Langsung ke konten utama

𝐅𝐞𝐦𝐢𝐧𝐢𝐬𝐦𝐞: 𝐒𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡, 𝐀𝐧𝐚𝐫𝐤𝐢𝐬𝐦𝐞, 𝐝𝐚𝐧 𝐂𝐢𝐭𝐚-𝐂𝐢𝐭𝐚 𝐑𝐞𝐯𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢

Artikel. Feminisme
𝑃𝑒𝑚𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛: 𝐹𝑒𝑚𝑖𝑛𝑖𝑠𝑚𝑒, 𝑅𝑒𝑣𝑜𝑙𝑢𝑠𝑖 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠, 𝑑𝑎𝑛 𝐴𝑛𝑎𝑟𝑘𝑖𝑠𝑚𝑒 | 𝑆𝑎𝑟𝑎 𝑀. 𝐸𝑣𝑎𝑛𝑠 & 𝐷𝑒𝑖𝑟𝑑𝑟𝑒 𝐻𝑜𝑔𝑎𝑛 | 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑗𝑒𝑚𝑎ℎ 𝑆𝑛𝑎𝑡𝑐ℎ.𝑘𝑙𝑘𝑡𝑣 | 𝑃𝑢𝑠𝑡𝑎𝑘𝑎 𝑂𝑠𝑖𝑟𝑖𝑠 | 2020 | 𝐼𝑆𝐵𝑁 - | 𝑣𝑖 + 61 ℎ𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛

Sebagai suatu gerakan, feminisme memiliki sejarah yang panjang. Feminisme memiliki kompleksitas tersendiri disebabkan oleh keberagaman wacana dalam gerakan ini. 

Tentu, tujuan utamanya adalah pembebasan perempuan. Tetapi, sebagai suatu gerakan radikal, terdapat banyak perdebatan, seperti dalam bentuk gerakan yang perlu dilakukan, dan posisinya kala berhadapan dengan berbagai ideologi.

Menjadi permasalahan sendiri saat feminisme harus berhadapan dengan berbagai ideologi yang ada. Terlebih lagi, dalam sejarahnya, ideologi-ideologi, baik yang kiri dan kanan, belum ada yang benar-benar mewujudkan cita-cita feminisme. Masih banyak hal yang perlu diperjuangkan oleh feminisme. Feminisme juga tidak bisa dikatakan sudah final mengingat banyaknya perdebatan.

Buku ini berupaya menjawab permasalahan tersebut. Upaya menjawab tersebut terutama melalui upaya menengok kembali sejarah gerakan feminisme yang telah berlalu. Belajar dari sejarah akan memberi feminisme suatu perspektif mengenai berbagai dinamika dalam gerakan ini, yang sekiranya perlu diperbaiki dan dibicarakan kembali.

Terjemahan ini bukan berasal dari satu buku utuh, tetapi dua esai berbeda. Esai pertama adalah tulisan Sara M. Evans yang diterjemahkan menjadi Pembebasan Perempuan: Melihat Revolusi dengan Jelas. Judul aslinya adalah Women’s Liberation: Seeing the Revolution Clearly dari jurnal Feminist Studies. 

Tulisan kedua adalah Feminisme, Kelas, dan Anarkisme dari Deirdre Hogan. Aslinya, esai ini berjudul Feminism, Class, and Anarchism yang telah dipublikasikan di RAG No. 2.

𝑾𝒐𝒎𝒆𝒏’𝒔 𝑳𝒊𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝑲𝒂𝒄𝒂𝒎𝒂𝒕𝒂 𝑺𝒂𝒓𝒂 𝑴. 𝑬𝒗𝒂𝒏𝒔
Substansi tulisan Evans adalah gerakan Women’s Liberation yang terjadi pada periode 1960-80-an. Gerakan ini menempati posisi penting dalam konstelasi gerakan feminisme, sebagai suatu gerakan politis yang cukup luas. Hanya saja pembahasan tentangnya ternyata masih kurang. 

Bagi Evans, Women’s Liberation mulai surut pada 1970-an, kala feminisme berkembang dengan berbagai label lainnya, seperti “feminis radikal,” “feminis sosialis,” dan “feminis lesbian” (hal. 6).

Surutnya Women’s Liberation disebabkan oleh berbagai stigma buruk tentangnya. Misalnya, bahwa perjuangannya adalah perjuangan khas kulit putih, terutama yang berasal dari kelas menengah. Stigma ini tentu sangat melemahkan, dan bagi Evans, ini tidak sesuai dengan kenyataan. 

Women’s Liberation sangat dipengaruhi oleh gerakan kulit hitam, seperti Black Power. Perjuangan melawan rasisme dan perspektif yang memperhatikan interseksionalitas adalah amunisi penting bagi Women’s Liberation.

Women’s Liberation juga dipengaruhi oleh stigma atas gerakan Kiri Baru, yang dianggap berkaitan erat dengannya. Kiri Baru dituduh penuh dengan seksisme. Tidak mungkin mengharapkan pembebasan perempuan pada gerakan yang berkait dengan ideologi penuh seksisme. 

Lagi-lagi, feminisme harus berhadapan dengan permasalahan ideologis, baik Kiri ataupun Kanan; Kiri Baru atau Liberalisme. Pada akhirnya, Women’s Liberation sendiri menjadi surut. Ujungnya, adalah Women’s Liberation, sebagai suatu gerakan terencana, berganti dengan women’s liberation (pembebasan perempuan) sebagai klaim dari berbagai gerakan lain yang tidak ada hubungannya dengan pencetusnya (hal. 4).

𝑴𝒂𝒏𝒊𝒇𝒆𝒔𝒕𝒐 𝑫𝒆𝒊𝒓𝒅𝒓𝒆 𝑯𝒐𝒈𝒂𝒏
Berbeda dengan Evans, esai Hogan bisa dikatakan tampil sebagai suatu manifesto. Tawarannya jelas, kapitalisme adalah musuh utama. Sudah sepatutnya feminisme dan anarkisme bekerja sama. Kelas menjadi unsur penentu dalam analisis karena ini adalah titik singgung dari kedua gerakan tersebut.

Feminisme anarkis, dalam pandangan Hogan, adalah feminisme yang mendasarkan kritiknya pada hubungan kelas sebagai upaya menghapuskan kapitalisme. Tetapi, apa hubungannya menghapus kapitalisme dengan pembebasan perempuan? Tentu, karena dalam kapitalisme, emansipasi perempuan adalah kemustahilan.

Hogan tidak menampik bahwa anarkisme dan feminisme kerap kali bertentangan. Dalam perjuangan kelas pekerja, buruh perempuan mengalami diskriminasi oleh buruh laki-laki. Emansipasi politik yang berusaha dicapai dalam anarkisme dan perjuangan serikat kerja tidak menyentuh permasalahan emansipasi perempuan.

Itu sebabnya, perlu suatu akomodasi atas kepentingan perempuan. Seksisme itu nyata dan perempuan amat merasakan itu, bahkan dalam gerakan anarkisme sekalipun. Saya sendiri sudah muak dengan istilah Kiri Cabul. Tapi kenyataan tersebut tidak bisa dibantah, dan memang tidak perlu dibantah, yang perlu adalah berbenah. Perjuangan masih jauh. Perempuan adalah bagian penting dari revolusi dan anarkisme. Bagi feminisme, analisis anarkisme juga kesetaraan yang juga penting dalam penghancuran kapitalisme (hal. 60).

𝑲𝒂𝒄𝒂𝒖𝒏𝒚𝒂 𝑷𝒆𝒏𝒆𝒓𝒋𝒆𝒎𝒂𝒉𝒂𝒏
Tentu, penerjemahan buku ini bisa menjadi sumbangan berharga bagi feminisme di Indonesia. Pembaca mungkin berharap buku ini membawa wacana baru bagi khalayak pembaca yang lebih luas di Indonesia dengan proses penerjemahannya. Hanya saja, tampaknya hal ini tidak terlalu berjalan mulus. Dalam pembacaan saya, penerjemahan buku ini disertai cukup banyak kesalahan, terutama rancunya berbagai kalimat karena penerjemahan yang buruk.

Beberapa contoh dapat saya berikan di sini. Misalnya, nama Adrienne Rich justru ikut diterjemahkan menjadi Adrienne Kaya di catatan kaki 11 di halaman 22. Contoh lain dapat ditemukan di halaman 7. Kalimat yang seharusnya tertulis:

“...𝑡ℎ𝑒 𝑡𝑒𝑟𝑚 “𝑤𝑜𝑚𝑒𝑛’𝑠 𝑙𝑖𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛” 𝑟𝑒𝑐𝑒𝑑𝑒𝑑 𝑓𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑛𝑦 𝑑𝑒𝑐𝑎𝑑𝑒𝑠 𝑡𝑜 𝑏𝑟𝑖𝑒𝑓 𝑚𝑒𝑛𝑡𝑖𝑜𝑛𝑠 𝑖𝑛 𝑎𝑐𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑠 𝑜𝑓 𝑡ℎ𝑒 𝑟𝑖𝑠𝑒 𝑜𝑓 𝑙𝑎𝑡𝑒 𝑡𝑤𝑒𝑛𝑡𝑖𝑒𝑡ℎ-𝑐𝑒𝑛𝑡𝑢𝑟𝑦 𝑓𝑒𝑚𝑖𝑛𝑖𝑠𝑚,”

justru diterjemahkan menjadi:

“𝑖𝑠𝑡𝑖𝑙𝑎ℎ “𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛” 𝑠𝑢𝑟𝑢𝑡 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑏𝑒𝑏𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎 𝑑𝑒𝑘𝑎𝑑𝑒 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑢𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑠𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑟𝑒𝑘𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑏𝑎𝑛𝑔𝑘𝑖𝑡𝑎𝑛 𝑓𝑒𝑚𝑖𝑛𝑖𝑠𝑚𝑒 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑎𝑏𝑎𝑑 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎 𝑝𝑢𝑙𝑢ℎ.” 

Frasa “in accounts of” diterjemahkan sebagai “rekening,” meski sebenarnya yang dimaksud adalah “sehubungan.”

Kesalahan penerjemahan di atas mungkin menimbulkan kebingungan. Tetapi, ada pula kesalahan penerjemahan yang justru dapat berakibat fatal karena memutar balik maksud penulis aslinya, dalam konteks ini adalah Sara M. Evans. Perhatikan kalimat yang ditulisnya ini: 

“𝐻𝑜𝑤𝑒𝑣𝑒𝑟, 𝑓𝑒𝑚𝑖𝑛𝑖𝑠𝑡𝑠 𝑜𝑓 𝑡ℎ𝑒 1980𝑠 𝑤𝑒𝑟𝑒 𝑛𝑜𝑡 𝑡ℎ𝑒 𝑓𝑖𝑟𝑠𝑡 𝑡𝑜 𝑡ℎ𝑖𝑛𝑘 𝑎𝑏𝑜𝑢𝑡 𝑡ℎ𝑒 𝑤𝑎𝑦𝑠 𝑡ℎ𝑎𝑡 𝑜𝑝𝑝𝑟𝑒𝑠𝑠𝑖𝑜𝑛𝑠 𝑜𝑐𝑐𝑢𝑟𝑟𝑒𝑑 𝑠𝑖𝑚𝑢𝑙𝑡𝑎𝑛𝑒𝑜𝑢𝑠𝑙𝑦, 𝑎𝑛𝑑 𝑡ℎ𝑒 𝑝𝑟𝑒𝑠𝑢𝑚𝑝𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑜𝑓 𝑎𝑛 𝑎𝑙𝑚𝑜𝑠𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑟𝑢𝑝𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑤𝑖𝑡ℎ 𝑒𝑎𝑟𝑙𝑖𝑒𝑟 𝑓𝑒𝑚𝑖𝑛𝑖𝑠𝑡 𝑚𝑜𝑣𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡 𝑡ℎ𝑒𝑜𝑟𝑖𝑧𝑖𝑛𝑔 𝑜𝑛 𝑟𝑎𝑐𝑒 𝑢𝑛𝑓𝑜𝑟𝑡𝑢𝑛𝑎𝑡𝑒𝑙𝑦, 𝑖𝑛 𝑚𝑦 𝑣𝑖𝑒𝑤, 𝑐𝑢𝑡 𝑡ℎ𝑒𝑚 𝑜𝑓𝑓 𝑓𝑟𝑜𝑚 𝑖𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑎𝑛𝑡 𝑓𝑒𝑚𝑖𝑛𝑖𝑠𝑡 𝑟𝑜𝑜𝑡𝑠.” (𝐸𝑣𝑎𝑛𝑠, 2015: 141-142). 

Konteks kalimat tersebut adalah Evans menolak anggapan yang kerap beredar di kalangan ilmuwan sosial bahwa feminisme periode 1980-an terpisah dari feminisme yang telah ada sebelumnya, karena mereka menekankan interseksionalitas. Pemisahan yang dikonstruksi oleh ilmuwan sosial justru membuat gerakan feminis 1980-an terpisah dari akar gerakan feminisme secara umum, yang sebenarnya juga telah mengakui interseksionalitas. 

Namun, dalam buku ini, pernyataan Evans tersebut diterjemahkan menjadi: 

“𝑁𝑎𝑚𝑢𝑛, 𝑘𝑎𝑢𝑚 𝑓𝑒𝑚𝑖𝑛𝑖𝑠 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 1980-𝑎𝑛 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛𝑙𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑝𝑖𝑘𝑖𝑟 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑖𝑛𝑑𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑎𝑎𝑛, 𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒ℎ𝑎𝑛𝑐𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑟𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑓𝑒𝑚𝑖𝑛𝑖𝑠 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑎𝑠. 𝑆𝑎𝑦𝑎𝑛𝑔𝑛𝑦𝑎, 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑦𝑎, 𝑝𝑒𝑛𝑡𝑖𝑛𝑔 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑚𝑜𝑡𝑜𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑎𝑘𝑎𝑟 𝑓𝑒𝑚𝑖𝑛𝑖𝑠.”. 

Kalimat Evans justru dipenggal menjadi dua kalimat, dan kalimat kedua justru memutarbalikkan maksud Evans yang menolak pemisahan feminis 1980-an dengan feminisme sebelumnya, menjadi “dalam pandangan saya, penting untuk memotong mereka dari akar feminis.”

Pada dasarnya, seandainya diterjemahkan dengan baik, buku ini adalah sumbangan berharga bagi pengembangan wacana feminisme di Indonesia. Terlebih, hal-hal yang paling banyak dibahas di sini, entah itu feminisme, Kiri Baru, atau anarkisme, adalah hal-hal yang amat sering disalahpahami. Tentu, untuk menghindari kesalahpahaman adalah dengan mempelajarinya.

------------------------------------
Penulis: Karunia Haganta
Editor: Prima Cahyadi
-----------------------------------
Akses semua situs Historical Meaning:
linktr.ee/HistoricalMeaning
------------------------------------
 Pos. Admin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SETELAH DENGAR HASIL UJIAN PAKAIAN SISWA/I SMA Kelas XII Di NABIRE DIWARNAI BINTANG KEJORA POLISI MEMUKUL Mince Heluka, BEBERAPA ORANG MENANGKAP POLISI

