Oleh: Rumahku
Kakek, penjual pisang yang sering mangkal di pasar Cileungsi, menghampiri begitu aku turun dari mobil.
"Saya belanja dulu ya Kek, nanti balik baru beli."
"Iya Neng, Kake tungguin yaa!"
Aku mengunci mobil dengan remote, lalu berjalan dengan sedikit jinjit, karena semalam hujan, jadi pasar agak becek.
Belanja di fress market sih jauh lebih nyaman, tapi harganya selangit boo, beda jauh dengan di pasar tradisional ini, meskipun yaa harus relah berbecek ria.
Setelah belanja, aku pulang. Dalam perjalanan menuju Kota Wisata, macetnya minta ampun.
Saat di depan pom bensin, aku lihat banyak pisang yang tergantung, tiba-tiba aku ingat janjiku pada si kakek penjual pisang.
Astaghfirullah, mau putar balik, tapi macet.
Pikiranku bercabang, jika tidak balik, bagaimana kalau si kakek terus menunggu.
Tapi, kalau nunggu lama, kan si kakek pasti bosan, dan pulang. Gak mungkin dia tunggu sampai pasar bubar, batinku.
Macet belum juga usai, rasa lapar juga menyerang. Bayangan kakek tua, dengan kopiah miring, dengan kemeja putih yang usang terus menari dipikiranku.
"Mbaak, jangan melamun dong, jalaaan, nambahin macet ajaaa!"
Aku terkejut, kuinjak gas, mengikuti antrian panjang kendaraan. Hatiku belum juga tenang.
Aku masuk area perumahan Kota Wisata, lewat ruko Canadian. Begitu melewati jembatan, seseorang melintas, hampir saja kutabrak.
Sampai di rumah, mbak Eni menurunkan belanja. Bani ponakanku yang memanggilku ibu, keluar, dia meneriksa belanjaan.
"Ibu, gak beli pisang!"
Aku diam, terbayang wajah kakek tua, mungkin dia masih menungguku.
"Kakak mau pisang?"
Dia mengangguk, matanya penuh harap. Ya Allah, jika Bani saja menyiratkan harapan, yang tiap hari bisa makan buah, bagaimana dengan si kakek, yang jualan demi memenuhi kebutuhannya sendiri, meski sudah renta.
Aku meneguk segelas air, lalu kekamar mengambil jaket dan masker.
Kupacu sepeda motorku, tidak ada lagi macet.
Post: Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar