Sabtu, 01 November 2025

DPR Papua Tengah Paulus Mote, Mengatakan Atas Nama Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Provinsi Jangan Merusak Hutan yang Ada

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Jeruk 🍊 -Melangka Tanpa Alas Kaki- DPR Papua Tengah Paulus Mote: Mengatakan bahwa, Jangan Rusak Hutan Atas Nama Pembangunan Jalan!

Nabire Papua Tengah ||Suara keras mengguncang ruang publik Papua Tengah. Ketua Komisi II DPR Papua Tengah, Paulus Mote, meledak menyoroti maraknya pembongkaran dan pembukaan jalan baru di delapan kabupaten yang dinilai membabi buta dan tanpa kajian lingkungan yang jelas.

Menurutnya, aktivitas tersebut bukan sekadar proyek pembangunan, tapi sudah masuk kategori penghancuran ekosistem yang mengancam masa depan Papua Tengah.

“Jangan lagi ada jalan yang dibuka sepihak, seolah tanah dan hutan ini milik pribadi! Semua pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan wajib memiliki AMDAL dan disosialisasikan secara terbuka!” tegasnya

Ia menilai, pembongkaran jalan yang dilakukan secara sporadis telah merusak hutan lindung, menggusur habitat satwa endemik, serta menimbulkan ketidakseimbangan alam yang akan berdampak panjang bagi masyarakat adat dan generasi berikutnya.

“Yang terjadi hari ini bukan pembangunan, ini pembabatan alam atas nama proyek. Kalau pemerintah tidak berhenti dan tidak belajar dari kesalahan, maka kita sedang menyiapkan bencana ekologis buatan manusia,” ujarnya tajam.

Paulus menekankan, AMDAL bukan sekadar dokumen formalitas, tetapi tanggung jawab moral dan hukum yang diatur tegas dalam:

1. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

2. PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan,

3. Permen LHK No. 4 Tahun 2021 tentang Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL.

“Kalau pemerintah terus berjalan tanpa AMDAL, itu artinya mereka sadar sedang merusak tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lainnya. Kita tidak bisa diam,” tegasnya lagi.

Lebih jauh, Paulus Mote meminta moratorium total terhadap semua pembongkaran jalan baru sebelum kajian lingkungan dan tata ruang selesai. Ia juga menuntut transparansi publik dan audit menyeluruh terhadap seluruh proyek jalan yang telah berjalan.

“Pembangunan tanpa nurani sama saja dengan kejahatan terhadap alam. Alam Papua Tengah bukan objek, tapi sumber kehidupan. Jangan tunggu hutan hilang baru menyesal!” seru Paulus menutup pernyataannya.

Pos. Admin 

Senin, 27 Oktober 2025

Bangsa Papua Akan Kalah Jika Terus Bertengkar di Dalam Kandang Penjajahan

Artikel: Tapol, Victor F Yeimo 
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Hati-hati pada penjajah yang selalu menciptakan panggung untuk menguras energi kita, panggung penuh amarah, penuh reaksi, tapi kosong dari kesadaran. Penjajah tahu, bangsa yang sibuk marah di dalam kandang penindasan tidak akan pernah sempat keluar utk menghancurkan jerujinya.

Maka mereka ciptakan ribuan panggung kecil agar kita sibuk berteriak satu sama lain: kita diadu lewat konflik pemilu, dipecah lewat perebutan jabatan, diadu lewat isu agama, disibukkan dengan penghinaan ras dan simbol budaya, dibenturkan lewat perebutan gaji, dana otsus, dan kursi kekuasaan,
diadu antar suku, antar gereja, antar tokoh, antar kelompok perjuangan.

Setiap kali kita ribut, mereka tertawa, karena itu berarti rakyat masih terjebak di arena yang mereka buat. Inilah politik pengalihan dan pementasan kolonial: membuat bangsa terjajah sibuk di arena kecil, agar tidak sempat melihat tangan besar yang mengatur semuanya dari atas.

Dalam bahasa Pierre Bourdieu menyebut mekanisme ini kekerasan simbolik: kekerasan yang tidak memukul, tetapi menundukkan lewat makna. Penjajah mengatur wacana dan nilai: apa yang tampak penting, apa yang layak diperdebatkan, siapa yang layak dimusuhi. Dengan cara itu, mereka memaksa kita berkelahi di ruang yang mereka desain. Membuat kita merasa sedang berjuang padahal sebenarnya hanya sedang diputar-putar dalam kandang yang sama.

Kalau dakam bahasa Frantz Fanon disebut penjajahan kesadaran: bangsa terjajah disibukkan deng pertengkaran kecil di bawah, sementara struktur penindasan di atasnya tetap kokoh. Atau Jean Baudrillard bilang penjajahan menciptakan “realitas palsu” (simulacra): dunia penuh drama dan simbol, agar rakyat melupakan realitas sebenarnya: operasi militer, pembunuhan, perampasan tanah, dan penghancuran ekologi.

Begitulah cara penjajah menjaga kekuasaannya: figur menjadikan rakyatnya sibuk marah dalam kandang. Mereka tahu, bangsa yang sibuk bertengkar tak sempat berstrategi; bangsa yang sibuk bereaksi tidak sempat berpikir.

Sementara kita sibuk debat di media sosial, mereka menandatangani kontrak Freeport.
Sementara kita ribut soal kursi jabatan, mereka memperluas PSN dan tambang. Sementara kita bertengkar karena agama, mereka buka hutan dan gusur kampung. Sementara kita marah pada penghinaan simbolik, mereka terus menembak dan membunuh, seperti 12 warga sipil yang dibatai di Soanggama.

Inilah siasat halus kolonialisme modern, mengalihkan energi rakyat dari struktur ke permukaan. Mereka biarkan kita berteriak keras, asal tidak menyentuh akar. Mereka biarkan kita marah, asal tidak sadar. 

Kita mesti tolak peran yang mereka tuliskan untuk kita: peran rakyat yang reaktif, emosional, dan mudah diprovokasi. Kita harus menulis naskah sendiri, memainkan drama kita sendiri: drama pembebasan sejati, bukan drama simbolik.

Setiap isu yang muncul jangan ditelan mentah. Bertanyalah: siapa yang diuntungkan dari semua ini? Siapa yang diam-diam mengambil tanah, tambang, dan sumber hidup kita saat kita sibuk berdebat?

Kita harus belajar membaca lapisan di balik setiap peristiwa. Karena di balik semua keributan insidental itu, selalu ada satu pola: pengalihan perhatian agar bangsa Papua tidak sempat melihat bahwa akar penindasan tetap sama: militerisme, kapitalisme kolonial, dan penguasaan atas tanah serta sumber daya.

Bangsa Papua harus keluar dari jebakan ini. Kita harus mengubah amarah reaksioner menjadi kesadaran revolusioner. Setiap isu sektoral harus kita gunakan sebagai cermin utk melihat struktur yang menindas. Setiap penghinaan kecil harus menjadi pintu menuju analisis besar. Setiap konflik harus diarahkan menjadi pemahaman politik, bukan permusuhan sosial.

Jangan lagi marah di panggung yang mereka buat. Marahlah di medan yang mereka takuti: medan kesadaran, organisasi, solidaritas, dan pembongkaran sistem. Bangsa Papua akan kalah jika terus bertengkar di dalam kandang penjajahan. Tapi bangsa Papua akan menang jika mulai berpikir bersama, bergerak bersama, dan menembus dinding kandang itu menuju pembebasan bangsa.

Pos. Admin 

DALAM AKSI PANGGUN KEADILAN, JUSTICE FOR TOBIAS SILAK Anggota Bawaslu Kabupaten Yahukimo

PERNYATAN SIKAP!!!
FORUM SOLIDARITAS MAHASISWA DAN PELAJAR PEDULI RAKYAT PAPUA (FSMP-PRP) MAKASSAR
 YANG TERGABUNG DALAM (JUSTICE FOR TOBIAS SILAK KOMITE KOTA MAKASSAR 
_________________________________________
DALAM AKSI PANGGUN KEADILAN JUSTICE FOR TOBIAS SILAK MENYATAKAN SIKAP DENGAN TEGAS!
 
Justice For Tobias Silak , Justice For Naro Dapla, Justice For Viktor Deyal ,Justice For All ! 
 
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Makasar - Melangkah Tanpa Alas Kaki- Kasuss Penembakan Terhadap Tobias Silak Staf Bawaslu Kabupaten Yahukimo (Meninggal ) dan Naro Dapla seorang anak bibawah umur (Luka berat ) pada 20 Agustus 2024, oleh gabungan Brimob Satuan Operasi Damai Cartenz di Jalan Sekla,Kab.Yahukimo Provinsi Papua Pegunungan merupakan satu dari sekian banyak kasus yang terjadi selama ini diatas Tanah Papua tanpa keadilan hukum. Papua menghadapi situasi hak asasi manusia yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. 
 
Konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun belum terselesaikan justru semakin meningkat. Sejak Desember 2018-2025 lonjakan pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan oleh aparat keamanan, terutama di wilayah konflik semakin buruk serta Kebebasan berekspresi tetap dibatasi, dengan pihak berwenang dan membubarkan protes damai. 
 
Tidak terlepas dari rangkaian peristiwa kekerasan di tanah Papua penembakan terhadap almarhum Tobias Silak dan Naro Dapla merupakan wujud nyata bahwa Papua menjadi daerah operasi militer. Berbagi operasi terus dilancarkan negara tanpa mempertimbangkan Hak Asasi Manusia, Dari praktek kekerasan terhadap warga sipil, Jakarta tidak punya niat untuk membangun Papua dan tegakan keadilan kecuali merampok sumber daya alam yang tersedia dengan jalan pembantaian, pemerkosaan, pembunuhan,dan penghilangan paksa. Hal tersebut terbukti dari pendekatan Jakarta dalam 5 Tahun terakhir pendropan militer organik dan non organik dalam jumlah yang besar di seluruh Tanah 
 
Kasus Penembakan terhadap Tobias Silak dan Naro Dapla pada tanggal 20 Agustus 2024 keluarga korban secara tegas bersama 12 Suku di Yahukimo menolak segala bentuk tawaran ( Bayar 
Kepala) kapolres Yahukimo dan menuntut pelaku diproses hukum sesuai perbuatanya. Kemudian Komnas HAM RI pada 24-26 September 2024 melakukan Investigasi kemudian hasil investigasinya diumumkan secara tertutup melalui keluarga korban pada tanggal 17 Desember 2024 . Selanjutnya Tim Penyidik Polda Papua telah pemeriksan saksi dan menyerahkan hasil BAP kepada kajati Papua pada pertengahan Juli dengan nomor:44/Pid.B/2025/PN.Wmn dan Perkara 45/Pid.B/2025/PN.Wmn. adapun korban Tobias Silak (meninggal dunia) dan Naro Dapla(Luka 
Berat) dengan terdawak Muh.Kurniawan Kudu,Fernando Aufa,Ferdi Koromoth dan Jatmiko 
 
Sidang di Pengadilan Negeri Wamena sudah digelar sebanyak 17 kali . Manjelis Hakim Pengadilan telah memeriksa sebanyak 18 saksi korban maupun pelaku,5 saksi ahli,dan 5 surat serta menyita 21 alat bukti. Sidang ke 17 akan digelar pada tanggal 2 Oktober 2025 mendatang dengan agenda Tuntutan JPU kepada 4 Terdakwa. 
Wamena 27 September 2025 Perkumpulan Pengacara HAM untuk Papua menyapaikan keprihatinan mendalam dan desakan tegas kepada Jaksa Penuntut Umum(JPU) agar menuntut pidana Maksimal terhadap kasus penembakan yang menewaskan Alm. Tobis Silak (staf Bawaslu Kab.Yahukimo) dan Melukai berat seorang anak Naro Dapla (17 Tahun) pada tanggal 20 agustus 2025 Pukul 21.21 WIT. Di Pos Brimob Sekla Kab.Yahukimo Berdasarkan fakta lapangan bahwa : 
• Terdawa Bribka.Muh Kurniawan Kudu terbukti melepaskan 8 tembakan dengan senjata AK-102 yang mengakibatkan korban Tobias Silak mengalami luka tembak di bagian kepala yang mengakibatkan meninggal dunia sementara Naro Dapla mengalami luka berat 
• Terdakwa Fernando Alexander Aufa,Jatmiko dan Ferdi Moses Koromat Turut serta dengan menyebar informasih palsu tentang “kontak tembak” yang memicu siaga dan aksi penembakan 
• Keterangan saksi korban,Saksi anggota Brimob,Ahli Forensik,Ahli Balestik serta barang bukti senjata dan selongsong peluru konsisten memperkuat keterlibatan para terdakwa 
• Fakta Persidangan membuktikan bahwa korban adalah sipil dan Anak dibawah umur bukan anggota bersenjata sebagai mana diklaim 
 
Dengan demikian kami Tim Kuasa Hukum Korban,Front Justice For Tobias Silak 12 Kota serta seluruh Masyarakat Yahukimo 12 Suku Besar Menyapaikan sikap tegs : 
 
1. Kami menuntut JPU memberikan Pidana Maksimal sesuai pasal 338 KUHP 80 Ayat 
(2) UU Pelindungan anak terhadap Terdakwa Bribka.Muh Kurniawan Kudu 
2. Kami menuntut JPU Pidana terhadap Fernando Alexander Aufa,Jatmiko dan Ferdi Moses Koromat berdasarkan pasal 338 KUHP Jo.55 KUHP dan Pasal 80 Ayat (2) UU No.35 Tahun 2024 Tentang perubahan UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo. Pasal 55 KUHP 
3. Kami menunut Majelis Hakim menjatuhkan hukuman setimpal serta menegaskan terhadap Pelindungan hukum bagi korban Anak 
4. Kami mendesak Komnas HAM dan Kejaksaan Agung membuka penyelidikan lanjutan untuk mengungkapkan keterlibatan atas pelaku Iptu.Irman Taliki (Danki Brimob) dan AKBP.Heru Hidayanto,S.sos.,M.M (Mantan Kapolres Yahukimo) 
5. Kami mendesak dan meminta Negara memberikan Restitusi,rahabilitasi dan kompensasi sesuai amanat UU Perlindungan Saks i dan korban 
6. Tarik Militer dari Yahukimo dan Seluruh Tanah Papua 
7. Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Papua Hentikan Proses Bayar Membayar kepala Manusia Papua dan mendesak DPRD.Kab Yahukimo segera bentuk PERDA Penyelesaian Masalah Pembunuhan Aparat kepada Warga sipil/ Penggaran HAM melalui jalur Hukum 
8. Segera Copot 4 Terdakwa dari Satuan Aparat Kepolsian Negera Republik Indonesia(Polri) 
9. Segera Tangkap,Pecat dan Adili Pelaku Pembunuhan Viktor Deyal dan Segera Copot Kapolres Yahukimo 
10. Tolak seluruh Peruaan Asing diatas Tanah Papua  
11. Tolak PSN di Marauke,Wamena,Yahukimo dan Seluruh Tanah Papua 
12. Buka Akses Jurnalis Di Tanah Papua 
13. Segara Usut Tuntas Kasus Penemabakan Pdt.Yeremiaz Zanambani 
14. Segera Bebas 4 Tahan Politik NRFB tanpa Syarat 
15. Mengecek kepada Pemerintah Indonesia atas seluruh Peristiwa Pelanggaran HAM diatas Tanah Papua dari 1961 hingaa kini 
16. Segara pulangkan 100 rb Pengungsi kekampung halaman 
17. Usut Tuntas Kasus BOM Molov di Kantor Jubi Papua 
18. Buka Ruang Demoktasi di seluruh Tanah Papua dan Indonesia 
 
Sekian ! 
 ____________________________________________ Justice For Tobias Silak Komite Kota makassar 
 ____________________________________________
Makassar,27 Oktober 2025 Part 5


Pos. Admin 

Minggu, 26 Oktober 2025

SATU ABAD "PERADABAN", MARI KITA PERGI KE KOTA EMAS, PAPUA BARU.

