#kisah_nyata
Tetesan Air Mata-Kita Tua Israel-Melangkah Tanpa Alas Kaki- "Komandan, Irsal tertembak!" teriak Ayah sambil tiarap di balik banir sebuah pohon besar, berlindung dari berondongan senapan musuh.
Suara letusan senapan dan desingan peluru menyebabkan suara Ayah tak terlalu jelas terdengar oleh sang komandan, yang juga sedang tiarap tak jauh dari posisi Ayah sambil melepaskan rentetan tembakan balasan ke arah datangnya serangan.
"Siapa yang tertembak?" tanya komandan memperjelas.
"Irsal, Komandan!" teriak Ayah lebih keras.
"Mati?"
"Belum! Tapi sepertinya parah!"
"Bopong ke belakang! Beri pertolongan sebisamu!"
"Siap, Komandan!"
Ayah merayap mundur sepuluh meter ke belakang. Mendekati tubuh Kopral Irsal yang tergeletak tak berdaya. Bagian dadanya luka parah terkena tembakan.
Ayah menyelempangkan senapannya. Lalu dengan susah payah membopong tubuh rekannya itu dan menghilang ke balik lebatnya pepohonan.
Sementara, sang komandan dan ketujuh anggota pleton lainnya terus berusaha membalas tembakan musuh.
Setelah agak jauh di garis belakang, Ayah menurunkan tubuh Kopral Irsal dan menyandarkannya di batang pohon.
Kopral itu tampak sudah kepayahan. Nafasnya memburu. Tangannya berusaha menutupi luka pada bagian dadanya yang tertembak.
Ayah segera membuka ranselnya untuk mengambil peralatan pertolongan pertama.
"Ardi ... sudah ... kau tak usah repot. Ajalku sepertinya segera tiba. Percuma kau menolongku ..." ujar kopral Irsal terbata-bata.
Lalu kata-kata Kopral Irsal terhenti. Dia berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Sementara nafasnya makin tersengal.
"Kau akan baik-baik saja, Kawan! Kau akan sembuh dan kita akan sama-sama pulang ke Padang setelah perang ini usai! Ingat janji kita dulu. Datang bersama, bertempur bersama, dan kembali pulang bersama!" ujar Ayah memberi semangat sambil mendekap tubuh rekannya itu.
"Tidak Ardi ... Aa.. aku ... tak kuat lagi. Aku akan mati di sini. Tolong ... kau dengar aku. Aku punya tunangan di kampung. Asni namanya. Tolong sampaikan ke Umar nanti, nikahi lah tunanganku itu kelak... Dia sebagai penggantiku ..."
Lalu, Kopral Irsal terkulai lemah. Menghembuskan nafas terakhir dalam dekapan Ayah. Bersamaan dengan itu, tak terdengar lagi suara tembakan.
Tak berapa lama kemudian, kedelapan anggota pleton berdatangan. Rupanya mereka berhasil memukul mundur para gerilyawan yang menyergap mereka tadi.
"Maaf komandan, saya tak sempat menolong Irsal. Dia tewas," lapor Ayah dengan raut sedih.
Sang komandan hanya mengangguk pelan seraya mengusap wajah.
"Umar, ada wasiat dari Irsal untukmu sebelum dia menghembuskan nafas terakhir tadi," ucap Ayah pada Kopral Umar yang tengah berlutut di sebelah jenazah Kopral Irsal.
"Apa?" tanyanya pelan.
"Dia minta kau menikahi tunangannya di kampung setelah kita pulang dari operasi ini nanti."
Kopral Umar hanya diam terpekur. Tangan kanannya megusap-usap matanya yang terasa panas karena menahan rembesan air mata. Ia sedih, karena Kopral Irsal adalah sahabat dekatnya. Mereka berasal dari daerah yang sama.
*****
Singkat cerita, beberapa tahun kemudian, Kopral Umar mendatangi Asni dan keluarganya. Ia ceritakan perihal pesan terakhir Kopral Irsal sebagaimana yang disampaikan Ayah.
Asni sedih luar biasa karena kehilangan tunangan. Namun ia dan keluarga memenuhi permintaan Almarhum. Kopral Umar dan Asni pun akhirnya menikah dan kemudian memiliki beberapa orang anak.
*****
Cerita di atas adalah kisah nyata yang dialami Ayah sebagaimana yang beliau ceritakan langsung pada saya ketika masih remaja.
Adegan kontak senjata itu terjadi tahun 1964/1965 di hutan belantara pedalaman Sulawesi. Kira-kira di perbatasan antara Sulawesi Barat dengan Sulawesi Selatan sekarang.
Ketika itu, Ayah yang berada di kesatuan Brimob ikut diperbantukan dalam operasi pemberantasan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Dengan lokus operasi di daerah Sulawesi Selatan.
Lantas, kenapa Ayah menceritakannya kepada saya?
Begini.
Setelah kembali dari operasi di Sulawesi, Ayah dan Pak Umar tidak pernah bertemu lagi selama puluhan tahun karena bertugas di kota yang berbeda. Suatu ketika, setelah sama-sama pensiun, mereka tak sengaja berjumpa.
Nah, dalam pertemuan itu lah mereka saling bercerita, termasuk tentang keluarga.
Setelah perjumpaan itu, suatu hari, Ayah bertanya pada saya.
"Ada teman Ayah, namanya Umar, katanya anaknya sekolah di sekolah yang sama denganmu. Fandi namanya. Kamu kenal?"
Hmmm... jelas saya kenal. Karena Fandi memang termasuk anak yang dikenal hampir semua orang di sekolah karena pergaulannya.
Sekarang, Fandi telah menjadi salah seorang tokoh yang cukup di kenal di Sumatera Barat, terutama di Kota Padang.
Namun, bisa jadi Fandi tidak tahu kisah tentang awal mula pernikahan orang tuanya sebagaimana yang dituturkan Ayah pada saya.
Yang jelas, kedua orang tuanya adalah orang-orang yang luar biasa.
Pak Umar mau berkorban menikahi Asni karena memenuhi permintaan sahabatnya. Sementara, Bu Asni juga ikhlas dinikahi Pak Umar demi memenuhi wasiat tunangannya sebelum tewas di medan pertempuran.
Toh, pada akhirnya mereka bahagia dan memiliki anak-anak yang hebat.
----------‐‐----------
*Seluruh nama dalam cerita bukan nama sebenarnya.
Post. admind.
Komentar
Posting Komentar