Jumat, 03 Februari 2023

BUNGA H A N T U

Oleh. Mahesa Jenar
[Bulan madu 40 hari yang indah tinggal hanya kenangan. Tepat pada hari ke-40, Bunga pun mangkat ke alamnya, menuju kerajaan Kedaton Kidul memenuhi panggilan ibunya. Tinggal aku sendiri dengan segunung kerinduan pada istriku. Tapi ada yang lebih membebani pikiranku, selain kerinduanku ini, yaitu kehamilan Bunga. Istriku kembali ke kerajaan Kedaton Kidul dalam keadaan hamil. Sesuatu yang seharusnya menjadi kegembiraan besar bagiku.]

*

Semua kejadian dalam beberapa minggu ini sungguh membuatku bingung dan seperti mimpi saja. Ada banyak kejutan, kebahagiaan, kesedihan bahkan situasi yang mencekam. Tapi hidup teruslah harus kujalani dengan penuh semangat. Itu juga yang selalu dipesankan Bunga kepadaku berulang-ulang, seolah-olah dia sudah tahu aku akan sangat bersedih setelah dia tinggal pergi. Malam ini pertengahan bulan Juni, bulan bersinar sangat terang dengan bentuknya yang bulat sempurna, maklum ini malam bulan purnama. Seperti janji Bunga sebelum mangkat ke alamnya, dia akan selalu hadir melalui mimpiku saat malam bulan purnama. Ahhh, jadi tak sabar menunggu tengah malam dan bisa berjumpa lagi dengannya. ‘Aku rindu kamu, Istriku.’

Hari masih relatif sore, baru jam 7 malam, mau tidur terlalu cepat juga percuma. Sebaiknya aku main ke kafe saja dulu, sudah lama aku nggak kesana dan kangen juga dengan Agus, temanku yang juga bartender di sana. Aku pun segera prepare ganti pakaian yang pantas dan bergegas ke kafe, dan seperti biasa dengan mobil jeep tua peninggalan ayahku. 

Kotaku ini kota pinggiran dan menjadi penyangga sebuah kota metropolitan. Tidak terlalu luas tapi dengan kepadatan penduduk yang lumayan tinggi. Maklum, nyaris penduduk di sini kerjanya di kota metropolitan itu. Di sini malam selalu ramai dengan orang-orang yang lalu lalang, mencari makan, atau sekedar mencari hiburan. Butuh lebih dari 30 menit bagiku untuk sampai di kafenya Agus. Dan seperti biasa, begitu masuk di kafe ini, Aguslah yang pertama aku cari.

Aku segera menuju meja bartender mencari Agus. Tapi, aku cari di tempat dia biasa bekerja nggak ada. Aku pun coba mencari di area kafe lainnya yang tidak begitu luas ini, nggak ada juga. Di mana dia ya? Apa mungkin dia sudah resign dan beralih profesi sebagai pemusik, seperti yang sering dia ceritakan kepadaku? Di mana dia ya?

Saat lagi sibuk cari Agus, tiba-tiba ada mbak pelayan yang sudah aku kenal lama berteriak memanggil namaku, "Mas Mahes ... mas cari Agus ya?"

Aku pun segera mendekati mbak pelayan itu, kalau nggak salah namanya Rina. 

"Hai Rin, untung ada kamu, pusing aku nyariin si Agus. Hari ini dia off ya? Atau gimana?" 

"Mas, kita ngomong di pojok sana saja yuukk, jangan di sini. Ada yang serius mau aku ceritakan."

Waduh, ada kabar serius apa ya tentang Agus. Tiba-tiba perasaanku jadi nggak enak. Setelah semua peristiwa 'dahsyat' yang aku alami dalam beberapa minggu ini, aku tidak akan kaget lagi kalau ada kejadian atau berita lain yang aneh-aneh.

Aku pun segera mengikuti Rina menuju sofa di ruangan kafe paling pojok. Kami pun segera duduk berhadapan dan meskipun lampu relatif temaram, tapi aku masih bisa melihat ekspresi Rina yang seperti sedih sekaligus ketakutan.

"Mas Mahes, sudah 3 minggu ini mas Agus di isolasi di rumah sakit jiwa. Dia menderita gangguan jiwa hebat mas. Tiba-tiba saja dia menjadi sosok yang pemarah dan ingin melukai siapa saja yang ada di dekatnya. Keluarganya sudah angkat tangan. Manajemen kafe ini juga sudah menyerah. Nggak tahu lagi bagaimana menyadarkan mas Agus. Akhirnya satu-satunya jalan ya memasukkan dia ke rumah sakit jiwa."

"Lho, separah itu kah, Rin? Setahuku Agus orangnya sangat sehat kesehatan jiwanya. Dia tenang dan kalem sekali melayani pelanggan. Apa yang menyebabkan dia berubah seperti itu ya?"

Rina aku lihat memejamkan matanya dalam-dalam, kemudian membuka mata sedikit dan melihat ke kanan kiri seperti ketakutan. 

"Mas, semoga yang aku sampaikan ini tidak membuatku dalam bahaya. Tapi aku harus ceritakan ke kamu, meskipun mas Agus hilang ingatan, tapi dia selalu menyebut-nyebut namamu, selalu teriak-teriak agar mencari kamu, karena kamulah yang bisa menolongnya mas, katanya."

"Eh, Rin ... gimana detil peristiwa yang membuat Agus hilang ingatan dan marah-marah di luar kendali seperti itu?" Aku potong cerita Rina dengan tidak sabar.

"Sabar mas. Begini ceritanya mas. Beberapa hari setelah mas Mahes keluar kota untuk bulan madu dengan mbak Bunga, ada seorang wanita yang cantik sekali datang di kafe ini. Dia duduk di kursi yang biasa istri mas duduk. Di kursi sebelah sana itu mas. Sekilas wanita ini mirip sekali dengan mbak Bunga. Tapi wanita yang ini berbeda. Dia lebih misterius. Saat datang dia langsung cari mas Agus."

Kata Rina, wanita yang menemui Agus ini cantik jelita, datangnya malam, mirip Bunga, duduk di kursi yang biasa dipakai Bunga yang memang membelakangi arah lampu kafe. 

‘Siapa dia ini ya?’

Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku, apa mungkin wanita ini mbak Sun. Sundel Bolong? Ahh, aku jadi ingat. Setelah pertarungan Bunga dan mbak Sun dihentikan Kanjeng Ratu, memang hanya Kanjeng Ratu yang kembali lagi ke kerajaan Kedaton Kidul. Dan mbak Sun sudah minta izin pada ibunya itu untuk sementara tinggal di dunia ini. Jadi, apa mbak Sun yang menjadi penyebab Agus hilang ingatan sekarang ini?

Lamunanku pun segera buyar, saat Rina menyodorkan segelas long island dingin dengan sedikit potongan jeruk nipis sekadar pemanis di atas gelasnya. 

"Minum dulu mas. Ini minuman kesukaanmu kan? Aku lihat mas juga mulai paham apa yang terjadi. Minumlah, pelan-pelan aku ceritakan detil peristiwanya."

Coctail ini rasanya manis saja dan hanya dengan sekali teguk habislah minuman di gelasnya. Biasanya minuman ini lumayan pahit, dan butuh beberapa waktu bagiku untuk menghabiskannya. Pikiranku kembali melayang-layang mengingat si Agus. Dia temanku sejak kecil. Dia termasuk anak yang cerdas. Sayang karena keterbatasan ekonomi dan hidup sebatang kara tanpa orang tua, membuatnya tidak bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Sejak lulus SMU dia menjadi pelayan di kafe ini. Setelah sekian lama menjadi pelayan biasa, akhirnya pemilik kafe memberi kesempatan Agus untuk kursus bartender dan dipercaya menempati pos baru sebagai salah satu bartender kafe ini. Setiap aku ke kafe ini, aku hanya mau minum coctail racikan Agus. Long island dan blue illution buatan Agus menurutku tidak kalah dari racikan bartender bintang lima di club-club kota metropolitan.

"Jadi begini kejadiannya mas. Aku lihat sendiri mas Agus menghampiri wanita cantik itu. Mereka pun terlihat serius membicarakan sesuatu. Aku lihat mas Agus tertawa-tawa senang dan bahagia sekali. Pembicaraan mereka tidak lama dan wanita itupun segera beranjak dan keluar dari kafe ini. Aku pun segera menghampiri mas Agus dan coba tanyakan siapa wanita itu dan apa maksud kedatangannya mencari mas Agus. Mas Agus tampak tidak suka dengan pertanyaanku itu mas, tapi dia tetap menjawab. Dia bilang wanita itu bernama Sundari. Dia kakaknya mbak Bunga, katanya. Dan dia suka mas Agus."

Ahh, persis seperti dugaanku tadi. Wanita itu pastilah mbak Sun. Siapa sih laki-laki yang bisa menolak mbak Sun? Tidak ada. Semua laki-laki akan takluk dan tergila-gila padanya dari pandangan pertama saja. Aku bayangkan di posisi Agus saat itu, aku juga pasti akan langsung tergila-gila padanya. Tapi kenapa kemudian si Agus jadi hilang ingatan ya? Apa yang terjadi dengan dia?

Saat aku lagi termenung berfikir sendiri dan coba mereka-reka kejadian apa yang membuat Agus hilang ingatan. Tiba-tiba saja tercium semerbak bau bunga kantil yang harum dan magis. 

‘Ahh, ini kan bau mbak Sun. Apa dia ada disini? Sundel Bolong ada disini?’

Udara di dalam kafe terasa lebih dingin dari biasanya. Dingin sekali menusuk-nusuk tulang, dan bau bunga kantil semakin semerbak. 

Suasana pun tiba-tiba menjadi begitu sunyi. Suara hingar bingar musik kafe ini seperti terhenti. Celoteh para pengunjung pun tidak terdengar sama sekali. Aku lihat Rina diam mematung di depanku. Aku lihat semua pengunjung juga diam mematung. Hanya aku sendiri yang tetap bisa bebas bergerak.

‘Ada apa ini?’

Dari arah belakang tubuhku terdengar suara yang pelan sekali. Dan semerbak bau bunga kantil yang harum semakin terasa pekat dan membuat kepalaku melayang-layang.

"Maheeesss ...."

"Mahesss ...."

Suara lembut yang teramat lirih ini beberapa kali memanggil namaku. Tak terdengar suara langkah kaki, yang ada samar-samar suara kain yang bergesekan dengan lantai. Ini jelas mbak Sun. Kembali aku dengar suaranya memanggil namaku.

"Mahess ...."

"Mahesss ...."

"Ini mbakmu, Sayang."

Dua kali aku menarik napas panjang dan dengan tanpa ragu membalikkan badan dan ….

Nampak di depanku seorang wanita yang teramat cantik. Susah menggambarkan kecantikannya. Sulit mengukur kejelitaannya. Tidak mungkin membandingkan pesonanya dengan semua wanita yang ada di dunia ini. Dia begitu luar biasa. Perawakannya nyaris sama dengan Bunga, istriku. Garis wajah dan tubuhnya juga sangat mirip istriku. Tapi dia punya magis dan sihir yang ada di seluruh tubuhnya, yang nampak maupun yang tersembunyi. Ini yang membedakan dengan istriku. Lelaki biasa akan tergila-gila hanya dengan melihat ujung jari mbak Sun. Sejenak aku juga dibuat terpesona dan mematung karena pesonanya. 

Tapi aku bukanlah Mahes yang dulu. Selama 40 hari berbulan madu dengan Bunga, bukanlah hari-hari biasa yang aku jalani sebagai suami istri. Tidak melulu berasyik masyuk sebagai suami istri pasangan muda. Bunga telah membangkitkan kekuatan batinku yang selama ini tidur dalam tubuhku. Dia juga dengan sangat sabar membimbingku membangunkan semua kekuatan dan selangkah demi selangkah melatihku agar mampu menggunakan kekuatanku ini dengan baik. Bunga juga dengan sangat tekun mengajariku semua ilmu kanuragan dan olah batin dari kitab-kitab peninggakan orang tuaku yang ada di kamar keramat itu. Semua kitab telah aku pelajari. Semua senjata pusaka telah aku kuasai penggunaannya. Aku sekarang bukanlah Mahes yang dulu. Kekuatan fisikku beribu-ribu kali lipat dari sebelumnya. Kekuatan batinku sulit aku ukur kemajuannya, yang jelas tidak ada lagi yang membuatku gentar. Ilmu sihir paling kuat pun tidak bisa menembus batinku. Dan sekarang ini pun aku selalu memakai baju zirah ontoseno. Baju zirah ini secara ajaib telah melekat ke dalam tubuhku. Tidak terlihat, tapi melindungi seluruh tubuhku, tidak ada satu senti pun tubuhku yang tidak terlindungi, semuanya menjadi kebal segala racun dan senjata. Ini juga aku lakukan atas saran Bunga. Rasanya apa pun yang dia sarankan, selalu aku patuhi. Bunga seperti sudah menerka, akan banyak cobaan dan masalah yang harus aku jalani sepeninggal dia.

"Iya, mbak Sun, ehh mbak, tentu aku kaget mbak ada disini. Rasanya baru kemarin saja aku dan Bunga jumpa dengan mbak Sun. Gimana kabarnya mbak?"

Aku hanya basa-basi saja menanyakan kabarnya, saat menatap matanya, ajaib aku langsung bisa membaca apa yang sedang dia pikirkan. Ahh, menyebalkan, dia ingin aku jadi kekasihnya. Saat aku menatap matanya, mbak Sun juga menatap mataku. Aku lihat dia seperti terkejut dan terdengar dia berteriak lirih karena keterkejutannya. Aku rasa dia kaget karena melihatku sebagai sosok yang berbeda. Magis sihirnya sama sekali tidak memengaruhi batinku. Tapi sebentar saja aku lihat dia terkejut, segera dia mampu menguasai dirinya, kemudian tersenyum manis dan dengan gerakan yang sangat gemulai kedua tangannya menarik tali gelung rambutnya. Rambutnya yang indah itu pun langsung tergerai dengan lebih indah lagi. Riap-riap rambutnya begitu indah dan menyebarkan harum bunga kantil lebih kuat lagi.

Aku seperti tersedak dan tiba-tiba kepalaku seperti melayang-layang. Tanpa bisa aku tahan lagi, tubuhku sempoyongan dan aku pun jatuh terduduk.

"Mahesss, tak ada guna kamu melawan aku. Jangan kau panggil aku mbak lagi, Sayang. Panggil saja aku Sun saja. Akulah kekasihmu sekarang ini Mahes."

Suara mbak Sun begitu lirih. Nyaris seperti suara angin saja. Begitu merdu dan tiap katanya digerakkan magis sihir yang sangat kuat. Aku yang duduk lemas di lantai, semakin melayang-layang dibuatnya. Tapi kesadaranku tidak sepenuhnya hilang. Aku masih punya kekuatan fisik dan batin. Tapi sebaiknya aku pura-pura lemas dulu.

Mbak Sun seperti melayang, berjalan ke arahku dan menundukkan badan seperti mau merengkuhku. Kedua tangannya memeluk pundakku, dan dengan perlahan menarik badanku agar berdiri. Bau bunga kantil dari tubuh dan rambutnya dari jarak yang sangat dekat benar-benar menyesakkan dadaku. Aku pura-pura saja terbuai dan pasrah padanya. Dia tersenyum kecil, merasa telah menang dan bisa menguasaiku. 

Sekilas aku lirik situasi kafe, semua pengunjung masih diam mematung. Tapi semuanya selamat, tidak ada yang pingsan atau terlihat celaka. Kalau aku melawannya saat ini, aku takut di tengah kemurkaannya dia bisa saja mencelakai orang-orang ini. Baginya nyawa manusia tidak ada artinya. Jadi aku putuskan untuk tetap pura-pura dalam pengaruh sihirnya.

"Ayo sayangku, kita pergi ke arah selatan. Di sana kita bisa seutuhnya menjadi kekasih, tanpa ada yang bisa mengganggu."

Setelah berucap itu, mbak Sun seperti memeluk pinggangku dan mengajakku berjalan keluar kafe dengan cepat. Aku ikuti saja setiap langkahnya. Ajaib, setiap langkahku terasa sangat ringan dan tanpa menjejakkan kaki ke tanah. Melayang! Cepat sekali kami ke luar dari kafe. Cepat sekali kami berjalan melintasi perbukitan dan hutan di pinggir desa. Cepat sekali kami melewati sebuah sungai besar dan beberapa sungai kecil di luar kota ini. Sekarang aku tidak bisa tinggal diam lagi. Ini sudah jauh dari area pemukiman penduduk. Aku tidak akan berpura-pura tunduk lagi. Tidak! Mati pun saat ini bukan hal yang aku takutkan lagi. 

Segera aku tepis kuat-kuat tangannya yang memeluk pinggangku, sekaligus aku dorong tubuhnya ke bawah.

Mbak Sun teramat terkejut. Dia benar-benar tidak menyangka aku punya kekuatan begitu besar untuk melawannya. Dia tadi hampir terjatuh saat aku dorong tubuhnya. 

Dia sekarang sudah berdiri tepat di depanku dengan kedua mata melotot merah menyala. Kemurkaannya telah memuncak. Amarahnya benar-benar tak terbendung lagi. Dari seluruh jari-jari tangannya seperti tumbuh kuku-kuku runcing yang panjang, mengerikan. Dengan tanpa basa-basi lagi dia segera menyerangku dan seperti ingin menancapkan kuku-kukunya yang tajam itu ke tubuhku.

Aku terkesiap. Dan meski pun aku sudah berusaha melompat dengan cepat, terlambat, masih saja kedua tangan dengan jari-jari runcing ini kuat mencengkeram kepalaku. Rupanya mbak Sun tidak sekedar menyerang untuk melumpuhkanku, tapi sudah berniat untuk membinasakanku.

Aku rasakan sesuatu yang berat dan tajam menekan kepalaku. Rasanya kepalaku mau retak atau pecah berkeping-keping. Berat dan sakit sekali. Semakin lama semakin kuat cengkeramannya. Tapi tiba-tiba aku rasakan kekuatan cengkeramannya menjadi tidak aku rasakan sama sekali. Bukan karena mbak Sun telah melonggarkan serangannya, tapi karena dari tubuhku telah melawan kuat dan menetralkan semua serangan ini. Baju zirah ontoseno membuat tubuhku kebal. Dan kekuatan batinku membuat serangannya menjadi mental. Aku pun memusatkan konsentrasi lebih kuat lagi dan dengan sekali sentak, aku lempar mbak Sun kuat-kuat ke depan. 

Mbak Sun terlempar ke depan berpuluh-puluh meter dari tempatku berdiri. Aku sendiri sangat terkejut dengan kekuatanku ini. Mbak Sun yang selama ini menjadi mitos segala kekuatan jahat dan pandemik penyakit mematikan, ternyata bisa aku lawan.

Tapi aku hanya bisa merasa menang sesaat saja, yang berdiri di depanku sekarang bukan wujud mbak Sun yang cantik jelita lagi. Mbak Sun adalah Sundel Bolong. Hantu terkuat yang selama ini menjadi teror di semua belahan bumi. Menjadi mitos ketakutan di banyak jaman. Sundel Bolong juga muncul pada mitologi Yunani. Dia dikenal dengan nama Lamia. Seorang wanita teramat cantik yang menjadi Ratu Libya. Kecantikannya itu membuat Zeus jatuh cinta dan menikahinya. Namun, Hera, istri Zeus cemburu dan marah besar. Hera bahkan nekat membunuh semua anak Lamia bersama Zeus. Akibat perlakuan Hera itu, Lamia menjadi gila dan melampiaskannya dengan memakan anak-anak yang ada di Yunani. Bayangkan, Zeus sendiri bisa tergila-gila pada Sundel Bolong. 

Di depanku, mbak Sun sudah berubah menjadi hantu raksasa buruk rupa yang sangat menakutkan. Tubuhnya menjadi tinggi besar. Seluruh tubuhnya seperti dipenuhi segala ular besar dan kecil yang melilit tubuhnya. Matanya merah menyala dan seperti mengeluarkan api. Dan suaranya tidak lagi merdu merayu, tapi berubah serak yang memekakkan telinga. Bau harum bunga kantil pun sudah sirna, yang ada sekarang adalah bau yang teramat busuk. 

Aku sudah pernah melihat penampakan Sundel Bolong saat murka seperti ini. Aku juga ingat pesan Bunga, seperti apa wujud lain dari Sundel Bolong, yang aku lihat saat ini persis sekali dengan yang disampaikan Bunga dan penampakan yang dulu. Aku pun juga ingat, apa-apa yang harus aku lakukan untuk menahan serangan Sundel Bolong. Pelan-pelan aku meraba dadaku, aku belai-belai bandul kalung yang ada di dadaku sambil merapal mantra yang telah diajarkan Bunga. Ini bandul kalung yang dititipkan Bunga padaku, seperti mewakili kehadirannya, setidaknya lewat kekuatan pada bandul kalung ini. Sekali lagi dia seperti bisa menebak, suatu saat aku akan berhadapan dengan kemurkaan Sundel Bolong. Ah, hatiku seketika berdesir, ada kerinduan yang teramat sangat pada dia. ‘Bunga, aku rindu. Istriku, aku rindu.’

Aku tidak bisa berlama-lama dengan lamunanku ini. Dengan cepat Sundel Bolong yang menakutkan ini melayang menyerangku. Kedua tangannya seperti mau menghantam kepalaku dan seluruh ular yang melilit di tubuhnya seperti terbang cepat hendak mematuk tubuhku.

Kali ini aku sudah bersiap. Tubuhku tidak hanya dilindungi baju zirah ontoseno dan kekuatan dalamku saja, tetapi juga sudah diperkuat pusaka bandul kalung Bunga. 

Terbukti semua serangan ini mental semua. Serangan Sundel Bolong dan dayang-dayangnya sedikit pun tidak kuasa menyentuh tubuhku. Kekuatan bandul kalung Bunga benar-benar luar biasa.

Tapi ….

Tiba-tiba malam yang sudah gelap menjadi semakin gelap lagi. Kalau sebelumnya aku masih bisa melihat kerlap-kerlip lampu dari kejauhan, sekarang ini dunia seperti hanya berwarna hitam saja. Mataku tidak bisa melihat apa-apa. Gelap semuanya. Posisi Sundel Bolong pun tidak bisa aku lihat lagi. Gelap!

Dan tanpa bisa aku tahan lagi, dari arah belakang terasa ada hantaman yang kuat pada kedua pundakku. Aku pun terjerebab ke depan. Saat aku berusaha berdiri, ada hantaman yang lebih kuat lagi tepat di atas kepalaku. 

Aku segera meraba dadaku dan mencari tambahan kekuatan dari bandul kalung Bunga. Tapi bandul itu tidak ada lagi. Hilang.

Di tengah kebingungan sekaligus ketakutanku karena telah kehilangan bandul kalung ini. Aku rasakan kedua kakiku seperti ada yang memegang kuat-kuat. Ada kekuatan besar yang menarik kedua kakiku dan seperti melayang membawaku pergi menjauh. Aku hanya bisa pasrah saja. Aku tidak tahu siapa yang menarik dan membawaku ini. 

‘Apakah yang membawaku pergi ini Sundel Bolong?’

Aku tidak takut. Mati pun aku tidak takut lagi. Tapi hati kecilku berkata ini bukan Sundel Bolong. Semakin lama pegangan di kakiku, aku rasakan semakin longgar dan seperti tidak ingin menyakitiku. Dari jauh sayup-sayup aku dengar suara Sundel Bolong berteriak mengumbar amarah memanggil-manggil namaku.

‘Siapa yang menolongku ini, ya?’

‘Siapa yang begitu sakti bisa melawan Sundel Bolong dan membawaku lari seperti ini?’

‘Siapa dia ini?’

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.

Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.

Post. Admint

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP KNPB) menyampaikan klarifikasi resmi terkait pernyataan publik Juru Bicara Tentara Nasional Papua Barat Sebby Sambom

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- KnpbNews, !Badan Pengurus Pusat Komite Nasional ...