Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia, Orang Sulawesi yang Mengklaim Diri Sebagai “Anak Papua”
Sebuah Mesin Perampasan yang Bekerja atas Nama Negara, Investasi, dan Kepentingan Global.
Oleh : Victor F. Yeimo
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Holandia-Melangkah Tanpa Alas Kaki -Bahlil Lahadalia, orang Sulawesi yang mengklaim diri sebagai “anak Papua” memainkan peran yang secara teoritis dapat kita sebut sebagi agen apropriatif kolonial, atau individu yang melakukan klaim identitas demi legitimasi proyek hegemonik pusat atas wilayah pinggiran.
Bahlil Lahadalia, Sebagai Menteri Investasi, ia menjelma menjadi agen ideologis dan teknokratis kapitalisme kolonial.
Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua adalah mega-infrastruktur of dispossession, yaitu infrastruktur raksasa yang berfungsi sebagai mekanisme primitive accumulation dalam versi abad ke-21. PSN adalah wajah mutakhir dari kapitalisme kolonial, sebuah mesin perampasan yang bekerja atas nama negara, investasi, dan kepentingan global.
Di Merauke, negara merampas 2,3 juta hektare lahan adat untuk klaster pangan dan energi. Di klaster 2 (Wogikel–Wanam, 283.000 ha) dan klaster 3 (Tanah Miring–Jagebob, 39.579 ha), mesin-mesin Jhonlin Group menggunduli hutan adat dengan kekuatan represif negara sebagai pelindungnya. Sementara di Fakfak, dibangun Kawasan Industri Pupuk seluas 2.000 hektar. Ini adalah ekosida yang dilegalkan, di mana aparat dan undang2 hanya menjadi alat pendukung bagi korporasi.
Oligarki2 seperti Jhonlin Group adalah aktor predatorik dalam struktur kapitalisme Indonesia. Mereka adalah corporate raiders, bukan investor. Mereka tidak membangun, mereka menjarah. Istilah yang lebih tepat bagi mereka adalah perampok ekologis (ecological looters) dan kapitalis parasit (parasitic capitalists), yang menciptakan surplus bukan dari inovasi, melainkan dari perampasan wilayah hidup rakyat kecil.
Dalam paradigma accumulation by dispossession (Harvey, 2005), tanah adat, hutan, dan kehidupan masyarakat dikomodifikasi, diubah menjadi nilai tukar, dan dimasukkan ke dalam sirkuit kapital. Dalam proses ini, yang dihancurkan bukan hanya ekologi, tapi juga ontologi hidup masyarakat adat Papua, atau cara hidup, sistem makna, dan spiritualitas yang berakar dalam tanah dan ruang.
Lebih jauh, proyek ini menunjukkan logika necropolitik (Mbembe, 2003): negara menciptakan kondisi di mana kehidupan rakyat Papua tidak layak hidup, sambil memberikan legitimasi kekerasan atas nama “pembangunan nasional”. Di sini, teknokrasi pembangunan beraliansi dengan militerisme, menciptakan apa yang bisa disebut sebagai rezim militer-kapitalis: suatu tatanan politik di mana kekuatan senjata dan uang bekerja simultan dalam menduduki dan menguasai ruang-ruang rakyat.
Dalam konteks ini, proyek-proyek PSN bukan kebijakan pembangunan, tapi alat kolonisasi ekonomi. Elite seperti Bahlil tidak bisa lagi disebut sebagai pejabat negara biasa, tetapi sebagai manajer kapitalisme kolonial, sekaligus pencuri identitas politik rakyat Papua. Dengan menyamar sebagai “anak Papua”, ia melakukan apropriasi politik identitas, sebuah bentuk kekerasan simbolik yg menyamarkan kolonialisme sebagai representasi.
Sementara, bupati, gubernur, DPRP, MRP, dan elite adat adalah kolaborator lokal dalam proyek kolonialisme neoliberal. Mereka adalah bagian dari apa yang Frantz Fanon (1961) sebut sebagai “kelas menengah terjajah yang bermimpi menjadi penjajah”, mereka meniru gaya, retorika, dan brutalitas kolonialisme yang menindas bangsanya sendiri demi sedikit kekuasaan dan akses pada meja makan para tuan besar. Mereka adalah klas kolaborator, pelumas mesin penghancur yang bernama PSN.
Dalam logika Gramscian, mereka adalah agen hegemonik, yang mereproduksi kekuasaan kapitalis dari dalam struktur lokal. Mereka menyulap eksklusi menjadi “partisipasi”, menyamarkan perampasan menjadi “kemajuan”. Tapi di balik semua itu, mereka adalah pengkhianat kelas, penjilat kuasa pusat yg rela menjadi pemandu jalan bagi kolonialisme baru yang membunuh hutan, merampok tanah, dan membungkam perlawanan.
Mereka juga datang dengan jubah intelektual dan kitab suci di tangan, menyelipkan kekuasaan dalam wacana "pengetahuan" dan "kebenaran rohani". Maka lahirlah satu lapisan pengkhianat baru: kaum intelektual penjinak dan pemuka iman kooptatif. Mereka adalah apa yang Edward Said sebut sebagai “intelektual organik kekuasaan kolonial”, mereka tidak netral, mereka berpihak, dan keberpihakan mereka adalah kepada penindas.
Para akademisi penjinak dan pemuka agama kooptatif adalah ideolog kekuasaan, penjaga narasi resmi kolonialisme. Mereka menabur kebingungan dalam benak rakyat, menekan kesadaran kritis, dan menyamarkan perlawanan sebagai dosa atau irasionalitas.
Mereka adalah bagian dari blok historis hegemonik: aparatus ideologis yang diproduksi untuk menjinakkan radikalisme, melucuti semangat pembebasan, dan mengamankan proyek kolonialisme dan kapitalisme ekstraktif di Papua. Mereka bukan sekadar penonton pasif; mereka adalah koordinator ilusi, plindung moral palsu bagi penguasa.
Jadi, mari bongkar dan lawan para elite komprador yang menjadi perpanjangan tangan Jakarta. Ungkap dan hadapi pemuka agama dan akademisi kooptatif sebagai bagian dari mesin pembius rakyat. Tunjuk para pengusaha dan investor predatorik sebagai penjarah ruang hidup dan musuh rakyat.
Bangsa Papua harus keluar dari jebakan kolonialisme pembangunan dan ilusi negara kesejahteraan. Jalan kita adalah jalan pembebasan. Tidak ada kemerdekaan tanpa kesadaran. Tidak ada pembebasan tanpa perlawanan. Dan tidak ada perlawanan yang menang tanpa organisasi rakyat yang ideologis dan revolusioner.
Pos. Admin
Komentar
Posting Komentar