Jumat, 03 Februari 2023

NAMA -KU "B U N G A"

By. Mahes
Namaku Mahes, usiaku akan masuk 29 tahun bulan depan ini. Usia yang relatif tua untuk seorang laki-laki bujangan di kota kecil ini. Seorang laki-laki yang baru satu kali pacaran, dan juga baru satu kali patah hati. Menyedihkan ya. Tapi aku sudah terbiasa berdamai dengan keadaan ini kok, nyaman saja. Meski kadang merasa kesepian juga. Nyaris semua teman-teman seusiaku sudah menikah dan punya anak, hanya beberapa saja yang masih sendiri, itu pun bisa dihitung dengan jari.

Kedua orang tuaku sudah lama meninggal, dan aku anak tunggal mereka. Ayah dan ibu meninggal karena "sebuah peristiwa", orang bilang mereka menghilang begitu saja, aku bilang itu sebuah tragedi. Jadi, di rumah aku tinggal sendiri. Di sebuah rumah tua yang lumayan besar, yang sudah berdiri sejak tiga generasi yang lalu, yang dibangun dari rumah tua yang sebelumnya sudah ada. Pekerjaanku setiap hari lumayan sibuk, dari pagi sampai petang hari melihat dan mengontrol kebun tebu dan jagung peninggalan orang tuaku. Ada belasan pekerja tetap dan puluhan yang bekerja paruh waktu di sana, beberapa orang sudah bekerja sejak kedua orang tuaku masih hidup. Hasil kebun ini tentu lebih dari cukup bagiku untuk menopang kehidupanku, yang hanya hidup seorang diri ini. 

Dan inilah kisahku ....

***

"Cantik. Tinggi semampai. Mata bulat indah. Kulit putih, rambut tergerai panjang, hidung mancung, dress putih?"

"Iya, Mas, yang itu," kata Agus, temanku yang juga bartender di kafe ini, satu-satunya kafe yang ada di kota ini.

Sebenarnya aku tak suka banyak tanya atau menggali informasi tentang seseorang dari orang lain seperti ini. Untuk apa? Ini hanya iseng saja. Keinginan yang tiba-tiba membuncah sejak sebulan lalu aku melihat gadis itu di kafe ini. Dia duduk sendirian di pojok ruangan, lalu menyunggingkan senyum manisnya ke arahku. Tapi baru seminggu ini kami benar-benar berkenalan. Duhh. Entah bagaimana, hingga detik ini aku tak juga bisa mengenyahkan sosoknya dari kepalaku.

Dan sekarang ekspresi wajah Agus begitu serius, membuatku semakin penasaran.

"Namanya Bunga. Dia sangat tertarik sama kamu."

Wajahnya semakin serius.

"Dia akan melakukan apa saja. Apa saja! Untuk membuatmu jatuh cinta dan bertekuk lutut padanya. Kalian akan segera bertemu lagi."

"Serius, Gus?"

"Kuingatkan padamu, jangan jatuh cinta. Jauhi dia. Dia itu berbahaya sekali."

"Kenapa? Dia perempuan nakal? Matre? Dukun?"

Hening.

"Dia sudah lama meninggal."

***

Seharusnya malam ini aku datang ke kafe, seperti janjiku untuk menemui Bunga, gadis cantik memesona, yang misterius itu. Ada yang ingin dia sampaikan, dan penting katanya. Aku abaikan larangan si Agus, bartender kafe itu yang juga temanku. Ngaco omonganYangnya, mengada-ada banget. Masak zaman modern seperti ini masih saja percaya ada hantu. Mungkin dia cemburu karena Bunga lebih tertarik padaku dan bukan pada dia. Dasar Agus, susah sekali lihat teman senang. Tapi sayang, sejak petang tadi hujan deras dan listrik ikut-ikutan padam. Jadi aku pun berdiam di rumah saja dalam kesendirian. 

‘Hujan teramat deras. Listrik padam. Sendiri di kamar depan. Ada yang datang. Desau angin perlahan. Entah dari pintu mana datangnya. Apakah mungkin ini Bunga? Tapi bagaimana dia tahu alamat rumahku?’

‘Di kamar depan ini. Hanya ada aku dan dia. Duduk berdampingan. Hanya menyisa jarak sejengkal. Ada dingin yang menguar dari tubuhnya. Juga harum bau kembang. Jangan-jangan ini bukan dia!’

Aku lirik perlahan yang duduk di sebelahku. Tinggi. Kulit putih, rambut panjang tergerai sempurna menutup seluruh wajahnya, hidung mancung, dress putih. Aku bergidik. Tiba-tiba seluruh ruangan semerbak wangi melati yang teramat kuat.

"Bunga?"

(hening)

"Bunga?"

(hening)

"Bunga, ini kamu?"

"Iya, Mas," jawabnya lirih.

Malam gelap dan sepi ini, tiba-tiba menjadi semakin sunyi. Bunga duduk persis di sebelahku, nyaris seperti patung, begitu dingin dan kaku. Semerbak wangi melati kembali memenuhi ruangan. Sunyi dan hening. Aku benar-benar tidak tahu apa maksud kedatangannya. Apakah karena sudah telanjur janji jumpa di kafe malam ini, atau entah karena sebab lain. Penampilannya malam ini lebih misterius dari biasanya, seperti ada yang membuatnya resah.

Tiba-tiba aku mendengar ada suara wanita memanggil-manggil namaku dari kamar sebelah. Ini kan suara Ibuku? Aku tersentak dan kaget. Dengan gerakan teramat pelan aku beranjak ke pojok kamar sambil menyibak pelahan kelambu jendela. Mencoba melihat ada apa di kamar sebelah. Hanya gelap yang ada. 

Aku sadar, aku di kamar berdua dengan Bunga, dan ada juga ibuku di kamar sebelah, yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Mungkin karena gelap, aku tidak bisa melihat kehadiran ibuku.

"Mas, ibu datang."

"Mas, ibu pulang."

Lirih suara ibuku dari kamar sebelah.

Aku seperti tersirap sesaat dan tak bisa bereaksi apa-apa. Ada dorongan kerinduan yang menggebu-gebu mendengar suara ibu, tapi akal sehatku mengingatkanku ada yang tak beres dengan semua itu.

"Kalau memang itu ibu, tolong jangan ganggu aku lagi, Bu," ucapku pelan, tergagap dan putus asa."

Ting ting ting ting, suara lonceng ibu terdengar lebih nyaring dari yang pernah aku ingat. Seperti suara yang datang dari tempat yang jauh, tetapi begitu jelas terdengar.

"Sisirin rambut ibu, Mas!"

Aku tergagap tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Hanya ibulah satu-satunya yang meminta aku untuk menyisir rambutnya, hanya ibulah yang menggunakan lonceng kecil setiap meminta bantuan ke aku. 

