Jumat, 14 November 2025

Sebanyak 83 Warga Sipil Mengungsi di Hutan Kabupaten Yahukimo Papua

Air Mata Ibunda-Kota Tua- Yahukimo- Melangkah Tanpa Alas Kaki- Siaran Pers Berita KNPB News, Wilayah Yahukimo Sebayak 83 Warga Sipil di Yahukimo Mengungsi dan Menatap di Tangah Hutan setelah Himbauan Umum Operasi Militer Indonesia dikeluarkan pada Rabu tertanggal 12 November 2015 lalu.

Himbauan Operasi Militer itu telah menjadi asumsi publik, lebih khusus bagi warga sipil di jalan gunung sehingga warga sipil yang menetap di jalan gunung ibu kota Dekai kab Yahukimo telah Mengungsi ke kota dan sebagian besar Mengungsi di hutan. 
Dalam pengungsian terdapat banyak jumlah anak-anak dan ibu² hamil serta 31 anak pelajar SD SMP dan SMA, bahkan ada juga bapa" dan ibu". Mereka yang bertahan di hutan tanpa ada penanganan medis dan makanan.

Rencana operasi militer Indonesia ini di himbaukan tanpa mempersiapkan tempat pengungsian warga sipil dan tanpa melengkapi kebutuhan pokok seperti makanan, minuman dan obat-obatan. sehingga rakyat yang Mengungsi mengalami kesulitan mulai dari tempat tinggal dan makan minum. 
Bagi warga sipil yang Mengungsi ke dalam hutan sangat kesal dan mereka menilai bahwa ini kelalaian pemerintah pusat dan daerah yang gagal mengayomi dan melindungi masyarakat sipil sebagai warga negara Indonesia. 
Dan untuk saat ini sesuai instruksi atau Himbauan militer Indonesia bahwasanya dalam kurun waktu 2 Minggu area jalan gunung harus di kosongkan maka rakyat sipil sejak tanggal 12 sudah pengungsi ke hutan dan sampai hari ini mereka tidak bisa kembali ke rumah masing-masing. 

Lalu masyarakat sipil yang Mengungsi ke hutan berada di sekitaran 3 lokasi dan 9 Kem, untuk kebutuhan makan minum mereka sulit didapatkan maka mereka hanya bisa makan apa adanya. Untuk itu sementara ini mereka minta dukungan doa dari semua pihak. 
Terkahir,rencana operasi militer TNI POLRI akan di laksanakan hari apapun, kapan pun ketika mereka menginginkan untuk melakukan operasi dan penyisiran di jalan gunung ibu kota Dekai kab Yahukimo sehingga kami minta kepada semua pihak pembela kemanusiaan untuk terus memantau situasi kota Yahukimo. 

Sekian info selanjutnya akan kami update..!
sumber: aktivis kemanusiaan

West Papua National Comitte News Human Rights Monitor Suara Papua JUBI KNPB Wilayah Yahukimo

Kami bisa pengungsi ke kota tapi Bupati sebagai kepala daerah perintahkan kepada Aparat Gabungan TNI-Polri untuk menangkap orang dan membunuh orang sehingga kami takut trauma dan Mengungsi ke hutan.

 Ujar seorang warga sipil di tempat pengungsian.
West Papua National Comitte News  
  Wednesday, November 12 2015. 


version: 

A total of 83 Civilians Refugeed in the Forest of Yahukimo Regency, Papua
Mother's Tears-Old City- Yahukimo- Stepping Barefoot- Press release KNPB News : The appeal for military operations has become a public assumption, more specifically for civilians on mountain roads, so that civilians who live on mountain roads in the capital city of Dekai, Yahukimo district have fled to cities and most of them have taken refuge in the forest. 

In the refugee camps there were a large number of children and pregnant women as well as 31 elementary school, middle and high school students, there were even fathers and mothers. They survive in the forest without any medical treatment or food. 

The plan for the Indonesian military operation was proposed without preparing refugee camps for civilians and without providing basic necessities such as food, drink and medicine. so that the displaced people experience difficulties starting with housing and eating and drinking. 

The civilians who fled into the forest were very upset and they considered that this was negligence by the central and regional governments who had failed to protect and protect civilians as Indonesian citizens. 

And currently, according to instructions or appeals from the Indonesian military, within 2 weeks the mountain road area must be vacated, so since the 12th the civilians have been displaced to the forest and to this day they cannot return to their homes. 
Then the civilians who fled to the forest are located around 3 locations and 9 camps, their food and drink needs are difficult to find so they can only eat what they have. For this reason, they are currently asking for prayer support from all parties. 

Finally, the TNI POLRI military operation plan will be carried out any day, whenever they want to carry out operations and sweeps on the mountain roads of the capital city of Dekai, Yahukimo district, so we ask all humanitarian defenders to continue to monitor the situation in the city of Yahukimo. 

That's all, we will update the further information...! 
source: humanitarian activists
West Papua National Committee News Human Rights Monitor Suara Papua JUBI KNPB Yahukimo Region.

Kami bisa pengungsi ke kota tapi Bupati sebagai kepala daerah perintahkan kepada Aparat Gabungan TNI-Polri untuk menangkap orang dan membunuh orang sehingga kami takut trauma dan Mengungsi ke hutan.

 Ujar seorang warga sipil di tempat pengungsian.

West Papua National Comitte News  
YahukimoDaruratMiliter
IndonesiasegeraLakukanGecatanSenjata
 Human Rights Monitor Suara Papua

Sabtu, 08 November 2025

EVALUASI KRITIS 63 TAHUN UNCEN: PENGETAHUAN, KEKUASAAN, DAN PENJAJAHAN

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Karena sering saya dituduh provokator mahasiswa Uncen, maka saya mau pertegas kritik kepada Uncen pada ulang tahunnya ke 63, juga mengenang 24 tahun pembunuhan pemimpin bangsa Theys H. Eluay, Bagi saya, seharusnya kampus menjadi ruang di mana manusia memuliakan akal, membebaskan pikiran, dan menantang kebodohan yang memelihara kekuasaan. Tetapi di bawah sistem kolonial, universitas kehilangan jiwanya. Ia tidak lagi menjadi rumah kebebasan, melainkan pabrik ideologi kekuasaan. Ilmu pengetahuan yang mestinya membebaskan kini menjadi alat legitimasi penindasan. Seperti dikatakan Edward Said dalam Orientalism, “Tidak ada ilmu yang netral di tanah yang dijajah; setiap pengetahuan adalah posisi.”

