Jumat, 12 Desember 2025

Bapak Saya Dihilangkan Negara, 28 Tahun Kemudian Saya Masih Mencari Keadilan

Harapan ke depan saya sangat sederhana: tolong temukan bapak saya, Yani Afri, yang dihilangkan paksa oleh negara 28 tahun silam.

Sejak saya kecil, kisah tentang bapak selalu samar.

Bapak pergi pada 26 April 1997 saat saya belum genap empat tahun, dan tak pernah kembali. Mulanya ibu dan nenek (dari pihak ibu) bilang bapak bekerja di luar kota. Lalu, ketika saya berusia sekitar enam atau tujuh tahun, nenek memberi tahu bahwa bapak sudah meninggal dunia. Sejak itu, saya “resmi” menjadi anak yatim.

Seiring waktu, saya mulai mendengar berita-berita yang janggal. Ada yang bilang bapak meninggal saat kerusuhan Mei 1998. Ada juga yang mengatakan bapak dipenjara. Dari semua itu, yang paling terngiang adalah kata-kata tetangga saya: bapak diculik dan dibunuh, lalu tubuhnya dibuang ke laut. Mendengar itu, saya benar-benar terkejut.

Terlebih lagi, ibu selalu berpesan agar saya tidak main jauh-jauh, seolah khawatir saya bakal diculik. Lama-kelamaan saya yakin, ada kaitan antara pesan ibu dan isu hilangnya bapak.
Makam ibu dan nenek (dari garis keturunan ibu) Hardingga di TPU Budi Dharma/Semper, Jakarta Utara. (Project M/Adrian Mulya)
Ibu baru terbuka saat ia dirawat di rumah sakit karena kanker. Ibu bercerita kalau bapak adalah “korban Reformasi”.

“Bapakmu nasibnya sampai detik ini tidak jelas,” kata ibu kala itu, saat saya berusia 15 tahun. “Kalau saya dengar cerita dari nenekmu, sejak ditangkap, bapakmu tidak pernah memberi kabar dan tidak pernah pulang ke rumah.”

Mendengarnya, perasaan saya campur aduk. Saya kaget, kecewa, dan sedih. Saya juga menyadari ada trauma cukup mendalam pada ibu. Itulah alasannya ibu tidak ingin terlibat dalam urusan mencari bapak. Pilihan itu diambil demi kelangsungan hidup saya dan adik, supaya kami tetap baik-baik saja.

Pencarian Bapak, Pencarian Kebenaran
Setelah ibu bercerita, dia menyuruh saya mengunjungi rumah Mami Tuti Koto, ibu dari bapak. Sejak bapak hilang, saya dan ibu memang tinggal beda rumah dengan mami dan kami tidak pernah berinteraksi.

Ibu lalu membekali saya dengan dua alamat, yaitu alamat rumah mami dan rumah saudara kandung bapak bernama Yusni Artatika. Namun, saya baru mengunjungi rumah mami setelah ibu meninggal.
Hardingga ziarah ke makam Mami Tuti Koto, neneknya dari garis keturunan ayah, di TPU Malaka, Jakarta Utara. Yani Afri, putra Mami Koto, dihilangkan paksa oleh negara pada 1997. Sejak itu, hingga tutup usia pada 5 November 2012, Mami Koto terus berjuang mencari keberadaan putranya. (Project M/Adrian Mulya)
Di sana, saya mendapatkan cerita lengkap tentang bapak. Mami bercerita panjang lebar mengenai kronologi bapak ditangkap hingga menghilang. Mami juga bercerita bahwa ia didampingi KontraS dan masih terus mencari keberadaan bapak.

Rasa penasaran saya makin besar. Saya mulai mencari tahu tentang peristiwa penghilangan paksa pada 1997-1998 melalui internet. Saya lalu menemukan informasi soal aksi Kamisan yang rutin berlangsung di depan Istana Negara Jakarta.

Pencarian kebenaran mengenai bapak membawa saya masuk ke dunia aktivisme. Mulanya ketika saya diundang KontraS untuk menghadiri acara ulang tahun mereka ke-20 di Jakarta pada Maret 2018. Saya diajak bermonolog di sana. Karena saya memang menyukai kesenian dan juga penasaran dengan KontraS, saya datang.
Sejak itulah muncul dorongan hati untuk mengenal lebih jauh gerakan aktivisme kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan kasus bapak saya sendiri.

Hardingga membaca buku foto Mereka yang Dipisahkan karya mendiang Raharja Waluya Jati (ELSAM, 2001). Buku ini berisi cerita foto 13 keluarga korban penghilangan paksa. Melalui buku dan internet, Hardingga berusaha mengenal lebih jauh sosok Mami Tuti Koto dan kisah perjuangannya. (Project M/Adrian Mulya)
Nama bapak, Yani Afri, dan Mami Koto rutin disebut dalam berbagai kampanye HAM, aksi Kamisan, juga keriuhan politik yang melibatkan Prabowo Subianto. Mendengarnya, hati saya sangat sakit.

Tidak ada seorang pun yang mau mengalami nasib seperti ini: orang tua diculik dan hilang. Apalagi, nama itu selalu disebut setiap hari menjelang pemilu yang lalu. Kasus penghilangan paksa selalu dibahas tapi kasusnya tidak pernah benar-benar dituntaskan. Bukan itu yang saya harapkan.
Saya berharap kasus yang menyeret nama bapak saya ini segera selesai. Jika berlarut-larut, itu sama saja memberi celah untuk berbagai kepentingan politik.

Saya merasa yakin harus terus melanjutkan perjuangan, menyuarakan suara-suara korban penghilangan paksa, karena saya merasakan penderitaan mami, ibu, dan keluarga saya sebagai dampak dari apa yang negara ini lakukan terhadap bapak.

Luka itu mendalam.

Saya tidak ingin orang lain merasakan apa yang saya rasakan. Itu alasan terkuat saya terus berjuang.

Kesedihan ini Tidak Dijual

Kliping koran yang dikumpulkan oleh mendiang Mami Tuti Koto sekarang berada di tangan Hardingga. (Project M/Adrian Mulya)
Sejak bapak dihilangkan negara, saya dan keluarga terpaksa menanggung beban ekonomi dan psikologis yang kian lama terasa kian berat.
Ibu dan mami masing-masing meninggal pada 2008 dan 2012. Sebelum tutup usia, mereka hidup dengan trauma mendalam. Ibu kadang menangis tanpa sebab. Ia selalu marah bila saya main jauh-jauh atau pulang larut malam, khawatir saya diculik. Mami pun kerap pingsan tiba-tiba. Ia sangat terguncang kehilangan anaknya.

Saya sendiri merasakan fase hidup yang berat saat pandemi Covid-19. Saya begitu terpukul setelah meninggalnya nenek yang merawat saya sejak kecil dan paman yang dekat. Kesedihan dan rasa sepi membuat saya merasa tidak berguna dalam hidup ini, bahkan sampai ingin mengakhiri hidup. Kehadiran orang-orang yang peduli dan mau menemani sangat membantu saya melewati fase tersebut.

Namun, saya tidak mau “menjual kesedihan”. Saya risih. Saya merasa kesedihan tidak seharusnya menjadi komoditas dalam perjuangan. Perjuangan menuntut keadilan sebaiknya fokus untuk mendorong rekomendasi DPR agar segera membentuk pengadilan HAM ad hoc.

Saya hanya ingin terus berjuang, meski selalu muncul pertanyaan di kepala: apakah kasus ini akan selesai?
Sejujurnya saya pesimistis, terlebih setelah muncul tawaran Rp1 miliar untuk korban penghilangan paksa dan keluarganya pada 2024.

Keadaan ekonomi keluarga saya sangat terpuruk. Seumur hidup, saldo ATM saya tidak pernah di atas Rp10 juta. Dengan uang Rp1 miliar itu mungkin saya bisa memperbaiki taraf hidup, membeli rumah atau mobil. Namun, hati ini tidak akan tenang. Maka, saya memilih untuk menolaknya.

Penyelesaian kasus ini adalah mimpi mami, juga mimpi saya. Meskipun rasanya mustahil terwujud, saya tetap menyimpan mimpi itu. Bapak saya tidak bisa ditukar dengan apa pun.

Mendiang Mami Tuti Koto bersama mendiang Nurhasanah (orang tua Yadin Muhidin, salah satu korban penghilangan paksa 1997-1998), Maria Catarina Sumarsih (ibu dari Wawan, salah satu korban Tragedi Semanggi I), dan Bedjo Untung (penyintas tragedi 1965) pada aksi Kemah HAM di depan Istana Negara pada September 2010. (Project M/Adrian Mulya)
Hardingga bersama Maria Catarina Sumarsih pada aksi Kamisan ke-888 pada 27 November 2025. (Project M/Adrian Mulya)
Sejumlah keluarga korban lain mengambil jalan berbeda dan menerima uang Rp1 miliar itu. Ini kemudian memecah belah persaudaraan kami. Padahal kami seharusnya terus saling mendukung, karena kamilah yang mengerti rasa kehilangan yang pilu ini.

Saya tidak marah dengan mereka yang memilih menerima uang itu, karena saya tahu penderitaan yang mereka alami sangat panjang dan memilukan. Saya menghormati keputusan mereka.

Saya hanya berharap agar mereka kembali berjuang bersama-sama lagi.

Menatap ke Depan
Dengan pilihan saya untuk terlibat dalam aktivisme kemanusiaan, saya tidak merasa ada yang berubah. Saya ini orang biasa saja.
Saya yakin setiap orang merupakan simbol perjuangannya masing-masing, dan saya berharap ada simbol-simbol lain yang lebih beragam karena penyelesaian kasus penghilangan paksa memerlukan sinergi banyak pihak. Yang paling penting adalah negara harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada keluarga saya.

Saat ini, saya mencoba berdamai dan menjadi lebih dekat dengan diri sendiri di Salatiga. Saya pindah ke sana dari Jakarta sejak awal 2025. Saya senang karena akhirnya menemukan komunitas yang sehobi. Saya dapat bermusik dan belajar menulis.

Hardingga menunggu tampil di acara peluncuran Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 di M Bloc Space, Jakarta Selatan, pada 1 Februari 2024. Puisi-puisinya banyak ia bagikan di laman Instagram dan Facebook. Temanya tentang pengalaman sehari-hari, menyoal kesendirian, kerinduan, kehilangan, penantian, keluarga, juga kawan dekat. (Project M/Adrian Mulya)
Saya banyak melihat ke dalam diri sendiri, mulai memaknai apa yang telah terjadi. Menerima diri sendiri ternyata merupakan satu-satunya cara untuk berdamai dan memaknai arti tumbuh. Ini adalah proses berkelanjutan. Saya ingin terus berjalan, melakukan hal yang saya sukai. Itu saja.
Selama setahun belakangan, ada beberapa orang yang membantu saya, baik di Jakarta maupun Salatiga. Mereka mengajarkan saya bermusik, mementori menulis, membantu secara finansial, atau menawarkan tempat berbagi pikiran. Saya sangat senang bisa menganggap mereka seperti orang tua dan keluarga.

Selain berpuisi, Hardingga gemar bermusik dan menggubah lagu, yang ia pelajari ketika ke Salatiga untuk sejenak menenangkan diri dan mempelajari hal-hal yang ia sukai. (Project M/Adrian Mulya)
Harapan ke depan saya sangat sederhana: tolong temukan bapak saya.

Berikan keterangan dan kepastian atas hilangnya bapak saya. Saya dan keluarga berharap dapat hidup damai tanpa dihantui pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa.
Bagi saya, kehilangan kasih sayang bapak sudah cukup berat. Janganlah ditambah beban ini dengan kehilangan kebenaran atas peristiwa hilangnya bapak saya.

Di awal saya hanya ingin menanyakan mawar yang hilang.
Memberi tahu nektar yang lain.
Ada akar baru di hadapan.
Karena saya pikir mencari mawar akan tetap mawar, tidak perlu mengenal dahlia atau apa pun itu.
Karena bisa saja seseorang menginginkan mawar, tapi dia mencarinya di bukit sabana.
Mawar tidak tumbuh di sana.
_
Puisi “Mawar” karya Hardingga. (Project M/Adrian Mulya)
Pos. Admin 

Prajurit Keraton Ikut PKI


Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Pendidikan Jogyakarta- Melangkah Tanpa Alas Kaki- Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.

WOENTOE dan Tombeng merupakan dua pemuda asal Minahasa yang menjadi tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Keduanya bertugas di Batalyon Infanteri ke-15 di Cimahi, Bandung.

 Pada pertengahan 1927, keduanya berada di Semarang entah karena sedang bertugas atau ada kegiatan lain non-tugas. 

Ketika di Semarang itu lah pada 13 Juli 1927 Woentoe dan Tombeng bertemu seorang Kopral Wakidi alias Prawirosoengoto dari Legiun Mangkunegara.

 Ketiganya lalu membicarakan politik. Algemeen Dagblad tanggal 26 Juli 1927 menyebut, selain membicarakan tentang Rusia dan Tiongkok yang bergolak, mereka bicara soal “pemerintahan asing dan kaum kapitalis.”  

WOENTOE dan Tombeng merupakan dua pemuda asal Minahasa yang menjadi tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Keduanya bertugas di Batalyon Infanteri ke-15 di Cimahi, Bandung.

 Pos. Admin 

Kita Menggali Tapi Menutup Jauh Lebih Banyak dirugikan


Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Jeruk 🍊 -Melangka Tanpa Alas Kaki- Negeri ini terlihat begitu sibuk menggali, seolah seluruh masa depan tersembunyi di kedalaman tanah. Setiap izin tambang diumumkan dengan dramatis, seakan-akan itu adalah hadiah ulang tahun bagi rakyat. Padahal hadiah sebenarnya hanya diterima oleh segelintir orang yang duduk di meja perundingan. Kita menggali untuk mencari pendapatan, tetapi yang ditemukan justru daftar panjang kerusakan ekologis. Setiap lembah yang dibuka melahirkan harapan sementara, namun juga ketakutan yang lebih panjang. Ironinya, semakin dalam kita menggali, semakin dangkal alasan yang diberikan pemerintah untuk membenarkannya.

Hutan yang hilang tidak pernah masuk berita utama kecuali saat banjir datang, barulah semua orang mendadak peduli. Sungai yang keruh dianggap biasa saja, seperti batuk perokok yang sudah dianggap bagian dari identitas. Negara terus berkata bahwa ini semua demi pembangunan, meski pembangunan itu sering hanya terlihat di PowerPoint pejabat. Ketika alam merana, laporan resmi tetap tegar dan penuh angka keberhasilan. Kita diajak percaya bahwa kerusakan adalah investasi. Dan seperti biasa, rakyat diminta maklum.

Setiap alat berat yang masuk ke hutan membawa dua hal: janji lapangan pekerjaan dan ancaman bencana. Yang pertama sering hanya bertahan sebentar, yang kedua bertahan jauh lebih lama. Ketika perusahaan pergi, yang tertinggal adalah lubang-lubang besar seperti kenangan buruk yang tak bisa ditutup. Negara datang belakangan, membawa kunjungan formal dan foto-foto penuh senyum. Seolah semua bisa beres hanya karena kamera menyala. Padahal lubang itu tidak peduli pada retorika.

Penerimaan negara dari pajak makin meningkat, sementara kontribusi sektor ekstraktif terasa seperti uang rokok dibandingkan biayanya. Ironis karena rakyat yang tidak merusak justru membayar lebih mahal untuk memperbaiki kerusakan. Kita menggali untuk menambah kekayaan nasional, tetapi akhirnya rakyat yang menambal kerusakan nasional. Pajak naik, lingkungan turun, kombinasi yang tidak pernah disebutkan dalam seminar-seminar pertumbuhan ekonomi. Negara menutup mata, tetapi rakyat menutup hidung. Bau kerusakan tidak bisa disensor.

Setiap tahun ada bencana yang diberi nama baru, tapi pola penyebabnya tetap sama: eksploitasi yang dilegalkan. Namun laporan resmi selalu menyalahkan cuaca, seperti cuaca punya KTP. Alam dianggap berubah tanpa sebab, padahal sebabnya sudah dipotret berkali-kali dari udara. Kita menggali tanah, tapi alasan selalu menggali lebih dalam. Dan ketika tragedi terjadi, negara kembali menutup-nutupi fakta dengan frasa “situasi terkendali”. Kata yang paling sering digunakan untuk menutupi ketidakmampuan.

Bisnis ekstraktif membuat negara tampak sibuk, seperti pelajar yang terlihat belajar padahal hanya menyalin pekerjaan temannya. Aktivitasnya banyak, hasilnya minim. Kedalaman galian meningkat, tetapi kedalaman berpikir tidak ikut bertambah. Kita menutup lebih banyak kesalahan dengan menyalahkan alam, menyalahkan warga, dan menyalahkan takdir. Seolah kerusakan ini turun dari langit, padahal datang dari surat izin yang ditandatangani di ruang ber-AC. Humor pahitnya adalah: yang merusak bebas, yang dirusak disalahkan.

Negara menganggap ekstraksi sebagai strategi jangka panjang, padahal itu hanya jalan pintas yang dipoles dengan bahasa teknokratik. Kita diberi istilah-istilah keren agar lupa bahwa yang terjadi sebenarnya adalah perusakan. Visi masa depan dibentangkan, tetapi masa depan itu terus terkikis setiap hari. Kita menutup kesalahan dengan narasi kemajuan, seperti menutup bau busuk dengan parfum murahan. Semuanya tampak rapi di laporan, tetapi amburadul di lapangan. Begitulah birokrasi bekerja: lebih pandai menutup daripada memperbaiki.

Kita menggali kekayaan, tetapi yang hilang lebih banyak dari yang diperoleh. Kita menutup rapat fakta-fakta yang tidak nyaman, menutup telinga terhadap protes warga, dan menutup ruang diskusi dengan jargon pembangunan. Lubang-lubang tambang itu bukan hanya luka di tanah, tetapi juga luka pada kejujuran negara. Yang digali hanyalah alasan, yang ditutup hanyalah kebenaran. Dan makin lama semakin jelas bahwa proyek ekstraktif ini bukan membangun negara, melainkan membangun ilusi. Ilusi bahwa kerusakan bisa dinegosiasikan.

Pada akhirnya, kita hidup di negeri yang menggali masa depan tapi menutup realitas. Kita menggali tanah, menggali alasan, menggali laporan, tetapi menutup harapan warga yang ingin hidup tanpa bencana. Kita menutup ruang hijau demi ruang rapat, menutup sungai demi pabrik, dan menutup suara alam demi tepuk tangan investor. Semua ini dilakukan dengan yakin, seolah ada kebijaksanaan agung di baliknya. Padahal yang ada hanyalah keberanian besar untuk terus mengulangi kesalahan. Kita menggali, tapi yang hilang jauh lebih banyak dari yang kembali.

“Akhirnya kita akan menutup biaya yang lebih besar dari kerusakan yang kita izinkan, lebih besar dari pendapatan yang kita banggakan, dan jauh lebih besar dari akal sehat yang kita korbankan.”


Pos. Admin 

Rabu, 10 Desember 2025

Rahmad Darmawan Akhirnya Buka Suara Usai Coret 6 Pemain Persipura, Termasuk Marinus Wanewar

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Keenam pemain yang dicoret RD sapaan akrabnya itu adalah Marinus Wanewar (penyerang), Fridolin Yoku (gelandang), Joshua Isir (penyerang), John Pigai (kiper), Elfis Harewan (gelandang), dan Adriano Malibela (gelandang).

Kepada BolaSport.com, RD mengatakan bahwa ia harus melakukan evaluasi atas kinerja para pemain Persipura selama menjalani putaran pertama Championship 2025/2026.

Selain itu, RD menilai skuad Persipura terlalu gemuk karena mempunyai 36 pemain.

RD merupakan pelatih baru Persipura untuk menjalani pertandingan di kompetisi sepak bola kasta kedua Indonesia.

Ia datang untuk menggantikan Ricardo Salampessy yang didepak oleh Persipura.

Setelah menjalani beberapa pertandingan, RD melihat sudah seharusnya ada beberapa pemain yang dilepas.

Mantan pelatih Barito Putera itu ingin merampingkan skuad Persipura yang saat ini menyisahkan 30 pemain.

"Yang pertama skuad ini terlalu gemuk karena ada 36 pemain."

Saya rasa tidak mudah untuk menghandle terlalu banyak pemain di dalam satu tim," kata RD, Selasa (9/12/2025).

Lanjut RD, pencoretan pemain itu juga karena ingin memberikan kesempatan bermain kepada nama-nama lainnya yang potensial.

RD berharap yang terbaik kepada keenam pemain tersebut.

"Semoga mereka bisa mengembangkan karier yang lebih baik lagi di klub lain," kata RD.

"Kalau saya paksakan untuk mempertahankan mereka di sini, kesempatan bermain mereka juga tidak terlalu banyak."

"Ya kalau mereka bisa menerima, tapi kalau tidak bisa menerima kondisi itu bagaimana. Akhirnya jadi kontraproduktif."

RD mengakui bahwa keputusan itu diambil secara matang.

Ia ingin pemain yang dilepas bisa menerima keputusannya dengan baik.

"Seorang pelatih tentu harus memberikan hal yang terbaik untuk para pemainnya."

"Menurut saya pilihan memberikan kesempatan bermain dengan tim lain adalah salah satu solusi keputusan seorang pelatih," kata RD.

RD mengucapkan rasa terima kasih kepada keenam pemain yang sudah berkontribusi baik untuk Persipura. 
Untuk kenapa dan apa sebabnya ini hal internal di kami."

"Hanya saya dan manajemen yang tahu karena ada hal-hal yang tentu tidak bisa saya sampaikan," tutup RD.

Pos. Admin 

10 Lukisan Ikonik Dunia


Tetesan-Air-Mata-Ibunda-Kota Tua Kota Jeruk 🍊 -Melangka -Tanpa-Alas-Kaki-Karya seni akan tetap abadi, seperti halnya lukisan-lukisan dari para pelukis terkenal di masa lampau. Berikut 10 lukisan terkenal paling ikonik di dunia. 

JAKARTA - Sepanjang sejarah, lukisan bukan sekadar karya visual, tetapi juga penanda zaman, emosi, dan cara manusia memandang dunia. Dari dinding istana hingga museum modern, beberapa lukisan menjadi begitu ikonik hingga namanya dikenal luas, bahkan oleh orang yang tidak pernah mempelajari seni secara formal. 

Karya karya ini terus dibicarakan karena mampu melampaui batas waktu dan konteks sosialnya.

Dikutip dari Antara, berikut adalah 10 lukisan terkenal di dunia yang paling ikonik yang hingga kini tetap relevan dan sering menjadi rujukan dalam pembahasan seni.

Mona Lisa – Leonardo da Vinci

Tidak ada daftar lukisan terkenal tanpa Mona Lisa. Dilukis oleh Leonardo da Vinci pada awal abad ke 16, karya ini menjadi ikon dunia seni berkat senyum misterius dan tatapan yang seolah mengikuti penonton. Ukurannya yang relatif kecil justru berbanding terbalik dengan pengaruh besarnya dalam sejarah seni.

The Starry Night – Vincent van Gogh

The Starry Night menjadi salah satu lukisan paling dikenali di dunia. Van Gogh melukis langit malam penuh pusaran biru saat berada di sebuah rumah perawatan di Prancis. Karya ini sering dianggap sebagai gambaran kondisi batin sang pelukis serta simbol kuat ekspresi emosional dalam seni modern.

The Last Supper – Leonardo da Vinci

Lukisan dinding yang menggambarkan momen terakhir Yesus bersama para muridnya ini merupakan salah satu karya religius paling terkenal sepanjang masa. Komposisi yang dinamis, ekspresi tokoh, dan penggunaan perspektif membuatnya dianggap revolusioner pada zamannya.

Guernica – Pablo Picasso

Guernica adalah lukisan besar bernuansa hitam putih yang dibuat sebagai respons terhadap pengeboman kota Guernica dalam Perang Saudara Spanyol. Dengan bentuk yang terfragmentasi dan simbolik, karya ini menjadi salah satu pernyataan seni paling kuat tentang penderitaan manusia akibat perang.

The Persistence of Memory – Salvador DalΓ­

Lukisan jam jam yang tampak meleleh ini menjadi simbol utama aliran surealisme. DalΓ­ menggambarkan waktu sebagai sesuatu yang tidak stabil dan cair. Hingga kini, karya ini sering ditafsirkan sebagai refleksi tentang mimpi, ingatan, dan cara manusia memaknai realitas.

Girl with a Pearl Earring – Johannes Vermeer

Sering disebut sebagai “Mona Lisa dari Utara”, lukisan ini menampilkan seorang gadis dengan anting mutiara yang sederhana namun memikat. Kekuatan karya ini terletak pada pencahayaan lembut dan ekspresi wajah yang terasa intim dan personal.

The Scream – Edvard Munch

The Scream dikenal sebagai salah satu lukisan paling ekspresif sepanjang sejarah seni. Sosok dengan wajah terdistorsi ini sering dihubungkan dengan kegelisahan dan kecemasan manusia modern. Karya ini telah menjadi simbol emosional lintas generasi.

The Birth of Venus – Sandro Botticelli

Berasal dari era Renaissance, lukisan ini menggambarkan kelahiran Venus dari laut. Keindahan garis, komposisi lembut, serta tema mitologi klasik menjadikannya salah satu karya paling berpengaruh dalam perkembangan seni Barat.

Las Meninas – Diego VelΓ‘zquez

Las Meninas sering dianggap sebagai salah satu lukisan paling kompleks dalam sejarah seni. Permainan perspektif, penggunaan cermin, serta posisi pelukis di dalam karya membuat lukisan ini terus dianalisis hingga hari ini.

American Gothic – Grant Wood

Lukisan sepasang pria dan wanita di depan rumah pedesaan ini menjadi ikon budaya Amerika. Ekspresi serius dan gaya realisme yang khas membuatnya sering ditafsirkan sebagai representasi kehidupan rural Amerika pada masanya.

Sepuluh lukisan tersebut membuktikan bahwa seni mampu bertahan lintas abad karena kekuatan cerita, konteks, dan ekspresi yang dibawanya. Gaya dan teknik boleh berubah, tetapi karya yang memiliki makna kuat akan selalu menemukan tempat dalam ingatan kolektif manusia.

Pos. Admin 

Pengedropan TNI Tanpa Henti Hari, Sugapa Bilogai Kabupaten Intanjaya Provinsi Papua Tengah

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Sugapa Bilogai Kabupaten Intanjaya-Melangkah tanpa Alas Kaki- Bandara Sokopaki terlihat sebagai pakeyan serangam tentara Nasional Indonesia TNI berkerumun, Senin 8, Desember 2025 pemandangan seperti foto ini, warga setempat  terhitung satu Minggu 2 kali pengedropan TNI, hal itu warga setempat mempertanyakan, Aada apa dibalik pengedropan seperti ini dalam satu hari dua kali, Ini Kami warga Menanti Kedatangan Tuhan Yesus ternyata militer menjadi Tuhan Yesus hari ini?. 

Masyarakat kampung Nggamagae  distrik Ugimba kabupaten Intan jaya yang tidak mengungsi, berkumpul di halaman gereja Bulapa untuk memberisikan halaman gereja dan jalanan dalam rangka menyongsong hari Natal dan Tahun Baru.

Saat masyarakat /Umat gereja  kumpul di halaman gereja, TNI dari Pos TNI Bulapa juga datang dan berada di halaman gereja seakan dapat undangan. Ternyata Mereka droping kebutuhan pengamanan, logistik dan perlengkapan lain untuk anggota TNI di depan dan belakang Gereja, ucapan salah seorang masyarakat setempat lewat WhatsApp nya. 

Dalam suara dan nadanya yang panik iya mengatakan kami warga Intanjaya Provinsi Papua Tengah masih tertekan hidup kami apa lagi ini hari Natal tidak seperti biasanya.

Lanjutnya juga iya katakan, warga Sugapa Bilogai Kabupaten Intan jaya  yang masih berada di kampung dan tanah leluhur kami menjadi sasaran sebagai Penghianat Negara Republik Indonesia sehingga jalan gereja sudah menjadi pos TNI 10 sampai 16  hari ini.
Kami masyarakat menilai bahwa pos-pos TNI yang sedang bangun adalah bukan masalah Pembunuhan antara TNI Versis OPM/ TPNPB tetapi TNI merangsang suatu hal di kabupaten Intan jaya. Hal ini kami Masyarakat menilai bahwa jika mencari OPM TPNPB kami juga tidak mengenal yang disebut dengan OPM TPNPB itu, Namun TNI mereka mendirikan pos-pos di rumah warga kan aneh apa lagi samping gereja saja sudah 10 hingga 16 pos inikan terlalu aneh, kayanya.

Lanjut juga bahwa, Seluruh aktivitas masyarakat Sugapa Bilogai Kabupaten Intan jaya ambil alih oleh TNI dan polri inikan terlalu aneh. Untuk  aktivitas masyarakat yang selalu berkebun, bertani, dan beternak hari ini sudah tidak ada lagi di kabupaten Intan jaya, karena sedang melakukan operasi besar-besaran dengan  alasan  "Bakti sosial berupa pengobatan masakan untuk sambut Natal", Namun kami warga Intanjaya berharap supaya hal ini harus tidak perlu dilakukan karena Operasi Militer juga besar-besar tetapi memberikan masakan itukan terlalu aneh lanjutnya. Dalam situasi itu pula bukan hanya TNI tetapi dengan Polisi Militer.

Dalam Natal ini pula TNI secara masif didrop dan disebar ke kampung-kampung seluruh kabupaten Intan jaya. Fokus utama mereka ada di empat distrik, antara lain Sugapa, Hitadipa, Ugimba dan Homeyo. Selain itu, pesawat drone memantau setiap sisi dan bagian di tempat-tempat aparat berada. 

Beberapa bulan lalu, drone milik TNI jenis Rajawali dua Buah jatuh di Sugapa sekitar pukul 14.30-15.00. Pembangunan jalan, juga aparat didrop dan disebar ke kampung-kampung hal itu pun kami menilai TNI bukan mencari OPM TPNPB tetapi Kegiatan pembangunan daerah ambil alih Negara, ungkapnya.

Banyak dugaan muncul. Bisa jadi untuk tujuan pengamanan wilayah agar target yang dicapai berjalan mulus, bisa juga memang untuk memberantas gangguan keamanan atau ada sesuatu yang terpendam dibalik Pengejaran antara TNI dan Polri maupun OPM TPNPB. 

Terlepas dari  itu masyarakat apa tujuannya di intan jaya Sugapa, jika kehidupan wargi pemilik hak Ulayat Tanah hidup dalam tekanan dalam penambahan pembangunan pos-Pos TNI dan polri di kampung-kampung terus bertambah hingga detik ini.

Trakhirnya iya menyampaikan bahwa, Semoga dalam laporan  ini , Pakdam , Kapolda, Bupati, dan Gubernur Papua Tengah harus melangkah lebih jernih untuk mengatasi situasi ini, agar masyarakat Intanjaya bisa kembali kampung Masing-masing dari Pengungsianya dan mereka juga Merayakan Natal dan menyambut tahun baru dengan ketenangan jiwa maupun raga mereka. (yegema)

Pos. Admin 

Selasa, 09 Desember 2025

Operasi Militer Trikora Titik Awal Penjajahan Indonesia Terhadap Orang Papua.

Salam Pembebasan Nasional Bangsa West Papua!
Hari ini tepat 64 tahun lalu di alun-alun utara Yogyakarta, Presiden Republik Indonesia Soekarno menyampaikan pidatonya di guyuran hujan di antara lautan massa dan bakal angkatan perang yang baru akan dilantik dari Bandung dan Magelang: 38 korps infanteri, 51 korps kavaleri, 59 korps artileri, 144 korps zeni.

Presiden Soekarno berteriak lantang, “Ketahuilah hei kamu, kewajibanmu sekarang ini lebih berat daripada yang sudah-sudah. Sekarang ini engkau menjadi pemimpin-pemimpin daripada Angkatan Perang Republik Indonesia. Dan sekarang ini Angkatan Perang Republik Indonesia sudah mendapat perintah dari saya untuk menyiap-nyiapkan diri agar supaya setiap waktu saya memberi perintah, masuk ke Irian Barat untuk memerdekakan Irian Barat itu.”

Di pidato itulah Soekarno menyerukan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk menggagalkan pembentukan Negara Papua Barat yang telah dideklarasikan pada 1 Desember 1961. Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (Sekarang Papua) kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jenderal Soeharto untuk melakukan operasi militer dengan nama Operasi Mandala ke Wilayah Papua Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.

Trikora yang bertujuan untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat sebagai bagian dari Negara Indonesia merupakan awal malapetaka bagi rakyat dan bangsa Papua yang baru 18 hari mendeklarasikan kemerdekaannya. Kehadiran militer Indonesia di Papua telah merampas hak politik bangsa Papua dan Trikora adalah bagian dari usaha awal Negara Indonesia untuk mengkolonisasi Papua.

Ironis ketika mengingat bahwa tanggal dan tempat itu dipilih dengan pertimbangan untuk memperingati Agresi Belanda II terhadap Indonesia pada tahun 1948 dengan pengeboman atas Yogyakarta di Maguwo. Yogyakarta juga dipilih untuk mengenang usaha pengusiran Belanda dari Batavia oleh Sultan Agung. Tanggal dan tempat yang sarat dengan ingatan tentang semangat pembebasan atas penjajahan itulah yang dipakai untuk menyerukan penjajahan.

Berbagai aksi kebrutalan Militer Indonesia terus berlanjut, pada dekade 1980an – 1990an terjadi pembunuhan terhadap tokoh Nasionalis Papua Arnold Clemenes Ap pada 26 April 1984 disertai pengungsian besar-besaran ke Papua New Guinea (PNG) kemudian pembunuhan terhadap Dr. Thomas Wanggai pada 13 Maret 1996. Pada dekade 2000an terjadi pembunuhan oleh pasukan khusus Tentara Nasional Indonesia (Kopassus) terhadap Ketua Dewan Presidium Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001.

Dekade 2010 terjadi penembakan kilat terhadap Ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Mako Tabuni pada 14 Juni 2012. Hingga penangkapan terhadap aktivis KNPB Wamena dan penembakan kilat terhadap Koordinator Komisariat Militan KNPB Pusat Hubertus Mabel pada tanggal 16 Desember 2012 di Wamena. Pada tanggal 8 Desember 2014 terjadi pembunuhan luar biasa di Paniai oleh TNI-Polri yang mengakibatkan 22 orang masyarakat sipil, di antaranya 5 orang siswa SMA meninggal dunia dan 17 lainnya luka-luka kriis.

Dan masih banyak lagi berbagai kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan militer Indonesia terhadap Rakyat Papua lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.

Kenyataan ini membenarkan kehadiran Indonesia di Papua bertujuan untuk menguasai dan menjajah, tidak untuk membangun Rakyat Papua.

Oleh sebab itu kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang menuntut dan mendesak:

Berikan kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat West Papua.
Tarik Militer (TNI-POLRI) Organik dan Non-Organik dari seluruh Tanah West Papua sebagai Syarat Damai.
Demikian pernyataan sikap ini. Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Papua untuk bersatu dan berjuang merebut cita-cita Pembebasan Sejati Rakyat dan Bangsa Papua Barat. Atas perhatian dan dukungan seluruh Rakyat Papua dan Rakyat Indonesia, kami ucapkan terima kasih.

Pos. Admin 

Bapak Saya Dihilangkan Negara, 28 Tahun Kemudian Saya Masih Mencari Keadilan

Harapan ke depan saya sangat sederhana: tolong temukan bapak saya, Yani Afri, yang dihilangkan paksa oleh negara 28 tahun silam....