Sementara Bunga masih duduk mematung di kursi tua dekat ranjang, dengan mata menerawang jauh ke kamar sebelah. Dia sedikit tersenyum, yang di mataku terlihat seperti menebar ancaman pada sesuatu, entah padaku, entah pada ibuku di sebelah.

Bunga kemudian beranjak berdiri dan berjalan teramat pelan beberapa langkah saja, seperti melayang. Wajahnya menerawang mengarah ke kamar sebelah dan kedua tangannya terentang lurus kaku ke depan, telapak tangannya mengepal kuat-kuat. 

Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari kamar sebelah, "Laknat kamu kunti, lepaskan cengkeramanmu. Sakiiitttt. Mas, tolong ibu!"

"Sakiitttt. Mass, tolong ibu. Sakit maaasss. Dia menyakiti ibu. Tolooonnggg. Laknat kau kunti!" jerit ibuku dari kamar sebelah. 

Suara jerit kesakitan yang luar biasa, susah aku gambarkan. Dadaku bergetar hebat, seperti ikut merasakan kesakitan yang sedang dirasakan ibuku, wanita yang telah melahirkanku di dunia ini. Seluruh tulang rasanya lunglai tak bertenaga, karena takut, marah bercampur kalut yang berkecamuk.

"Lepaskan ibuku, Bunga! Lepaskan! Dia ibuku!" 

Aku berusaha teriak sekencang-kencangnya ke arah Bunga, tapi anehnya leherku seperti tercekat dan sedikit pun tidak ada suaraku yang keluar. Tapi Bunga seperti tahu kemarahanku, dia memandangku dengan tatapan lembut, tersenyum dan berkata lirih saja, "Pejamkan mata kananmu, Mas, dan lihatlah hanya dengan mata kirimu saja ke arah kamar sebelah. Dia bukan ibumu, Mas."

Dadaku yang sebelumnya bergemuruh dan seluruh tulang terasa lunglai, tiba-tiba saja kembali pulih seperti sedia kala, hanya dengan senyum dan tatapan lembut dari Bunga. Aneh. Aku pun melihat Bunga kembali tersenyum padaku, kemudian dia kembali mengarahkan pandangan ke kamar sebelah dengan kedua tangan terentang lurus ke depan dengan kedua telapak tangan yang tetap mengepal kuat-kuat. 

Aku pun segera mengikuti perintah Bunga untuk pejamkan mata kanan, dan hanya melihat dengan mata sebelah kiri saja. Aku segera berdiri lurus ke arah kamar sebelah, dan ajaib, tiba-tiba saja aku bisa melihat secara tembus pandang. Tembok kamar seperti tidak ada dan aku bisa melihat dengan jelas apa yang ada di sana.

Aaahhhh, yang aku lihat sungguh di luar perkiraanku dan benar-benar membuatku bergidik. Di kamar sebelah ada sesosok wanita dengan tua yang sangat menyeramkan, berbaju kelabu compang-camping kumuh panjang menakutkan, memegang kepalanya dengan kedua tangannya seperti sedang menanggung kesakitan yang luar biasa. Ternyata Bunga sedang menarik rambutnya kuat-kuat, dan wanita tua itu tak kuasa melawannya. Dia bukan ibuku, jelas bukan ibuku. 

Tapi jeritan mengerikan dari wajah buruk rupa yang mengerikan itu hanya berlangsung sesaat. Tiba-tiba dia tertawa terkekeh-kekeh. 

"Bagus Suster, bagus sekali kamu datang tepat waktu. Bantu aku mengeyahkan si laknat kunti ini." Dia berkata terkekeh-kekeh sambil melihat ke bawah. Ihhh, di bawah kakinya tiba-tiba sudah ada seorang wanita cantik berbaju suster yang seperti ngesot karena kakinya yang cacat. Wanita ngesot berbaju suster itu memegang kedua pergelangan kaki hantu wanita seram buruk rupa itu seperti sedang menyalurkan tenaganya, memberi tambahan kekuatan pada temannya ini.

‘Sejak kapan dia datang, dan dari mana dia datang?’

‘Apakah dia teman dari hantu wanita buruk rupa ini?’

Aku masih terkejut dengan kehadiran mahkluk menyeramkan yang baru datang ini, hanya bisa memandang ke depan seperti mematung, menerka, mengira-ngira apa yang akan terjadi selanjutnya. Kemudian aku pun menoleh ke arah Bunga. Ada kekhawatiran yang luar biasa, jangan sampai ada apa-apa dengannya.

Ahh, Bunga. Belum lama kita berkenalan, mungkin baru minggu lalu, setelah lebih dari sebulan aku melihatmu selalu duduk sendiri di kafe milik temanku. Kamu begitu magis dan memikat. Aku suka melihat wajahmu yang jelita, teduh dengan mata yang tajam. Aku mengagumi tubuhmu yang tinggi semampai dan berisi. Dan perihal pakaianmu yang selalu dress putih panjang, bagiku bukanlah masalah. Bukankah semua orang punya style sendiri-sendiri? Aku suka kok, Bunga. Apalagi dress tersebut selalu berbau harum melati. Aku paling suka menciumi dressmu itu, kalau lagi ingin manja denganmu.

Bunga, sejak kita berkenalan seminggu itu, kita seperti tidak terpisahkan. Kamu menjadi duniaku. Dan aku semangat hidupmu. Memang ada yang menjadi sedikit keanehan bagiku. Kamu selalu keberatan memberitahu di mana alamatmu, dan enggan jumpa di hari siang. Tapi biarlah, jumpa di malam hari toh lebih syahdu dan romantis kan, Bunga? Kamu juga nggak ribet harus prepare sunblock dan lainnya.

Seminggu sudah kita saling mengenal, kamu banyak berkisah tentang hidupmu. Kisah hidup yang membuatku tergerak untuk menjadi pahlawan hidupmu. 

Lamunanku tiba-tiba buyar. Aku lihat Bunga seperti menggigit bibir kuat-kuat, seperti menahan sakit teramat berat ....

"Mas, tolong aku. Dua mahkluk di sana itu dari tanah jahanam. Negeri para hantu buangan. Mereka ini Wewe Gombel dan Suster Ngesot. Bukan mereka yang aku takutkan. Kalau mereka datang, biasanya akan datang juga teman-teman mereka yang lain. Yang aku takutkan adalah putra mahkota sang Iblis itu sendiri, yang bernama Gandaruwo. Kalau dia ikut datang, tolong aku, Maaasss."

Suara Bunga memohon-mohon minta tolong terasa begitu mengiris hati. 

‘Tapi apa yang bisa aku lakukan?’

‘Apa yang bisa aku perbuat?’

Aku laki-laki biasa yang terjebak pada situasi magis dan mencekam seperti ini, tanpa tahu apa yang harus aku perbuat. 