Siswi SMA kelas XII,Foto Mince heluka dapat pukul dari Polisi Nabire. Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Jeruk 🍊 -Melangkah Tanpa Alas Kaki- Nabire Siswa/i SMA kelas 3 dengar hasil ujian, mereka mewarnai pakeyan abu putih dirubah Bendera Identitas diri Papua Barat, Bendera Bintang Kejora/Bintang Fajar Polisi Melakukan pukulan dan penangkapan terhadap siswa/Siswi. Dengan melihat Siswa Mewarnai dengan warna Identitas sehingga beberapa orang anggota polisi dan ada pula yang dapat pukulan dari Polisi pada Senin 06/05/2024. Kata M.D melalui Handphone genggamnya. Penangkapan dan pemukulan dari polisi terhadap teman-teman SMA yang turun pawai kebahagiaan setelah mendengar kelulusan mereka, namun kami merasa kecewa karena polisi-polisi yang berada di Nabire melarang kegiatan kami, Lanjutnya. Kronologis yang Terjadi  Pukul 16: 7 wp. Kurang lebih 9 orang pelajar dikejar oleh 2 orang polisi berpakaian preman dengan kendaraan beroda 2 pengejaran tersebut lokasi da

SEPOTONG PERAHU KERTAS

Kecewakan mu  Di dalam hati yang terluka,   Kata-kata itu menggema.   Pahit getirnya rasa kecewa,   Menyatu erat dalam jiwa. Seperti bayangan yang tak pernah hilang,   Begitu juga rasa kecewa yang terpahat.   Sekali tersakiti, hatimu rapuh,   Dikhianati sekali, cintamu terus meragu. Siapa pun yang mengecewakanmu,   Tidak akan luput dari pandanganmu.   Setiap detik, setiap waktu,   Luka itu tetap merayap dalam ingatan. Namun di balik kekecewaan yang mendalam,   Tersembunyi pelajaran berharga.   Jangan biarkan rasa itu membelenggu,   Biarkan ia menjadi bekal untuk tumbuh lebih kuat. Eko-Vinsent  🍁🍁🍁 SEPIH Sekali lagi sepi Tanpa suaramu  Tak ada kata-kata manismu Hanya hening yang terasa  Sekali lagi sendiri  Merenungi semua rindu ini Menatap langit dengan tatapan hampa  Menyebut namamu tanpa sahutan Sekali lagi hanya diam Menanti sapa itu hadir lagi Membiarkan malam dan siang terlewati Tanpamu dan tanpa kita bercengkrama  Ly SMy  19.9.24 🍁🍁🍁 Se𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 

Adat-Mu Itulah yang Disebut Identitas-Mu, & Kebiasaan Itulan Adat-Mu & Itu-lah Sumber Hukum

Artikel. Oleh. Yegema Megolah sala satu identitas diri yg disebut (Kagane) Tetesan Air Mata Ibunda-kota Tua Paniai ---Melangkah Tanpa Alas Kaki -Kagane merupakan salah satu identitas diri yang diwariskan oleh moyang sejak saya dan kamu tiada. Barang atau benda itu telah ada sebelum manusia dipenuhi di muka bumi ini. Mereka mengolah Adat sesuai keinginan sesuai kepercayaan yang dimiliki setiap daerah termasuk tiga atau empat Wilayah adat Papua, termasuk Wilayah Meepago. Kebiasaan ini tidak bisa berubah dengan bentuk apapun dan bentuk bagimanapun alasan-Nya. Siapapun merasa berubah itulah yang disebut menggagalkan usaha yang diwariskan oleh nenek moyang dan tete moyang kita. Kebiasaan-kebiasaan merubah tampilan maupun warna dan bentuk maka Merusak wajah anda dan  telah menemukan Runtuhnya Manusia.  Ko lupa itulah ko lupa sejarah, akhirnya dibilang Rumah-Mu Runtuh Tapa sebab akibat. Adat-Mu Itulah yang Disebut Identitas-Mu, & Kebiasaan Itulan Adat-Mu & Itu-lah Sumber H