Di Papua, simbol paling nyata dari paradoks itu adalah Universitas Cenderawasih (Uncen). Didirikan pada 10 November 1962, hanya tiga bulan setelah Perjanjian New York, Uncen tidak lahir dari kesadaran bangsa Papua, tetapi dari rahim kekuasaan kolonial Indonesia. Sejak awal, ia dibangun bukan untuk mencerdaskan, tetapi untuk menaklukkan; bukan untuk membebaskan, tetapi untuk menundukkan. Dalam bahasa Michel Foucault, pengetahuan selalu berkaitan dengan kekuasaan. Di Papua, Uncen menjadi medan tempat kekuasaan beroperasi dalam bentuk ilmiah, kolonialisme yang berwajah akademik. 

Sejak awal berdirinya, Uncen adalah bagian dari proyek besar integrasi Irian Barat. Dokumen arsip Departemen PTIP tahun 1962 menyebut tujuan pendiriannya sebagai upaya mempercepat integrasi wilayah melalui pendidikan tinggi. Dengan kata lain, universitas ini didirikan sebagai alat ideologis negara untuk memperhalus kekuasaan kolonial. Ngugi wa Thiong’o pernah menulis dalam Decolonising the Mind bahwa kolonialisme pengetahuan bekerja bukan dengan kekerasan, melainkan dengan membuat kebohongan tampak seperti kebenaran. Uncen mengajarkan Papua untuk mencintai penjajahan dengan bahasa pembangunan.

Kurikulumnya dibentuk dalam paradigma pembangunan nasional, yang oleh Arturo Escobar disebut sebagai discourse of development, sebuah wacana yang tampak modern tetapi sejatinya melestarikan struktur kolonial. Mahasiswa Papua diajarkan bahwa pembangunan adalah penyelamat, bukan alat eksploitasi. Bahwa integrasi adalah kasih, bukan aneksasi. Bahwa kemajuan adalah kewajiban, bukan tipu daya kekuasaan. Melalui kelas dan seminar, penjajahan menjadi tampak rasional, bahkan ilmiah. Uncen tidak mengajarkan rakyat Papua untuk berpikir kritis terhadap struktur penindasan, tetapi untuk beradaptasi dan menjadi warga yang baik dalam sistem penjajahan. Ia mencetak intelektual yang taat, bukan intelektual yang bebas.

Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menggambarkan sistem pendidikan kolonial sebagai model “bank”, di mana penguasa menyetor pengetahuan ke pikiran kosong rakyat agar mereka belajar taat, bukan berpikir. Uncen menjadi contoh sempurna dari pendidikan semacam itu. Ia memproduksi kepatuhan dalam bentuk ilmiah. Ngugi wa Thiong’o menulis bahwa kolonialisme yang paling kuat bukanlah ketika tubuh dijajah, tetapi ketika pikiran dijadikan alat penjajahan itu sendiri. Uncen hari ini adalah puncak dari penjajahan pikiran itu.

Tanggal 10 November 2001 menjadi titik sejarah yang membekas di Papua. Malam itu, Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua, menghadiri undangan makan malam di markas militer Tribuana, Hamadi. Ia tidak pernah pulang. Keesokan harinya tubuhnya ditemukan tewas, dibunuh oleh anggota Kopassus. Ironinya, tanggal itu bertepatan dengan hari ulang tahun Uncen, universitas yang pada saat yang sama menjadi pabrik legitimasi bagi kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang baru disahkan.

Dua bulan sebelum pembunuhan Theys, pemerintah Indonesia meluncurkan Otsus sebagai “jalan damai Papua.” Namun “jalan damai” itu disusun oleh para akademisi Uncen yang duduk dalam tim pakar dan perumus kebijakan. Mereka menulis laporan dan rekomendasi, menyebut Otsus sebagai kompromi ilmiah untuk kemajuan Papua. Padahal, seperti diingatkan Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth, setiap kolonialisme modern menciptakan elite terjajah untuk menyalurkan kekuasaan penjajah. Otsus adalah contoh sempurna dari strategi itu.

Pada hari ulang tahun Uncen, simbol bangsa dibunuh. Pada hari yang sama ketika universitas kolonial dirayakan, simbol perlawanan dihabisi. Sejarah mencatatnya sebagai kebetulan; tetapi bagi rakyat Papua, itu adalah tanda: satu universitas kolonial dirayakan, satu pemimpin bangsa dikorbankan.

Dalam dua dekade terakhir, Uncen semakin meneguhkan perannya sebagai benteng ideologi negara. Riset-riset sosial diarahkan untuk memperkuat Otsus, bukan untuk membongkar kolonialisme. Seminar-seminar kampus lebih banyak membahas strategi percepatan pembangunan daripada sejarah perlawanan rakyat. Banyak dosen menjadi konsultan proyek negara, menulis kajian tentang “optimalisasi dana Otsus” sambil menutup mata pada militerisasi dan kekerasan yang terus berlangsung. Universitas yang seharusnya kritis berubah menjadi birokrasi akademik yang jinak.

Puncak kemunduran moral akademik itu terlihat ketika pihak rektorat Uncen menandatangani nota kesepahaman dengan Kepolisian Daerah Papua. Perjanjian itu diklaim demi menjaga keamanan kampus, tetapi pada praktiknya, menjadi izin bagi aparat untuk memasuki lingkungan akademik, memantau mahasiswa, dan membubarkan aksi-aksi yang dianggap “mengganggu ketertiban.” Sejak saat itu, polisi kerap berpatroli di dalam kampus, menghadiri diskusi, dan mengintimidasi mahasiswa yang berbicara soal HAM dan kemerdekaan Papua. Bahkan, menurut pengakuan seorang dosen di FISIP, aparat pernah meminta pihak fakultas mengawasi topik penelitian mahasiswa yang dianggap “sensitif”.

