seperti bunga itu, kita bisa melewati kesulitan dan berkembang menjadi kekuatan yang tak terhentikan."

Celin tersenyum mengangguk, "Benar sekali, Deiba. Kita harus tetap teguh dan tidak membiarkan penindasan dan kolonialisme merusak semangat kita. Ko tahu too Frantz Fanon bilang, 'Setiap generasi, dalam kondisi relatif, harus menemukan tugas-tugas yang relevan dan dalam menyikapi kehidupannya'."

Mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui hutan yang lebat, dengan semangat yang menggebu-gebu. Meskipun mereka menjadi buron, mereka tahu bahwa mereka adalah bagian dari gerakan pembebasan yang lebih besar.

Di tengah perjalanan mereka melalui hutan yang lebat, Deiba dan Celin terus memperkuat semangat mereka dengan percakapan santai, humor, dan ideologis.

"Ko lapar to, Celin?" tanya Deiba sambil mengunyah sepotong buah liar yang ia temukan.

Celin menjawab sambil tersenyum, "Sebenarnya, makanan liar ini cukup enak, Deiba. Seperti halnya perjuangan, kadang-kadang kitong harus mencari cara di luar batasan yang ditetapkan."

Deiba tertawa. "Sepertinya kamu mendapatkan pelajaran filosofi dari hutan ini, huh? Seperti kata Friedrich Engels, 'Alam adalah gudang dan toko sumber kekayaan yang tak terbatas bagi kehidupan manusia'."

Celin mengangguk setuju. "Tepat sekali, Deiba. Alam memberikan kita sumber daya yang tak ternilai, dan kita harus memperjuangkan hak kita untuk memanfaatkannya dengan adil."

Mereka berjalan melalui hutan yang semakin lebat, melompati akar pohon dan menjaga keseimbangan mereka di atas terjalnya lereng bukit. Deiba menunjuk ke arah sungai yang tenang di bawah mereka.

"Ingat saat-saat kita duduk di tepi sungai ini dulu, Celin? Kita sering berdiskusi tentang taktik gerilya dan cara-cara untuk memenangkan perjuangan kita."
Celin mengingatnya sambil menggelengkan kepala. "Iya, Deiba. Kami berdebat, berbagi ide, dan mencoba memahami bagaimana memanfaatkan kekuatan kita yang terbatas untuk melawan tentara kolonial yang kuat."

"Tapi sekarang kita melakukannya dengan tangan kosong," tambah Deiba sambil mengayunkan tangannya.

"Ya, tapi kita memiliki keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan," kata Celin dengan mantap. "Seperti yang dikatakan oleh Emiliano Zapata, 'Lebih baik mati berdiri daripada hidup berlutut'."

Deiba mengangguk. "Kata-kata itu menggambarkan semangat kita, Celin. Kita bertahan dan melawan dengan teguh, karena kita tahu bahwa hidup dalam penindasan adalah seperti mati sedikit demi sedikit."

Mereka melanjutkan perjalanan mereka dengan hati yang penuh semangat dan keyakinan. Sesaat kemudian, mereka melihat sekumpulan burung yang sedang bermigrasi melintasi langit biru.

"Coba lihat, Celin, burung-burung itu bergerak dalam formasi yang teratur. Mereka saling mendukung dan berbagi tanggung jawab," kata Deiba sambil menatap langit.

Celin mengamati burung-burung itu dengan penuh kagum. "Sepertinya alam sendiri memberi tahu kita tentang pentingnya solidaritas dan kerja sama dalam perjuangan kita, Deiba. Seperti yang pernah dikatakan oleh Thomas Sankara, 'Perubahan sosial tidak datang melalui satu individu, tetapi melalui serangkaian individu yang berjuang bersama'."

Deiba tersenyum. "Benar sekali, Celin. Kita harus terus bersatu, bekerja sama, dan menginspirasi orang-orang di sekitar kita untuk berdiri bersama melawan kolonialisme dan penindasan."

Mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui hutan dengan semangat yang membara. Percakapan mereka mengingatkan mereka bahwa mereka adalah bagian dari perjuangan yang lebih besar, bahwa di tengah keindahan alam yang memeluk mereka, ada ideologi pembebasan yang tumbuh kuat.

Saat Deiba dan Celin melintasi hutan yang lebat, mereka tiba-tiba mendapati sekelompok warga pengungsi yang berlindung di semak-semak. Wajah mereka penuh ketakutan dan kekhawatiran.

Celin mendekati mereka dengan lembut. "Jangan khawatir, kalian aman di sini. Kami juga berjuang melawan penindasan yang sama seperti yang kalian alami."

Salah seorang pengungsi, seorang pria tua dengan raut wajah lelah, bertanya dengan ragu, "anak, kalian bisa membantu kami? Kami takut akan ditangkap oleh tentara kolonial."

Deiba mengangguk. "Tentu saja, kami akan membantu kalian. Kita harus saling mendukung dalam perjuangan ini. Seperti yang pernah dikatakan oleh Nelson Mandela, 'Solidaritas adalah senjata yang paling kuat dalam perjuangan pembebasan'."

Celin menambahkan, "Kami akan membantu kalian bersembunyi dan memberikan tips tentang taktik menghindari musuh. Ingat, gerilya adalah tentang fleksibilitas dan kecerdikan."

Deiba melihat sekeliling mereka dan memberi saran, "Ketika kalian bergerak, pastikan untuk menjaga jejak kalian tetap minim. Gunakan rute yang tidak terduga, melalui semak-semak atau aliran sungai. Jika mungkin, bergerak di malam hari untuk mengurangi kemungkinan terdeteksi."

Celin melanjutkan, "Selalu perhatikan lingkungan sekitar. Kenali tanah dan pepohonan di sekitar kalian, mereka dapat menjadi tempat perlindungan yang baik jika situasinya mendesak. Ingat, kegelapan malam adalah teman kita."

Deiba menyemangati mereka dengan kata-kata semangat, "Kalian adalah pahlawan dalam perjuangan ini. Setiap langkah yang kalian ambil untuk melindungi diri sendiri adalah langkah keberanian. Seperti yang pernah dikatakan oleh Subcomandante Marcos, 'Berjuanglah dengan hati kecil yang membara, karena di dalamnya terdapat kekuatan revolusioner yang besar'."

Para pengungsi mendengarkan dengan penuh perhatian, memperkuat semangat mereka dan membangun kepercayaan bahwa mereka dapat bertahan dan melawan penindasan.

Celin menepuk bahu salah seorang pengungsi dengan penuh simpati. "Kalian tidak sendirian dalam perjuangan ini. Bersama-sama, kita akan menghadapi rintangan dan memperjuangkan kebebasan kita. Seperti yang pernah dikatakan oleh Patrice Lumumba, 'Pemberontakan adalah panggilan bumi, dan segala yang tidak dapat hidup tanpa keadilan harus berontak'."

Deiba menutup pembicaraan dengan senyuman. "Kita semua adalah bagian dari gerakan pembebasan ini. Kita tidak akan menyerah dan akan terus berjuang, untuk masa depan yang lebih baik. Bersama-sama, kita kuat!"

Para pengungsi tersenyum dengan penuh harapan. Dalam momen itu, semangat perjuangan bersama tumbuh dalam hati mereka. Dalam kebersamaan mereka, mereka merasa lebih kuat dan yakin bahwa, meskipun dihimpit oleh tantangan dan ketakutan, mereka bisa melawan dan mempertahankan harapan akan kebebasan.

Deiba dan Celin melanjutkan perjalanan dan menjalani kehidupan yang keras di hutan. Mereka bersembunyi dari pasukan keamanan yang mencari mereka. Dengan bekal senapan SS1 hasil rampasan mereka mengatur serangan terhadap pos-pos militer yang mewakili penjajah. 

Mereka memanfaatkan pengetahuan mereka tentang ideologi untuk mempengaruhi dan memotivasi para pejuang kemerdekaan yang ada di sekitar mereka. 

Dalam siatu serangan pagi, Celin merasakan sebuah rasa sakit yang menusuk ketika dia merasakan peluru penjajah menembus tubuhnya. Dia jatuh ke tanah dengan kehilangan sensasi pada kedua kakinya. Deiba, yang berada di dekatnya, terkejut dan berusaha menyelamatkannya, tetapi tentara kolonial dengan cepat membawa Celin

Celin ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara yang gelap dan terpencil. Di sana, dalam keheningan yang menyedihkan, Celin melantunkan lirik-lirik kerinduannya pada Deiba.

"Dalam cengkeraman kaku penjara ini,
Aku merindukan langkah kakimu yang tegap,
Bersama-sama kita mengarungi hutan dan sungai, menyulap ideologi menjadi nyata dan hidup."

Dalam kegelapan yang menyelimuti selnya, Celin mengingat kembali saat-saat mereka bersama, memori indah yang mereka bagi bersama-sama. Dia mengenang tawa mereka, perdebatan mereka tentang keadilan dan kebebasan, dan semangat yang mereka bagi dalam perjuangan mereka.

"Dalam gelapnya malam, aku memanggil namamu, Mengingat senyummu yang memancar sinar, Kita berjuang melawan penindasan yang kejam, Dalam kerinduan yang terus membara."

Celin terus melantunkan lirik-lirik penuh kerinduan dan kekuatan, suara lembutnya melintas di antara jeruji besi penjara. Kata-katanya mencerminkan perjuangan dan tekadnya yang tidak bisa dipadamkan.

"Dalam penjara ini, aku mengalirkan harapan,
Bahwa di suatu tempat, kita akan bersatu kembali, Kita akan melanjutkan perjuangan kita, Deiba, Hingga hari kemerdekaan menjadi nyata."

Meskipun dihadapkan pada penderitaan dan kesendirian, Celin tidak pernah kehilangan semangatnya. Dia terus menyanyikan lirik-lirik perjuangannya, mengirimkan pesan harapan dan keberanian ke alam semesta yang mendengarkan dengan penuh simpati.

Dalam kerinduannya yang meluap, Celin mengumpulkan kekuatan dan tekad yang tak tergoyahkan. Dia tahu bahwa perjuangannya belum berakhir, bahwa suatu hari, dia dan Deiba akan bersatu kembali dan meneruskan perjuangan mereka.

Bersambung.

Post. Admind

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia, Orang Sulawesi yang Mengklaim Diri Sebagai “Anak Papua”

Sebuah Mesin Perampasan yang Bekerja atas Nama Negara, Investasi, dan Kepentingan Global.  Oleh : Victor F. Yeimo  Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Holandia-Melangkah Tanpa Alas Kaki - Bahlil   Lahadalia, orang Sulawesi yang mengklaim diri sebagai “anak Papua” memainkan peran yang secara teoritis dapat kita sebut sebagi agen apropriatif kolonial, atau individu yang melakukan klaim identitas demi legitimasi proyek hegemonik pusat atas wilayah pinggiran.  Bahlil Lahadalia, Sebagai Menteri Investasi, ia menjelma menjadi agen ideologis dan teknokratis kapitalisme kolonial. Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua adalah mega-infrastruktur of dispossession, yaitu infrastruktur raksasa yang berfungsi sebagai mekanisme primitive accumulation dalam versi abad ke-21. PSN adalah wajah mutakhir dari kapitalisme kolonial, sebuah mesin perampasan yang bekerja atas nama negara, investasi, dan kepentingan global.  Di Merauke, negara merampas...

Fakta hari ini TPNPB/OPM adalah bukan masyarakat yang kami tinggl bersama-sama dengan masyarakat di intanjaya Dan Militer Indonesia pun Demikian Sama Dari mana mereka Datang?.

Enam Orang Asli Papua yang merupakan warga civil yang telah di tembak Militer Indonesia🇮🇩 pada 14 Mei 2025 di Kabupaten Intan jaya Laporan resmi Seby Sambom dari markas pusat TPNPB OPM. Korban tewas dan korban luka-luka telah berhasil di evakuasi oleh Tim Pemerintah Dan Masyarakat, pertempuran ini masyarakat lain masih dalam pencarian apakah mereka masih hidup atau tertembak oleh Militer Indonesia.  Militer Indonesia telah lakukan kesalahan besar yang mana telah menyerang warga civil  dan membunuh  dan menyerang dengan tidak hormat tanpa memikirkan rasa kemanusiaan.  Menyerang pembrutalan militer Indonesia terhadap Masyarakat intanjaya ketika masayarakat berada di rumah, kebun, dan di pasar termasuk menyerang di gereja-gereja, pelanggaran ini merupakan pelanggaran HAM berat dan melanggar hukum Nasional dan internasional.  Masyarakat internasional dan lembag terkait harus bersuara terkait insiden penembakan terjadi ini di Intan jaya papu...

BAKAT DAN TALENTA ANAK-ANAK PAPUA, BUTUH PERHATIAN KHUSUS DARI PEMERINTAH.

BAKAT DAN TALENTA ANAK-ANAK PAPUA, BUTUH PERHATIAN KHUSUS DARI PEMERINTAH. Artikel. Sian Madai Konsep Dari Seorang Pemimpin Daerah Adalah Dasar untuk Menentukan Masadepan yang Lebih Cerah.  Keahlian/ Hobi, dan Kreatif/Karier yang di miliki oleh Orang Asli Papua (OAP) merupakan membuka ruang dan membuka lapangan kerja untuk membantu pemerintah setempat, sebagaian juga sebagai bentuk nyata membangun dan mempersempit pengangguran di Papua. Sekali lagi, Melalui bakat/ Karier yang telah dimilikinya merupakan menciptakan lapangan pekerjaan baru sebagai membantu pemerintah Daerah untuk itu, pemerintah perlu diperhatikan dan diolah dengan baik.  Dimana pemerintah pusat diberikan Otonomi khusus seluasnya di Papua bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia papua namun, Dana otonomi khusus Papua hilang jejak adalah cara tidak betul yang dilakukan, Dana otonomi khusus tersebut  harus digunakan dengan baik dan harus diperioritaskan Anak-anak Papua dalam ...