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Teluk Wondama - Melangkah Tanpa Alas - Wondama Hari ini, seratus yang lalu (25 Oktober 1925)—sekolah modern pertama didirikan di Bukit Aitumeri, Miei, Teluk Wondama yang tenang. Itu adalah hari yang sejuk ketika Misonaris Zending I.S Kijne mulai mendirikan sekolah modern bagi anak-anak kulit hitam rambut keriting yang bertelanjang kaki di tanah yang permai. Fajar menyinsing dan peradaban baru mulai merekah di tanah Papua. 

I.S Kijne bernama lengkap Domine Izaac Samuel Kijne dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1899 dari pasangan Hugorinus Kijne dan Maria Fige'e—seorang Yahudi yang bekerja sehari-hari sebagai guru sekolah. Ayahnya adalah tukang kayu di Vlaardingen, sebuah kota kecil di Negeri Belanda. 

Sejak kecil Kijne menunjukkan bakat yang luar biasa. Ia pandai berhitung dan cepat dalam membaca. Ayahnya mendaftarkan dia di sekolah dasar di kampung halaman mereka. Kemudian ia lanjut ke sekolah menengah pertama dan tamat pada tahun 1914. Pada tahun yang sama ia melanjutkan studi ke sekolah guru Klokenburg Nijmegen dan tamat tahun 1918. Setelah tamat, ia kembali ke Kota asalnya, Vlaardingen untuk menjadi guru. 

Saat itu arus ekonomi-politik sedang berkecamuk. Dunia sedang masuk dalam fase krisis paling parah yang berujung pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) antara kekuatan-kekuatan imperialis utama. Saat itu, Belanda telah jauh hari mematok kekuasaanya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), tetapi belum mengontrol sepenuhnya tanah orang-orang kulit hitam rambut keriting, yang dikenal sebagai Papua hari ini. 

Inggris dan Jerman terus memaksa dari arah Timur, mengancam merebut Papua secara keseluruhan. Tidak tinggal diam, Belanda kemudian merubah haluan dan mulai memperluas pengaruhnya di tanah itu. Pertama mereka mengirim Zeendlin Ottow dan Geissler pada tahun 1855, kemudian diikuti dengan para peniliti dan penjelajah untuk mengkafling tanah Papua. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan, maka Belanda memulai kampanye dengan perekrutan kaum muda untuk mengadi ke tanah Papua. Disinilah Kijne muda mulai tertarik dengan tanah Papua—sebuah pilihan yang kemudian ia cintai untuk selama-lamanya.

Pertama-tama, Kijne mulai melanjutkan studi Akta Kepala Sekolah (Acte Hoofdonderwijzer) selama 2 tahun (1918-1920,) dan kursus bahasa Melayu (1921) dengan memperoleh Akta Pengetahuan Berbahasa Melayu (Acte Maleis-Lan En Volkenkunde). Setelah lulus, ia kemudian dikirim ke Jerman untuk sekolah musik, seni suara, budaya, dan melukis. Lalu pada tahun 1921-22 ia masuk pusat Zending Oegstgeest sebelum akhirnya dikirim ke tanah Papua. 

II. Menuju Papua dan Sentuhan Awal.

Januari tahun 1923, bersama kedua rekannya F. Slump dan Eygendaal, I.S Kijne meninggalkan tanah kelahirannya dan menuju tanah yang jauh di seberang sana, yang ia tidak kenal sama sekali. Hari itu langit cerah dan kapal yang mereka tumpangi meninggalkan Roterdam Negeri Belanda menuju Guinea Afrika Barat, Batvia, sebelum sampai ke Mansinam. Butuh 5 bulan dalam perjalanan, dan pada tanggal 23 Juni 1923, ia tiba di Papua dengan selamat.

Tidak ada sambutan istimewa, semua hilir-mudik seperti biasa. Tetapi tujuan Kijne bukanlah pujian, melainkan pengabdian. Berdasarkan cerita dari temannya Willem Van Hasselt, anak dari F.J.F Hasselt Ketua Zending saat itu dan kenyataan yang ia saksikan sendiri, bahwa satu-satunya kebutuhan mendesak saat ini adalah pendidikan bagi anak-anak asli daerah agar kelak mereka menjadi tenaga-tenaga pembangun di atas tanahnya sendiri. Inilah yang kemudian membulatkan tekad I.S Kijne untuk secara serius membangun pendidikan di tanah Papua.

Saat itu di Mansinam, Ottow dan Geissler sudah mendirikan sebuah sekolah guru, tetapi ini tidak berjalan maksimal dan kualitasnya buruk. Ditambah dengan kesombongan dan ejekan dari orang-orang Kei, Ambon, Sanghie, dll yang saat itu juga berada di Mansinam, membuat anak-anak Papua tidak ingin pergi ke sekolah dan ingin tetap di luar saja. Melihat kondisi itu, Kijne mulai tergerak untuk mendirikan sekolah yang dikhususkan hanya bagi anak-anak Papua supaya kelak mereka "menjadi tuan di atas tanahnya sendiri" seperti yang dinubuatkan olehnya kemudian hari. 

Kijne kemudian mulai mempelajari karakter anak-anak Papua saat itu, seni mereka, keterampilan mereka, budaya mereka, watak dan gaya mereka lalu kemudian memutuskan untuk mendirikan sekolah bagi mereka. Tetapi tantangannya adalah apabila sekolah didirikan lagi di Mansinam, maka misinya untuk mendidik anak-anak Papua akan terganggu dengan kehadiran para migran yang mulai banyak saat itu. Disinilah jalan terbuka, atas usul dari dua Zendling D.B Starrenburg dan D.C.A Bout yang saat itu sudah bertugas di Wondama, bahwa tempat di sana sangat cocok bagi sekolah yang dimaksud oleh I.S Kijne. Inilah awal mula ia tahu tentang Wondama, teluk yang yang indah nan permai itu. 

III. Wondama.

Awal Januai 1925, I.S Kijne betolak ke Wondama dari Mansinam untuk melihat-lihat kondisi disana. Suasana Wondama sangat tenang dan teduh, tanahnya subur dan indah, serta kampung-kampungya berdekatan sehingga sangat cocok apabila para siswa berpraktek dan lansung berkontak dengan masyarakat sekitar. Juga, sangat bagus apabila sekolah berasrama ditempatkan disana. Kijne akhirnya memutuskan bahwa disinilah tempatnya, dan pusatnya akan ditempatkan di Bukit Aitumeri yang letaknya tidak jauh dari perkampungan warga.

Kemudian, pada pertengahan Januari ia kembali ke Mansinam dan mengumpulkan anak-anak Papua yang akan ia didik serta keperluan-keperluan lain. Delapan bulan kemudian, segala persiapan telah rampung dan I.S Kijne telah siap untuk kembali ke Wondama. Itulah, tanggal 25 Oktober 1925 ia tiba dengan 35 orang murid yang telah ia rekrut untuk disekolahkan. Mereka semua adalah anak-anak Papua dari berbagai latar belakang, dan merupakan bejana yang kosong dan siap dibentuk oleh tangan seniman yang handal. 

IV. Permulaan Pengetahuan dan Pengenalan Jati Diri Bangsa.

Setelah tiba di Bukit Aitumeri, keesokan harinya I.S Kijne berkiling bukit Aitumeri untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Dan disana ia menemukan satu buah batu besar, tempat yang akan ia jadikan untuk berdoa dan melatih anak-anak bermain musik, tarik suara, dan lain-lain. Di atas batu inilah, I.S Kijne menulis:

"DI ATAS BATU INI, SAYA MELETAKKAN PERADABAN ORANG PAPUA. SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT, TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.” 

Semua murid yang ada saat itu adalah anak-anak Papua dari berbagai daerah. Mulai dari Biak, Jayapura, Manokwari, Mairasi, Sorong, hingga beberapa daerah lain di Papua. Mereka berkumpul dan saling mengenal satu sama lain. Tidak ada lagi perbedaan, tidak ada lagi sekat-sekat, yang ada hanya satu, Papua. Disinilah kesadaran tentang satu ras, satu warna kulit, satu peradaban—mulai muncul. Inilah awal mula pengatahuan dan pengenalan jati diri bangsa, yang secara tepat oleh sejarawan disebut sebagai embrio nasionalisme Papua.

Murid-murid inilah yang kemudian menjadi intelektual-inteletual pertama di Papua. Mereka memainkan peran sebagai kembang-kembang yang membawa sinar kemana-mana, menyinari seluruh bangsa Papua. Hingga tahun 1932, I.S Kijne kembali ke Belanda untuk meminang kekasihnya, Ny. Johana Regina Uitenbogaard lalu bersamanya kembali ke Aitumeri untuk melanjutkan pelayanannya mendidik generasi bangsa Papua yang tengah bangkit hingga tahun 1941.

I.S Kijne lalu dipindahkan ke Joka, Jayapura sebagai Direktur di Institut Joka (1949-1951) sebelum akhirnya kembali negeri asalnya, Vlaardingen. Bersamaan dengan itu, sekolah di Aitumeri pun tutup. 

IV. Kemana Kita Harus Pergi?

 23 tahun setelah nubutan pertama di Bukit Aitumeri, di atas geladak kapal KM Zee Aen di Dermaga Serui medio September 1958, ketika I.S Kijne bersama kekasihnya Ny. Johana dipaksa meninggalkan tanah yang telah mereka garap sepenuh hati itu sebagai akibat dari nafsu Indonesia yang ingin menguasai Papua, I.S Kijne berkata:

"Aku pergi dengan keyakinan tanah dan bangsa Papua akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kepentingan politik atas segala kekayaan dan hasil tanah itu, tetapi mereka tidak akan membangun Papua dengan kasih sayang, sebab kebenaran dan keadilan akan diputar-balikkan serta banyak hal baru yang akan membuat orang Papua menyesal tetapi itu bukan maksud Tuhan, melainkan keinginan manusia."

Kapal Zee Aen meninggalkan Papua pergi untuk tidak kembali lagi. Tanggal 1 Mei 1963 Indonesia mengambil alih kontrol Papua secara penuh dan melancarkan serangkaian pembunuhan massal serta penipuan paling menjijikan yang belum dikenal sebumnya. Tahun 1969, setelah membunuh ribuan orang Papua dan merekayasa kesepakatan New York 1962, Indonesia secara resmi menduduki Papua pada tahun 1969 melalui Pepera yang penuh tipu daya dan tidak masuk akal.

Sejak saat itu dan sebelumnya, bangsa Papua yang dipersiapkan oleh Kijne berubah menjadi lautan darah, penuh kekerasan, dan tipu daya. Hutan-hutan alam dibabat tanpa ampun, bekas galian mengaga seperti luka busuk, dan manusianya dibunuh setiap hari seperti anjing di warung RW. Terbaru 12 orang warga sipil dibunuh dalam waktu hanya 3 jam di Kampung Soanggama Intan Jaya, dan pelakunya adalah bangsa asing yang ingin meguasai kekayaan alam seperti nubuatan I.S Kijne.

Sekarang pertanyaannya, harus kemana bangsa Papua? I.S Kijne sudah mengatakan dengan jelas bahwa "sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, marifat dan akal budi, tidak akan mampu memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri." Kata-kata itu dengan jelas merujuk bahwa bangsa lain, termasuk bangsa Indonesia, tidak akan dapat mampu membangun bangsa Papua, KECUALI BANGSA PAPUA BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.

Pengalaman kita 60an tahun bersama Indonesia sudah memberikan bukti-bukti yang kuat. Bahwa alih-alih bergerak maju, kita semakin hancur dan terseok-seok di atas tanah kita sendiri. Manusianya semakin hari semakin minoritas, sementara penduduk asing semakin mendominasi. Air kita diracuni, mahkota kita dibakar, hutan dibabat, tanah dikeruk, lalu kita tetap dalam keadaan miskin dan teraniya. 

Kalimat "BANGKIT MEMIMPIN DIRINYA" sendiri jelas menunjukkan bahwa bangsa Papua dan hanya bangsa Papua yang dapat memimpin dirinya sendiri. Ini berarti semua bangsa asing, termasuk Indonesia harus angkat kaki dari tanah Papua. Kalimat ini jelas merujuk pada tujuan yang jelas, Papua harus lepas dari kekangan bangsa asing (Indonesia) dan merdeka-berdaulat di atas tanah airnya. Papua Baru, Papua Merdeka!

=<>=

Ditulis oleh Musell M Safkaur, memperingati I Abad "Peradaban" Papua, 25 Oktober 2025.

_______

Sumber:

1. Hanz Wanma, "Domine Izak Samuel Kijne, Mengenang Hidup dan Karyanya Untuk Tanah dan Bangsa Papua", JW Press, 2016.

2. Yason Ngelia, "Gerakan Mahasiswa Papua", Apro Publisher 2019.

3. P.J Drooglever, "Tindakkan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri", Kanisius 2010.

4. Panita Jubelium Emas 150 Tahun Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua, "Hidup dan Karya Rasul Papua Gotlob Geissler", 2005.

5. Jemaat GKI Diaspora Papua, "I.S Kijne Cita dan Pengorbanannya Untuk Bangsa Kulit Hitam di Timur Lautan Teduh", 2022.

6. Albert Rumbekwan, "Seratus Tahun Nubuatan D.S I.S Kijne, Refleksi Seabad Iman dan Enam Puluh Sembilan Tahun GKI di Tanah Papua", 2025.

Terlampir foto-foto koleksi dari penulis.

Oleh: Elius Heluka.

Pos. Admin 


SATU ABAD "PERADABAN", MARI KITA PERGI KE KOTA EMAS, PAPUA BARU.

Hari ini, seratus Tahun yang lalu (25 Oktober 1925)—sekolah modern pertama didirikan di Bukit Aitumeri, Miei, Teluk Wondama yang tenang. Itu adalah hari yang sejuk ketika Misonaris Zending I.S Kijne mulai mendirikan sekolah modern bagi anak-anak kulit hitam rambut keriting yang bertelanjang kaki di tanah yang permai. Fajar menyinsing dan peradaban baru mulai merekah di tanah Papua. 

I.S Kijne bernama lengkap Domine Izaac Samuel Kijne dilahirkan pada tanggal 1 Mei 1899 dari pasangan Hugorinus Kijne dan Maria Fige'e—seorang Yahudi yang bekerja sehari-hari sebagai guru sekolah. Ayahnya adalah tukang kayu di Vlaardingen, sebuah kota kecil di Negeri Belanda. 

Sejak kecil Kijne menunjukkan bakat yang luar biasa. Ia pandai berhitung dan cepat dalam membaca. Ayahnya mendaftarkan dia di sekolah dasar di kampung halaman mereka. Kemudian ia lanjut ke sekolah menengah pertama dan tamat pada tahun 1914. Pada tahun yang sama ia melanjutkan studi ke sekolah guru Klokenburg Nijmegen dan tamat tahun 1918. Setelah tamat, ia kembali ke Kota asalnya, Vlaardingen untuk menjadi guru. 

Saat itu arus ekonomi-politik sedang berkecamuk. Dunia sedang masuk dalam fase krisis paling parah yang berujung pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) antara kekuatan-kekuatan imperialis utama. Saat itu, Belanda telah jauh hari mematok kekuasaanya di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), tetapi belum mengontrol sepenuhnya tanah orang-orang kulit hitam rambut keriting, yang dikenal sebagai Papua hari ini. 

Inggris dan Jerman terus memaksa dari arah Timur, mengancam merebut Papua secara keseluruhan. Tidak tinggal diam, Belanda kemudian merubah haluan dan mulai memperluas pengaruhnya di tanah itu. Pertama mereka mengirim Zeendlin Ottow dan Geissler pada tahun 1855, kemudian diikuti dengan para peniliti dan penjelajah untuk mengkafling tanah Papua. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan, maka Belanda memulai kampanye dengan perekrutan kaum muda untuk mengadi ke tanah Papua. Disinilah Kijne muda mulai tertarik dengan tanah Papua—sebuah pilihan yang kemudian ia cintai untuk selama-lamanya.

Pertama-tama, Kijne mulai melanjutkan studi Akta Kepala Sekolah (Acte Hoofdonderwijzer) selama 2 tahun (1918-1920,) dan kursus bahasa Melayu (1921) dengan memperoleh Akta Pengetahuan Berbahasa Melayu (Acte Maleis-Lan En Volkenkunde). Setelah lulus, ia kemudian dikirim ke Jerman untuk sekolah musik, seni suara, budaya, dan melukis. Lalu pada tahun 1921-22 ia masuk pusat Zending Oegstgeest sebelum akhirnya dikirim ke tanah Papua. 

II. Menuju Papua dan Sentuhan Awal.

Januari tahun 1923, bersama kedua rekannya F. Slump dan Eygendaal, I.S Kijne meninggalkan tanah kelahirannya dan menuju tanah yang jauh di seberang sana, yang ia tidak kenal sama sekali. Hari itu langit cerah dan kapal yang mereka tumpangi meninggalkan Roterdam Negeri Belanda menuju Guinea Afrika Barat, Batvia, sebelum sampai ke Mansinam. Butuh 5 bulan dalam perjalanan, dan pada tanggal 23 Juni 1923, ia tiba di Papua dengan selamat.

Tidak ada sambutan istimewa, semua hilir-mudik seperti biasa. Tetapi tujuan Kijne bukanlah pujian, melainkan pengabdian. Berdasarkan cerita dari temannya Willem Van Hasselt, anak dari F.J.F Hasselt Ketua Zending saat itu dan kenyataan yang ia saksikan sendiri, bahwa satu-satunya kebutuhan mendesak saat ini adalah pendidikan bagi anak-anak asli daerah agar kelak mereka menjadi tenaga-tenaga pembangun di atas tanahnya sendiri. Inilah yang kemudian membulatkan tekad I.S Kijne untuk secara serius membangun pendidikan di tanah Papua.

Saat itu di Mansinam, Ottow dan Geissler sudah mendirikan sebuah sekolah guru, tetapi ini tidak berjalan maksimal dan kualitasnya buruk. Ditambah dengan kesombongan dan ejekan dari orang-orang Kei, Ambon, Sanghie, dll yang saat itu juga berada di Mansinam, membuat anak-anak Papua tidak ingin pergi ke sekolah dan ingin tetap di luar saja. Melihat kondisi itu, Kijne mulai tergerak untuk mendirikan sekolah yang dikhususkan hanya bagi anak-anak Papua supaya kelak mereka "menjadi tuan di atas tanahnya sendiri" seperti yang dinubuatkan olehnya kemudian hari. 

Kijne kemudian mulai mempelajari karakter anak-anak Papua saat itu, seni mereka, keterampilan mereka, budaya mereka, watak dan gaya mereka lalu kemudian memutuskan untuk mendirikan sekolah bagi mereka. Tetapi tantangannya adalah apabila sekolah didirikan lagi di Mansinam, maka misinya untuk mendidik anak-anak Papua akan terganggu dengan kehadiran para migran yang mulai banyak saat itu. Disinilah jalan terbuka, atas usul dari dua Zendling D.B Starrenburg dan D.C.A Bout yang saat itu sudah bertugas di Wondama, bahwa tempat di sana sangat cocok bagi sekolah yang dimaksud oleh I.S Kijne. Inilah awal mula ia tahu tentang Wondama, teluk yang yang indah nan permai itu. 

III. Wondama.

Awal Januai 1925, I.S Kijne betolak ke Wondama dari Mansinam untuk melihat-lihat kondisi disana. Suasana Wondama sangat tenang dan teduh, tanahnya subur dan indah, serta kampung-kampungya berdekatan sehingga sangat cocok apabila para siswa berpraktek dan lansung berkontak dengan masyarakat sekitar. Juga, sangat bagus apabila sekolah berasrama ditempatkan disana. Kijne akhirnya memutuskan bahwa disinilah tempatnya, dan pusatnya akan ditempatkan di Bukit Aitumeri yang letaknya tidak jauh dari perkampungan warga.

Kemudian, pada pertengahan Januari ia kembali ke Mansinam dan mengumpulkan anak-anak Papua yang akan ia didik serta keperluan-keperluan lain. Delapan bulan kemudian, segala persiapan telah rampung dan I.S Kijne telah siap untuk kembali ke Wondama. Itulah, tanggal 25 Oktober 1925 ia tiba dengan 35 orang murid yang telah ia rekrut untuk disekolahkan. Mereka semua adalah anak-anak Papua dari berbagai latar belakang, dan merupakan bejana yang kosong dan siap dibentuk oleh tangan seniman yang handal. 

IV. Permulaan Pengetahuan dan Pengenalan Jati Diri Bangsa.

Setelah tiba di Bukit Aitumeri, keesokan harinya I.S Kijne berkiling bukit Aitumeri untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Dan disana ia menemukan satu buah batu besar, tempat yang akan ia jadikan untuk berdoa dan melatih anak-anak bermain musik, tarik suara, dan lain-lain. Di atas batu inilah, I.S Kijne menulis:

"DI ATAS BATU INI, SAYA MELETAKKAN PERADABAN ORANG PAPUA. SEKALIPUN ORANG MEMILIKI KEPANDAIAN TINGGI, AKAL BUDI DAN MARIFAT, TETAPI TIDAK DAPAT MEMIMPIN BANGSA INI, BANGSA INI AKAN BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.” 

Semua murid yang ada saat itu adalah anak-anak Papua dari berbagai daerah. Mulai dari Biak, Jayapura, Manokwari, Mairasi, Sorong, hingga beberapa daerah lain di Papua. Mereka berkumpul dan saling mengenal satu sama lain. Tidak ada lagi perbedaan, tidak ada lagi sekat-sekat, yang ada hanya satu, Papua. Disinilah kesadaran tentang satu ras, satu warna kulit, satu peradaban—mulai muncul. Inilah awal mula pengatahuan dan pengenalan jati diri bangsa, yang secara tepat oleh sejarawan disebut sebagai embrio nasionalisme Papua.

Murid-murid inilah yang kemudian menjadi intelektual-inteletual pertama di Papua. Mereka memainkan peran sebagai kembang-kembang yang membawa sinar kemana-mana, menyinari seluruh bangsa Papua. Hingga tahun 1932, I.S Kijne kembali ke Belanda untuk meminang kekasihnya, Ny. Johana Regina Uitenbogaard lalu bersamanya kembali ke Aitumeri untuk melanjutkan pelayanannya mendidik generasi bangsa Papua yang tengah bangkit hingga tahun 1941.

I.S Kijne lalu dipindahkan ke Joka, Jayapura sebagai Direktur di Institut Joka (1949-1951) sebelum akhirnya kembali negeri asalnya, Vlaardingen. Bersamaan dengan itu, sekolah di Aitumeri pun tutup. 

IV. Kemana Kita Harus Pergi?

 23 tahun setelah nubutan pertama di Bukit Aitumeri, di atas geladak kapal KM Zee Aen di Dermaga Serui medio September 1958, ketika I.S Kijne bersama kekasihnya Ny. Johana dipaksa meninggalkan tanah yang telah mereka garap sepenuh hati itu sebagai akibat dari nafsu Indonesia yang ingin menguasai Papua, I.S Kijne berkata:

"Aku pergi dengan keyakinan tanah dan bangsa Papua akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kepentingan politik atas segala kekayaan dan hasil tanah itu, tetapi mereka tidak akan membangun Papua dengan kasih sayang, sebab kebenaran dan keadilan akan diputar-balikkan serta banyak hal baru yang akan membuat orang Papua menyesal tetapi itu bukan maksud Tuhan, melainkan keinginan manusia."

Kapal Zee Aen meninggalkan Papua pergi untuk tidak kembali lagi. Tanggal 1 Mei 1963 Indonesia mengambil alih kontrol Papua secara penuh dan melancarkan serangkaian pembunuhan massal serta penipuan paling menjijikan yang belum dikenal sebumnya. Tahun 1969, setelah membunuh ribuan orang Papua dan merekayasa kesepakatan New York 1962, Indonesia secara resmi menduduki Papua pada tahun 1969 melalui Pepera yang penuh tipu daya dan tidak masuk akal.

Sejak saat itu dan sebelumnya, bangsa Papua yang dipersiapkan oleh Kijne berubah menjadi lautan darah, penuh kekerasan, dan tipu daya. Hutan-hutan alam dibabat tanpa ampun, bekas galian mengaga seperti luka busuk, dan manusianya dibunuh setiap hari seperti anjing di warung RW. Terbaru 12 orang warga sipil dibunuh dalam waktu hanya 3 jam di Kampung Soanggama Intan Jaya, dan pelakunya adalah bangsa asing yang ingin meguasai kekayaan alam seperti nubuatan I.S Kijne.

Sekarang pertanyaannya, harus kemana bangsa Papua? I.S Kijne sudah mengatakan dengan jelas bahwa "sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, marifat dan akal budi, tidak akan mampu memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri." Kata-kata itu dengan jelas merujuk bahwa bangsa lain, termasuk bangsa Indonesia, tidak akan dapat mampu membangun bangsa Papua, KECUALI BANGSA PAPUA BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI.

Pengalaman kita 60an tahun bersama Indonesia sudah memberikan bukti-bukti yang kuat. Bahwa alih-alih bergerak maju, kita semakin hancur dan terseok-seok di atas tanah kita sendiri. Manusianya semakin hari semakin minoritas, sementara penduduk asing semakin mendominasi. Air kita diracuni, mahkota kita dibakar, hutan dibabat, tanah dikeruk, lalu kita tetap dalam keadaan miskin dan teraniya. 

Kalimat "BANGKIT MEMIMPIN DIRINYA" sendiri jelas menunjukkan bahwa bangsa Papua dan hanya bangsa Papua yang dapat memimpin dirinya sendiri. Ini berarti semua bangsa asing, termasuk Indonesia harus angkat kaki dari tanah Papua. Kalimat ini jelas merujuk pada tujuan yang jelas, Papua harus lepas dari kekangan bangsa asing (Indonesia) dan merdeka-berdaulat di atas tanah airnya. Papua Baru, Papua Merdeka!

=<>=

Ditulis oleh Musell M Safkaur, memperingati I Abad "Peradaban" Papua, 25 Oktober 2025.

_______

Sumber:

1. Hanz Wanma, "Domine Izak Samuel Kijne, Mengenang Hidup dan Karyanya Untuk Tanah dan Bangsa Papua", JW Press, 2016.

2. Yason Ngelia, "Gerakan Mahasiswa Papua", Apro Publisher 2019.

3. P.J Drooglever, "Tindakkan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri", Kanisius 2010.

4. Panita Jubelium Emas 150 Tahun Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua, "Hidup dan Karya Rasul Papua Gotlob Geissler", 2005.

5. Jemaat GKI Diaspora Papua, "I.S Kijne Cita dan Pengorbanannya Untuk Bangsa Kulit Hitam di Timur Lautan Teduh", 2022.

6. Albert Rumbekwan, "Seratus Tahun Nubuatan D.S I.S Kijne, Refleksi Seabad Iman dan Enam Puluh Sembilan Tahun GKI di Tanah Papua", 2025.

Kutipan inspiratif, Victor Yeimo 

Post Kaka Victor Yeimo 

Hari ini, genap satu abad nubuat I.S. Kijne, jika dibahasakan lugas: "kolonialisme tidak akan membangun bangsa Papua. Papua hanya akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri ketika rakyat berani berjuang menentukan nasibnya sendiri". Bukan politisasi, tapi karena memang Kijne mengatakan itu di tengah kolonialisme Belanda (Eropa) yang merasa pemilik peradaban, dan kini kolonialisme Indonesia. 

Inti pesan nubuat tidak berubah: bangsa Papua tidak bisa dibangun oleh bangsa lain. Setiap bentuk “pembangunan” yang dikendalikan oleh kekuasaan luar hanyalah alat untuk memperpanjang ketergantungan dan menundukkan rakyat. Peradaban Papua hanya akan tumbuh dari tangan rakyatnya sendiri, ketika mereka berani berpikir, bertindak, dan berdiri atas kaki sendiri.

Hari ini, bangsa Papua hidup dalam sistem kolonialisme yang menyamar sebagai pembangunan. Negara menguasai tanah, hutan, dan laut dengan dalih kesejahteraan, tetapi sesungguhnya memperkuat eksploitasi. Kekerasan militer, proyek infrastruktur, dan ekspansi investasi bekerja bersama untuk melemahkan kontrol rakyat atas ruang hidup mereka. Pendidikan dibentuk untuk mencetak buruh, bukan pemimpin; media dibungkam agar rakyat kehilangan arah; dan elit lokal dipelihara untuk menjadi juru bicara kolonial di hadapan bangsanya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, rakyat Papua harus membangun sistem sosial, politik, dan ekonomi yang sepenuhnya berakar pada nilai dan kekuatan lokal. Kemandirian politik berarti rakyat menentukan arah perjuangan sendiri tanpa menunggu izin kekuasaan. Kemandirian ekonomi berarti rakyat mengelola tanah, hasil hutan, laut, dan tambang untuk kepentingan bersama, bukan bagi modal asing. Dan kemandirian budaya berarti rakyat menulis, bernyanyi, dan berkarya dengan kebanggaan atas jati diri sendiri, bukan meniru gaya kolonial.

Kebangkitan Papua juga menuntut gerakan literasi nasional Papua sebagai senjata utama melawan penjajahan intelektual. Penindasan tidak hanya terjadi di tanah, tetapi juga dalam pikiran. Kurikulum kolonial menanamkan rasa rendah diri dan meniadakan sejarah perjuangan. Karena itu, gerakan literasi Papua harus dibangun untuk menulis sejarah dari perspektif rakyat sendiri, menggali filosofi dan nilai adat, serta menumbuhkan pemikiran kritis di setiap kampung, sekolah, dan gereja.

Gerakan ini harus melahirkan dekolonisasi intelektual, yakni pembebasan pikiran dari pengetahuan dan nilai-nilai yang menindas. Intelektual Papua harus berhenti mengulang teori dari luar yang tidak memahami realitas bangsanya. Kita harus menulis, meneliti, dan berbicara dengan kesadaran perjuangan, bukan demi karier akademik dalam sistem kolonial. Setiap karya ilmiah, puisi, lagu, film, atau tulisan harus menjadi alat perjuangan, bukan alat penyesuaian terhadap kekuasaan.

Bangsa Papua perlu mengangkat kembali karya-karya intelektualnya sendiri: tulisan, musik, dan seni yang lahir dari pengalaman penindasan dan harapan. Tokoh-tokoh pemikir dan seniman Papua harus dihormati sebagai penjaga kesadaran bangsa. Karya kita bukan sekadar ekspresi budaya, tetapi fondasi bagi kesadaran nasional. Melalui literasi dan seni, rakyat Papua dapat membangun narasi tandingan, narasi yang menolak stigmatisasi kolonial dan menegaskan martabat bangsa.

Di saat yang sama, perjuangan ini menuntut persatuan nasional Papua. Politik pemekaran, otsus, dan infiltrasi pendatang hanyalah strategi pecah-belah kolonial. Rakyat Papua harus menyadari bahwa kekuatan sejati terletak pada kesatuan. Dari pesisir hingga pegunungan, setiap perbedaan bahasa, suku, dan adat harus menjadi kekuatan, bukan pemisah. Persatuan adalah perisai dari serangan ideologis dan militer kolonial.

Gerakan perlawanan juga harus menumbuhkan budaya perlawanan melalui seni, lagu, musik, dan penampilan bergaya Papua sendiri. Kolonialisme berusaha mematikan ekspresi budaya agar rakyat kehilangan rasa bangga terhadap identitasnya. Tetapi musik, tarian, dan seni Papua justru menjadi cara paling kuat untuk menegaskan keberadaan bangsa ini di tengah penindasan. Seni adalah senjata moral; lagu adalah nyanyian pembebasan; dan gaya hidup Papua adalah pernyataan bahwa bangsa ini belum mati.

Semua ini hanya akan bermakna jika diarahkan pada satu tujuan: pembebasan nasional Papua. Rakyat harus sadar bahwa perjuangan tidak akan dimenangkan oleh diplomasi yang bergantung pada belas kasihan luar negeri atau nasihat asing yang menumpulkan daya pikir sendiri. Kemerdekaan sejati tidak datang dari luar, tetapi dari kekuatan internal bangsa. Setiap langkah kemandirian dalam berpikir, mengatur ekonomi, mempertahankan wilayah, dan menulis sejarah sendiri adalah bentuk konkret dari perjuangan melawan kolonialisme.

Nubuat Kijne bisa jadi peta ideologis bagi perjuangan pembebasan nasional Papua. Ia memanggil untuk berpikir bebas, bersatu, menghormati karya bangsanya, menolak manipulasi kolonial, dan membangun peradaban dari dalam dirinya sendiri. Kolonialisme tidak akan membangun Papua, karena ia hidup dari penindasan. Tetapi Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri ketika rakyat berani berpikir, menulis, bernyanyi, dan berjuang dengan kesadaran penuh bahwa kita adalah satu bangsa, satu tanah, satu tujuan: kemerdekaan dan martabat di atas batu karang sejarahnya sendiri.

Terlampir foto-foto koleksi dari penulis.

Pos. Atmin

TPNPB Kodap VIII Intan Jaya Kembali Baku Tembak Dan TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel Tetapkan Wilayah Pengungsi

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Intan jaya Melangkah Tanpa Alas Kaki- Siaran Pers Ke II Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB Per Minggu, 26 Oktober 2025.

Silahkan Ikuti Laporan Dibawa Ini.!

Manajeman Markas Pusat KOMNAS TPNPB telah menerima laporan resmi dari Kolonel Apeni Kobogau dari medan perang di Intan Jaya bahwa pada hari Minggu, 26 Oktober 2025 telah terjadi baku tembak antara pasukan TPNPB Kodap VIII Intan Jaya melawan aparat militer indonesia di Kamage dan belum diketahui jatuhnya korban jiwa dari aparat militer indonesia. Sementara pasukan TPNPB Kodap VIII Intan Jaya dalam keadaam aman.

Kolonel Apeni Kobogau juga menegaskan kepada aparat militer indonesia bahwa jika aparat militer indonesia masih terus menduduki pemukiman warga sipil di seluruh wilayah Intan Jaya maka pasukan TPNPB siap duduki pusat kota Sugapa dan menegaskan kepada intelektual Intan Jaya yang sedang membuka jalan trans untuk kepentingan mobilisasi militer indonesia maka kami berikan warning. Dan saya juga menyampaikan turut berduka cita atas wafatnya Brigjend Undius Kogoya dan Brigjend Lamek Taplo yang gugur terkena ledakan bom aparat militer indonesia di Kiwirok.

Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB juga telah menerima laporan resmi dari pasukan TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel bahwa disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Panglima TNI untuk segera hentikan serangan bom dari udara di Kiwirok, terlebih khususnya di tempat-tempat pengungsian. Karena pertempuran meningkat sejak bulan September 2025 aparat militer indonesia terus melakukan serangan bom udara, penembakan brutal menggunakan senjata mesin dari pesawat dan helikopter militer mengakibatkan warga sipil banyak manjadi korban dan pengungsian meningkat dan masih berada di hutan-hutan.

Pasukan TPNPB Kodap XV Ngalum Kupel juga melaporkan bahwa situasi bagi warga pengungsi di Kiwirok semakin memburuk karena kurangnya akses makanan dan obat-obatan bagi warg sipil. Sehingga disampaikan kepada Palang Merah Internasional untuk dapat membantu warga sipil yang terkena dampak konflik bersenjata dan sedang mengungsi di hutan-hutan, wilayah pengungsi kami sudah tetapkan sehingga aparat militer indonesia diminta untuk tidak melakukan serangan bom melalui roket, drone dan pesawat tempur serta helikopter militer dengan sembarangan.

Demikian Siaran Pers Ke II Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB Per Minggu, 26 Oktober 2025 oleh Sebby Sambom Jubir TPNPB OPM.

Penanggung Jawab Komando Markas Pusat Komando Nasional TPNPB-OPM

Jenderal Goliat Tabuni
Panglima Tinggi TPNPB-OPM

Letnan Jenderal Melkisedek Awom
Wakil Panglima TPNPB-OPM

Mayor Jenderal Terianus Satto
Kepala Staf Umum TPNPB-OPM

Mayor Jenderal Lekagak Telenggen
Komandan Operasi Umum TPNPB-OPM

Pos. Admin 

Kesadaran ini Muncul Ketika Kamu Melatih Otak untuk Membaca Sinyal Emosi, Bukan Melawannya

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua-Kota Jakarta- Melangkah Tanpa Alas Kaki- Ada yang menarik dari otak manusia: ia bisa berpikir jernih, tapi juga mudah terbakar oleh emosi. Semakin tinggi sensitivitas tanpa diimbangi kesadaran, semakin rapuh kemampuan berpikir. 

Dalam riset yang dilakukan oleh Daniel Goleman, pakar emotional intelligence dari Harvard, ditemukan bahwa 80% keberhasilan seseorang ditentukan bukan oleh IQ, tetapi oleh kemampuan mengelola emosi. Artinya, seberapa kuat otakmu bukan diukur dari hafalan dan logika, tapi dari seberapa stabil kamu saat dunia menekanmu dari segala arah.

Kita hidup di era komentar cepat dan opini instan. Seseorang tersinggung hanya karena nada pesan yang salah, ekspresi yang dianggap sinis, atau postingan yang tak sesuai selera. Otak yang lemah bereaksi secara otomatis: menyerang, menolak, atau merasa jadi korban. Sedangkan otak yang kuat menunda reaksi, membaca konteks, lalu memutuskan dengan sadar. Daya pikir emosional adalah kemampuan untuk menunda respon emosional agar logika sempat bekerja. Inilah seni berpikir yang tidak diajarkan di sekolah, tapi menentukan kedewasaan berpikir seseorang.

1. Emosi bukan musuh, tapi sinyal

Banyak orang mengira bahwa menjadi kuat berarti menekan emosi. Padahal, justru sebaliknya: orang yang sehat emosinya bukan yang tidak marah, tapi yang tahu kenapa ia marah. Emosi adalah sinyal biologis, bukan musuh yang harus dimusnahkan. Dalam konteks otak, amigdala adalah pusat emosi yang sering kali bereaksi lebih cepat dari neokorteks, bagian otak yang berpikir.

Contoh sederhana, ketika seseorang mengkritikmu di depan umum, otak otomatis menganggap itu ancaman. Tapi jika kamu memberi jeda, kamu akan sadar bahwa mungkin kritik itu benar, atau sekadar cara bicara orang yang kasar. Kesadaran ini muncul ketika kamu melatih otak untuk membaca sinyal emosi, bukan melawannya. Di Logika Filsuf, pembahasan seperti ini sering dielaborasi lebih dalam untuk membantu kamu mengenali pola reaksi emosional dan mengubahnya jadi kekuatan berpikir.

2. Otak lemah bereaksi, otak kuat merespons

Reaksi adalah tindakan spontan yang lahir tanpa pikir panjang. Respons adalah hasil dari jeda sadar. Orang yang tersinggung cepat biasanya dikuasai oleh sistem saraf simpatik: tubuh siap melawan. Tapi orang yang kuat emosionalnya menenangkan sistem itu dulu sebelum bertindak. Ia tidak menolak rasa tersinggung, tapi mengolahnya agar tidak menguasai pikiran.

Dalam kehidupan sehari-hari, ini tampak ketika seseorang disindir di media sosial. Otak lemah langsung membalas dengan sindiran balik. Otak kuat memilih diam, menunggu, lalu menjawab dengan logika. Saat kamu melatih kemampuan menunda reaksi, kamu sedang memperkuat hubungan antara bagian emosional dan rasional di otakmu.

3. Daya pikir emosional lahir dari kesadaran diri

Seseorang tidak bisa mengendalikan apa yang tidak ia sadari. Itulah kenapa kesadaran diri adalah pondasi dari kecerdasan emosional. Ketika kamu tahu pola emosimu—kapan kamu cenderung tersinggung, apa pemicunya, dan apa narasi di kepalamu—maka kamu tidak lagi jadi budak dari emosimu sendiri.

Misalnya, kamu menyadari bahwa kamu mudah marah saat lelah. Dengan kesadaran itu, kamu bisa memilih untuk tidak berdebat ketika tubuhmu sedang tidak stabil. Ini bukan sekadar kontrol diri, tapi bentuk kecerdasan emosional yang matang. Kesadaran membuatmu mampu berpikir lebih jernih karena kamu mengerti dirimu sebelum menilai orang lain.

4. Emosi yang tidak dikelola akan menipu logika

Saat marah, otakmu menipu dirimu sendiri. Ia membuatmu percaya bahwa kamu benar dan orang lain salah. Inilah yang disebut amygdala hijack oleh Goleman, ketika emosi mengambil alih fungsi rasional. Akibatnya, keputusan yang dibuat di bawah tekanan emosional hampir selalu buruk.

Contoh nyatanya terlihat dalam hubungan kerja. Seorang atasan yang tersinggung oleh kritik bawahannya bisa menganggap kritik itu sebagai bentuk pembangkangan, padahal mungkin itu masukan konstruktif. Ketika logika dikuasai emosi, realitas menjadi kabur. Latihan daya pikir emosional adalah tentang mengembalikan kendali itu ke tangan kesadaran.

5. Ketenangan bukan lemah, tapi bentuk kekuatan berpikir

Dalam budaya yang mengagungkan respon cepat, diam dianggap kalah. Padahal, diam sering kali adalah strategi tertinggi dari pikiran yang kuat. Otak yang mampu menahan diri berarti otak yang telah terlatih membaca situasi sebelum mengambil tindakan.

Coba lihat orang-orang besar dalam sejarah: Marcus Aurelius, Buddha, bahkan Nelson Mandela. Mereka tidak mudah bereaksi pada hinaan atau ketidakadilan. Mereka mengolahnya menjadi tindakan sadar. Daya pikir emosional bukan tentang menahan amarah, tapi mengubah energi emosional menjadi kebijaksanaan tindakan.

6. Pikiran tenang adalah pikiran tajam

Ketika emosi reda, otak berpikir dengan kapasitas penuh. Fokus meningkat, perspektif meluas, dan keputusan jadi lebih objektif. Itulah sebabnya mengapa orang yang tenang terlihat lebih “pintar” dalam menyelesaikan masalah. Otak yang jernih bekerja efisien, sementara otak yang gelisah menguras energi.

Contoh kecilnya terjadi dalam diskusi yang memanas. Mereka yang emosional sering kehilangan arah argumen. Sementara yang tenang mampu mengurai masalah inti dengan logis. Ketenangan bukan bawaan lahir, tapi hasil latihan kesadaran berpikir. Dan ini salah satu hal yang bisa kamu latih lewat pemahaman psikologi berpikir yang kami bahas secara mendalam di Logika Filsuf.

7. Otak kuat bukan yang tak tersinggung, tapi yang cepat pulih

Tidak ada manusia yang benar-benar kebal dari rasa tersinggung. Bedanya, otak yang kuat bisa bangkit lebih cepat dari luka emosional. Ia tidak berlama-lama dalam perasaan menjadi korban. Ia belajar dari pengalaman dan memperkuat sistem mentalnya untuk menghadapi serangan berikutnya.

Dalam konteks psikologi modern, ini disebut resilience, kemampuan otak untuk pulih dari stres. Setiap kali kamu menenangkan dirimu setelah marah, kamu sedang membangun otot kognitif baru. Daya pikir emosional tumbuh lewat latihan kecil yang konsisten bukan lewat teori, tapi pengalaman sadar dalam menghadapi diri sendiri.

Otak yang kuat bukan berarti dingin, tapi sadar. Bukan berarti tak merasa, tapi tahu kapan perasaan harus berbicara dan kapan harus diam. Karena pada akhirnya, berpikir jernih bukan tentang seberapa tinggi IQ-mu, tapi seberapa dalam kamu mengenali emosimu.

Menurutmu, apakah seseorang bisa benar-benar mengendalikan emosinya, atau hanya bisa belajar berdamai dengannya? Tulis pandanganmu di kolom komentar dan bagikan tulisan ini agar lebih banyak orang belajar memperkuat otaknya, bukan menumpulkan hatinya.

Pos. admin 

DPR Papua Tengah Paulus Mote, Mengatakan Atas Nama Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Provinsi Jangan Merusak Hutan yang Ada

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Jeruk 🍊 -Melangka Tanpa Alas Kaki - DPR Papua Tengah Paulus Mote: Mengatakan bahwa, Jang...