Harapan ke depan saya sangat sederhana: tolong temukan bapak saya, Yani Afri, yang dihilangkan paksa oleh negara 28 tahun silam.
Sejak saya kecil, kisah tentang bapak selalu samar.
Bapak pergi pada 26 April 1997 saat saya belum genap empat tahun, dan tak pernah kembali. Mulanya ibu dan nenek (dari pihak ibu) bilang bapak bekerja di luar kota. Lalu, ketika saya berusia sekitar enam atau tujuh tahun, nenek memberi tahu bahwa bapak sudah meninggal dunia. Sejak itu, saya “resmi” menjadi anak yatim.
Seiring waktu, saya mulai mendengar berita-berita yang janggal. Ada yang bilang bapak meninggal saat kerusuhan Mei 1998. Ada juga yang mengatakan bapak dipenjara. Dari semua itu, yang paling terngiang adalah kata-kata tetangga saya: bapak diculik dan dibunuh, lalu tubuhnya dibuang ke laut. Mendengar itu, saya benar-benar terkejut.
Terlebih lagi, ibu selalu berpesan agar saya tidak main jauh-jauh, seolah khawatir saya bakal diculik. Lama-kelamaan saya yakin, ada kaitan antara pesan ibu dan isu hilangnya bapak.
Makam ibu dan nenek (dari garis keturunan ibu) Hardingga di TPU Budi Dharma/Semper, Jakarta Utara. (Project M/Adrian Mulya)
Ibu baru terbuka saat ia dirawat di rumah sakit karena kanker. Ibu bercerita kalau bapak adalah “korban Reformasi”.
“Bapakmu nasibnya sampai detik ini tidak jelas,” kata ibu kala itu, saat saya berusia 15 tahun. “Kalau saya dengar cerita dari nenekmu, sejak ditangkap, bapakmu tidak pernah memberi kabar dan tidak pernah pulang ke rumah.”
Mendengarnya, perasaan saya campur aduk. Saya kaget, kecewa, dan sedih. Saya juga menyadari ada trauma cukup mendalam pada ibu. Itulah alasannya ibu tidak ingin terlibat dalam urusan mencari bapak. Pilihan itu diambil demi kelangsungan hidup saya dan adik, supaya kami tetap baik-baik saja.
Pencarian Bapak, Pencarian Kebenaran
Setelah ibu bercerita, dia menyuruh saya mengunjungi rumah Mami Tuti Koto, ibu dari bapak. Sejak bapak hilang, saya dan ibu memang tinggal beda rumah dengan mami dan kami tidak pernah berinteraksi.
Ibu lalu membekali saya dengan dua alamat, yaitu alamat rumah mami dan rumah saudara kandung bapak bernama Yusni Artatika. Namun, saya baru mengunjungi rumah mami setelah ibu meninggal.
Hardingga ziarah ke makam Mami Tuti Koto, neneknya dari garis keturunan ayah, di TPU Malaka, Jakarta Utara. Yani Afri, putra Mami Koto, dihilangkan paksa oleh negara pada 1997. Sejak itu, hingga tutup usia pada 5 November 2012, Mami Koto terus berjuang mencari keberadaan putranya. (Project M/Adrian Mulya)
Di sana, saya mendapatkan cerita lengkap tentang bapak. Mami bercerita panjang lebar mengenai kronologi bapak ditangkap hingga menghilang. Mami juga bercerita bahwa ia didampingi KontraS dan masih terus mencari keberadaan bapak.
Rasa penasaran saya makin besar. Saya mulai mencari tahu tentang peristiwa penghilangan paksa pada 1997-1998 melalui internet. Saya lalu menemukan informasi soal aksi Kamisan yang rutin berlangsung di depan Istana Negara Jakarta.
Pencarian kebenaran mengenai bapak membawa saya masuk ke dunia aktivisme. Mulanya ketika saya diundang KontraS untuk menghadiri acara ulang tahun mereka ke-20 di Jakarta pada Maret 2018. Saya diajak bermonolog di sana. Karena saya memang menyukai kesenian dan juga penasaran dengan KontraS, saya datang.