Kerja sama antara rektor dan kepolisian ini menjadikan Uncen kehilangan kedaulatannya sebagai lembaga akademik. Kampus yang seharusnya menjadi ruang bebas kini menjadi perpanjangan tangan negara. Louis Althusser menjelaskan, ketika lembaga pendidikan tunduk pada kekuasaan, ia berubah dari aparatus ideologis menjadi aparatus represif. Uncen kini menjalankan dua fungsi sekaligus: menundukkan pikiran dan menakut-nakuti tubuh. Seorang mahasiswa berkata, “Kami tidak lagi belajar di universitas, kami hidup di barak pengawasan.”

Represi terhadap pengetahuan Papua sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum kerja sama ini. Empat puluh tahun lalu, Arnold Clemens Ap, antropolog dan budayawan Uncen, dibunuh karena membangkitkan kesadaran Melanesia melalui musik Mambesak. Ia ditangkap, disiksa, dan ditembak mati di Pantai Base-G pada April 1984. Arnold dibunuh bukan karena membawa senjata, tetapi karena membawa kebenaran. Kematian Arnold adalah bukti nyata dari apa yang disebut Boaventura de Sousa Santos sebagai epistemicide, pembunuhan terhadap cara tahu non-Barat. Di Papua, epistemicide dilakukan bukan hanya dengan membunuh manusia, tetapi dengan membunuh pengetahuan yang lahir dari tanah dan budaya sendiri. Jika Theys dibunuh karena membangkitkan kesadaran politik, Arnold dibunuh karena membangkitkan kesadaran epistemik. Dua pembunuhan itu menunjukkan dua sisi dari kolonialisme yang sama: pembungkaman bangsa melalui pembungkaman ilmu.

Gerakan mahasiswa Uncen yang dulu menjadi tulang punggung perlawanan kini dijinakkan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. BEM diarahkan menjadi mitra pemerintah. Banyak mantan aktivis mahasiswa kini menjadi pengurus partai politik Indonesia, KNPI, atau pejabat dalam proyek Otsus. Gerakan mahasiswa telah berubah dari kekuatan moral menjadi sarana kaderisasi kolonial. Antonio Gramsci menulis, hegemoni bekerja ketika kaum terdidik dari bangsa tertindas ikut menjadi alat negara untuk menundukkan bangsanya sendiri.

Di ruang kuliah, kualitas pendidikan pun merosot. Laporan FISIP Uncen tahun 2021 mencatat 718 dari 918 mahasiswa mendapat nilai D dan hanya 20 yang mendapat nilai A. Angka ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Papua bukan dirancang untuk mencerdaskan, melainkan untuk menyaring dan melemahkan. PapuaTimes mencatat, dari 91.000 alumni Uncen hingga 2024, sebagian besar bekerja di birokrasi kolonial, lembaga proyek, atau perusahaan tambang. Mereka menjadi kelas menengah kolonial, terdidik tapi terpenjara. Seperti dikatakan Achille Mbembe dalam Critique of Black Reason, kolonialisme modern tidak lagi menindas melalui perbudakan fisik, tetapi melalui perbudakan aspirasi.

Bangsa yang dijajah tidak akan merdeka sebelum merebut kembali pengetahuannya. Dekolonisasi kampus berarti membongkar struktur pengetahuan kolonial yang menindas. Ia bukan reformasi akademik, melainkan revolusi epistemik. Dekolonisasi berarti menulis ilmu dari pengalaman rakyat Papua, menghapus dominasi kurikulum nasional, menarik aparat dari kampus, dan menghidupkan kembali warisan intelektual Arnold Ap dan Theys Eluay. Arnold mengajarkan bahwa pengetahuan bisa menjadi senjata, dan Theys mengingatkan bahwa politik tanpa kebenaran adalah pengkhianatan. Keduanya dibunuh karena berpihak pada bangsanya. Kini, generasi baru Papua memikul tanggung jawab itu: merebut kembali universitas, menjadikannya bukan alat penjajah, tetapi alat pembebasan bangsa.

Selama Uncen berada di bawah logika kolonial Indonesia, ia akan tetap menjadi mesin penundukan. Namun jika suatu hari kampus itu kembali ke tangan rakyat, menjadi tempat di mana ilmu berpihak pada keadilan dan kebenaran, maka di sanalah Papua akan menemukan kembali jiwanya: pengetahuan sebagai perlawanan.

Pengetahuan yang membebaskan bukan hanya tentang berpikir, tetapi juga tentang berpihak. Dan selama pengetahuan masih menjadi alat penjajah, setiap ruang belajar di Papua adalah medan perang.

Halte Putaran P3, Waena 
9 November 2025


Pos. Admin 

Jumat, 07 November 2025

Kekuatan dibalik Thakta,Mbiyu Koinange adalah tangan tak kasat mata yang menandatangani sesuatu yang tak seorang pun melihatnya menulis.

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kenya Melangkah Tanpa Alas Kaki- Untuk memahami pemerintahan pertama Kenya, Anda tidak perlu mengunjungi Gedung Negara, Anda hanya perlu melihat ke arah mana mobil Koinange melaju di pagi hari

Mbiyu Koinange adalah tangan tak kasat mata yang menandatangani sesuatu yang tak seorang pun melihatnya menulis. Para sejarawan menyebutnya sebagai “kekuatan di balik takhta”. Namun sebenarnya, dia adalah mesin takhta yang senyap, presisi, berminyak, dan alergi terhadap mikrofon. 

Lahir pada tahun 1907 di Kiambu (Anda tahu bahwa masa kanak-kanak presiden, miliarder, dan sakit kepala politik kita yang gelisah). Koinange tumbuh dengan fasih berbahasa Inggris dan pengaruh. Pada saat kemerdekaan tiba, dia telah membaca lebih banyak rahasia kolonial dibandingkan beberapa orang Inggris yang menulisnya. Jomo Kenyatta mengangkatnya menjadi Menteri Negara, sebuah posisi yang sangat samar-samar sehingga terdengar seperti “Menteri Segala Sesuatu yang Penting tetapi Tidak Dibicarakan di Depan Umum.”

Dia adalah seorang Kissinger di Kenya yang tenang, halus, dan sangat rapi. Mereka memanggilnya Muthera, “yang bersih.” Pakaiannya tajam. Bahkan musuh-musuhnya pun menghormati keterampilan menyetrikanya. 

