Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Karena sering saya dituduh provokator mahasiswa Uncen, maka saya mau pertegas kritik kepada Uncen pada ulang tahunnya ke 63, juga mengenang 24 tahun pembunuhan pemimpin bangsa Theys H. Eluay, Bagi saya, seharusnya kampus menjadi ruang di mana manusia memuliakan akal, membebaskan pikiran, dan menantang kebodohan yang memelihara kekuasaan. Tetapi di bawah sistem kolonial, universitas kehilangan jiwanya. Ia tidak lagi menjadi rumah kebebasan, melainkan pabrik ideologi kekuasaan. Ilmu pengetahuan yang mestinya membebaskan kini menjadi alat legitimasi penindasan. Seperti dikatakan Edward Said dalam Orientalism, “Tidak ada ilmu yang netral di tanah yang dijajah; setiap pengetahuan adalah posisi.”
Di Papua, simbol paling nyata dari paradoks itu adalah Universitas Cenderawasih (Uncen). Didirikan pada 10 November 1962, hanya tiga bulan setelah Perjanjian New York, Uncen tidak lahir dari kesadaran bangsa Papua, tetapi dari rahim kekuasaan kolonial Indonesia. Sejak awal, ia dibangun bukan untuk mencerdaskan, tetapi untuk menaklukkan; bukan untuk membebaskan, tetapi untuk menundukkan. Dalam bahasa Michel Foucault, pengetahuan selalu berkaitan dengan kekuasaan. Di Papua, Uncen menjadi medan tempat kekuasaan beroperasi dalam bentuk ilmiah, kolonialisme yang berwajah akademik.
Sejak awal berdirinya, Uncen adalah bagian dari proyek besar integrasi Irian Barat. Dokumen arsip Departemen PTIP tahun 1962 menyebut tujuan pendiriannya sebagai upaya mempercepat integrasi wilayah melalui pendidikan tinggi. Dengan kata lain, universitas ini didirikan sebagai alat ideologis negara untuk memperhalus kekuasaan kolonial. Ngugi wa Thiong’o pernah menulis dalam Decolonising the Mind bahwa kolonialisme pengetahuan bekerja bukan dengan kekerasan, melainkan dengan membuat kebohongan tampak seperti kebenaran. Uncen mengajarkan Papua untuk mencintai penjajahan dengan bahasa pembangunan.
Kurikulumnya dibentuk dalam paradigma pembangunan nasional, yang oleh Arturo Escobar disebut sebagai discourse of development, sebuah wacana yang tampak modern tetapi sejatinya melestarikan struktur kolonial. Mahasiswa Papua diajarkan bahwa pembangunan adalah penyelamat, bukan alat eksploitasi. Bahwa integrasi adalah kasih, bukan aneksasi. Bahwa kemajuan adalah kewajiban, bukan tipu daya kekuasaan. Melalui kelas dan seminar, penjajahan menjadi tampak rasional, bahkan ilmiah. Uncen tidak mengajarkan rakyat Papua untuk berpikir kritis terhadap struktur penindasan, tetapi untuk beradaptasi dan menjadi warga yang baik dalam sistem penjajahan. Ia mencetak intelektual yang taat, bukan intelektual yang bebas.
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menggambarkan sistem pendidikan kolonial sebagai model “bank”, di mana penguasa menyetor pengetahuan ke pikiran kosong rakyat agar mereka belajar taat, bukan berpikir. Uncen menjadi contoh sempurna dari pendidikan semacam itu. Ia memproduksi kepatuhan dalam bentuk ilmiah. Ngugi wa Thiong’o menulis bahwa kolonialisme yang paling kuat bukanlah ketika tubuh dijajah, tetapi ketika pikiran dijadikan alat penjajahan itu sendiri. Uncen hari ini adalah puncak dari penjajahan pikiran itu.
Tanggal 10 November 2001 menjadi titik sejarah yang membekas di Papua. Malam itu, Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua, menghadiri undangan makan malam di markas militer Tribuana, Hamadi. Ia tidak pernah pulang. Keesokan harinya tubuhnya ditemukan tewas, dibunuh oleh anggota Kopassus. Ironinya, tanggal itu bertepatan dengan hari ulang tahun Uncen, universitas yang pada saat yang sama menjadi pabrik legitimasi bagi kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang baru disahkan.
Dua bulan sebelum pembunuhan Theys, pemerintah Indonesia meluncurkan Otsus sebagai “jalan damai Papua.” Namun “jalan damai” itu disusun oleh para akademisi Uncen yang duduk dalam tim pakar dan perumus kebijakan. Mereka menulis laporan dan rekomendasi, menyebut Otsus sebagai kompromi ilmiah untuk kemajuan Papua. Padahal, seperti diingatkan Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth, setiap kolonialisme modern menciptakan elite terjajah untuk menyalurkan kekuasaan penjajah. Otsus adalah contoh sempurna dari strategi itu.
Pada hari ulang tahun Uncen, simbol bangsa dibunuh. Pada hari yang sama ketika universitas kolonial dirayakan, simbol perlawanan dihabisi. Sejarah mencatatnya sebagai kebetulan; tetapi bagi rakyat Papua, itu adalah tanda: satu universitas kolonial dirayakan, satu pemimpin bangsa dikorbankan.
Dalam dua dekade terakhir, Uncen semakin meneguhkan perannya sebagai benteng ideologi negara. Riset-riset sosial diarahkan untuk memperkuat Otsus, bukan untuk membongkar kolonialisme. Seminar-seminar kampus lebih banyak membahas strategi percepatan pembangunan daripada sejarah perlawanan rakyat. Banyak dosen menjadi konsultan proyek negara, menulis kajian tentang “optimalisasi dana Otsus” sambil menutup mata pada militerisasi dan kekerasan yang terus berlangsung. Universitas yang seharusnya kritis berubah menjadi birokrasi akademik yang jinak.
Puncak kemunduran moral akademik itu terlihat ketika pihak rektorat Uncen menandatangani nota kesepahaman dengan Kepolisian Daerah Papua. Perjanjian itu diklaim demi menjaga keamanan kampus, tetapi pada praktiknya, menjadi izin bagi aparat untuk memasuki lingkungan akademik, memantau mahasiswa, dan membubarkan aksi-aksi yang dianggap “mengganggu ketertiban.” Sejak saat itu, polisi kerap berpatroli di dalam kampus, menghadiri diskusi, dan mengintimidasi mahasiswa yang berbicara soal HAM dan kemerdekaan Papua. Bahkan, menurut pengakuan seorang dosen di FISIP, aparat pernah meminta pihak fakultas mengawasi topik penelitian mahasiswa yang dianggap “sensitif”.
Kerja sama antara rektor dan kepolisian ini menjadikan Uncen kehilangan kedaulatannya sebagai lembaga akademik. Kampus yang seharusnya menjadi ruang bebas kini menjadi perpanjangan tangan negara. Louis Althusser menjelaskan, ketika lembaga pendidikan tunduk pada kekuasaan, ia berubah dari aparatus ideologis menjadi aparatus represif. Uncen kini menjalankan dua fungsi sekaligus: menundukkan pikiran dan menakut-nakuti tubuh. Seorang mahasiswa berkata, “Kami tidak lagi belajar di universitas, kami hidup di barak pengawasan.”
Represi terhadap pengetahuan Papua sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum kerja sama ini. Empat puluh tahun lalu, Arnold Clemens Ap, antropolog dan budayawan Uncen, dibunuh karena membangkitkan kesadaran Melanesia melalui musik Mambesak. Ia ditangkap, disiksa, dan ditembak mati di Pantai Base-G pada April 1984. Arnold dibunuh bukan karena membawa senjata, tetapi karena membawa kebenaran. Kematian Arnold adalah bukti nyata dari apa yang disebut Boaventura de Sousa Santos sebagai epistemicide, pembunuhan terhadap cara tahu non-Barat. Di Papua, epistemicide dilakukan bukan hanya dengan membunuh manusia, tetapi dengan membunuh pengetahuan yang lahir dari tanah dan budaya sendiri. Jika Theys dibunuh karena membangkitkan kesadaran politik, Arnold dibunuh karena membangkitkan kesadaran epistemik. Dua pembunuhan itu menunjukkan dua sisi dari kolonialisme yang sama: pembungkaman bangsa melalui pembungkaman ilmu.
Gerakan mahasiswa Uncen yang dulu menjadi tulang punggung perlawanan kini dijinakkan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. BEM diarahkan menjadi mitra pemerintah. Banyak mantan aktivis mahasiswa kini menjadi pengurus partai politik Indonesia, KNPI, atau pejabat dalam proyek Otsus. Gerakan mahasiswa telah berubah dari kekuatan moral menjadi sarana kaderisasi kolonial. Antonio Gramsci menulis, hegemoni bekerja ketika kaum terdidik dari bangsa tertindas ikut menjadi alat negara untuk menundukkan bangsanya sendiri.
Di ruang kuliah, kualitas pendidikan pun merosot. Laporan FISIP Uncen tahun 2021 mencatat 718 dari 918 mahasiswa mendapat nilai D dan hanya 20 yang mendapat nilai A. Angka ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Papua bukan dirancang untuk mencerdaskan, melainkan untuk menyaring dan melemahkan. PapuaTimes mencatat, dari 91.000 alumni Uncen hingga 2024, sebagian besar bekerja di birokrasi kolonial, lembaga proyek, atau perusahaan tambang. Mereka menjadi kelas menengah kolonial, terdidik tapi terpenjara. Seperti dikatakan Achille Mbembe dalam Critique of Black Reason, kolonialisme modern tidak lagi menindas melalui perbudakan fisik, tetapi melalui perbudakan aspirasi.
Bangsa yang dijajah tidak akan merdeka sebelum merebut kembali pengetahuannya. Dekolonisasi kampus berarti membongkar struktur pengetahuan kolonial yang menindas. Ia bukan reformasi akademik, melainkan revolusi epistemik. Dekolonisasi berarti menulis ilmu dari pengalaman rakyat Papua, menghapus dominasi kurikulum nasional, menarik aparat dari kampus, dan menghidupkan kembali warisan intelektual Arnold Ap dan Theys Eluay. Arnold mengajarkan bahwa pengetahuan bisa menjadi senjata, dan Theys mengingatkan bahwa politik tanpa kebenaran adalah pengkhianatan. Keduanya dibunuh karena berpihak pada bangsanya. Kini, generasi baru Papua memikul tanggung jawab itu: merebut kembali universitas, menjadikannya bukan alat penjajah, tetapi alat pembebasan bangsa.
Selama Uncen berada di bawah logika kolonial Indonesia, ia akan tetap menjadi mesin penundukan. Namun jika suatu hari kampus itu kembali ke tangan rakyat, menjadi tempat di mana ilmu berpihak pada keadilan dan kebenaran, maka di sanalah Papua akan menemukan kembali jiwanya: pengetahuan sebagai perlawanan.
Pengetahuan yang membebaskan bukan hanya tentang berpikir, tetapi juga tentang berpihak. Dan selama pengetahuan masih menjadi alat penjajah, setiap ruang belajar di Papua adalah medan perang.
Halte Putaran P3, Waena
9 November 2025
Pos. Admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar