Rabu, 31 Agustus 2022

GELANG GAHARU WANGI PAPUA, ASMAT

Tetesan Air Mata Ibunda, Kota Jeruk, Melangkah Tanpa Alas Kaki, Empat lelaki Asmat mengenakan mahkota adat dari bulu kasuari, bertelanjang dada dan kaki. Seorang dari mereka berjongkok di pinggir kubangan lumpur sembari mengais-ngais serpihan kayu. Sementara tiga lelaki lainnya menusuk-nusukkan batang besi kecil dengan ujung runcing berpengait. Terjadi sejak April 2018.

Tiba-tiba lelaki yang berjongkok di pinggir kubangan berteriak memanggil tiga temannya. Dengan bahasa daerah Asmat yang cenderung mirip dengung dan sepertinya sangat sulit dipelajari, lelaki itu mengabarkan kepada teman-temannya, bahwa ia menemukan benda magis yang mereka cari. Sontak mereka mencebur ke dalam kubangan, lantas menyerukan suatu gumam secara serempak. Nadanya tegas namun ritmis. “Hoo! Hoo! Hoo! Hoo!” Begitulah kedengarannya.


Gumam itu didendangkan dengan suka cita, sambil menggoyang-goyangkan sesuatu yang masih tersembunyi di dalam lumpur. Tampak seirama dan harmoni antara gumam dan gerak tubuh mereka yang terendam hingga batas dada dan bahu. Wajah-wajah mereka menampakkan ekspresi antara bahagia sekaligus diliputi tanda tanya. Mungkin saja gumam yang ritmis itu sama halnya ungkapan syukur atau bahkan do’a-do’a.

Selang sekitar tiga menit, gumam itu berubah teriakan panjang yang menandakan akhir sebuah proses. Tangan-tangan mereka serempak menyembul ke permukaan mengangkat sebongkah kayu berbalut lumpur. Senyum mengembang di bibir mereka saat bersama-sama meletakkan bongkahan kayu itu di sisi kubangan. Tangan-tangan mereka yang cekatan mulai membersihkan lumpur, meskipun belum bersih sempurna saat itu juga.

Bongkahan kayu itulah yang disebut emas dari dalam lumpur. Aromanya harum, dan warnanya tetap kuning keemasan meski telah terendam dalam jangka waktu yang tak dapat diperkirakan. Itulah gaharu dari pedalaman Asmat, Papua. Keharumannya telah menguar ke berbagai belahan dunia, dan telah bertahun-tahun menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat di Kampung  Jinak, Distrik Suator, Kabupaten Asmat.

Masyarakat Asmat biasa mencari gaharu ke dalam hutan secara berkelompok, tiga hingga lima orang. Jaraknya cukup jauh dari kampung. Mereka harus naik perahu menyusuri Sungai Siret yang panjang berkelok, lalu masuk ke anak Sungai Jue, barulah tiba di tepi hutan, tempat biasa mencari gaharu. Dari tepi itu, mereka masih berjalan kaki sekitar 356 meter ke dalam hutan.


Dalam sekali waktu pencarian, mereka biasanya membawa pulang bongkahan kayu gaharu sejumlah kelompok mereka. Besarnya bervariasi, namun menandakan itu adalah bekas pohon tumbang yang usianya cukup tua. Satu bongkah bisa seukuran rangkulan kedua lengan orang dewasa. Karena masih dalam keadaan basah, bongkahan-bongkahan gaharu itu sangat berat.

Sementara mereka tidak memiliki alat angkut modern. Inilah bagian paling unik pada proses pencarian gaharu: cara masyarakat Asmat membuat “tas punggung” dari pelepah sagu. Semua lelaki Asmat pencari gaharu sangat mahir dalam hal itu.

Mula-mula dua pelepah sagu yang daun-daunnya masih utuh dipotong dengan ukuran besar dan panjang seimbang. Keduanya kemudian ditaruh berjejer di tanah. Berikutnya, dedaun sagu dari kedua pelepah itu dianyam saling bertaut.

Hasilnya berupa pola anyaman yang diapit dua pelepah. Sementara di kedua sisi paling pinggir adalah daun-daun sagu yang tetap merentang seperti sayap. Sampai di sini, “tas punggung” pelepah sagu sudah setengah jadi. Bongkah-bongkah gaharu kemudian diletakkan di atas anyaman, lalu diikat dengan daun-daun yang terentang itu. Langkah terakhir adalah memasang tali dari sulur-sulur pohon hutan pada kedua pelepah. Maka, “tas pungggung” berisi bongkah gaharu pun siap difungsikan.


Gaharu Asmat adalah satu-satunya yang diambil dalam bentuk bongkahan, dan telah tertimbun di dalam lumpur bertahun-tahun. Produk gaharu lainnya biasa diambil dari pohon tegakan. Para lelaki Asmat telah memanfaatkan gaharu dari dalam lumpur sejak sekitar tahun 1995, menjadikannya mata pencaharian utama untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Mungkin saja Tuhan telah mengatur berkat untuk mereka, dengan menciptakan proses alamiah kayu itu menjadi barang berharga, bernilai jutaan rupiah. Orang-orang Asmat yang bersedia melanglang hutan rimba pasti akan mendapatkan berkat itu.

Setelah tiba di kampung, para lelaki itu membersihkan kembali bongkahan gaharu, lalu menjemurnya hingga kering. Setidaknya kadar air di dalam gaharu sudah jauh berkurang. Bongkahan-bongkahan itu akan dipecah-pecah. Mereka mencari bagian kayu dengan kualitas super, yang biasanya terletak di tengah dan warnanya hitam.

Mereka menggunakan alat dari besi, dengan tangkai untuk pegangan dan bagian ujung dibengkokkan. Sisinya sangat tajam untuk menggurat gaharu, sehingga menghasilkan serpih-serpih kayu kecil atau tipis. Melalui proses ini pula gaharu dipisahkan berdasarkan kualitasnya. Bagian paling luar, kemudian lebih ke dalam, dan bila beruntung mereka akan mendapatkan yang super. Sekepalan tangan pun harganya berjuta-juta rupiah.     

Beberapa waktu ini, pemasok gaharu terbesar di Indonesia adalah Papua, yang dicari dengan cara sangat khas oleh masyarakat Asmat. Bongkah-bongkah gaharu itu berasal dari kayu tumbang termakan oleh suatu senyawa yang membuatnya harum. Belum dilakukan penelitian secara detail mengenai masa, kapan emas-emas harum itu mulai tertanam. Demikian halnya mengenai pelestarian. Ketika gaharu Asmat mengalami eksploitasi besar-besaran setiap tahun, kecemasan yang muncul tentu perihal kepunahan, emas-emas harum dari dalam lumpur itu akan habis.

Upaya yang paling mungkin dilakukan sekarang adalah penanaman kembali. Namun hal ini masih dalam langkah yang sangat awal, menentukan apakah jenis bongkahan yang tumbang dan tertimbun di dalam lumpur sama dengan pohon-pohon tegakan di sekitar gaharu itu ditemukan.

Bagaimanapun, gaharu yang oleh masyarakat Asmat dikatakan sebagai emas dari dalam lumpur, adalah harapan hidup bagi mereka. Keberhasilan dalam upaya pelestarian merupakan pencapaian sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan hidup, dan Nusantara yang luas ini akan melihat, Asmat adalah tanah yang kaya.

 

Gelang gaharu ini dibuat dari:

gaharu aquilaria super asli dari merauke papua jenis tgc yang memiliki ulir istimewa dan berkualitas di setiap butirannya size 20mm dengan harum wangi aroma terapi special pengerjaan sangat rapi, halus, bulat sempurna oleh pengerajin berpengalaman dibidang kerajinan gaharu.

