Menjadi Aktivis Adalah Wujud Keberanian Memasuki Hidup yang Tidak Pasti Terkait Masa Depan dan Jenjang Karir.
Artikel.
Oleh. Gemuruh
Tetesn Air Mata Ibunda_ Kota Tua Kota Jrruk-Melangkah Tanpa Alas Kaki_Aktivis dan aktivisme barangkali merupakan 2 (dua) pengertian yang paling kabur dan longgar makna.
Sewaktu mahasiswa, saya dengan nyaman – tanpa banyak tanya – menyebut diri aktivis mahasiwa dengan terlibat di senat mahasiswa, menyelenggarakan diskusi-diskusi rahasia, ikut aksi demonstrasi dan mengorganisir buruh. Sesudah lulus kuliah, saya dan teman-teman di NGO (Non-Governmental Organization) memberi diri status sebagai aktivis NGO.
Barangkali, teman-teman di partai politik juga menyebut diri mereka aktivis politik. Demikian juga, orang-orang yang aktif dalam bidang pengajaran alternatif di sekolah dan dunia kampus sah-sah saja menamai diri aktivis pendidikan. Ibarat warna, aktivis barangkali menyerupai pelangi yang kaya warna, atau satu warna dengan banyak gradasi.
Dari pengalaman saya pribadi – yang juga dialami oleh banyak orang – menjadi aktivis adalah wujud ketidakpuasan akan sesuatu, khusunya keadaan sosial.
Dia sebentuk protes, semacam dorongan untuk melakukan sesuatu (aktif) di tengah situasi yang tidak memuaskan dan mendesak.
Banyak orang yang saya temui di berbagai NGO mengaku bahwa alasan utama mereka untuk bergabung bukanlah tawaran gaji, tetapi kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi orang-orang yang dimiskinkan atau diperlakukan dengan tidak adil.
Menjadi aktivis adalah wujud keberanian memasuki hidup yang tidak pasti terkait masa depan dan jenjang karir.
Keberanian jenis ini barangkali merupakan faktor mengapa menjadi aktivis itu merupakan pilihan yang menarik.
Para aktivis itu seakan secara konkrit menerjemahkan ungkapan “Hidup digenapi dengan menjalaninya dengan berani”. Status sebagai aktivis mudah tergelincir menjadi gaya dan pilihan hidup yang rasanya keren.
Pesan ini yang barangkali segera ditangkap jika membaca buku “Menjadi Aktivis itu Seksi”. Ibarat rambut pirang, aktivis itu memang enak dipandang dan menarik hati.
Akan tetapi, jebakan terbesar, bahkan jebakan berbahayanya, terletak di situ, yaitu saat aktivis bergeser ke arah aktivisme.
Kemarahan dan ketidakpuasan terhadap situasi sosial, protes terhadap ketidakadilan dan keberpihakan terhadap kaum tertindas tentu pada mulanya lahir dari analisa kritis terhadap situasi sosial.
Di dalamnya termuat kerja pemikiran yang serius dan sistematis sebagai titik tolak dan amunisi dalam bertindak.
Kerja-kerja para aktivis berubah menjadi aktivisme jika unsur berpikir secara kritis, sistematis dan terus-menerus itu semakin terabaikan, atau saat para aktivis tidak lagi rendah hati mengaku “tidak mengerti”.
Saat para aktivis mengaku dan berperilaku seolah “serba tahu”, mereka terjerembab ke dalam aktivisme.
Saat para aktivis berhenti belajar dan berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru mengenai realitas sosial dan realitas personalnya, mereka mempertontonkan aktivisme yang dangkal dan murahan.
Saat para aktivis merasa memiliki jawaban tunggal dan jitu untuk masalah-masalah sosial yang semakin kompleks, maka aktivisme naik tahta dan pada aktivis bisa menjadi “raja” yang lalim karena memberi solusi yang keliru terhadap problem yang dialami oleh orang kecil. Dalam situasi demikian, aktivisme telah menjadi candu.
***
Buku ini lahir dari banyak perjumpaan dengan orang, buku, situasi dan proses-proses perjuangan hidup yang konkrit. Kendati terserak dan terputus-putus, perjumpaan-perjumpaan itu melahirkan dalam diri saya banyak pertanyaan dan sebentuk keyakinan yang samar-samar.
Oleh karena itu, buku barangkali ini tidak tepat disebut sebagai hasil penelitian yang rapih dan terstruktur (systematic research). Ini lebih tepat disebut sebagai upaya menata atau memperjelas sejumlah pertanyaan dan keyakinan samar-samar yang berkecamuk di hati dan berloncatan di pikiran – bahkan sampai terbawa ke mimpi – selama puluhan tahun.
Tetapi, bagi saya sendiri, buku ini layak disebut riset yang reflektif (reflective research), yaitu sebuah upaya mencari lebih jauh, upaya masuk lebih dalam pada hal-hal yang saya geluti sehari-hari. Tujuannya adalah agar keterlibatan saya di dalamnya menjadi lebih bermakna, sekurang-kurangnya bagi diri saya sendiri. Bagaimanapun, keyakinan saya, manusia adalah makhluk yang membutuhkan makna dalam hidupnya.
Tema-tema dalam tulisan di buku ini hanya mencerminkan keragaman keterlibatan dan kerja-kerja saya. Saya selalu gelisah dan takut jika jatuh ke dalam formula dan jawaban-jawaban yang baku dari orang-orang yang didaku paling tahu. Saya senantiasa berusaha memelihara sikap curiga yang wajar atas pemikiran dan jawaban-jawaban berulang dan tanpa kebaruan.
Tulisan-tulisan dengan tema yang beragam ini adalah wujud upaya saya untuk tetap merasa dungu. Karena merasa dungu, saya tidak berhenti mengajukan pertanyaan mengenai apa yang saya lihat, dengar, lakukan dan baca. Karena merasa dungu, saya tidak berhenti belajar. Karena merasa dungu, saya selalu terbantu untuk rendah hati.
Salah satu keyakinan mendasar saya, kendati samar-samar, adalah bahwa sikap rendah hati dan senantiasa merasa dungu merupakan syarat penting menjadi aktivis. **
- a dull mule -
Marsen Sinaga
22 April 2023
[Buku ini sedang proses penerbitan. Semoga tidak lama lagi dia akan hadir di tangan teman-teman].
Post. Admind
Komentar
Posting Komentar