Langsung ke konten utama

Apakah Dialog adalah Solusi, Masalah atau Sarana Penyelesaian Konflik West Papua...?

Bagian I

Banyak Pihak telah mendorong Penyelesaian Konflik West Papua. Salah satunya adalah Dialog. Dialog sendiri, bukan Wacana baru, namun itu telah didorong dan disampaikan oleh Tim 100 Papua kepada BJ. Habibie pada waktu itu. Bahkan Dialog menjadi salah satu Keputusan Bangsa Papua melalui Kongres Papua II Tahun 2000. Dialog yang dimaksudkan itu adalah Dialog Internasional. Namun, itu tidak pernah terjadi. Walaupun memang saat itu (1999 - 2001) kesatuan dan persatuan Bangsa Papua terakomodir di dalam Presidium Dewan Papua (PDP). 

Setelah mangkatnya pemimpin bangsa Papua, Alm. Dortheys Hiyo Eluay (10 November 2001), Otsus mulai diberlakukan di Papua. Frasa "Dialog" menjadi "Tabu". Bahkan oleh Pdt. Dr. Beny Giay menyatakan Dialog itu ibarat "Rebus Batu". Walaupun demikian, Alm.Pater Dr. Neles Tebay, Pr secara konsisten terus mewacanakan Dialog. Sejatinya, dimulai sejak tahun 2008, sampai pada 2010, Alm. Dr. Neles Tebay, Pr mendirikan Jaringan Damai Papua (JDP) bersama Dr. Muridan. Berbagai Lokakarya dan FDG dilakukan guna menjaring pemikiran / gagasan serta aspirasi untuk menciptakan Papua Tanah Damai (PTD). 

Barulah di tahun 2011, puncak konsolidasi JDP , menyelenggarakan Konferensi Perdamaian Papua (KPP). KPP inilah melahirkan 5 juru Runding dari West Papua, misalnya Beni Wenda, Octo Mote, Leony Tanggahma, dst. Frasa "Dialog" tidak menjadi "Tabu" lagi. Walau memang ada penolakan sana-sini. 

Memang, peran yang dimainkan JDP yang dikoordinir oleh Pater. Dr. Neles Tebay dan Dr. Muridan menimbulkan "Paradoxa" tersendiri. Di sisi lain, mereka dituduh sebagai Pendukung Separatis West Papua atau Pendukung "Papua Merdeka Harga Mati". Pada lain pihak, mereka dicurigai sebagai pendukung "NKRI Harga Mati". Dalam kondisi ini, Pater Dr. Neles dan Dr. Muridan tetap konsisten mendorong Dialog. 

Barangkali yang terpenting bagi mereka (Pater Neles dan Muridan), Jakarta dan Papua mestinya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dalam forum Dialog. Namun, itupun mestinya ada pihak netral sebagai Fasilitator, Mediator dan Observer (Pengamat). Pemikiran ini tergambar jelas di cover buku Alm Pater Dr. Neles Tebay "Dialog Jakarta-Papua: Perspektif Papua, terbitan tahun 2010". Memang tidak tersurat atau disebut secara eksplisit pihak Netral tersebut itu Siapa....? Ini mengandaikan pihak Netral yang dimaksud adalah para pihak yang mendapat Pengakuan dan atau disetujui atau diterima oleh Indonesia maupun Papua. Dalam bahasa lainnya, Jakarta maupun Papua menerima dan menyepakati pihak netral tersebut. 

Barangkali, dalam pemikiran JDP waktu itu (Alm. Pater Neles dan Alm. Muridan) Jakarta dan Papua sama-sama memilki Satu Konsep dan atau Visi Bersama Tentang Papua Tanah Damai (PTP). Ini juga tersurat dalam buku tersebut di atas, di mana Alm. Pater Neles juga merujuk pada Hasil konsep Papua Tanah Damai (PTP) dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura, yang waktu itu (tahun 2000) merumuskan hasil Lokakarya Pemimpin Agama di tanah Papua. 

Selain itu, juga merujuk pada hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, kini BRIN) tentang Papua Road Map (PRM, tahun 2009) yang merumuskan 4 akar masalah Papua, mendapatkan perhatian penting di mana sejumlah bagi JDP, barangkali mesti dipetakan, agar setiap Aktor Konflik terlihat jelas berdasarkan kepentingannya masing-masing.

Bersambung....

Post. Admind

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia, Orang Sulawesi yang Mengklaim Diri Sebagai “Anak Papua”

Sebuah Mesin Perampasan yang Bekerja atas Nama Negara, Investasi, dan Kepentingan Global.  Oleh : Victor F. Yeimo  Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Holandia-Melangkah Tanpa Alas Kaki - Bahlil   Lahadalia, orang Sulawesi yang mengklaim diri sebagai “anak Papua” memainkan peran yang secara teoritis dapat kita sebut sebagi agen apropriatif kolonial, atau individu yang melakukan klaim identitas demi legitimasi proyek hegemonik pusat atas wilayah pinggiran.  Bahlil Lahadalia, Sebagai Menteri Investasi, ia menjelma menjadi agen ideologis dan teknokratis kapitalisme kolonial. Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua adalah mega-infrastruktur of dispossession, yaitu infrastruktur raksasa yang berfungsi sebagai mekanisme primitive accumulation dalam versi abad ke-21. PSN adalah wajah mutakhir dari kapitalisme kolonial, sebuah mesin perampasan yang bekerja atas nama negara, investasi, dan kepentingan global.  Di Merauke, negara merampas...

SEPOTONG PERAHU KERTAS

NEGERI BAJAKAN Di negeriku yang lucu ini Nelayan adalah bajak laut Petani bajak tanah Anak-anak bajak wifi Agama bajak kewarasan Pejabat bajak rakyat Di bawah hukum pemerintah bajakan Di negeri yang penuh drama ini Pencuri sandal lebih biadab dari koruptor Nyawa aktivis tak ada harganya dibandingkan sebungkus rokok yang membela tanah adat, dibunuh dan mayatnya dibuang ke dalam got Darah-darah mengalir, membasuh dosa siapa, membaptis anak-anak siapa? Pemuda-pemuda merancang perlawanan Dari dusun-dusun kecil, pulau-pulau terpencil Dari pendidikan-pendidikan yang kalian sebut, terbelakang Dari orang-orang yang kalian sebut miskin dengan baju diskriminasi Pemuda-pemuda jangan berhenti melakukan perlawanan Di negeri yang lebih mencintai baliho daripada rakyatnya sendiri Di negeri yang lebih mencintai investor daripada anaknya sendiri Jangan berhenti melakukan perlawanan di negeri yang sibuk membangun dinasti politik daripada membangun sekolah dan rumah sakit Sekolah baik-baik, b...

Ini 11 Pernyataan Protes KNPB Mengenai New York Agreement, Apa Saja?

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Menado-Melangkah Tanpa Alas kaki - Manado - Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan menolak perjanjian New York yang dilakukan Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB tanpa melibatkan bangsa Papua. Pernyataan itu disampaikan KNPB memperingati perjanjian New York yang terjadi pada 15 Agustus 1962. “Kami menolak Perjanjian New York 1962 yang dibuat secara sepihak tanpa melibatkan bangsa Papua dan yang mengkhianati hak kami untuk merdeka dan berdiri sendiri,” kata Hiskia Meage, Ketua KNPB Konsulat Indonesia pada 15 Agustus 2024. Hiskia mengatakan, perjanjian tersebut tidak memiliki legitimasi, karena tidak mencerminkan keinginan dan aspirasi rakyat dan bangsa Papua. Oleh sebab itu, KNPB menyatakan sikap bahwa ; 1. Pihaknya menolak hasil Pepera 1969, yang dilaksanakan dengan manipulasi, intimidasi, dan kekerasan. Proses Pepera yang melibatkan hanya 1.026 orang dari sekitar 809.337 rakyat Papua dan di bawah ancaman senjata tidak mencerminkan p...