Langsung ke konten utama

Tanggapi Rencana PSN dan Batalyon di Tambrauw: IMT Bali Lakukan Diskusi serta Nobar Film

Tetesan Air Mata Ikatan Ibunda- Kota Tua Papua Barat Tambrauw -Melangkah Tanpa Alas Kaki- Mahasiswa Tambrauw (IMT) di Kota Denpasar, Bali melakukan Diskusi dan Nobar Film terkait Hutan dan Masyarakat Adat Tambrauw, pada Senin (30/6/2025). Kegiatan tersebut dilakukan guna merespon rencana Proyek Strategi Nasional (PSN) berbasis Sawit dan Pembangunan Batalyon Teritorial di Kabupaten Tambrauw. 

Film yang di-nonton pada kegiatan tersebut adalah Film Dokumenter "Indigenous Women of Mpur Swor". Film tersebut mendokumentasikan tentang bagaimana Mama-mama Suku Mpur Swor di Lembah Kebar, Kabupaten Tambrauw untuk mempertahankan hutan adatnya dari ancaman perusahaan, terutama perusahaan Sawit. 

"Untuk mempertahankan hutan dan tanah adatnya, Perempuan Adat Mpur Swor menegaskan kembali bahwa tanah, air dan hutan adalah milik masyarakat adat," pesan dalam film dokumenter oleh Asia Justice and Rights tersebut. 
Usai menyaksikan film dokumenter tersebut, Mahasiswa Tambrauw di Bali melanjutkan dengan Diskusi. Mereka menegaskan bahwa Mahasiswa memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan dan mengkampanyekan keresahan masyarakat, terutama soal masyarakat adat yang sedang hadapi ancaman. 

"Mama-mama Papua bisa sadar dan bersuara, menolak perusahaan untuk selamatkan hutan, maka harusnya Mahasiswa lebih lantang untuk berbicara terkait keselamatan hutan". 
Juga disinggung soal Militer. Dalam diskusi yang dibarengi dengan pemutaran film itu, mereka mengatakan bahwasannya Militer menjadi bagian dari perusahaan. "Militer adalah pelindung investor, mereka akan lakukan berbagai cara, termasuk membunuh rakyat demi melancarkan investasi," tutur mereka dalam diskusi itu.

"Akar dari semua ketidakadilan, perampasan, pemerkosaan , pembunuhan, penghisapan di Tanah West papua adalah sejarah panjang yang masih terus terjadi hingga detik ini".

Juga soal berbagai konflik agraria di wilayah Lapago, khususnya Wamena yang berkaitan dengan pembangunan Kantor Gubernur Provinsi Papua Pegunungan. Ada indikasi perampasan tanah adat, tanpa izin masyarakat adat. Juga di Selatan Papua, Merauke, Bovendigoel, lalu di Barat Papua, Sorong dan wilayah Papua lainnya. 

Lebih lanjut, di Nabire soal perusahaan kayu yang menyebabkan deforestasi. Juga soal Tambang Emas Ilegal di Waropen. Kemudian, juga dilihat soal Limbah Tailing Freeport yang berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di wilayah Pesisir Mimika. 
Masalah kebijakan, disinggung terkait Otonomi Khusus (Otsus) di Papua bahwa "Praktek Otsus di Papua tidak berjalan sesuai dengan yang semestinya, seperti di beberapa daerah otonomi yang ada di Indonesia dan dunia".

Di akhir Diskusi, mereka menuliskan beberapa tuntutan pada poster, seperti "Tolak PSN di Sorong dan Tambrauw", "Tolak Pembangunan Batalyon di Tambrauw", "Dengar Suara Rakyat, bukan Suara Investor", "Hentikan Operasi Militer di Seluruh Tanah Papua" dan berbagai tuntutan lainnya. 

Lalu ditutup dengan menyampaikan pernyataan sikap, yaitu " Kami Front Selamatkan Hutan dan Masyarakat Adat Tambrauw Menolak PSN dan Pembangunan Batalyon di Tambrauw". 

[Maxi Syufi]

Pos .Admin 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia, Orang Sulawesi yang Mengklaim Diri Sebagai “Anak Papua”

Sebuah Mesin Perampasan yang Bekerja atas Nama Negara, Investasi, dan Kepentingan Global.  Oleh : Victor F. Yeimo  Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Holandia-Melangkah Tanpa Alas Kaki - Bahlil   Lahadalia, orang Sulawesi yang mengklaim diri sebagai “anak Papua” memainkan peran yang secara teoritis dapat kita sebut sebagi agen apropriatif kolonial, atau individu yang melakukan klaim identitas demi legitimasi proyek hegemonik pusat atas wilayah pinggiran.  Bahlil Lahadalia, Sebagai Menteri Investasi, ia menjelma menjadi agen ideologis dan teknokratis kapitalisme kolonial. Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua adalah mega-infrastruktur of dispossession, yaitu infrastruktur raksasa yang berfungsi sebagai mekanisme primitive accumulation dalam versi abad ke-21. PSN adalah wajah mutakhir dari kapitalisme kolonial, sebuah mesin perampasan yang bekerja atas nama negara, investasi, dan kepentingan global.  Di Merauke, negara merampas...

SEPOTONG PERAHU KERTAS

"Tak Semua Rindu Perlu Disuarakan" Karena tak semua rindu perlu disuarakan, sebab ada yang lahir bukan untuk kembali, hanya untuk tumbuh diam-diam di antara jeda nafas dan lamunan malam hari. Aku belajar mencintai tanpa harus memiliki, seperti hujan yang jatuh tanpa bertanya: apakah tanah ingin basah? Atau langit ingin reda? Ada nama yang tak lagi kusebut, tapi selalu hadir dalam doa yang tak keras suaranya. Ia menetap di ruang yang tak kasat mata, menyatu dengan detak yang tak pernah berhenti menyebutmu dalam diam. Kita pernah berjalan beriringan, meski arah kita tak sama. Kita pernah saling menatap, meski akhirnya saling melepas dengan mata basah. Dan kini, aku tahu... cinta tak harus tinggal, rindu tak harus pulang, dan yang pergi pun tak selalu hilang. Karena ada cinta yang hanya ingin dijaga  untuk dibawa ke pelaminan, tapi cukup disimpan dalam dada sebagai bukti: aku pernah merasa sedalam itu setulus itu dan selembut ini— tanpa satu pun kau sadari. Kota 🍊 0...

Ini 11 Pernyataan Protes KNPB Mengenai New York Agreement, Apa Saja?

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Menado-Melangkah Tanpa Alas kaki - Manado - Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan menolak perjanjian New York yang dilakukan Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB tanpa melibatkan bangsa Papua. Pernyataan itu disampaikan KNPB memperingati perjanjian New York yang terjadi pada 15 Agustus 1962. “Kami menolak Perjanjian New York 1962 yang dibuat secara sepihak tanpa melibatkan bangsa Papua dan yang mengkhianati hak kami untuk merdeka dan berdiri sendiri,” kata Hiskia Meage, Ketua KNPB Konsulat Indonesia pada 15 Agustus 2024. Hiskia mengatakan, perjanjian tersebut tidak memiliki legitimasi, karena tidak mencerminkan keinginan dan aspirasi rakyat dan bangsa Papua. Oleh sebab itu, KNPB menyatakan sikap bahwa ; 1. Pihaknya menolak hasil Pepera 1969, yang dilaksanakan dengan manipulasi, intimidasi, dan kekerasan. Proses Pepera yang melibatkan hanya 1.026 orang dari sekitar 809.337 rakyat Papua dan di bawah ancaman senjata tidak mencerminkan p...