Sejak itulah muncul dorongan hati untuk mengenal lebih jauh gerakan aktivisme kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan kasus bapak saya sendiri.
Hardingga membaca buku foto Mereka yang Dipisahkan karya mendiang Raharja Waluya Jati (ELSAM, 2001). Buku ini berisi cerita foto 13 keluarga korban penghilangan paksa. Melalui buku dan internet, Hardingga berusaha mengenal lebih jauh sosok Mami Tuti Koto dan kisah perjuangannya. (Project M/Adrian Mulya)
Nama bapak, Yani Afri, dan Mami Koto rutin disebut dalam berbagai kampanye HAM, aksi Kamisan, juga keriuhan politik yang melibatkan Prabowo Subianto. Mendengarnya, hati saya sangat sakit.
Tidak ada seorang pun yang mau mengalami nasib seperti ini: orang tua diculik dan hilang. Apalagi, nama itu selalu disebut setiap hari menjelang pemilu yang lalu. Kasus penghilangan paksa selalu dibahas tapi kasusnya tidak pernah benar-benar dituntaskan. Bukan itu yang saya harapkan.
Saya berharap kasus yang menyeret nama bapak saya ini segera selesai. Jika berlarut-larut, itu sama saja memberi celah untuk berbagai kepentingan politik.
Saya merasa yakin harus terus melanjutkan perjuangan, menyuarakan suara-suara korban penghilangan paksa, karena saya merasakan penderitaan mami, ibu, dan keluarga saya sebagai dampak dari apa yang negara ini lakukan terhadap bapak.
Luka itu mendalam.
Saya tidak ingin orang lain merasakan apa yang saya rasakan. Itu alasan terkuat saya terus berjuang.
Kesedihan ini Tidak Dijual
Kliping koran yang dikumpulkan oleh mendiang Mami Tuti Koto sekarang berada di tangan Hardingga. (Project M/Adrian Mulya)
Sejak bapak dihilangkan negara, saya dan keluarga terpaksa menanggung beban ekonomi dan psikologis yang kian lama terasa kian berat.
Ibu dan mami masing-masing meninggal pada 2008 dan 2012. Sebelum tutup usia, mereka hidup dengan trauma mendalam. Ibu kadang menangis tanpa sebab. Ia selalu marah bila saya main jauh-jauh atau pulang larut malam, khawatir saya diculik. Mami pun kerap pingsan tiba-tiba. Ia sangat terguncang kehilangan anaknya.
Saya sendiri merasakan fase hidup yang berat saat pandemi Covid-19. Saya begitu terpukul setelah meninggalnya nenek yang merawat saya sejak kecil dan paman yang dekat. Kesedihan dan rasa sepi membuat saya merasa tidak berguna dalam hidup ini, bahkan sampai ingin mengakhiri hidup. Kehadiran orang-orang yang peduli dan mau menemani sangat membantu saya melewati fase tersebut.
Namun, saya tidak mau “menjual kesedihan”. Saya risih. Saya merasa kesedihan tidak seharusnya menjadi komoditas dalam perjuangan. Perjuangan menuntut keadilan sebaiknya fokus untuk mendorong rekomendasi DPR agar segera membentuk pengadilan HAM ad hoc.
Saya hanya ingin terus berjuang, meski selalu muncul pertanyaan di kepala: apakah kasus ini akan selesai?
Sejujurnya saya pesimistis, terlebih setelah muncul tawaran Rp1 miliar untuk korban penghilangan paksa dan keluarganya pada 2024.
Keadaan ekonomi keluarga saya sangat terpuruk. Seumur hidup, saldo ATM saya tidak pernah di atas Rp10 juta. Dengan uang Rp1 miliar itu mungkin saya bisa memperbaiki taraf hidup, membeli rumah atau mobil. Namun, hati ini tidak akan tenang. Maka, saya memilih untuk menolaknya.
Penyelesaian kasus ini adalah mimpi mami, juga mimpi saya. Meskipun rasanya mustahil terwujud, saya tetap menyimpan mimpi itu. Bapak saya tidak bisa ditukar dengan apa pun.