‘Apa yang harus aku lakukan, Bungaku?’ Bisikku dalam hati, sambil menahan sekuat tenaga debar ketakutan yang semakin lama semakin memuncak. Jantung rasanya mau copot, dada mau pecah. 

Tiba-tiba ....

Alam seperti semakin sunyi, tidak ada aliran angin sama sekali. Putaran bumi seperti terhenti. Tempatku berpijak seperti bukan di kamar lagi. Aku tidak merasakan ada ubin dingin di telapak kakiku lagi. Rasanya seperti berada di tengah padang rumput hitam dengan langit yang teramat hitam dan gelap. 

‘Ada di mana aku sekarang?’

"Mas, bersiaplah. Sang putra Iblis sudah dekat. Ini pertanda Gandaruwo sebentar lagi akan sampai di tempat ini. Tolong aku, Maaasss."

"Apa yang harus aku lakukan, Bunga. Katakan Bunga. Aku akan lakukan apa saja, meski nyawa adalah taruhannya," ucapku tergagap-gagap. Terkejut aku masih punya kekuatan untuk membalas ucapannya, sementara sekujur tubuhku sudah basah kuyup saking ketakutan.

"Mendekatlah ke sini, Mas. Mendekatlah ke sini. Belai rambutku bagian belakang dengan mata terpejam. Ambil semua yang bisa kamu ambil dengan kedua tanganmu. Mereka itu dayang-dayangku, mereka prajuritku yang semoga bisa melawan mereka. Cepat, Maaasss."

Dengan kaki yang bergetar hebat, aku berjalan lambat ke arah belakang tubuh Bunga. Seperti petunjuknya aku pun memejamkan mata dan segera membelai rambut belakangnya yang panjang. Seaneh apa pun permintaannya, tidak ada waktu lagi bagiku untuk bertanya lebih jauh. Tiba-tiba aku rasakan kedua tanganku yang membelai rambutnya seperti meraup banyak binatang kecil yang bergerak-gerak. Aku tidak berani membuka mata, seperti petunjuk Bunga tadi. Aku hanya berusaha mengambil sebanyak-banyak binatang kecil yang bergerak-gerak ini.

"Cukup, Mas. Cukup. Sekarang maju ke depanku dan berjagalah di depanku. Saat Gandaruwo itu datang, segera lemparkan ke arah mereka semua yang ada di tanganmu. Jangan ragu-ragu. Sekarang kamu boleh membuka matamu, Mas," bisik Bunga.

Aku ikuti petunjuknya. Aku segera maju di depannya dan seperti menjadi benteng hidup untuknya. Aku kuatkan seluruh tekad untuk melindunginya, meski nyawaku menjadi taruhannya. Aku rasakan geliat binatang-binatang kecil di kedua telapak tanganku, bergerak-gerak seperti ingin melompat-lompat. 

‘Binatang apa ini ya?’ Kuberanikan diri melihatnya. Aaaihhhhh, ternyata yang ada pada kedua telapak tanganku adalah seperti binatang lintah, tapi dengan mata merah mencorong menakutkan. Aku bergidik melihatnya. 

‘Inikah dayang atau prajurit-prajuritnya Bunga? Apa bisa binatang-binatang kecil ini melawan hantu-hantu ini, apalagi kalau yang dilawan adalah Gandaruwo, putra sang Iblis?’

Tiba-tiba dari arah depan seperti ada gelombang angin topan hitam yang datang, tapi anehnya, tanpa ada suara sedikit pun. Topan hitam besar itu berputar-putar kemudian melayang lambat, namun datang begitu cepat. Suasana tambah mencekam. Udara terasa semakin dingin. Dingin yang menusuk-nusuk tulang dan seluruh persendianku.

"Maaassss, bersiaplah. Dia sudah datang."

"Gandaruwo?" 

"Iya, Mas."

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.

Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.

Ini cerbung pertama saya pada awal tahun 2020, setelah sempat berhenti menulis selama delapan tahunan.

         ***

Post. Admind


B U N G A
Hanya Kenangan 2
[Bulan madu 40 hari yang indah tinggal hanya kenangan. Tepat pada hari ke-40, Bunga pun mangkat ke alamnya, menuju kerajaan Kedaton Kidul memenuhi panggilan ibunya. Tinggal aku sendiri dengan segunung kerinduan pada istriku. Tapi ada yang lebih membebani pikiranku, selain kerinduanku ini, yaitu kehamilan Bunga. Istriku kembali ke kerajaan Kedaton Kidul dalam keadaan hamil. Sesuatu yang seharusnya menjadi kegembiraan besar bagiku.]

*

Semua kejadian dalam beberapa minggu ini sungguh membuatku bingung dan seperti mimpi saja. Ada banyak kejutan, kebahagiaan, kesedihan bahkan situasi yang mencekam. Tapi hidup teruslah harus kujalani dengan penuh semangat. Itu juga yang selalu dipesankan Bunga kepadaku berulang-ulang, seolah-olah dia sudah tahu aku akan sangat bersedih setelah dia tinggal pergi. Malam ini pertengahan bulan Juni, bulan bersinar sangat terang dengan bentuknya yang bulat sempurna, maklum ini malam bulan purnama. Seperti janji Bunga sebelum mangkat ke alamnya, dia akan selalu hadir melalui mimpiku saat malam bulan purnama. Ahhh, jadi tak sabar menunggu tengah malam dan bisa berjumpa lagi dengannya. ‘Aku rindu kamu, Istriku.’

Hari masih relatif sore, baru jam 7 malam, mau tidur terlalu cepat juga percuma. Sebaiknya aku main ke kafe saja dulu, sudah lama aku nggak kesana dan kangen juga dengan Agus, temanku yang juga bartender di sana. Aku pun segera prepare ganti pakaian yang pantas dan bergegas ke kafe, dan seperti biasa dengan mobil jeep tua peninggalan ayahku. 

Kotaku ini kota pinggiran dan menjadi penyangga sebuah kota metropolitan. Tidak terlalu luas tapi dengan kepadatan penduduk yang lumayan tinggi. Maklum, nyaris penduduk di sini kerjanya di kota metropolitan itu. Di sini malam selalu ramai dengan orang-orang yang lalu lalang, mencari makan, atau sekedar mencari hiburan. Butuh lebih dari 30 menit bagiku untuk sampai di kafenya Agus. Dan seperti biasa, begitu masuk di kafe ini, Aguslah yang pertama aku cari.

Aku segera menuju meja bartender mencari Agus. Tapi, aku cari di tempat dia biasa bekerja nggak ada. Aku pun coba mencari di area kafe lainnya yang tidak begitu luas ini, nggak ada juga. Di mana dia ya? Apa mungkin dia sudah resign dan beralih profesi sebagai pemusik, seperti yang sering dia ceritakan kepadaku? Di mana dia ya?

Saat lagi sibuk cari Agus, tiba-tiba ada mbak pelayan yang sudah aku kenal lama berteriak memanggil namaku, "Mas Mahes ... mas cari Agus ya?"

Aku pun segera mendekati mbak pelayan itu, kalau nggak salah namanya Rina. 

"Hai Rin, untung ada kamu, pusing aku nyariin si Agus. Hari ini dia off ya? Atau gimana?" 

"Mas, kita ngomong di pojok sana saja yuukk, jangan di sini. Ada yang serius mau aku ceritakan."

Waduh, ada kabar serius apa ya tentang Agus. Tiba-tiba perasaanku jadi nggak enak. Setelah semua peristiwa 'dahsyat' yang aku alami dalam beberapa minggu ini, aku tidak akan kaget lagi kalau ada kejadian atau berita lain yang aneh-aneh.

Aku pun segera mengikuti Rina menuju sofa di ruangan kafe paling pojok. Kami pun segera duduk berhadapan dan meskipun lampu relatif temaram, tapi aku masih bisa melihat ekspresi Rina yang seperti sedih sekaligus ketakutan.

"Mas Mahes, sudah 3 minggu ini mas Agus di isolasi di rumah sakit jiwa. Dia menderita gangguan jiwa hebat mas. Tiba-tiba saja dia menjadi sosok yang pemarah dan ingin melukai siapa saja yang ada di dekatnya. Keluarganya sudah angkat tangan. Manajemen kafe ini juga sudah menyerah. Nggak tahu lagi bagaimana menyadarkan mas Agus. Akhirnya satu-satunya jalan ya memasukkan dia ke rumah sakit jiwa."

"Lho, separah itu kah, Rin? Setahuku Agus orangnya sangat sehat kesehatan jiwanya. Dia tenang dan kalem sekali melayani pelanggan. Apa yang menyebabkan dia berubah seperti itu ya?"

Rina aku lihat memejamkan matanya dalam-dalam, kemudian membuka mata sedikit dan melihat ke kanan kiri seperti ketakutan. 

"Mas, semoga yang aku sampaikan ini tidak membuatku dalam bahaya. Tapi aku harus ceritakan ke kamu, meskipun mas Agus hilang ingatan, tapi dia selalu menyebut-nyebut namamu, selalu teriak-teriak agar mencari kamu, karena kamulah yang bisa menolongnya mas, katanya."

"Eh, Rin ... gimana detil peristiwa yang membuat Agus hilang ingatan dan marah-marah di luar kendali seperti itu?" Aku potong cerita Rina dengan tidak sabar.

"Sabar mas. Begini ceritanya mas. Beberapa hari setelah mas Mahes keluar kota untuk bulan madu dengan mbak Bunga, ada seorang wanita yang cantik sekali datang di kafe ini. Dia duduk di kursi yang biasa istri mas duduk. Di kursi sebelah sana itu mas. Sekilas wanita ini mirip sekali dengan mbak Bunga. Tapi wanita yang ini berbeda. Dia lebih misterius. Saat datang dia langsung cari mas Agus."

Kata Rina, wanita yang menemui Agus ini cantik jelita, datangnya malam, mirip Bunga, duduk di kursi yang biasa dipakai Bunga yang memang membelakangi arah lampu kafe. 

‘Siapa dia ini ya?’

Tiba-tiba terbersit dalam pikiranku, apa mungkin wanita ini mbak Sun. Sundel Bolong? Ahh, aku jadi ingat. Setelah pertarungan Bunga dan mbak Sun dihentikan Kanjeng Ratu, memang hanya Kanjeng Ratu yang kembali lagi ke kerajaan Kedaton Kidul. Dan mbak Sun sudah minta izin pada ibunya itu untuk sementara tinggal di dunia ini. Jadi, apa mbak Sun yang menjadi penyebab Agus hilang ingatan sekarang ini?

Lamunanku pun segera buyar, saat Rina menyodorkan segelas long island dingin dengan sedikit potongan jeruk nipis sekadar pemanis di atas gelasnya. 

"Minum dulu mas. Ini minuman kesukaanmu kan? Aku lihat mas juga mulai paham apa yang terjadi. Minumlah, pelan-pelan aku ceritakan detil peristiwanya."

Coctail ini rasanya manis saja dan hanya dengan sekali teguk habislah minuman di gelasnya. Biasanya minuman ini lumayan pahit, dan butuh beberapa waktu bagiku untuk menghabiskannya. Pikiranku kembali melayang-layang mengingat si Agus. Dia temanku sejak kecil. Dia termasuk anak yang cerdas. Sayang karena keterbatasan ekonomi dan hidup sebatang kara tanpa orang tua, membuatnya tidak bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Sejak lulus SMU dia menjadi pelayan di kafe ini. Setelah sekian lama menjadi pelayan biasa, akhirnya pemilik kafe memberi kesempatan Agus untuk kursus bartender dan dipercaya menempati pos baru sebagai salah satu bartender kafe ini. Setiap aku ke kafe ini, aku hanya mau minum coctail racikan Agus. Long island dan blue illution buatan Agus menurutku tidak kalah dari racikan bartender bintang lima di club-club kota metropolitan.

"Jadi begini kejadiannya mas. Aku lihat sendiri mas Agus menghampiri wanita cantik itu. Mereka pun terlihat serius membicarakan sesuatu. Aku lihat mas Agus tertawa-tawa senang dan bahagia sekali. Pembicaraan mereka tidak lama dan wanita itupun segera beranjak dan keluar dari kafe ini. Aku pun segera menghampiri mas Agus dan coba tanyakan siapa wanita itu dan apa maksud kedatangannya mencari mas Agus. Mas Agus tampak tidak suka dengan pertanyaanku itu mas, tapi dia tetap menjawab. Dia bilang wanita itu bernama Sundari. Dia kakaknya mbak Bunga, katanya. Dan dia suka mas Agus."

Ahh, persis seperti dugaanku tadi. Wanita itu pastilah mbak Sun. Siapa sih laki-laki yang bisa menolak mbak Sun? Tidak ada. Semua laki-laki akan takluk dan tergila-gila padanya dari pandangan pertama saja. Aku bayangkan di posisi Agus saat itu, aku juga pasti akan langsung tergila-gila padanya. Tapi kenapa kemudian si Agus jadi hilang ingatan ya? Apa yang terjadi dengan dia?

Saat aku lagi termenung berfikir sendiri dan coba mereka-reka kejadian apa yang membuat Agus hilang ingatan. Tiba-tiba saja tercium semerbak bau bunga kantil yang harum dan magis. 

‘Ahh, ini kan bau mbak Sun. Apa dia ada disini? Sundel Bolong ada disini?’

