Langsung ke konten utama

PRAKTEK TINDAKAN KEKERASAN APARAT KEAMANAN TERHADAP ORANG ASLI PAPUA DALAM TIGA BULAN TERAKHIR

Oleh . Emanuel Gobai SH.MH.
Direktur LBH Papua 
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Holandia- Jayapura- Melangkah Tanpa Alas Kaki- Melalui enam gambar alat bukti elektronik dalam bentuk gambar atau foto dibawah telah memunjukan fakta tindakan kekerasan terhadap Orang Asli Papua dalam 3 bulan terakhir pada tahun 2024 yang terjadi di Kabupaten yang berbeba-beda di Tanah Air Papua. 

Dua foto pertama dibawa ini menunjukan fakat tindakan kekerasan Aprata Keamanan Indonesia terhadap Masyarakat Sipil Papua di Kabupaten Intan Jaya yang terkadi dalam bulan Januari 2024.
 Selanjutnya dalam dua foto berikutnya dibawah ini menunjukan fakta tindakan penyiksaan terhadap beberapa anak sekolah oleh Aparat Keamanan Indonesia di Kabupaten Yahokimo yang terjadi di bulan Februari 2024. Dua foto terakhir dibawah itu menunjukan fakta tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh Aparat Keamanan Indonesia di Kabupaten Pucak pada bulan Maret 2024. 

Semua tindakan itu dilakukan sebagai praktek operasi damai cartenz yang telah diperpanjang sejak bulan Januari 2024 sampai dengan Desember 2024 nanti sehingga tentunya melalu ketiga peristiwa yang menimpa korban dibeberapa kabupaten dalam wilayah tanah air Papua adalah bagian langsung dari satu kesatuan Operasi Damai Cartenz yang telah diperpanjang itu. Melalui fakta itu secara langsung mempertanyakan tujuan perpanjangan Operasi tersebut ?. Apakah untuk melegalkan tindakan kekerasan terhadap Orang Asli Papua ataulah untuk penegakan hukum ataukah untuk mengelabui mata internasional yang sedang tertuju ke Papua. 

Pada prinsipnya ketiga peristiwa kekerasan yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Yahokimo dan di Kabupaten Puncak sampai saat ini belum dipenuhi hak atas keadilan sehingga korban ataupun keluarga korban masih terus menungggu hadirnya keadilan melalui penegakan hukum mengunakan berbagai sarana hukum yang telah disediakan Negara sebagai bentuk sarana pemenuhan hak atas keadilan bagi siapapun termasuk para korban kekerasan sebagaimana dalam bukti foto dibawah.

Lamanya pemenuhan hak atas keadilan itu merupakan bagian langsung usaha secara sadar yang dilakukan oleh Pihak terkait untuk memberikan impunitas kepada para oknum aparat keamaanan pelaku kekerasan terhadap Masyarakat Sipil Papua. Fakta upaya memberikan impunitas terlihat dengan jelas dengan pernyataan Pandam Cenderawasi yang mengatakan bahwa Video Viral Penyiksaan Warga Papua dalam Drum oleh beberapa Oknum anggota TNI padahal dalam perkembangannya Kapemdam Mabes TNI mengakui bahwa Video viral tersebut benar adanya. 

Pada dasarnya semua manusia bersama keduduknya didepan hukum sama adanya sehingga siapapun yang telah melakukan tindakan kekerasan wajib diproses hukum demi memenuhi hak atas keadilan bagi korban dan keluarga korban. Dengan dasar semua sama dimata hukum maka sudah sewajibnya seluruh gerakan penegakan hukum digalakan untuk mendorong penjahat masuk kedalam Bui.

Keadilan Untuk 
Korban Kekerasan Aparat.

Dokumen.
Penganiayaan Aparat Indonesia terhadap warga sipil Papua dalam 3 bulan terakhir ini.
1. Dua Gambar dibawa Kabupaten Intanjaya 
a. Kabupaten Intanjaya, Januari 2024
b. Kabupaten Intan Jaya Januari 2024

2. Dua Gambar dibawa Kabupaten Yahukimo 
a. Kabupaten Yahukimo Februari 2024
b. Kabupaten Yahukimo Februari 2024

3. Dua Gambar dibawa Kabupaten Puncak.
a. Kabupaten Puncak Maret 2024
b. Kabupaten Puncak Maret 2024


Post. Admind

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia, Orang Sulawesi yang Mengklaim Diri Sebagai “Anak Papua”

Sebuah Mesin Perampasan yang Bekerja atas Nama Negara, Investasi, dan Kepentingan Global.  Oleh : Victor F. Yeimo  Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Holandia-Melangkah Tanpa Alas Kaki - Bahlil   Lahadalia, orang Sulawesi yang mengklaim diri sebagai “anak Papua” memainkan peran yang secara teoritis dapat kita sebut sebagi agen apropriatif kolonial, atau individu yang melakukan klaim identitas demi legitimasi proyek hegemonik pusat atas wilayah pinggiran.  Bahlil Lahadalia, Sebagai Menteri Investasi, ia menjelma menjadi agen ideologis dan teknokratis kapitalisme kolonial. Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua adalah mega-infrastruktur of dispossession, yaitu infrastruktur raksasa yang berfungsi sebagai mekanisme primitive accumulation dalam versi abad ke-21. PSN adalah wajah mutakhir dari kapitalisme kolonial, sebuah mesin perampasan yang bekerja atas nama negara, investasi, dan kepentingan global.  Di Merauke, negara merampas...

SEPOTONG PERAHU KERTAS

NEGERI BAJAKAN Di negeriku yang lucu ini Nelayan adalah bajak laut Petani bajak tanah Anak-anak bajak wifi Agama bajak kewarasan Pejabat bajak rakyat Di bawah hukum pemerintah bajakan Di negeri yang penuh drama ini Pencuri sandal lebih biadab dari koruptor Nyawa aktivis tak ada harganya dibandingkan sebungkus rokok yang membela tanah adat, dibunuh dan mayatnya dibuang ke dalam got Darah-darah mengalir, membasuh dosa siapa, membaptis anak-anak siapa? Pemuda-pemuda merancang perlawanan Dari dusun-dusun kecil, pulau-pulau terpencil Dari pendidikan-pendidikan yang kalian sebut, terbelakang Dari orang-orang yang kalian sebut miskin dengan baju diskriminasi Pemuda-pemuda jangan berhenti melakukan perlawanan Di negeri yang lebih mencintai baliho daripada rakyatnya sendiri Di negeri yang lebih mencintai investor daripada anaknya sendiri Jangan berhenti melakukan perlawanan di negeri yang sibuk membangun dinasti politik daripada membangun sekolah dan rumah sakit Sekolah baik-baik, b...

Ini 11 Pernyataan Protes KNPB Mengenai New York Agreement, Apa Saja?

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Menado-Melangkah Tanpa Alas kaki - Manado - Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan menolak perjanjian New York yang dilakukan Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB tanpa melibatkan bangsa Papua. Pernyataan itu disampaikan KNPB memperingati perjanjian New York yang terjadi pada 15 Agustus 1962. “Kami menolak Perjanjian New York 1962 yang dibuat secara sepihak tanpa melibatkan bangsa Papua dan yang mengkhianati hak kami untuk merdeka dan berdiri sendiri,” kata Hiskia Meage, Ketua KNPB Konsulat Indonesia pada 15 Agustus 2024. Hiskia mengatakan, perjanjian tersebut tidak memiliki legitimasi, karena tidak mencerminkan keinginan dan aspirasi rakyat dan bangsa Papua. Oleh sebab itu, KNPB menyatakan sikap bahwa ; 1. Pihaknya menolak hasil Pepera 1969, yang dilaksanakan dengan manipulasi, intimidasi, dan kekerasan. Proses Pepera yang melibatkan hanya 1.026 orang dari sekitar 809.337 rakyat Papua dan di bawah ancaman senjata tidak mencerminkan p...