Mendiang Mami Tuti Koto bersama mendiang Nurhasanah (orang tua Yadin Muhidin, salah satu korban penghilangan paksa 1997-1998), Maria Catarina Sumarsih (ibu dari Wawan, salah satu korban Tragedi Semanggi I), dan Bedjo Untung (penyintas tragedi 1965) pada aksi Kemah HAM di depan Istana Negara pada September 2010. (Project M/Adrian Mulya)
Hardingga bersama Maria Catarina Sumarsih pada aksi Kamisan ke-888 pada 27 November 2025. (Project M/Adrian Mulya)
Sejumlah keluarga korban lain mengambil jalan berbeda dan menerima uang Rp1 miliar itu. Ini kemudian memecah belah persaudaraan kami. Padahal kami seharusnya terus saling mendukung, karena kamilah yang mengerti rasa kehilangan yang pilu ini.
Saya tidak marah dengan mereka yang memilih menerima uang itu, karena saya tahu penderitaan yang mereka alami sangat panjang dan memilukan. Saya menghormati keputusan mereka.
Saya hanya berharap agar mereka kembali berjuang bersama-sama lagi.
Menatap ke Depan
Dengan pilihan saya untuk terlibat dalam aktivisme kemanusiaan, saya tidak merasa ada yang berubah. Saya ini orang biasa saja.
Saya yakin setiap orang merupakan simbol perjuangannya masing-masing, dan saya berharap ada simbol-simbol lain yang lebih beragam karena penyelesaian kasus penghilangan paksa memerlukan sinergi banyak pihak. Yang paling penting adalah negara harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada keluarga saya.
Saat ini, saya mencoba berdamai dan menjadi lebih dekat dengan diri sendiri di Salatiga. Saya pindah ke sana dari Jakarta sejak awal 2025. Saya senang karena akhirnya menemukan komunitas yang sehobi. Saya dapat bermusik dan belajar menulis.
Hardingga menunggu tampil di acara peluncuran Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 di M Bloc Space, Jakarta Selatan, pada 1 Februari 2024. Puisi-puisinya banyak ia bagikan di laman Instagram dan Facebook. Temanya tentang pengalaman sehari-hari, menyoal kesendirian, kerinduan, kehilangan, penantian, keluarga, juga kawan dekat. (Project M/Adrian Mulya)
Saya banyak melihat ke dalam diri sendiri, mulai memaknai apa yang telah terjadi. Menerima diri sendiri ternyata merupakan satu-satunya cara untuk berdamai dan memaknai arti tumbuh. Ini adalah proses berkelanjutan. Saya ingin terus berjalan, melakukan hal yang saya sukai. Itu saja.
Selama setahun belakangan, ada beberapa orang yang membantu saya, baik di Jakarta maupun Salatiga. Mereka mengajarkan saya bermusik, mementori menulis, membantu secara finansial, atau menawarkan tempat berbagi pikiran. Saya sangat senang bisa menganggap mereka seperti orang tua dan keluarga.
Selain berpuisi, Hardingga gemar bermusik dan menggubah lagu, yang ia pelajari ketika ke Salatiga untuk sejenak menenangkan diri dan mempelajari hal-hal yang ia sukai. (Project M/Adrian Mulya)
Harapan ke depan saya sangat sederhana: tolong temukan bapak saya.
Berikan keterangan dan kepastian atas hilangnya bapak saya. Saya dan keluarga berharap dapat hidup damai tanpa dihantui pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa.
Bagi saya, kehilangan kasih sayang bapak sudah cukup berat. Janganlah ditambah beban ini dengan kehilangan kebenaran atas peristiwa hilangnya bapak saya.
Di awal saya hanya ingin menanyakan mawar yang hilang.
Memberi tahu nektar yang lain.
Ada akar baru di hadapan.
Karena saya pikir mencari mawar akan tetap mawar, tidak perlu mengenal dahlia atau apa pun itu.
Karena bisa saja seseorang menginginkan mawar, tapi dia mencarinya di bukit sabana.
Mawar tidak tumbuh di sana.
_
Puisi “Mawar” karya Hardingga. (Project M/Adrian Mulya)
Pos. Admin