Langsung ke konten utama

JENDELA KELUARGA

Oleh. Mahesa Jenar
Seekor burung merpati mengepakkan sayap putihnya di bawah jendela kamarku, sedih atau pun gembira. Rasa lapar membuatnya membuka paruhnya di bawah sana. Ia adalah pengunjung setia saban pagi dan menjelang petang. Seperti itu yang selalu kuingat. Di manakah sekarang si burung merpati putih itu?

Rumah masa kecilku ini, tempatku kembali setelah belasan tahun bertualang. Tidak ada yang berubah, selalu ada kebahagiaan, yang semakin besar dan terang. Tempat tidurku masih di tempat yang sama, di mana aku biasa melamun tentang dunia luar, selama berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Aku biasa berdiri di dekat jendela, dengan malu-malu mencuri pandang pada tetanggaku yang jelita, sambil memberi makan si burung merpati putih itu. Di manakah sekarang burung yang cantik itu?

Dari jendela kamarku, dulu aku bisa melihat anak-anak lain dengan riang bermain di lapangan terbuka, juga di jalanan. Melihat mereka dipeluk ayah bundanya saat terjatuh. Melihat kedua orang tuanya memegang tangan anaknya dengan rasa sayang. Atau, sesekali melihat kekesalan wajah mereka saat senja mengusaikan semua permainan. Terkadang aku juga melihat, si burung merpati putih yang cantik itu terbang di atas mereka. Mungkin ingin memberi nasihat, “Senja telah menjelang, istirahatlah di rumah. Esok bermain lagi dengan riang.” Di manakah sekarang burung merpati putih yang cantik itu berada?

Kini aku sudah dewasa. Usiaku sudah tiga puluh dua. Saat aku remaja, ribuan kali aku bermimpi, suatu hari nanti bisa memegang dan memeluk anak-anakku dengan tanganku sendiri. Sekarang aku masih berdiri di jendela kamarku ini. Memandang dunia tersayang dengan bahagia dan sedih. Bahwa aku pulang dengan segala kedewasaan dan beban hidup. Aku sudah lebih tua, lebih besar, tapi entah apakah lebih bahagia dari masa kecilku dulu. Karena masa kecil selalu kaya dengan harapan dan impian, dan masa dewasa adalah perjuangan dan kenyataan. Tetiba aku merindukan burung merpati putih yang cantik itu. Di manakah ia sekarang? Benarkah aku merindukannya?

Hari sudah menjelang senja. Jendela kamar lamaku ini kutarik dengan perlahan, sedikit berderit sebelum benar-benar tertutup rapat. Ada gelak tawa anak istriku dari dalam rumah. Sebuah jendela kamar adalah dunia kecil bagi seorang bocah. Kututup rapat-rapat, agar bisa membuka jendela yang lebih besar, jendela keluarga. Di sana, aku bisa melihat segala keindahan dan kebahagiaan memenuhi segala ruang. Kedua anakku bermain dengan riang, istriku menjaganya dengan senyuman. Aku seperti melihat beberapa burung merpati putih mengepakkan sayap dengan riang. Burung merpati putih paling cantik yang pernah kulihat.

  Malang, 26 Februari 2023

Post. Admind

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia, Orang Sulawesi yang Mengklaim Diri Sebagai “Anak Papua”

Sebuah Mesin Perampasan yang Bekerja atas Nama Negara, Investasi, dan Kepentingan Global.  Oleh : Victor F. Yeimo  Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Holandia-Melangkah Tanpa Alas Kaki - Bahlil   Lahadalia, orang Sulawesi yang mengklaim diri sebagai “anak Papua” memainkan peran yang secara teoritis dapat kita sebut sebagi agen apropriatif kolonial, atau individu yang melakukan klaim identitas demi legitimasi proyek hegemonik pusat atas wilayah pinggiran.  Bahlil Lahadalia, Sebagai Menteri Investasi, ia menjelma menjadi agen ideologis dan teknokratis kapitalisme kolonial. Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua adalah mega-infrastruktur of dispossession, yaitu infrastruktur raksasa yang berfungsi sebagai mekanisme primitive accumulation dalam versi abad ke-21. PSN adalah wajah mutakhir dari kapitalisme kolonial, sebuah mesin perampasan yang bekerja atas nama negara, investasi, dan kepentingan global.  Di Merauke, negara merampas...

SEPOTONG PERAHU KERTAS

NEGERI BAJAKAN Di negeriku yang lucu ini Nelayan adalah bajak laut Petani bajak tanah Anak-anak bajak wifi Agama bajak kewarasan Pejabat bajak rakyat Di bawah hukum pemerintah bajakan Di negeri yang penuh drama ini Pencuri sandal lebih biadab dari koruptor Nyawa aktivis tak ada harganya dibandingkan sebungkus rokok yang membela tanah adat, dibunuh dan mayatnya dibuang ke dalam got Darah-darah mengalir, membasuh dosa siapa, membaptis anak-anak siapa? Pemuda-pemuda merancang perlawanan Dari dusun-dusun kecil, pulau-pulau terpencil Dari pendidikan-pendidikan yang kalian sebut, terbelakang Dari orang-orang yang kalian sebut miskin dengan baju diskriminasi Pemuda-pemuda jangan berhenti melakukan perlawanan Di negeri yang lebih mencintai baliho daripada rakyatnya sendiri Di negeri yang lebih mencintai investor daripada anaknya sendiri Jangan berhenti melakukan perlawanan di negeri yang sibuk membangun dinasti politik daripada membangun sekolah dan rumah sakit Sekolah baik-baik, b...

Ini 11 Pernyataan Protes KNPB Mengenai New York Agreement, Apa Saja?

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Menado-Melangkah Tanpa Alas kaki - Manado - Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan menolak perjanjian New York yang dilakukan Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB tanpa melibatkan bangsa Papua. Pernyataan itu disampaikan KNPB memperingati perjanjian New York yang terjadi pada 15 Agustus 1962. “Kami menolak Perjanjian New York 1962 yang dibuat secara sepihak tanpa melibatkan bangsa Papua dan yang mengkhianati hak kami untuk merdeka dan berdiri sendiri,” kata Hiskia Meage, Ketua KNPB Konsulat Indonesia pada 15 Agustus 2024. Hiskia mengatakan, perjanjian tersebut tidak memiliki legitimasi, karena tidak mencerminkan keinginan dan aspirasi rakyat dan bangsa Papua. Oleh sebab itu, KNPB menyatakan sikap bahwa ; 1. Pihaknya menolak hasil Pepera 1969, yang dilaksanakan dengan manipulasi, intimidasi, dan kekerasan. Proses Pepera yang melibatkan hanya 1.026 orang dari sekitar 809.337 rakyat Papua dan di bawah ancaman senjata tidak mencerminkan p...