Oleh: Awikaituma Jr
(Pionir Arsitek Papua)
Udepouya Park, Dok 8, Jayapura | 2019
Membutuhkan Generasi Yang Mampu Menang Dalam Kompetisi Global—bukan Melalui Unjuk Rasa, Tetapi Dengan Unjuk Kemampuan.
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Abepura Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh bagaimana ia menyiapkan sumber daya manusia (SDM)-nya hari ini. Papua, sebagai wilayah yang terus memperjuangkan eksistensi dan martabatnya, membutuhkan generasi yang mampu menang dalam kompetisi global—bukan melalui unjuk rasa, tetapi dengan unjuk kemampuan. Anak-anak Papua harus disiapkan sejak dini untuk mampu menembus persaingan lewat jalur pendidikan yang berkualitas dan relevan.
Sayangnya, program beasiswa luar negeri yang semestinya menjadi investasi jangka panjang, justru sering kehilangan arah. Banyak anak Papua yang dikirim ke luar negeri tanpa perencanaan strategis, dan kembali ke tanah air tanpa kejelasan fungsi dan posisi. Jurusan yang mereka ambil tidak pernah disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan Papua. Tidak ada link and match antara dunia pendidikan dan lapangan kerja.
Contohnya nyata. Mereka yang kuliah di bidang perkapalan, fisika murni, biologi lingkungan, komputer, bahkan penerbangan, banyak yang kembali dan malah menjadi pengangguran terselubung—menjadi tukang ojek, buruh lepas, atau masuk ke bidang yang sama sekali tidak relevan dengan ilmunya. Ini bukan kegagalan individu, melainkan kegagalan sistem.
Lebih menyedihkan lagi, kursi-kursi beasiswa sering kali tidak diberikan kepada anak-anak bertalenta dari kampung-kampung, tetapi kepada anak-anak pejabat atau keluarga dekat elit daerah. Mereka yang sebetulnya memiliki semangat juang dan daya tahan tinggi justru tersingkir sejak proses seleksi awal. Akibatnya, banyak dari mereka yang dikirim tidak mampu bertahan di luar negeri, mengalami tekanan akademik dan mental, hingga akhirnya gagal dan dipulangkan lebih awal.
Dampaknya, citra anak Papua di luar negeri ikut tercoreng. Mereka dianggap malas, lemah, tidak mampu bersaing. Padahal, anak-anak Papua yang sungguh berpotensi justru tersisih dari proses sejak awal. Mereka yang gagal bukan bodoh, tetapi dikorbankan oleh sistem yang tidak adil dan tidak berpihak pada kualitas.
Setelah kembali ke Papua, para lulusan luar negeri ini pun tak kunjung diberi ruang. Pemda seolah tidak tahu harus apa dengan mereka. Tidak ada database terpadu, tidak ada forum pemanfaatan, bahkan sekadar sesi diskusi untuk berbagi pengalaman saja nyaris tak pernah terjadi.
Coba tanya, di mana mereka sekarang? Apakah mereka bekerja sesuai jurusan? Apakah mereka membawa inovasi? Adakah perubahan yang mereka kontribusikan untuk masyarakatnya? Bahkan sekadar menghimpun mereka untuk minum kopi dan belajar dari pengalaman hidup mereka saja, belum pernah dilakukan secara serius.
Padahal, ada banyak contoh anak Papua yang berhasil di luar negeri dan layak dijadikan inspirasi serta bahan evaluasi. Sebut saja George Saa, lulusan fisika dari Inggris, pemenang First Step to Nobel Prize in Physics. Ada juga Billy Mambrasar, lulusan dari kampus top di Amerika Serikat dan kini menjadi wajah kebijakan pemuda nasional. Felicia Dahayu sukses menuntaskan studi di Korea Selatan, sementara Rainner Koibur menempuh pendidikan di bidang aviasi di AS. Simon Tabuni menimba ilmu di Inggris, sedangkan Yuli Hikoyabi dan Vonnya Belesia turut mewakili wajah anak Papua yang membanggakan di berbagai forum dan institusi internasional.
Nama-nama ini seharusnya tidak hanya dijadikan pajangan dalam seminar atau laporan evaluasi, tapi benar-benar dilibatkan dalam proses merancang masa depan Papua. Mereka bisa menjadi mentor, fasilitator, bahkan lokomotif perubahan. Tetapi apa yang terjadi? Sebagian dari mereka bahkan harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup, karena tak kunjung dirangkul oleh sistem yang seharusnya menopang.
Lebih parah lagi, ada tren mengirim anak-anak usia dini ke luar negeri. Dari sisi kualitas pendidikan, mungkin ada sisi positif. Tapi dari sisi psikologis dan kebudayaan, ini berisiko besar. Anak-anak tumbuh jauh dari keluarga, bahasa ibu, dan akar budaya. Mereka kembali sebagai sosok asing di tanah sendiri. Mereka kehilangan jati diri dan tidak tahu bagaimana beradaptasi dengan kehidupan sosial Papua.
Ironisnya, Pemda bukan sedang membangun sekolah unggul di tanah Papua, tapi justru sekadar "mencari sekolah unggul" di luar, demi popularitas politik jangka pendek. Program-program besar semacam ini biasanya hanya hidup lima tahun, lalu mati seiring pergantian kepala daerah.
Papua butuh grand design pembangunan SDM yang terstruktur, berjenjang, dan lintas pemerintahan. Misalnya: 10 tahun pertama fokus pada pengiriman SDM unggul ke luar negeri berdasarkan proyeksi kebutuhan masa depan Papua. Lalu 10 tahun berikutnya, menciptakan lapangan kerja, teknologi, dan institusi yang bisa menyerap mereka. Harus ada visi 20 tahun ke depan, bukan hanya target lima tahun jabatan.
Kalau tidak, setiap kali ganti gubernur atau bupati, arah kebijakan akan berubah, dan Papua akan terus jalan di tempat. Kita akan kehilangan generasi emas karena kegagalan tata kelola beasiswa dan ego sektoral para pemimpin lokal.
Papua hanya bisa dibangun oleh orang Papua sendiri. Kita harus berhenti hidup dari belas kasihan. Kita harus bangkit sebagai bangsa yang berdaulat dalam berpikir dan bertindak. Kita butuh SDM Papua yang berpikir global dan bertindak lokal—mereka yang kuat dalam ilmu, tahan banting dalam mental, dan teguh dalam budaya.
Masa depan Papua bukan di jalanan, tapi di ruang kelas dan laboratorium. Bukan di lobi-lobi kekuasaan, tapi di karya nyata.
Pos. Admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar