Artikel inspiratif
Oleh. Jokoandigrat
Saat usia tigabelas, aku pernah menyepelekan Panut, ketika mulutnya nyerocos tentang kebajikan. Karena ia hanya Tukang Wantek.
Banyak orang di desa kami menggunakan jasanya, mengubah warna celana mereka yang sudah pudar. Atau sekadar menyetrika pakaian. Sementara aku adalah anak seorang pemilik toko. Salah satu yang terbesar di desa kami.
Dua kali seminggu Panut mengantar tumpukan bajuku yang sudah rapih. Licin sampai krahnya. Jika petani mengandalkan cangkul, Panut mengandalkan setrikaan arang dengan besi pentol ayam jago di ujungnya. Setiap mengantar pesanan kami, ia selalu menyempatkan diri mengisahkan sepotong cerita Nabi untukku. Kali itu tentang Mi’raj.
Melihat aku melengos, ibu menggamit pundakku "Dengarkan, nak, dengarkan..."
Di atas boncengan sadel DKW
Hummel aku diantar ayah ke sekolah. Aku rutin menyaksikan Panut di depan rumahnya yang doyong menggantang belasan celana pemesan di kawat jemuran. Berkaos kutang, Panut melawan panas mengaduk wantek dalam dandang seng hitam berjelaga berisi rebusan aneka celana. Sembari menyeka peluh di lehernya ia tersenyum melihatku. Melambaikan tangannya. Sapaan seorang Tukang Wantek yang tak terlalu perlu kubalas.
Setiap senja Panut bergegas menuju surau. Adu cepat dengan Maghrib. Ia seka mengkilap teraso sehingga kening kami memantul ketika sujud. Tempat di mana kami akan bersapa dengan Allah. Ia ketuk-ketuk mikrofon. Sepotong suara paraunya menyeruak di toa, "Tes... tes". Hanya ingin memastikan bahwa orang akan mendengar panggilan adzan Bilal.
Tapi entah kenapa segala kebaikan itu tak cukup membuatku menyukai Panut, si Tukang Wantek.
Kini tiga puluh lima tahun kemudian. Panut tetaplah seorang Tukang Wantek. Senyumnya masih sama. Senyum yang malah membuatku kikuk untuk membalas. Ia tetap melambai melihatku di belakang kemudi sedan, berdasi Klein yang menyemburkan wangi rempah Armani. Dan aku tetap risih -- semakin risih -- ketika di jendela mobilku Panut masih juga bicara kebajikan. Ah... kok sulit banget ya percaya pada kebajikan yang mengalir dari mulut yang bersiwak dengan ranting ketapang...
Pastilah Panut tetap Panut yang dulu. Yang bibirnya tak henti ndremimil berdoa mohon rizki dan jalan terang. Aku yakin Panut lebih rapat bahkan mungkin tak berjarak dengan Tuhan. Dibanding diriku. Doanya lebih deras mengalir membasahi sajadah. Ia, aku saksinya, tak pernah dengan sengaja menyakiti orang lain. Ia
bahkan membagi kebajikan sejauh yang ia bisa lakukan. Hanya itu yang ia punya.
Tapi, oh Allah... tapi mengapa justru aku yang berada dalam kabin BMW? Bukan Panut? Kenapa Panut yang rajin mengaji dan melantunkan Asma’ul Husna tetap harus terseok mengayuh pedal sepeda bututnya mengantar baju pelanggan menembus kelam desa?
Aku tak terlalu terkejut tatkala mendengar Panut meninggal. Sudah saatnya, pikirku. Bahkan mungkin lebih baik. Kasihan membayangkan betapa berat beban hidupnya.
Kukirim sejumlah uang untuk mengenang kebaikannya. Sebagai Tukang Wantek. Adikku -- yang tetap di desa -- berkisah menjelang detik-detik kematian Panut...
"Panut menoleh ke arahku, Kak."
"Ia bilang apa?"
Adikku menahan nafas. Tiba-tiba aku melihatnya seperti tengah menahan beban. Menoleh ke arahku seperti minta persetujuan. Kuanggukkan kepalaku.
"Kemiskinan..." kata Panut" ...tak harus menjauhkan kita dari Tuhan" adikku tercekat dan meneruskan.
"... apalagi kekayaan".
Aku tertunduk.
"Panut melepas nafas terakhirnya dengan tahmid dan senyum, Kak... ia titip salam untukmu..."
Pos. Admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar