Oleh. Mahesa Jenar
Seekor kenari kecil tinggal di sebuah pohon kecil.
Saat ia membuka mulutnya selalu ada rasa manis yang keluar, suaranya seperti cahaya keemasan di sekitar dahan cemara.
Tapi kenari itu tidak puas.
Ia benar-benar tidak puas.
Bosan ia sebagai penghibur.
Ia melihat banyak orang berkumpul di bawah pohon untuk mendengarkan suaranya.
Ia pun berpikir: aku lebih tinggi dari mereka, aku memberi banyak kesenangan pada manusia.
Ia pun terus berbicara, yang kita dengar sebagai kicauan.
Ia berorasi perihal perasaannya pada semesta, kita mendengarnya sebagai kicauan merdu tanpa henti.
Ia berkeluh kesah susahnya cari ulat untuk mangsa, yang terdengar sebagai kicauan yang parau.
Ia ingin menjadi manusia.
Ingin menemukan gairah cinta yang lebih menjejak bumi.
Menyatukan kasih sayang dan emosi, beranak pinak dan membangun dinasti.
Tidak sekadar membuka mulut dan menutupnya lagi.
Kemudian mati.
Segera ia lengkingkan suaranya tinggi-tinggi, sebelum ia pejamkan mata dan menjatuhkan diri ke bawah, agar bisa menjadi manusia.
Nada manis seketika hilang dari mulutnya.
Tubuhnya jatuh berdebam pelan ke bumi, hilang begitu saja.
Semua orang sibuk mencari tubuhnya.
Tapi tak ada bekasnya sama sekali.
Yang ada hanya cerukan kecil di tanah, yang segera hilang disapu angin.
Besoknya samar-samar terdengar kicau burung kenari.
Seperti dari tempat yang jauh, tapi begitu dekat di telinga.
Pelan suaranya, terasa sedikit menggema.
Rupanya ia telah melanjutkan perjalanannya lagi.
Tetap sebagai kenari.
2. BIRU ABADI DI KAWAH IJEN
(kenangan di Kawah Ijen Banyuwangi)
Ia serupa bintang malam, yang muncul dengan lambat dari bagian gelap lembah terendah, tempat ia dilahirkan.
Keinginannya hanya ingin merentang malam; lalu meluncur ke laut selatan, juga ke dalam langit yang redup, tempat ia merahasiakan kekuatannya.
Barisan cahaya di belakangnya berjejer rapi dan menyatu, merangkak diam-diam, perlahan, sampai pada beberapa perbukitannya yang suram.
Pantulan kilauannya samar, menguar diiringi garis tipis awan yang terbentang panjang-panjang.
Bayangnya akan terus bergerak mengikuti curamnya lembah, seperti benang renda perak yang keluar dari tempat pembilasan.
Kemudian ia akan berputar-putar di pusarannya yang terdalam, yang perlahan-lahan dilapisi kuasa merah membara yang keemasan.
Pada akhirnya akan terlihat blue safir besar yang terbakar, meletup-letup, ia berontak untuk terakhir kali, sebelum berangsur menyerah seutuhnya pada fajar yang merekah
3. MENANAM PUISI
Kita musafir seluasnya bumi, menanam puisi, tanpa perduli beberapa kemungkinan laba atas investasi, apakah untung atau rugi.
Meski terkadang harus mengakui ada kegagalan dalam tugas ini; pada prinsipnya ini bukan laku atau tidak laku, tapi menanamnya karena kita mau.
Terkadang dan hanya sepintas di benak, seharusnya tidak susah untuk menumbuhkannya.
Atau, jika kita harus menanamnya saat hujan lebat, pada malam-malam dingin yang semakin kerap datang akhir-akhir ini, seharusnya ia akan terus tumbuh.
Tanah di sini gembur, dan puisi selalu berkawan dengan musim yang basah -- sedang di negeri lain, bisa saja sepanjang dua belas bulan panas, kering dan kerontang.
Semua ini milik kita; bersama kita menanam benihnya, melihat tunas pertama merobek tanah, dan segera saja rimbun hijaunya semaki hari-hari.
Kita memiliki benih terbaik di hati, dalam pemahaman yang telanjang tanpa membeda-bedakan harga hidup dan diri.
Kita tidak perlu tahu, atau tidak perduli seberapa banyak hama yang akan muncul; jamur di batang, daun berbintik-bintik, menguning dan berjatuhan -- bahkan di bulan Maret ini, pada musim pancaroba yang renyai.
Kitalah yang bertanggung jawab untuk tanaman merambat ini.
Post. Admind
Komentar
Posting Komentar