Gelang Gaharu Kalimantan Tenggelam Grade A 16mm/Bracelet Agarwood Sink Standart Eksport.

-Jenis Gaharu Aquilaria Malaccensi

-Type Gaharu Sink Press

-Kualitas Standart Internasional Gaharu

-Premiun


Editin. Admind

 

Awal Mula Burung Cenderawasih, Dongeng Rakyat dari Papua

 

Tetesan Air Mata Ibunda, Kota Jeruk, Tanpa Alas Kaki, Mari kita Kali ini kamu akan diajak untuk membaca bersama dongeng rakyat dari Papua Barat tentang asal muasal burung cenderawasih.

Burung cenderawasih adalah salah satu hewan endemik dari Pulau paling timur Indonesia yaitu Papua.

Yuk, simak seperti apa asal usul burung cenderawasih di bawah ini, Kids.

Asal Usul Burung Cenderawasih

Kisah ini mencerita-Kan tentang seorang perempuan tua yang tinggal di pegunungan Bumberi di Fak-Fak bersama dengan anjing betina-Nya.

Perempuan tua dan anjing-Nya ini biasa mencari makanan di pedalaman hutan.

Suatu kali, si perempuan tua dan anjing-Nya sampai ke sebuah pohon pandan yang dipenuhi buah.

Perempuan tua itu lalu memungut buah di pohon pandan dan memberikan-Nya pada anjing-Nya yang langsung melahap buah itu tanpa bersisa.

Namun, hal ajaib terjadi setelah anjing itu makan buah pohon pandan itu, perut anjing itu membesar dan membuat anjing itu melahir-Kan anak anjing.

Melihat hal itu, si perempuan tua ini lalu melakukan hal yang sama dengan memakan buah pandan itu.

Hal itu menyebab-Kan si perempuan tua hamil lalu melahir-Kan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kweiya.

Kweiya Bertemu dengan Laki-Laki Tua

Kweiya, si anak laki-laki yang lahir dari buah pandan ajaib tumbuh besar jadi anak laki-laki yang rajin membantu sang ibu.

Suatu hari sang ibu ikut membantu Kweiya untuk membakar daun-daun yang ditebang oleh Kweiya di dalam gunung. Asap pembakaran daun-daun itu mengepul sampai langit.

Hal ini disadari oleh seorang laki-laki tua yang sedang mencari ikan di laut.

Asap itu membuat laki-laki tua berusaha untuk mencari darimana asal dari asap yang membumbung tinggi.

Si laki-laki tua menemukan Kweiya sedang menebang pohon di bawah terik panas matahari, sehingga si laki-laki lalu meminjamkan kapak besi untuk memudah-Kan proses penebangan pohon.

Kweiya pulang bersama si laki-laki tua, namun Laki-Laki Tua Tinggal Bersama Kweiya dan Ibu-Nya

pada awalnya Kweiya tak langsung mengenalkan-Nya pada sang Ibu.

Bahkan Kweiya menyembunyikan si laki-laki tua dalam bungkusan tebu, yang lalu ditemu-Kan oleh sang ibu.

Kweiya meminta sang ibu agar menerima si laki-laki tua yang sudah baik hati membantu-Nya meminjamkan kapak besi untuk menebang pohon.

Sang ibu setuju untuk hidup bersama dengan Kweiya dan laki-laki tua, sampai akhir-Nya kedua-Nya melahirkan beberapa adik untuk Kweiya.

Namun, ternyata adik-adik Kweiya merasa iri dan berusaha untuk mencelakai sang kakak.

Hal itu mendorong Kweiya bersembu-Nyi dan menghindar dari upaya jahat adik-adiknya, Kweiya lalu bersembu-Nyi di sudut rumah sambil memintal tali dari kulit pohon genemo.

Sang ibu yang mengetahui nasib sang anak sulungnya lalu berusaha memanggil keluar sang anak, namun yang muncul adalah seekor burung ajaib yang punya surai ekor yang sangat indah.

Sang ibu menangis menyadari bahwa sang anak sudah berubah menjadi burung.

Ternyata Kweiya juga membuat-Kan pintalan untuk sang ibu sehingga sang ibu bisa berubah menjadi burung bersama-Nya.

Kejadian itu membuat adik-adik Kweiya merasa bersedih dan saling menyalah-Kan atas kepergian sang ibu dan kakak-Nya.

Mereka lalu saling melempar satu sama lain dengan abu dari tungku perapian yang merubah mereka menjadi burung-burung.

Sang ayah yang melihat anak-anak dan istrinya merubah warna bulunya supaya enggak mencolok supaya tak diburu orang.

Namun, hal itu enggak diindahkan sehingga sang ayah memutuskan untuk menceburkan diri ke laut dan berubah menjadi penguasa laut.

Cerita rakyat ini Sumbernya, beberapa artikel yang tersebar di rakyar fak-fak dan sekitar pantai papua, pengedit tidak keluar dari apa yang dicerita-Kan dari teman-teman Pantai Selatan fak-fak, Pantai utara Biak dan teman-teman sekitar Nabire Pantai.

Editin: Atmind

Burung Mambruk Bermakota Pernah Menghiasi Uang Logam, Kini Habitatnya Terancam

 

BuruTetesan Air Mata Ibunda, Kota Jeruk, Melangkah Tanpa Alas Kaki, Burung mambruk telah hilang habitatnya, mungkin karna ulah manusia. Dalam cela-cela perbincangan dengan orang tua di gubuk tenda biru, rumah tua kota Nabire. Sekian banyak kami berbincang dengan orang tua salah satu orang  tua mengatakan, burung Mambruk pernah mengambarkan dalam uang Koin Kata Pak Nius Adii, S.Pd.

Kicaukicau-Beberapa dari kita mungkin masih ingat dengan ikon uang logam pecahan 25 rupiah waktu itu beredar sekitar tahun 1971, bergambar burung lanjut, Nius.

Kebetulan penulis belum lahir, namun masih ingat pernah membelanjakan uang receh tersebut untuk membeli jajanan martabak mie waktu libur sekolah.

Dan, sekarang setelah puluhan tahun baru ngeh, setelah melihat laman Kompas Tekno, Jumat (8/10) jika burung tersebut satwa asal Papua bernama Mambruk, punya julukan burung dara bermahkota.

Tim Balai Taman Nasional Lorentz pada 2016, pernah mengeluarkan data, jika salah satu dari tiga spesies mambruk, hanya bisa dijumpai di kawasan hutan Kampung Fanamo, Distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika. Berukuran, panjang mencapai 70 sentimeter serta berat 2.250 gram.

Melansir dari laman indonesia.go.id, Kamis (7/10), mambruk banyak dijumpai hidup pada hutan dataran rendah selatan Papua.

Sedangkan data Organisasi Burung Indonesia pada 2021, menyebutkan jika burung tersebut salah satu dari 650 spesies asal Papua serta termasuk dari 1.812 jenis burung di Indonesia.

Dan tiga spesiesnya, dari yang pertama, mambruk selatan (Goura scheepmakeri). Penghobi manca mengenalnya dengan nama southern crowned pigeon.

Kedua, mambruk victoria (Goura victoria). Ukuran tubuhnya lebih besar dengan warna bulu biru keabu abuan, jambulnya seperti kipas dengan ujung putih, dada merah marun keunguan serta paruh abu abu.

Editin: Atmind

Harga Rp30 Juta, Babi Jadi Hewan yang Disakralkan di Papua

 

Tetesn Air Mata Ibunda, Kota Jeruk, Melangkah Tanpa Alas Kaki, Terdapat beberapa aturan tidak tertulis bagi wisatawan yang berkunjung ke Lembah Baliem, Papua. Salah satunya, soal memotret babi. Aturan tidak tertulis di Lembah Baliem itu tidak boleh memotret sembarangan tanpa izin Suku Dani yang sedang berkoteka. Seusai memotret, wisatawan wajib memberi tips bagi pria berkoteka.

"Sebaiknya izin dulu dan seusai memotret wajib berikan tips kepada pria berkoteka itu," kata peneliti dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto yang dikabarkan Tempo, Jumat 1 Januari 2021.

Pemberian tips, menurut dia, bukan berarti pria yang memakai koteka tersebut minta bayaran, melainkan sebagai bentuk penghargaan atas izin memotret tersebut. Sebagaimana diketahui, babi adalah binatang peliharaan yang berharga bagi masyarakat Papua.

Mengenai aturan memotret babi, Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih menjelaskan, wisatawan yang sedang melakukan perjalanan di Lembah Baliem boleh memotret babi milik Suku Dani yang berkeliaran tanpa harus membayar.

Hanya saja, jika wisatawan sedang mampir ke pasar tradisional dan ingin mengambil gambar babi yang diperjualbelikan di sana, mereka harus minta izin kepada pemiliknya.

"Apalagi kalau yang akan dipotret adalah anak babi yang sedang digendong," katanya.

Jika pemilik tidak berkenan babinya difoto, jangan nekat memfoto, bisa-bisa nantinya akan disuruh membayar babi yang difoto tersebut. Masalahnya, harga seekor babi di Lembah Baliem sangatlah mahal. Satu ekor babi dewasa bisa berharga Rp30 juta.

Babi memang dibiarkan berkeliaran di jalanan dan kebun. Babi yang berkeliaran di jalan atau permukiman biasanya menjadi daya tarik bagi wisatawan karena merupakan pemandangan unik dan objek foto yang bagus. Selain itu jangan sampai menabrak hewan peliharaan yang dibiarkan bebas berkeliaran di jalan ini. Tak peduli ukuran dan usia, semua babi yang tertabrak senilai babi dewasa.

Lebih apes lagi kalau yang tertabrak adalah babi betina karena punya cara penghitungan ganti ruginya berbeda. Apabila menabrak babi betina, maka jumlah ganti ruginya semakin besar. Cara menghitungnya, harga babi dewasa tadi dikalikan jumlah puting susu babi betina yang tertabrak.

Pengendara juga mesti bertanggung jawab jika menabrak babi. Sebab jika terjadi tabrak lari pada babi, maka masyarakat akan memberikan sanksi kepada pengendara lain yang melintasi jalan tersebut.

"Karena sangat sulit mengingat pelat nomor mobil penabrak lari, maka yang menjadi sasaran adalah mobil yang berwarna sama," kata Hari yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih, Papua.

Misalkan mobil yang menabrak babi berwarna merah, maka semua mobil merah yang melewati tempat itu harus membayar denda hingga angkanya senilai dengan harga babi yang tertabrak

Babi dan makna sosial di Papua

Pada Februari 2020 lalu, Yus Yunus (26), pria asal Dusun Taramanu, Desa Sumberjo, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar), tewas diamuk warga di Nabire, Papua. Korban tewas dikeroyok setelah dituding menabrak warga dan seekor babi hingga tewas.

Peristiwa tersebut mempertegas bahwa babi memang bukan binatang sembarangan bagi masyarakat di Bumi Cendrawasih. Babi bisa menjadi pembawa suka cita, sekaligus menghadirkan perkara runyam di sana. Bagi suku-suku di Papua, babi telah menjadi binatang yang tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial dan budaya, terlebih bagi masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan.

Antropolog dan Kepala Unit Pelaksana Teknis Museum Loka Budaya, Universitas Cenderawasih, F. Sokoy, di Jayapura mengatakan, beternak babi dalam perspektif antropologi dikenal dengan istilah "kebudayaan memelihara babi."

"Kebudayaan ini merepresentasikan simbol sosial-ekonomi, juga kepemimpinan," ujarnya, dalam Tempo.

 Mamalia omnivora ini memiliki makna simbolis yang penting di dalam adat dan tradisi masyarakat di pulau paling timur wilayah Indonesia itu. Dalam sistem sosial budaya masyarakat Papua, daging babi selalu disajikan sebagai menu utama dalam jamuan di setiap acara dan pesta adat. Selain itu, babi juga dijadikan sebagai penanda status kemapanan serta kedudukan sosial dari pemiliknya.

 

Dalam setiap hajatan adat dalam masyarakat pegunungan Papua, banyaknya jumlah babi yang dikurbankan, menjadi tolok ukur kemampuan sosial dan ekonomi masyarakat di daerah tersebut.

Tradisi menyantap daging babi bersama-sama, seperti yang dilihat dalam upacara bakar batu, menjadi simbol perekat ikatan sosial dan religi bagi masyarakat Papua secara luas. Pembagian jumlah potongan daging babi yang telah dimasak, juga menjadi penanda kedudukan suatu tokoh beserta klannya dalam sistem adat.

"Itu adalah nama struktur adat. Di Sentani, nama kepala suku dalam satu kampung yang memiliki jabatan strategis hanya lima orang, dan hanya lima orang ini yang berhak membagi daging babi," jelasnya.

Sementara itu di wilayah Pegunungan Tengah, para perempuan bertanggung jawab merawat babi layaknya anak sendiri karena pertimbangan nilai yang begitu tinggi.

"Babi sangat penting dan dihargai dalam kebudayaan Papua dan Melanesia," imbuh Sokoy.

Asal mula babi di tanah Papua

Sedemikian lekatnya kebudayaan masyarakat tradisional Papua dengan babi, boleh jadi menimbulkan pertanyaan lanjutan. Pertanyaannya adalah, sejak kapan binatang tersebut mulai mendiami dan menyebar di seluruh tanah pulau Papua?

Tanah Papua yang dahulu tergabung dalam paparan Sahul, bergabung dengan benua Australia, umumnya hanya ditinggali oleh mamalia jenis marsupialia seperti kangguru pohon (wallaby) dan aneka kuskus.

"Babi bukan mamalia asli Papua. Sebab, mamalia endemik Papua ciri khasnya punya kantung di perutnya," terang Hari.

Hari menjelaskan, babi yang ada di Papua saat ini dikenal sebagai jenis Sus Scrofa Papuensis. Sampai hari ini masih saja terjadi persilangan pendapat antar para ahli mengenai kapan pertama kali babi masuk di Papua. Teori mengenai waktu kehadiran babi di Papua juga beragam, ada yang menyebut 10.000 tahun lalu namun teori dengan bukti lain menyebut 6.000 tahun yang lalu.

 

Kemungkinan besar babi-babi dari pulau lain dahulu kala berhasil merintangi lautan dan sampai ke tanah Papua. Atau ada kemungkinan yang lain, yaitu babi-babi tersebut dibawa oleh manusia-manusia penghuni tanah Papua, tetapi bukan manusia dari rumpun penutur Austronesia seperti yang kita kenal saat ini.

Fase kedua adalah, persebaran babi secara besar-besaran sebagai binatang yang sudah didomestifikasi. Teori tersebut mengungkapkan bahwa kemungkinan besar babi-babi tersebut dibawa sendiri oleh orang-orang Papua, yang kita kenal saat ini, namun tempo waktunya masih belum terlampau lama.

"Mungkin ada orang Papua yang mengadakan migrasi kembali ke tiga wilayah di Indonesia yakni Halmahera, Alor, dan Timor, dan saat kembali ke Papua, mereka membawa babi-babi dari ketiga tempat ini bersama mereka."

Admind.

DPR Papua Tengah Paulus Mote, Mengatakan Atas Nama Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Provinsi Jangan Merusak Hutan yang Ada

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Jeruk 🍊 -Melangka Tanpa Alas Kaki - DPR Papua Tengah Paulus Mote: Mengatakan bahwa, Jang...