Selama penyelidikan pembunuhan JM Kariuki tahun 1975, namanya muncul. Kenyatta dilaporkan berkata, “Jika Anda mencantumkan nama Koinange di sana, sebaiknya Anda juga mencantumkan nama saya.” Parlemen menerima isyarat bahwa kedua nama tersebut menghilang lebih cepat dibandingkan keadilan JM. Saat itulah masyarakat menyadari bahwa Koinange tidak hanya dekat dengan kekuasaan; dia adalah kata sandi manusianya. 

Namun ironi dari kekuasaan adalah semakin tinggi Anda mendaki, semakin pelan suara Anda. Berbeda dengan Kenyatta, Koinange tidak berteriak, berkampanye, atau menari di podium. 

Pengaruhnya memakai sarung tangan. Dia tidak flamboyan, tidak mengendarai mobil besar, dan berbicara kepada wartawan seperti brankas bank mengungkapkan rasa ingin tahunya. Bahkan Freemason harus mengiriminya panggilan resmi untuk menghadiri pertemuan dengan sarung tangan putih, jaket makan malam, tepat pukul 6:30. 

Bayangkan menjadi begitu kuat sehingga bahkan perkumpulan rahasia Anda pun menghormati jadwal Anda. 

Kisahnya dengan Kenyatta dimulai pada tahun 1930an di Inggris, dua pria di pengasingan berbagi mimpi. Mereka bertemu ketika Kenyatta masih bernama Johnstone Kamau, sebuah nama yang lebih terdengar seperti seorang penjahit daripada seorang revolusioner. 

Bersama-sama, mereka membentuk “Jomo Kenyatta”. Nama yang mereka ucapkan, berasal dari kata Kikuyu yang berarti “mencabut pedang”. Jadi nama yang kemudian menguasai Kenya sebenarnya lahir dari eksperimen tata bahasa antara dua pria di suatu malam Inggris yang dingin. 

Kembali ke rumah, persahabatan mereka berubah menjadi kekerabatan. Adik Koinange, Grace Wanjiku, menikah dengan Kenyatta dan mengubah kekuasaan menjadi bisnis keluarga. Saat Grace meninggal, Kenyatta menikah dengan Ngina Muhoho. Namun saat itu, Koinange sudah lebih dari sekadar saudara ipar. Dia adalah firewall nasional. 

Di Kabinet, Koinange adalah sosok yang ditakuti semua orang namun tak seorang pun memahaminya. 

Shikuku pernah bercanda bahwa dia bahkan tidak tahu apa pekerjaan Koinange, hanya saja ketika dia memasuki ruangan, para menteri menyesuaikan arsip dan hati nurani mereka. 

Ketika Kenyatta meninggal pada tahun 1978, Daniel arap Moi mewarisi jabatan presiden dan masalah apa yang harus dilakukan terhadap orang yang sudah terlalu lama mengetahui banyak hal. 

Dia diam-diam memindahkan Koinange ke Kementerian Lingkungan Hidup, seorang pengasingan sopan yang menyamar sebagai portofolio. Dari “Menteri Negara” menjadi “Menteri Pepohonan.” Begitulah cara Anda memensiunkan seorang legenda tanpa membuatnya tampak seperti kudeta. 

Pada tahun 1979, Njenga Karume, raja furnitur, menggulingkannya di Kiambaa. Kissinger Kenya yang perkasa dikalahkan oleh seorang penjual kursi. Sejarah bisa jadi kejam. 

Dua tahun kemudian, pada tanggal 2 September 1981, jantung Koinange berhenti berdetak. Dokter menyebutnya serangan jantung. Hati yang selama ini membawa terlalu banyak rahasia, terlalu banyak diam, dan terlalu banyak presiden akhirnya bosan dengan diplomasi. 

Charles Njonjo menyebutnya “seorang perfeksionis, nasionalis, dan kemanusiaan.” Namun mereka yang mengenalnya lebih baik mengatakan bahwa dia adalah sosok yang berbeda: arsitek DNA politik kita yang pendiam, halus, setia, ditakuti, dan disalahpahami. 

Tragedi dari kisah Koinange adalah dia menguasai keheningan di negeri yang hanya menghargai kebisingan. Ketika dia meninggal, mikrofon kembali terdengar lebih keras, lebih lapar, dan kurang cerdas.

-------------------= English -------------

To understand Kenya’s first government, you did not need to visit State House you just had to watch which direction Koinange’s car went in the morning.

Mbiyu Koinange was the invisible hand that signed things no one saw him write. Historians call him “the power behind the throne.” But in truth, he was the throne’s engine quiet, precise, well-oiled, and allergic to microphones.

Born in 1907 in Kiambu (you know that our restless nursery of presidents, billionaires, and political headaches) . Koinange grew up fluent in both English and influence. By the time independence came, he had read more colonial secrets than some of the British who wrote them. Jomo Kenyatta made him Minister of State, a position so vague that it sounded like “Minister of Everything Important but Not to Be Discussed in Public.”

He was Kenya’s own Kissinger calm, polished, terrifyingly neat. They called him Muthera, “the clean one.” His suits were sharp. Even his enemies respected his ironing skills.

During the JM Kariuki murder inquiry of 1975, his name came up. Kenyatta reportedly thundered, “If you put Koinange’s name there, you might as well put mine.” Parliament took the hint both names disappeared faster than JM’s justice. That’s when people realized Koinange wasn’t just close to power; he was its human password.

But the irony of power is that the higher you climb, the quieter your voice becomes. Unlike Kenyatta, Koinange didn’t shout, campaign, or dance on podiums. 

His influence wore gloves. He was not flamboyant, didn’t drive big cars, and spoke to journalists the way a bank vault speaks to curiosity. Even the Freemasons had to send him a formal summons to attend meetings white gloves, dinner jacket, 6:30 sharp.

 Imagine being so powerful that even your secret society respects your schedule.

His story with Kenyatta began in the 1930s in England two men in exile shared dreams. They met when Kenyatta was still Johnstone Kamau, a name that sounded more like a tailor than a revolutionary.

 Together, they forged “Jomo Kenyatta” . That name they say, came from the Kikuyu word for “pulling out a sword.” So the name that later ruled Kenya was literally born out of a grammar experiment between two men in a cold English evening.

Back home, their friendship turned to kinship. Koinange’s sister, Grace Wanjiku, married Kenyatta turning power into a family business. When Grace died, Kenyatta married Ngina Muhoho. But by then, Koinange was already more than a brother-in-law. He was the national firewall.

In Cabinet, Koinange was that one man everyone feared but no one understood.

 Shikuku once joked that he didn’t even know what Koinange’s job was just that when he entered a room, ministers adjusted their files and their consciences.

When Kenyatta died in 1978, Daniel arap Moi inherited both the presidency and the problem of what to do with a man who had known too much for too long. 

He quietly shifted Koinange to the Ministry of Environment a polite exile disguised as a portfolio. From “Minister of State” to “Minister of Trees.” That’s how you retire a legend without making it look like a coup.

In 1979, Njenga Karume, the furniture magnate, unseated him in Kiambaa. The mighty Kissinger of Kenya defeated by a man who sold chairs. History can be cruel.

Two years later, on September 2, 1981, Koinange’s heart stopped. The doctor called it a heart attack. A heart that had carried too many secrets, too many silences, and too many presidents finally tired of diplomacy.

Charles Njonjo called him “a perfectionist, nationalist, and humanitarian.” But those who knew him better said he was something else: the quiet architect of our political DNA , polished, loyal, feared and misunderstood.

The tragedy of Koinange’s story is that he mastered silence in a land that only rewards noise.When he died, the microphones came back louder, hungrier, less intelligent.

-------------------
Untuk memahami pemerintahan pertama Kenya, Anda tidak perlu mengunjungi Gedung Negara, Anda hanya perlu melihat ke arah mana mobil Koinange melaju di pagi hari. 
Mbiyu Koinange adalah tangan tak kasat mata yang menandatangani sesuatu yang tak seorang pun melihatnya menulis. Para sejarawan menyebutnya sebagai “kekuatan di balik takhta”. Namun sebenarnya, dia adalah mesin takhta yang senyap, presisi, berminyak, dan alergi terhadap mikrofon. 

Lahir pada tahun 1907 di Kiambu (Anda tahu bahwa masa kanak-kanak presiden, miliarder, dan sakit kepala politik kita yang gelisah). Koinange tumbuh dengan fasih berbahasa Inggris dan pengaruh. Pada saat kemerdekaan tiba, dia telah membaca lebih banyak rahasia kolonial dibandingkan beberapa orang Inggris yang menulisnya. Jomo Kenyatta mengangkatnya menjadi Menteri Negara, sebuah posisi yang sangat samar-samar sehingga terdengar seperti “Menteri Segala Sesuatu yang Penting tetapi Tidak Dibicarakan di Depan Umum.”

Dia adalah seorang Kissinger di Kenya yang tenang, halus, dan sangat rapi. Mereka memanggilnya Muthera, “yang bersih.” Pakaiannya tajam. Bahkan musuh-musuhnya pun menghormati keterampilan menyetrikanya. 

Selama penyelidikan pembunuhan JM Kariuki tahun 1975, namanya muncul. Kenyatta dilaporkan berkata, “Jika Anda mencantumkan nama Koinange di sana, sebaiknya Anda juga mencantumkan nama saya.” Parlemen menerima isyarat bahwa kedua nama tersebut menghilang lebih cepat dibandingkan keadilan JM. Saat itulah masyarakat menyadari bahwa Koinange tidak hanya dekat dengan kekuasaan; dia adalah kata sandi manusianya. 

Namun ironi dari kekuasaan adalah semakin tinggi Anda mendaki, semakin pelan suara Anda. Berbeda dengan Kenyatta, Koinange tidak berteriak, berkampanye, atau menari di podium. 

Pengaruhnya memakai sarung tangan. Dia tidak flamboyan, tidak mengendarai mobil besar, dan berbicara kepada wartawan seperti brankas bank mengungkapkan rasa ingin tahunya. Bahkan Freemason harus mengiriminya panggilan resmi untuk menghadiri pertemuan dengan sarung tangan putih, jaket makan malam, tepat pukul 6:30. 

Bayangkan menjadi begitu kuat sehingga bahkan perkumpulan rahasia Anda pun menghormati jadwal Anda. 

Kisahnya dengan Kenyatta dimulai pada tahun 1930an di Inggris, dua pria di pengasingan berbagi mimpi. Mereka bertemu ketika Kenyatta masih bernama Johnstone Kamau, sebuah nama yang lebih terdengar seperti seorang penjahit daripada seorang revolusioner. 

Bersama-sama, mereka membentuk “Jomo Kenyatta”. Nama yang mereka ucapkan, berasal dari kata Kikuyu yang berarti “mencabut pedang”. Jadi nama yang kemudian menguasai Kenya sebenarnya lahir dari eksperimen tata bahasa antara dua pria di suatu malam Inggris yang dingin. 

Kembali ke rumah, persahabatan mereka berubah menjadi kekerabatan. Adik Koinange, Grace Wanjiku, menikah dengan Kenyatta dan mengubah kekuasaan menjadi bisnis keluarga. Saat Grace meninggal, Kenyatta menikah dengan Ngina Muhoho. Namun saat itu, Koinange sudah lebih dari sekadar saudara ipar. Dia adalah firewall nasional. 

Di Kabinet, Koinange adalah sosok yang ditakuti semua orang namun tak seorang pun memahaminya. 

Shikuku pernah bercanda bahwa dia bahkan tidak tahu apa pekerjaan Koinange, hanya saja ketika dia memasuki ruangan, para menteri menyesuaikan arsip dan hati nurani mereka. 

Ketika Kenyatta meninggal pada tahun 1978, Daniel arap Moi mewarisi jabatan presiden dan masalah apa yang harus dilakukan terhadap orang yang sudah terlalu lama mengetahui banyak hal. 

Dia diam-diam memindahkan Koinange ke Kementerian Lingkungan Hidup, seorang pengasingan sopan yang menyamar sebagai portofolio. Dari “Menteri Negara” menjadi “Menteri Pepohonan.” Begitulah cara Anda memensiunkan seorang legenda tanpa membuatnya tampak seperti kudeta. 

Pada tahun 1979, Njenga Karume, raja furnitur, menggulingkannya di Kiambaa. Kissinger Kenya yang perkasa dikalahkan oleh seorang penjual kursi. Sejarah bisa jadi kejam. 

Dua tahun kemudian, pada tanggal 2 September 1981, jantung Koinange berhenti berdetak. Dokter menyebutnya serangan jantung. Hati yang selama ini membawa terlalu banyak rahasia, terlalu banyak diam, dan terlalu banyak presiden akhirnya bosan dengan diplomasi. 

Charles Njonjo menyebutnya “seorang perfeksionis, nasionalis, dan kemanusiaan.” Namun mereka yang mengenalnya lebih baik mengatakan bahwa dia adalah sosok yang berbeda: arsitek DNA politik kita yang pendiam, halus, setia, ditakuti, dan disalahpahami. 

Tragedi dari kisah Koinange adalah dia menguasai keheningan di negeri yang hanya menghargai kebisingan. Ketika dia meninggal, mikrofon kembali terdengar lebih keras, lebih lapar, dan kurang cerdas.
 
Pos. Admin 

TPNPB Umumkan Duka Nasional Atas Gugurnya Tena Mom

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Yahukimo melangkah tanpa alas kaki -Siaran Pers Ke III Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB Per Jumat, 7 November 2025

Silahkan Ikuti Laporan Dibawa Ini.!

Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB telah menerima laporan resmi dari pasukan TPNPB dari Kabupaten Puncak bahwa aparat militer indonesia telah melakukan penembakan terhadap satu anggota TPNPB atas nama Tena Mom pada hari Jumat, 7 November 2025 hingga gugur.

Atas gugurnya Tena Mom, Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB secara resmi menggumumkan duka nasional kepada seluruh pasukan TPNPB di 36 Komando Daerah Pertahanan di seluruh tanah Papua dan menghimbau kepada seluruh pasukan TPNPB di wilayah pertahanan masing-masing agar tetap siaga di dan tingkatkan penjagaan di Markas TPNPB dalam mengantisipasi operasi darat dan udara oleh aparat militer indonesia.

Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB juga menegaskan kepada seluruh pasukan TPNPB di 36 Komando Daerah Pertahanan di seluruh Tanah Papua agar tidak keluar dengan sembarangan membeli rokok, gula dan kopi serta makanan instan di pusat-pusat Kota. Dan jika ke kota hanya tujuan perang melawan aparat militer indonesia selain dari itu diminta untuk tingkatkan siaga.

Demikian Siaran Pers Ke II Manajemen Markas Pusat KOMNAS TPNPB Per Jumat, 7 November 2025 oleh Sebby Sambom Jubir TPNPB OPM.

Penanggung Jawab Komando Markas Pusat Komando Nasional TPNPB-OPM

Jenderal Goliat Tabuni
Panglima Tinggi TPNPB-OPM

Letnan Jenderal Melkisedek Awom
Wakil Panglima TPNPB-OPM

Mayor Jenderal Terianus Satto
Kepala Staf Umum TPNPB-OPM

Mayor Jenderal Lekagak Telenggen
Komandan Operasi Umum TPNPB-OPM

Pos. Admin 

Selasa, 04 November 2025

Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP KNPB) menyampaikan klarifikasi resmi terkait pernyataan publik Juru Bicara Tentara Nasional Papua Barat Sebby Sambom

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- KnpbNews, !Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP KNPB) menyampaikan klarifikasi resmi terkait pernyataan publik yang dikeluarkan oleh Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), Sebby Sambom, pada 1 November 2025.

Dalam pernyataan tersebut, Sebby menyerukan dukungan politik terhadap satu faksi dan ajakan untuk membubarkan organisasi lain. Sikap ini dinilai oleh KNPB telah menimbulkan kebingungan serta perpecahan di tengah rakyat dan seluruh spektrum perjuangan bangsa Papua.

KNPB Klarifikasi dan Tegaskan Prinsip Perjuangan Kolektif

Human & Safety
KNPB menegaskan bahwa perjuangan pembebasan bangsa Papua Barat merupakan bagian dari revolusi demokratik nasional dan hak penentuan nasib sendiri yang tidak dapat dijalankan secara sepihak atau melalui klaim personal.

“Perjuangan kemerdekaan adalah milik kolektif seluruh rakyat Papua mencakup semua elemen perjuangan, baik politik, diplomasi, militer, adat, maupun sipil yang setara dalam cita-cita nasional untuk bebas dari kolonialisme dan membangun masa depan yang berdaulat, adil, dan demokratis,” tegas KNPB dalam pernyataannya kepada media ini, Senin (3/11).

Sebagai media gerakan perjuangan rakyat Papua, KNPB menegaskan perannya sebagai wadah rakyat untuk menyatukan pandangan dan langkah perjuangan menuju kemerdekaan sejati. Organisasi ini menolak dipolitisasi oleh pihak manapun dan menolak segala bentuk intervensi politik faksional.

“KNPB bukan lembaga kekuasaan atau alat faksi politik, melainkan wadah rakyat yang berfungsi menyatukan pandangan dan langkah perjuangan bangsa menuju kemerdekaan sejati,” lanjut pernyataan itu.

TPNPB Bukan Alat Politik

Dalam klarifikasi tersebut, KNPB juga menyoroti posisi dan peran TPNPB dalam struktur perjuangan nasional.

“TPNPB adalah pagar bangsa, bukan alat politik bagi kepentingan kelompok tertentu. Tugas TPNPB adalah menjaga keamanan nasional perjuangan, bukan menentukan arah politik atau kepemimpinan bangsa,” tegas KNPB.

KNPB menilai, pernyataan publik yang keluar tanpa mekanisme resmi Dewan Militer dan tanpa persetujuan bersama dari 36 Komando Daerah Pertahanan (Kodap) tidak sah secara kelembagaan dan dapat menimbulkan kesalahpahaman di tengah rakyat.

Seruan Disiplin Organisasi dan Mekanisme Kolektif

Sebagai tindak lanjut, KNPB telah mengirimkan surat resmi kepada Manajemen TPNPB, Dewan Militer, dan seluruh 36 Kodap di Tanah Papua. Isi surat tersebut menegaskan pentingnya disiplin organisasi serta mekanisme komunikasi kolektif dalam perjuangan nasional.

Menurut KNPB, setiap pernyataan publik yang keluar dari struktur perjuangan bersenjata harus melalui mekanisme resmi dan tidak boleh berpihak kepada kepentingan politik tertentu.

“Perjuangan nasional harus berlandaskan disiplin, struktur, dan kesadaran kolektif. Langkah sepihak hanya akan memperdalam perpecahan dan menghilangkan legitimasi perjuangan di mata rakyat maupun dunia internasional,” tegas KNPB.

Tiga Tahapan Strategis Revolusi Demokratik, KNPB menegaskan bahwa perjuangan bangsa Papua harus berjalan dalam tiga tahapan strategis revolusi demokratik dan penentuan nasib sendiri, yakni:

Fase Demokrasi Terbuka — fase di mana seluruh rakyat Papua diberikan ruang berpikir kritis, berdialog, dan mengemukakan pandangan politik secara bebas dan setara.
Fase Demokrasi Terpimpin — masa untuk menyatukan arah politik nasional dan membangun kepemimpinan kolektif melalui musyawarah, bukan melalui ambisi pribadi atau tekanan eksternal.
Fase Konsensus Nasional — tahap penyatuan seluruh kekuatan perjuangan politik, diplomasi, dan militer dalam wadah politik bangsa yang sah, demokratis, dan diakui oleh rakyat.
Menurut KNPB, melangkahi proses ini dengan tindakan sepihak akan memperdalam perpecahan dan menghilangkan legitimasi perjuangan di mata rakyat dan dunia internasional. Karena itu, KNPB menyerukan agar seluruh elemen perjuangan bangsa kembali ke garis revolusi demokratik yang disiplin dan memperkuat persatuan demokratik sebagai dasar menuju pembentukan wadah nasional bangsa Papua.

Seruan Persatuan dan Kesadaran Politik Rakyat

Dalam pernyataannya, KNPB mengajak seluruh kekuatan perjuangan bangsa untuk meninggalkan ego, ambisi pribadi, dan kepentingan kelompok sempit demi menjaga arah perjuangan yang murni dan kolektif.

“Persatuan sejati bukan tunduk pada individu, tetapi tunduk pada satu cita-cita bersama: kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua Barat,” tegas Juru Bicara KNPB, Ogram Wanimbo, yang turut menandatangani rilis resmi tersebut bersama Ketua Umum Agus Kossay.

KNPB juga mengimbau rakyat Papua agar tidak mudah terprovokasi oleh pernyataan individu yang tidak mewakili lembaga resmi perjuangan. Masyarakat diimbau memperkuat kesadaran politik, memperluas jaringan diplomasi internasional, serta melanjutkan perjuangan melalui jalan damai, terorganisir, dan revolusioner.

“Rakyat Papua harus tetap berjuang dengan cara yang damai, disiplin, dan terarah. Hanya dengan persatuan sejati kita dapat mewujudkan kemerdekaan bangsa Papua Barat,” pungkas Ogram Wanimbo.



Pos. Admin 

Kolonialisme Pemukiman Penindasan Harga Diri Pemilik Tanah

𝐊𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐏𝐞𝐦𝐮𝐤𝐢𝐦 (𝐒𝐞𝐭𝐭𝐥𝐞𝐫 𝐂𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦)

Artikel, Yegema 
Konsep kolonialisme pemukim dapat didefinisikan sebagai sistem penindasan yang didasarkan pada genosida dan kolonialisme, yang bertujuan untuk menggusur populasi suatu bangsa (seringkali penduduk asli) dan menggantinya dengan populasi pemukim baru. Kolonialisme pemukim menemukan fondasinya pada sistem kekuasaan yang diabadikan oleh para pemukim yang menekan hak dan budaya penduduk asli dengan menghapusnya dan menggantinya dengan budaya mereka sendiri.

Kolonialisme pemukim didasarkan pada pencurian dan eksploitasi tanah dan sumber dayamilik penduduk asli. Sejarah dan konfl ik saat ini telah menunjukkan bahwa sistem penindasan yang sedang berlangsung ini sebagian besar didasarkan pada rasisme dan supremasi kulit putih.

Seringkali, kolonialisme pemukim bersifat Eurosentris: ia berasumsi bahwa orang Eropadan nilai-nilai mereka lebih unggul dibandingkan budaya pribumi lainnya, dan oleh karena itu sah-sah saja untuk menghancurkan hak-hak masyarakat pribumi dengan mencuri tanah mereka dan menghapus tradisi mereka.

Kolonialisme pemukim berbeda dari kolonialisme klasik dalam hal berikut: di satu sisi, kolonialisme adalah tindakan kekuasaan dan dominasi satu bangsa, dengan memperoleh atau mempertahankan kendali politik penuh atau sebagian atas bangsa berdaulat lainnya . Di sisi lain, kolonialisme pemukim memiliki kriteria tambahan yaitu penghancuran dan penggantian total penduduk asli dan budaya mereka oleh pemukim sendiri untuk menjadikan diri mereka sebagai penduduk yang sah. Oleh karena itu, pemukim tidak hanya mengeksploitasi tanah dan sumber daya penduduk asli, tetapi mereka juga menggusur mereka, mengubah nama kota dan tempat yang mereka jajah untuk menghapus jejak penduduk asli sepenuhnya.

Berbagai bentuk kolonialisme pemukim meliputi: Apartheid,pendudukan militer,kebijakan asimilasi nasional atau perang biologis.

Patrick Wolfe mendefinisikan kolonialisme pemukim sebagai sebuah sistem, bukansebuah peristiwa sejarah, yang melanggengkan penghapusan dan penghancuran penduduk asli sebagai prasyarat bagi kolonialisme pemukim dan perampasan tanah dan sumber daya (Wolfe, Patrick. Settler Colonialism and the Elimination of the Native. Journalof Genocide Research, Desember 2006, hlm. 387-409).

Contoh kolonialisme pemukim dapat ditemukan dalam Sejarah Aljazair. Antara tahun 1830 dan 1962 (tanggal kemerdekaan Aljazair), Aljazair dianggap sebagai “Departemen Prancis.”

Tidak seperti koloni Prancis lainnya (Haiti, Pantai Gading,dll.), Aljazair dianeksasi dan secara resmi menjadi bagian dari Prancis pada tahun 1848. Tujuan Prancis adalah menjadikan Aljazair bagian dari Prancis dengan menghapus hak-hak penduduk asli dan mengusir mereka dari tanah mereka. Kejahatan yang kejam dilakukan oleh otoritas kolonial Prancisdi Aljazair selama 132 tahun penjajahan. Lima juta penduduk asli Aljazair terbunuh dankejahatan termasuk penyiksaan,pembunuhan,pemerkosaan, pengusiran penduduk asli,uji coba nuklir, pencurian tanah, dan penolakan hak-hak paling dasar dilakukan terhadap penduduk asli.

Banyak kota di Aljazair yang namanya diubah agar bisa "di-Francisasi" (yakni dipaksa mengadopsi adat istiadat dan bahasa Prancis). Misalnya, nama ibu kota Aljazair, Algiers (dalam bahasa Arab Al-Jazaïr) diubah menjadi La Pointe-Pescade. Contoh lainnya adalah sebagai berikut: Bologine menjadi Saint-Eugène, Tamanrasset menjadi Fort-Laperrine, dan Tadjena menjadi Fromentin. Ini menunjukkan bahwa tujuan utama kolonialisme pemukim adalah menghapus budaya penduduk asli dan menghancurkan warisan mereka.

Hukum Prancis yang berlaku di Aljazair
mendiskriminasi bangsa Pribumi dan mengutamakan hak-hak orang Eropa kulit putih di atas hak-hak mayoritas bangsa Pribumi. Faktanya, hukum yang berbeda berlaku untuk Muslim di Aljazair, yang misalnya tidak diizinkan untuk memilih, sedangkan orang Prancis kulit putih diizinkan untuk memilih.

"Salam Masyarakat Adat Papua"

Selamatkan Tanah Adat dan Manusia Papua

Suara Masyarakat Adat Independent 
Komati Papua 
MAI-P Komite Sorong Raya 
MAI-P Komite Kota Timika 
MAI P Komite Kota Timika 
MAI-P Komite Kota Merauke 
MAI-P Komite Kota Agamua 


Pos. Admin 

Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Numbay Menanggapi Terkait Melarang Demonstrasi Wali Kota Jayapura

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Ketua KNPB Numbay Menanggapi pernyataan Wali Kota Jayapura bersama 15 kampung yang melarang aksi demonstrasi damai dan menggantinya dengan dialog, Ketua I KNPB Wilayah Numbay, Wekcho Kogoya, menyampaikan bahwa pemerintah tidak boleh bersikap anti terhadap demonstrasi rakyat pada 4/11/2015. 

Aksi damai merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, dan pemerintah seharusnya menunjukkan wajah demokratis, bukan sebaliknya.

Berikut poin-poin sikap resmi KNPB Wilayah Numbay:

1. Menolak kebijakan anti-demokrasi.
KNPB menilai kebijakan Wali Kota Jayapura bertentangan dengan semangat demokrasi yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28, yang memberikan hak kepada setiap warga negara untuk berpendapat, berserikat, dan berkumpul secara damai. Melarang demonstrasi berarti menutup ruang konstitusional rakyat untuk menyampaikan aspirasi secara terbuka.

2. Negara demokrasi seharusnya memberi ruang, bukan membatasi.
Sebagai negara yang mengaku demokratis, pemerintah justru memperlihatkan sikap yang berlawanan dengan prinsip tersebut. Demonstrasi damai bukan ancaman, tetapi mekanisme sah untuk mengoreksi kebijakan publik yang tidak berpihak kepada rakyat. Menolak aksi damai berarti mematikan suara rakyat dan menekan partisipasi politik masyarakat.

3. Dialog tidak dapat menggantikan hak rakyat untuk berdemonstrasi.
Wali Kota Jayapura, Abisai Rollo (ABR), mengimbau masyarakat agar menyampaikan aspirasi melalui dialog demi menjaga ketertiban umum. KNPB menegaskan bahwa dialog dan demonstrasi adalah dua bentuk penyampaian pendapat yang sama-sama sah secara hukum. Pemerintah tidak boleh meniadakan salah satunya. Dialog tanpa kebebasan menyuarakan pendapat hanyalah bentuk pengendalian, bukan partisipasi rakyat.

4. Rencana Perda pelarangan aksi adalah langkah mundur demokrasi.
Rencana Pemerintah Kota Jayapura dan DPRD untuk menjadikan usulan 14 kepala kampung sebagai Peraturan Daerah (Perda) pelarangan demonstrasi di jalan merupakan tindakan membatasi hak rakyat. Jika Perda ini disahkan, maka Wali Kota, DPRD, dan MRP telah secara sadar membungkam suara rakyat Papua. Tindakan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap konstitusi dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.

5. Kebebasan berpendapat adalah hak yang tidak bisa dikurangi.
KNPB menegaskan bahwa kebebasan berpendapat bukan ancaman bagi pemerintah, melainkan sarana rakyat untuk ikut serta membangun kehidupan sosial dan politik yang terbuka, adil, dan bermartabat. Setiap bentuk pelarangan terhadap hak ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip demokrasi dan hukum nasional.

6. Seruan kepada rakyat Papua.
KNPB Wilayah Numbay menyerukan kepada masyarakat sipil, mahasiswa, pemuda, tokoh adat, dan organisasi rakyat di seluruh Tanah Papua untuk menjaga ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi. Pemerintah daerah seharusnya melindungi hak-hak rakyat, bukan menjadi alat kekuasaan untuk membungkam aspirasi.

7. Demokrasi sejati memberi ruang bagi rakyat bersuara.
KNPB menegaskan bahwa demokrasi sejati adalah ketika rakyat bebas menyampaikan pendapat tanpa rasa takut dan tekanan dari penguasa. Larangan terhadap demonstrasi damai tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga mencederai semangat kebangsaan dan nilai-nilai keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap pemimpin bangsa.

Untuk itu:
Kami, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Numbay, dengan tegas menolak setiap kebijakan yang membatasi hak rakyat untuk menyampaikan pendapat secara damai. Pemerintah Kota Jayapura dan lembaga perwakilan rakyat harus menghormati prinsip demokrasi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Ketua I KNPB Wilayah Numbay
Wekcho Kogoya

Pos. Admin 

Sebanyak 83 Warga Sipil Mengungsi di Hutan Kabupaten Yahukimo Papua

Air Mata Ibunda-Kota Tua- Yahukimo- Melangkah Tanpa Alas Kaki- Siaran Pers Berita KNPB News , Wilayah Yahukimo Sebayak 83 Warga...