AKU
(meminjam judul puisi Chairil Anwar)
Kurus, rambut sedikit gondrong, mata cekung gelap lingkari kantung mata. Dada telanjang, kurus bertulang-tulang. Sorot mata api, meski gelisah dan mata memerah. Ia baru keluar dari gubuk lokalisasi. Ia aku sendiri, Chairil!
Medan! 18 tahun usia pembebasanku. Tak tertahan remang miang di sana, meski kami satu zat satu urat. Tapi, yang kumau rumah berapi unggun sajak, yang kacanya jernih, dari luar segala nampak.
Lalu aku mengembara bagai Ahasveros, ahhh, dikutuk sumpahi Eros juga aku. Merupa dan membara cintaku pada Ida, Sri Ajati, Sumirat dan Hapsah. Serupa cicak merangkaki dinding buta, meski jatuh juga ke unggunan api cinta. Baik juga aku padami, sebelum terpanggang tinggal rangka.
Tak pernah tunduk aku dengan keadaan. Tentang semua dengan berani, di sisi Bung Sjahir, membikin persetujuan dengan Bung Karno. Teriak kencang aku padanya, “Bung! Dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu, aku sekarang api, aku sekarang laut. Kita akan berlayar, bertolak dan berlabuh bersama. Boeng, ajo, Boeng!" Pada akhirnya, aku harus menunggu reda semua yang musti tiba. Sambil bertutup telinga, berpicing mata.
Ibu! Ibu! Adalah hidupku, kutenggak selalu sebelum mampusku dikoyak-koyak sepi. Kelak, jiwa-jiwa terasa pagi yang abadi. Seperti anggur di mangkuk porselin. Menghangat di batin. “Siapa lagi yang akan bernyanyi?” Rinduku padamu ibu, maha tuan bertahta.
Aku tersesat tak dapat jalan. Rinai gerimis di kejauhan. Hutan pinus remang dan fana, seperti menyimpan rahasia. Embun di rambut, setebal kabut yang turun ke lembah. Tenda-tenda melipat seratus mimpi. “Sampai juga deru angin!” Percakapan perlahan menjadi gema. Bagai derak roda kereta melintas gegas menuju pekuburan Karet Bivak. Seperti suara jejak di pedestrian alam sana.
Aku berbaring tak sadar, seperti kapal pecah di dasar lautan, jemu dipukul ombak besar. Sesaat sebelum membeku. Terdengar risik derai-derai cemara yang luruh. Sementara unggun kayu menderu dan bintang kejora berkelip di tenggara. Dingin.
Perjalananku akhirnya tiada, pasrah menghadap sebenar-benarnya cahaya, tak perduli meski aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Tubuhku diam, sunyi, sepi, dan semua peristiwa berlalu beku.
Post. Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar