Oleh. HANDRAWAN NADESUL
Tetesan Air Mata Ibunda- Kota Tua, Kota Jeruk- Melangkah.Tanpa Alas Kaki_Keliru kalau dibilang menulis puisi harus taat pada teori sastra, Teori sastra hadir karena puisi hadir. Puisi sejak keberadaannya sudah berkembang lintas genre, lintas kreativitas, lintas zaman. Satu hal tetap, hakikat puisi ajeg harus berbeda dengan prosa.
Penyair di mana-mana dunia, menulis puisi tanpa terikat teori sastra. Generasi penyair yang lahir lewat Angkatan, kemudian mengikuti yang sudah hadir. Setiap Angkatan kepenyairan ada saja pengikutnya. Puisi Sapardi Djoko Damono, misalnya, mengikuti bagaimana penyair dunia menulis. Penyair pemula kita mengikuti cara Sapardi menulis puisi.
Tidak demikian penyair yang kreatif. Mereka melangkaui cara penyair senegeri menulis puisi, membaca kiblat kepenyairan dunia. Rendra terpengaruh oleh syair kontemporer yang berkembang di Amerika kala itu.
Lalu berlahiran puisi kontemporer, puisi bip bop, puisi bebas kata Sutradji Calzoum Bachri, dan beberapa genre lain. Apapun perkembangan puisi di dunia, teori sastra wajib menyimaknya, dan tidak patut menyalahkan seperti apapun sosok, dan isi puisi yang lahir kemudian.
Satu hal absolut, puisi yang baik perlu memberikan sentuhan. Sentuhan buat semua pembacanya, siapapun mereka. Tidak selalu harus bisa dimengerti. Puisi yang bagus punya roh. Roh puisi itu yang membuat pembacanya tersentuh, mau seperti apapun sosok puisinya. Mungkin sosok lirik, mungkin bergaya kontemporer, bukanlah soal. Sekali lagi, yang penting elok sentuhannya.
Jadi menulis puisi sekarang ini tidak perlu terikat pilihan sosok apakah wajib seperti gurindam, kwatrin, atau apapun, silakan saja bebas dipilih, lebih perlu asal elok dibaca dan indah dirasa.
Hanya bila puisi punya roh, dan roh tersusun dari tepatnya pilihan kata yang bisa pas merangkainya, tak soal seperti apa sosoknya. Sebagaimana kita sepakati, sampai kapan pun puisi itu sosok dan isi. Puisi yang bagus, isi lebih penting dari sosok.
Yang selayaknya didiskusikan pada banyak kesempatan bermunculannya penyair muda, supaya dunia perpuisian kita bukan terus saja hanya menulis, namun yang ditulis kembali dan kembali lagi, bukanlah puisi yang alih-alih memuaskan pembacanya, buat sendiri pun hambar. Itu barangkali lantaran puisi ditulis tergesa-gesa, dan tak tepat memilih apa muatannya, dan bagaimana membangun muatan isi supaya tertiup rohnya.
Saya kira, kita perlu lebih banyak berdiskusi bagaimana menulis puisi yang elok dibaca, dan indah dirasa. Menulis puisi yang punya roh. Puisi yang bukan rangkaian kalimat yang dipatah-patah sekadar sosoknya saja puisi, melainkan satu kesatuan muatan pikiran dan perasaan yang besar.
Buat saya, tidak apa saja laik untuk ditulis menjadi puisi. Perlu muatan pikiran dan perasaan besar saja sehingga puisi memberikan sesuatu. Bukan hal remeh-temeh, hanya sekadar potret panorama, hanya kesan perjalanan, rasa patriotik, atau sekadar hanya peristiwa sehari-hari, laik dijadikan puisi.
Penyair bisa sangat produktif, namun penyair brisiko terjebak menulis sekadar sosoknya puisi, isinya entah apa. Hanya apabila penyair terbilang kreatif, puisi tidak kelewat cepat ditulis, dipetik dari muatan pikiran dan perasaan yang bukan remeh-temeh, betapapun sosok puisinya dibuat aneh, dan nyentrik sekalipun, seolah sebuah pembaharuan berpuisi. Sosok puisi hampir kurang ada perannya dalam menyentuh hati pembacanya.
Di mana-mana dunia puisi tidak banyak peminat sebesar peminat prosa, saking sukarnya dimengerti. Nilai puisi ditentukan oleh siapa yang membacanya. Semakin kaya wawasan pikiran dan alam perasaan pembacanya, semakin mampu menjangkau isi puisi yang dibacanya. Di sana ada nilai filsafat, kebijakan, dan semua tata nilai kehidupan yang menyimpan makna.
Hanya apabila pembaca puisi lebar dan luas penguasaan semua nilai kehidupan, yang mampu menghargai sebuah puisi yang memang bernilai, dan mana puisi yang cuma loyang.
Terlebih kritikus puisi. Tak cukup hanya menguasai teori sastra, tapi perlu luas wawasan segala tata nilai kehidupannya. Kaya khazanah bacaan filsafat, religiusitas, dan semua nilai kehidupan, adagium, wejangan, dan nasihat leluhur. Tanpa menguasai itu semua, tak bakal mungkin menjangkau isi puisinya.
Apabila isi puisi tak terjangkau pembacanya, berarti tak mungkin mampu menghargai puisinya, tak mampu memberikan kesan elok dan indahnya puisi, saya kira.
Salam puisi,
Post. Admind
Komentar
Posting Komentar