Minggu, 09 Oktober 2022

Penyebab Munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Oleh. Yunato Wiji Utomo

Tetesan Air Mata Ibunda, Kota Tua Aceh, Melangkah Tanpa Alas Kaki, Dalam catatan sejarah, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lahir pada tanggal 4 Desember 1976 dengan menyerukan perlawanan kepada pemerintah Republik Indonesia.

Baca juga: Gerakan Aceh Merdeka dari Amukan Gajah Sumatera

Sebelum resmi bernama Gerakan Aceh Merdeka, kelompok ini menyebut dirinya dengan nama Aceh Merdeka (AM).

Gerakan ini kemudian juga dikenal dengan sebutan Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF).

Baca juga: Cerita Eks Kombatan GAM yang Sukses Budidaya Tiram Super Jumbo di Banda Aceh

Penyebab Munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Latar belakang kemunculan Gerakan Aceh Merdeka adalah konflik yang bersumber dari perbedaan pandangan tentang hukum Islam, kekecewaan tentang distribusi sumber daya alam di Aceh, dan peningkatan jumlah pendatang dari Jawa.

Pemerintah pusat saat itu disebut sentralistis yang memicu tumbuhnya rasa kekecewaan di benak masyarakat Aceh.

Sayangnya, saat itu cara mengatasi Gerakan Aceh Merdeka yang diambil oleh pemerintah pusat kurang tepat hingga muncul perlawanan yang kemudian dimanfaatkan kelompok tersebut untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Pada akhirnya konflik yang terjadi sejak 1976 hingga 2005 ini justru merugikan kedua belah pihak dan telah menelan nyawa sebanyak hampir 15.000 jiwa.

Kronologi Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

1976-1977

Setelah terjadi pernyataan dari Hasan Tiro di tahun 1976, milisi GAM mulai melakukan gerakan-gerakan represif.

Perlawanan yang terjadi melalui teknik gerilya itu menewaskan milisi GAM dan juga masyarakat sipil.

Walau begitu, gerakan milisi GAM berhasil digagalkan oleh pemerintah pusat dan kondisi bisa dinetralisir.

1989-1998

GAM kembali melakukan aktivitas setelah mendapatkan dukungan dari Libya dan Iran berupa peralatan militer.

Pelatihan perang yang didapat di luar negeri menyebabkan perlawanan mereka tertata dan terlatih dengan baik sehingga sulit dikendalikan.

Hal ini membuat pemerintah merasakan munculnya ancaman baru, yang kemudian menjadi alasan ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).

Pembakaran desa-desa yang diduga menampung anggota GAM dibakar, dan militer Indonesia menculik dan menyiksa anggota tersangka tanpa proses hukum yang jelas.

Diyakini terjadi setidaknya 7.000 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama pemberlakuan DOM di Aceh.

1998

Lengsernya pemerintahan Orde Baru dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan presiden memberi peluang bagi GAM membangun kembali kelompok mereka.

Presiden BJ Habibie pada 7 Agustus 1998 mencabut status DOM dan memutuskan menarik pasukan dari Aceh yang justru memberi ruang bagi GAM untuk mempersiapkan serangan berikutnya.

2002

Pada 2002 kekuatan militer dan polisi di Aceh semakin berkembang dengan jumlah pasukan menjadi sekitar 30.000.

Setahun setelahnya, jumlah pasukan semakin meningkat hingga menyentuh angka 50.000 personil.

Bersamaan dengan hal tersebut, terjadi juga berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh milisi GAM yang mengakibatkan jatuhnya ribuan korban dari pihak sipil.

2003

Masyarakat Aceh akan mengingat kejadian di tanggal 19 Mei 2003 di mana Aceh dinyatakan sebagai daerah dengan status darurat militer.

Hal ini dilakukan setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku mulai Senin (19/5/2003) pukul 00.00 WIB.

Adapun usaha pemerintah yang ditempuh melalui kekuatan militer di Aceh juga mulai terlihat hasilnya pada tahun 2003.

 Pemerintah RI di Helsinki, Finlandia.

Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN.

Pasca perjanjian damai, senjata GAM yang berjumlah 840 diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005, menyusul pembubaran secara formal sayap militer Tentara Neugara Aceh (TNA) pada 27 Desember 2005 sebagaimana dilaporkan oleh juru bicara militernya, Sofyan Dawood.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

EVALUASI KRITIS 63 TAHUN UNCEN: PENGETAHUAN, KEKUASAAN, DAN PENJAJAHAN

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Karena sering saya dituduh provokator mahasiswa U...