Udara di dalam kafe terasa lebih dingin dari biasanya. Dingin sekali menusuk-nusuk tulang, dan bau bunga kantil semakin semerbak. 

Suasana pun tiba-tiba menjadi begitu sunyi. Suara hingar bingar musik kafe ini seperti terhenti. Celoteh para pengunjung pun tidak terdengar sama sekali. Aku lihat Rina diam mematung di depanku. Aku lihat semua pengunjung juga diam mematung. Hanya aku sendiri yang tetap bisa bebas bergerak.

‘Ada apa ini?’

Dari arah belakang tubuhku terdengar suara yang pelan sekali. Dan semerbak bau bunga kantil yang harum semakin terasa pekat dan membuat kepalaku melayang-layang.

"Maheeesss ...."

"Mahesss ...."

Suara lembut yang teramat lirih ini beberapa kali memanggil namaku. Tak terdengar suara langkah kaki, yang ada samar-samar suara kain yang bergesekan dengan lantai. Ini jelas mbak Sun. Kembali aku dengar suaranya memanggil namaku.

"Mahess ...."

"Mahesss ...."

"Ini mbakmu, Sayang."

Dua kali aku menarik napas panjang dan dengan tanpa ragu membalikkan badan dan ….

Nampak di depanku seorang wanita yang teramat cantik. Susah menggambarkan kecantikannya. Sulit mengukur kejelitaannya. Tidak mungkin membandingkan pesonanya dengan semua wanita yang ada di dunia ini. Dia begitu luar biasa. Perawakannya nyaris sama dengan Bunga, istriku. Garis wajah dan tubuhnya juga sangat mirip istriku. Tapi dia punya magis dan sihir yang ada di seluruh tubuhnya, yang nampak maupun yang tersembunyi. Ini yang membedakan dengan istriku. Lelaki biasa akan tergila-gila hanya dengan melihat ujung jari mbak Sun. Sejenak aku juga dibuat terpesona dan mematung karena pesonanya. 

Tapi aku bukanlah Mahes yang dulu. Selama 40 hari berbulan madu dengan Bunga, bukanlah hari-hari biasa yang aku jalani sebagai suami istri. Tidak melulu berasyik masyuk sebagai suami istri pasangan muda. Bunga telah membangkitkan kekuatan batinku yang selama ini tidur dalam tubuhku. Dia juga dengan sangat sabar membimbingku membangunkan semua kekuatan dan selangkah demi selangkah melatihku agar mampu menggunakan kekuatanku ini dengan baik. Bunga juga dengan sangat tekun mengajariku semua ilmu kanuragan dan olah batin dari kitab-kitab peninggakan orang tuaku yang ada di kamar keramat itu. Semua kitab telah aku pelajari. Semua senjata pusaka telah aku kuasai penggunaannya. Aku sekarang bukanlah Mahes yang dulu. Kekuatan fisikku beribu-ribu kali lipat dari sebelumnya. Kekuatan batinku sulit aku ukur kemajuannya, yang jelas tidak ada lagi yang membuatku gentar. Ilmu sihir paling kuat pun tidak bisa menembus batinku. Dan sekarang ini pun aku selalu memakai baju zirah ontoseno. Baju zirah ini secara ajaib telah melekat ke dalam tubuhku. Tidak terlihat, tapi melindungi seluruh tubuhku, tidak ada satu senti pun tubuhku yang tidak terlindungi, semuanya menjadi kebal segala racun dan senjata. Ini juga aku lakukan atas saran Bunga. Rasanya apa pun yang dia sarankan, selalu aku patuhi. Bunga seperti sudah menerka, akan banyak cobaan dan masalah yang harus aku jalani sepeninggal dia.

"Iya, mbak Sun, ehh mbak, tentu aku kaget mbak ada disini. Rasanya baru kemarin saja aku dan Bunga jumpa dengan mbak Sun. Gimana kabarnya mbak?"

Aku hanya basa-basi saja menanyakan kabarnya, saat menatap matanya, ajaib aku langsung bisa membaca apa yang sedang dia pikirkan. Ahh, menyebalkan, dia ingin aku jadi kekasihnya. Saat aku menatap matanya, mbak Sun juga menatap mataku. Aku lihat dia seperti terkejut dan terdengar dia berteriak lirih karena keterkejutannya. Aku rasa dia kaget karena melihatku sebagai sosok yang berbeda. Magis sihirnya sama sekali tidak memengaruhi batinku. Tapi sebentar saja aku lihat dia terkejut, segera dia mampu menguasai dirinya, kemudian tersenyum manis dan dengan gerakan yang sangat gemulai kedua tangannya menarik tali gelung rambutnya. Rambutnya yang indah itu pun langsung tergerai dengan lebih indah lagi. Riap-riap rambutnya begitu indah dan menyebarkan harum bunga kantil lebih kuat lagi.

Aku seperti tersedak dan tiba-tiba kepalaku seperti melayang-layang. Tanpa bisa aku tahan lagi, tubuhku sempoyongan dan aku pun jatuh terduduk.

"Mahesss, tak ada guna kamu melawan aku. Jangan kau panggil aku mbak lagi, Sayang. Panggil saja aku Sun saja. Akulah kekasihmu sekarang ini Mahes."

Suara mbak Sun begitu lirih. Nyaris seperti suara angin saja. Begitu merdu dan tiap katanya digerakkan magis sihir yang sangat kuat. Aku yang duduk lemas di lantai, semakin melayang-layang dibuatnya. Tapi kesadaranku tidak sepenuhnya hilang. Aku masih punya kekuatan fisik dan batin. Tapi sebaiknya aku pura-pura lemas dulu.

Mbak Sun seperti melayang, berjalan ke arahku dan menundukkan badan seperti mau merengkuhku. Kedua tangannya memeluk pundakku, dan dengan perlahan menarik badanku agar berdiri. Bau bunga kantil dari tubuh dan rambutnya dari jarak yang sangat dekat benar-benar menyesakkan dadaku. Aku pura-pura saja terbuai dan pasrah padanya. Dia tersenyum kecil, merasa telah menang dan bisa menguasaiku. 

Sekilas aku lirik situasi kafe, semua pengunjung masih diam mematung. Tapi semuanya selamat, tidak ada yang pingsan atau terlihat celaka. Kalau aku melawannya saat ini, aku takut di tengah kemurkaannya dia bisa saja mencelakai orang-orang ini. Baginya nyawa manusia tidak ada artinya. Jadi aku putuskan untuk tetap pura-pura dalam pengaruh sihirnya.

"Ayo sayangku, kita pergi ke arah selatan. Di sana kita bisa seutuhnya menjadi kekasih, tanpa ada yang bisa mengganggu."

Setelah berucap itu, mbak Sun seperti memeluk pinggangku dan mengajakku berjalan keluar kafe dengan cepat. Aku ikuti saja setiap langkahnya. Ajaib, setiap langkahku terasa sangat ringan dan tanpa menjejakkan kaki ke tanah. Melayang! Cepat sekali kami ke luar dari kafe. Cepat sekali kami berjalan melintasi perbukitan dan hutan di pinggir desa. Cepat sekali kami melewati sebuah sungai besar dan beberapa sungai kecil di luar kota ini. Sekarang aku tidak bisa tinggal diam lagi. Ini sudah jauh dari area pemukiman penduduk. Aku tidak akan berpura-pura tunduk lagi. Tidak! Mati pun saat ini bukan hal yang aku takutkan lagi. 

Segera aku tepis kuat-kuat tangannya yang memeluk pinggangku, sekaligus aku dorong tubuhnya ke bawah.

Mbak Sun teramat terkejut. Dia benar-benar tidak menyangka aku punya kekuatan begitu besar untuk melawannya. Dia tadi hampir terjatuh saat aku dorong tubuhnya. 

Dia sekarang sudah berdiri tepat di depanku dengan kedua mata melotot merah menyala. Kemurkaannya telah memuncak. Amarahnya benar-benar tak terbendung lagi. Dari seluruh jari-jari tangannya seperti tumbuh kuku-kuku runcing yang panjang, mengerikan. Dengan tanpa basa-basi lagi dia segera menyerangku dan seperti ingin menancapkan kuku-kukunya yang tajam itu ke tubuhku.

Aku terkesiap. Dan meski pun aku sudah berusaha melompat dengan cepat, terlambat, masih saja kedua tangan dengan jari-jari runcing ini kuat mencengkeram kepalaku. Rupanya mbak Sun tidak sekedar menyerang untuk melumpuhkanku, tapi sudah berniat untuk membinasakanku.

Aku rasakan sesuatu yang berat dan tajam menekan kepalaku. Rasanya kepalaku mau retak atau pecah berkeping-keping. Berat dan sakit sekali. Semakin lama semakin kuat cengkeramannya. Tapi tiba-tiba aku rasakan kekuatan cengkeramannya menjadi tidak aku rasakan sama sekali. Bukan karena mbak Sun telah melonggarkan serangannya, tapi karena dari tubuhku telah melawan kuat dan menetralkan semua serangan ini. Baju zirah ontoseno membuat tubuhku kebal. Dan kekuatan batinku membuat serangannya menjadi mental. Aku pun memusatkan konsentrasi lebih kuat lagi dan dengan sekali sentak, aku lempar mbak Sun kuat-kuat ke depan. 

Mbak Sun terlempar ke depan berpuluh-puluh meter dari tempatku berdiri. Aku sendiri sangat terkejut dengan kekuatanku ini. Mbak Sun yang selama ini menjadi mitos segala kekuatan jahat dan pandemik penyakit mematikan, ternyata bisa aku lawan.

Tapi aku hanya bisa merasa menang sesaat saja, yang berdiri di depanku sekarang bukan wujud mbak Sun yang cantik jelita lagi. Mbak Sun adalah Sundel Bolong. Hantu terkuat yang selama ini menjadi teror di semua belahan bumi. Menjadi mitos ketakutan di banyak jaman. Sundel Bolong juga muncul pada mitologi Yunani. Dia dikenal dengan nama Lamia. Seorang wanita teramat cantik yang menjadi Ratu Libya. Kecantikannya itu membuat Zeus jatuh cinta dan menikahinya. Namun, Hera, istri Zeus cemburu dan marah besar. Hera bahkan nekat membunuh semua anak Lamia bersama Zeus. Akibat perlakuan Hera itu, Lamia menjadi gila dan melampiaskannya dengan memakan anak-anak yang ada di Yunani. Bayangkan, Zeus sendiri bisa tergila-gila pada Sundel Bolong. 

Di depanku, mbak Sun sudah berubah menjadi hantu raksasa buruk rupa yang sangat menakutkan. Tubuhnya menjadi tinggi besar. Seluruh tubuhnya seperti dipenuhi segala ular besar dan kecil yang melilit tubuhnya. Matanya merah menyala dan seperti mengeluarkan api. Dan suaranya tidak lagi merdu merayu, tapi berubah serak yang memekakkan telinga. Bau harum bunga kantil pun sudah sirna, yang ada sekarang adalah bau yang teramat busuk. 

Aku sudah pernah melihat penampakan Sundel Bolong saat murka seperti ini. Aku juga ingat pesan Bunga, seperti apa wujud lain dari Sundel Bolong, yang aku lihat saat ini persis sekali dengan yang disampaikan Bunga dan penampakan yang dulu. Aku pun juga ingat, apa-apa yang harus aku lakukan untuk menahan serangan Sundel Bolong. Pelan-pelan aku meraba dadaku, aku belai-belai bandul kalung yang ada di dadaku sambil merapal mantra yang telah diajarkan Bunga. Ini bandul kalung yang dititipkan Bunga padaku, seperti mewakili kehadirannya, setidaknya lewat kekuatan pada bandul kalung ini. Sekali lagi dia seperti bisa menebak, suatu saat aku akan berhadapan dengan kemurkaan Sundel Bolong. Ah, hatiku seketika berdesir, ada kerinduan yang teramat sangat pada dia. ‘Bunga, aku rindu. Istriku, aku rindu.’

Aku tidak bisa berlama-lama dengan lamunanku ini. Dengan cepat Sundel Bolong yang menakutkan ini melayang menyerangku. Kedua tangannya seperti mau menghantam kepalaku dan seluruh ular yang melilit di tubuhnya seperti terbang cepat hendak mematuk tubuhku.

Kali ini aku sudah bersiap. Tubuhku tidak hanya dilindungi baju zirah ontoseno dan kekuatan dalamku saja, tetapi juga sudah diperkuat pusaka bandul kalung Bunga. 

Terbukti semua serangan ini mental semua. Serangan Sundel Bolong dan dayang-dayangnya sedikit pun tidak kuasa menyentuh tubuhku. Kekuatan bandul kalung Bunga benar-benar luar biasa.

Tapi ….

Tiba-tiba malam yang sudah gelap menjadi semakin gelap lagi. Kalau sebelumnya aku masih bisa melihat kerlap-kerlip lampu dari kejauhan, sekarang ini dunia seperti hanya berwarna hitam saja. Mataku tidak bisa melihat apa-apa. Gelap semuanya. Posisi Sundel Bolong pun tidak bisa aku lihat lagi. Gelap!

Dan tanpa bisa aku tahan lagi, dari arah belakang terasa ada hantaman yang kuat pada kedua pundakku. Aku pun terjerebab ke depan. Saat aku berusaha berdiri, ada hantaman yang lebih kuat lagi tepat di atas kepalaku. 

Aku segera meraba dadaku dan mencari tambahan kekuatan dari bandul kalung Bunga. Tapi bandul itu tidak ada lagi. Hilang.

Di tengah kebingungan sekaligus ketakutanku karena telah kehilangan bandul kalung ini. Aku rasakan kedua kakiku seperti ada yang memegang kuat-kuat. Ada kekuatan besar yang menarik kedua kakiku dan seperti melayang membawaku pergi menjauh. Aku hanya bisa pasrah saja. Aku tidak tahu siapa yang menarik dan membawaku ini. 

‘Apakah yang membawaku pergi ini Sundel Bolong?’

Aku tidak takut. Mati pun aku tidak takut lagi. Tapi hati kecilku berkata ini bukan Sundel Bolong. Semakin lama pegangan di kakiku, aku rasakan semakin longgar dan seperti tidak ingin menyakitiku. Dari jauh sayup-sayup aku dengar suara Sundel Bolong berteriak mengumbar amarah memanggil-manggil namaku.

‘Siapa yang menolongku ini, ya?’

‘Siapa yang begitu sakti bisa melawan Sundel Bolong dan membawaku lari seperti ini?’

‘Siapa dia ini?’

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.

Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.

Post. Admind

         ***
B U N G A
Bagian 3
"Bunga, aku takut," hanya kalimat pendek ini yang bisa terucap dari bibirku, saat melihat sesosok raksasa berbulu hitam lebat dengan mata merah api menyala muncul di hadapanku. Sikapnya penuh dengan ancaman. Aku lihat kedua tangannya direntangkannya lebar-lebar, siap untuk meremukkan tulang-tulangku. Pancaran matanya siap membakar tubuhku. Aku bergidik dan tanpa bisa aku cegah lagi, seluruh badanku bergetar hebat. Mata berkunang-kunang, pandangan mulai gelap dan rasanya sebentar lagi aku pasti pingsan.

"Mas, tenangkan dirimu, Sayang. Aku percaya kamu. Jangan takut. Ada aku. Jangan biarkan ketakutan menguasai dirimu. Itu yang diinginkannya. Dia akan menguasaimu kalau ada sedikit saja ketakutan di hatimu," Suara Bunga lirih terdengar merdu, begitu halus seperti alunan musik klasik. 

Suara Bunga selalu lebih sejuk dari embun pertama di pagi hari. Tidak ada sedikit pun penolakan di hatiku, pada apa pun yang diucapkannya. Suaranyalah salah satu yang membuatku jatuh cinta padanya. Dan sekarang, suara ini juga yang membuatku merasa kuat, atau lebih tepatnya berani nekat. Suaranya selalu menjadi mantra penguat bagiku.

Aku pun berdiri tegak tepat di depan Bunga. Pandangan lurus ke depan dengan memaksakan senyum sinis pada semua makhluk laknat yang ada di depanku. Aku pandang mereka satu-satu dengan tatapan menantang. Aku tatap mata Wewe Gombel dengan pandangan menyepelekan. Aku pandang sorot mata Suster Ngesot sambil tersenyum meremehkan. Dan aku tatap mata merah api Gandaruwo yang sosoknya tinggi besar, barangkali tingginya dua kali dari tinggi tubuhku, dengan tatapan mengejek. Entah darimana muncul keberanianku ini. Mungkin dari mantra yang diberikan Bunga, mungkin juga dari besarnya cintaku pada Bunga dan tekad besarku untuk menjaganya. 

Aku segera ingat pesan dari Bunga untuk melemparkan binatang-binatang kecil, wujud para dayang-dayangnya ke arah mereka.

Sekuat tenaga aku lemparkan semua binatang-binatang kecil ini ke


Post. Admind


B U N G A
#cerbung#cerbung
#part3
#horror_romansa_ZP

B U N G A

Apa yang aku lihat teramat mengerikan, sebuah pemandangan menakutkan yang rasanya tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.

Mbak Sun yang sebelumnya begitu sempurna penampilannya, seketika berubah menjadi raksasa wanita dengan rambut yang riap-riap mengerikan. Rambutnya bukanlah helai rambut biasa, tapi menjadi sekumpulan sulur-sulur ular-ular kecil berwarna merah menyala yang mengerikan. Matanya melotot seakan-akan ingin menelan Bunga bulat-bulat. 

Sementara angin topan dan petir yang berputar-putar mengelilingiku dan Bunga juga tidak kalah menakutkan. Topan hitam besar seperti punya tangan-tangan besar yang siap untuk mencabik-cabik tubuh kami. Petir dengan nyala api merah membara juga tak henti-henti menyambar-nyambar dengan suaranya yang membuat telinga seperti mau tuli. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang, bumi seperti jungkir balik dan badanku lunglai tanpa daya. Aku tak kuasa lagi menahan badan dan tanpa bisa ditahan lagi, aku pun jatuh terduduk tanpa daya. 

"Mas, Maaasss, bangkitlah. Suaraku ini penyembuh untukmu, Mas. Bangkitlah. Kamu akan baik-baik saja. Mbak Sun boleh membunuhku, tapi tidak akan bisa menyentuhmu. Kamu masih pegang kalungku itu 'kan, Mas. Jangan pernah terlepas dari genggamanmu. Selama kalungku itu ada padamu, mbak Sun tidak akan bisa menyakitimu."

Seperti biasa suara lirih Bunga sungguh merdu dan diucapkannya tanpa membuka mulutnya. Hanya aku yang bisa mendengar suaranya. Dan sekali lagi, ajaib, tubuhku segera pulih seperti sedia kala, bahkan aku rasakan ada kesegaran dan kekuatan baru yang entah datang darimana.

‘Terima kasih kekasihku,’ bisikku lirih.

Aku segera bangkit dan meloncat ke arah Bunga untuk berjaga-jaga dari serangan mbak Sun. Topan dan petir sudah reda dan entah lenyap ke mana. Tapi sekilas tadi aku lihat Bunga berputar-putar di udara. Aku yakin karena upaya dialah topan dan petir itu lenyap.

"Mbak Sun, sudahlah, Mbak. Aku mohon kembalilah. Aku tidak bisa balik ke kerajaan Kedaton Kidul lagi. Sampaikan permohonan maafku ke Kanjeng Nyai. Di sinilah sekarang duniaku, Mbak."

"Kunti!"

Sambil berteriak memanggil Bunga dengan nama Kunti, mbak Sun tanpa aba-aba lagi menyerang Bunga dengan sangat ganas. Dari kedua matanya keluar api membara yang seperti ingin membakar Bunga hidup-hidup, sementara kedua tangannya merentang memanjang dan langsung mencekik kuat-kuat leher Bunga.

Sekali lagi, aku hanya bisa melihat semua peristiwa itu tanpa bisa membantu Bunga. Semua seranganku ke mbak Sun seperti menemui ruang hampa, tanpa bisa menyentuh dia sama sekali.

"Lakukan semaumu mbak Sun, bunuhlah aku, aku tidak akan melawan," ucap Bunga lirih sambil tersenyum ke arah mbak Sun.

"Keparat kau Kunti. Lawan aku. Ayo lawan aku!"

Meski mbak Sun semakin memperkuat cekikan di leher dan juga menyemburkan api dari kedua matanya tanpa henti, Bunga sedikit pun tidak bergeming. Bunga seperti pasrah dan memilih mati daripada harus melawan kakaknya ini.

Tiba-tiba mbak Sun berhenti menyerang Bunga dan melirik ke arahku. Raksasa wanita menakutkan ini melihatku dengan mata melotot. Ular-luar kecil merah menyala yang memenuhi rambutnya tiba-tiba melompat dan terbang ke arahku. 

Aiihhhh, aku berteriak kencang-kencang sambil sibuk lompat sana-sini untuk menghindari serangan ular-luar siluman ini. Sementara kedua tangan mbak Sun juga memanjang dan tiba-tiba saja sudah mencekik leherku kuat-kuat. Tapi anehnya, cekikannya ini seperti tidak aku rasakan. Begitu juga dengan gigitan ular-ular siluman di kaki dan tubuhku juga sama sekali tidak kurasakan. Ahhh, Bunga, ini pasti karena kekuatanmu yang kamu salurkan melalui kalungmu yang aku genggam kuat-kuat ini yang membentengiku dari serangan-serangan mbak Sun dan ular silumannya.

Aku pun melirik ke arah Bunga sambil tersenyum dan berbisik lirih, ‘Terima kasih, kekasihku.’

Tapi Bunga tak sempat lagi membalas senyumanku, karena pada detik itu juga mbak Sun sudah menyerangnya dengan lebih ganas lagi.

Kali ini Bunga tidak mau tinggal diam dan pasrah saja. Amarahnya juga sudah membuncah melihat mbak Sun yang tadi ingin membunuhku.

Pertarungan mereka sulit untuk aku gambarkan dengan kata-kata. Pertarungan mereka bukanlah pertarungan seperti yang biasa kita tahu. Bunga sudah mengerahkan seluruh dayang-dayangnya yang berjumlah dua belas. Mbak Sun juga sudah mengerahkan semua siluman-siluman ular di rambutnya. Sementara Bunga dan mbak Sun juga sudah saling serang secara langsung. Kadang mereka terlihat saling mencekik dan cakar. Kadang keduanya menghilang dan tiba-tiba saja seperti sudah ada diatas langit dan saling terjang. Pertarungan yang berimbang, sengit dan sangat mengerikan, dan entah kapan akan selesainya.

Tiba-tiba ….

Dunia seperti berhenti berputar. Waktu seperti dibekukan. Bunga dan mbak Sun berdiri mematung saling berhadapan, begitu juga dengan para dayang dan siluman ular yang juga diam semua, tidak bergerak sama sekali.

Samar-samar seperti terdengar suara derap kereta kuda.

Hanya aku yang bisa menggerakkan tubuh. Aku lihat ke kanan dan kiri, tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanya padang rumput hitam dan pekat. 

‘Dari mana datangnya suara kereta kuda ini?’

Suara derap kereta kuda semakin keras dan jelas kudengar, diiringi ringkikan suaranya yang terasa lain. Suara ringkikan kuda yang menggema dan seperti berputar-putar di atas langit.

Aku pun mendongakkan kepala ke atas, dan sungguh terkejut dengan yang aku lihat ….

Aku lihat sebuah kereta kuda kencana yang sangat megah membawa seorang wanita dengan gaun ratu kerajaan yang sangat cantik jelita. Kereta kuda kencana itu perlahan turun dari langit ke arah kami. Dalam sekejap mata, di depan kami sudah berdiri dengan anggun wanita penumpang kereta kuda kencana itu.

"Ibu datang anak-anakku ...."

Suaranya lembut dan lirih seperti embusan angin saja. Dan ajaib, setelah wanita itu mengucapkan kalimat pendek itu, tiba-tiba saja Bunga dan mbak Sun bisa bergerak kembali dan tidak lagi mematung.

‘Siapa wanita ini ya?’

‘Betapa saktinya wanita ini yang bisa membuat mereka mematung dan membuat alam seperti berhenti.’

‘Dan kenapa dia bilang Ibu pada Bunga dan mbak Sun?’

‘Apakah ini Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mereka, Ratu Kerajaan Kedaton Kidul?’

[Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mbak Sun dan Bunga datang tepat waktu di saat mereka sedang saling serang mengadu nyawa. Pada akhirnya Bunga menerima titah ibundanya untuk kembali ke kerajaan Kedaton Kidul. Namun ibundanya berbaik hati dengan memberinya waktu 40 hari di dunia untuk bisa hidup bersamaku, sebelum kembali ke kerajaan. Ibundanya juga memberi kekuatan  kepada Bunga, selama 40 hari ini bisa menjadi seutuhnya manusia, yang mampu hidup dalam dunia terang.]

***

Semua kejadian dalam beberapa minggu ini sungguh seperti mimpi saja. Berawal dari pertemuan dengan Bunga di kafe, dan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang akhirnya menyatukan kami sebagai sepasang kekasih. Dan sekarang hanya dalam satu malam saja aku harus menerima kenyataan bahwa Bunga, kekasihku ini ternyata seorang Kuntilanak, adik dari Sundel Bolong, dan mereka adalah anak-anak Kanjeng Nyai Roro Kidul penguasa kerajaan Kedaton Kidul. Nama-nama Kuntilanak, Sundel Bolong, Kanjeng Nyai Roro Kidul dan kerajaan Kedaton Kidul selama ini sudah sering aku dengar, tapi aku anggap hanya cerita tahyul saja. Ternyata semua benar dan nyata, bahkan aku sekarang menjadi bagian dari kisah mereka, bagian dari keluarga mereka. 

Bunga seperti memahami semua perenunganku ini. Dengan tersenyum sangat manis, dia bertutur lembut kepadaku.

"Mas, dengarkan aku mas, Kanjeng Ratu dan mbak Sun sudah balik ke Kedaton Kidul. Tapi Kanjeng Ratu hanya memberi waktu kepadaku manjing sempurna di duniamu 40 hari saja. Sepanjang waktu itu, aku seutuhnya wanita bumi, yang bisa menjalani kehidupan di malam dan siang hari. Kita syukuri saja mas. Apa kita punya pilihan lain? Tidak kan mas. Aku akan temani kamu mas, seutuhnya jadi istrimu. Dan sebelum utuh sebagai suami istri, izinkan aku melepas ke 12 dayang-dayangku yang selama ini menjadi penjagaku. Aku tidak akan bisa menjadi istrimu yang sempurna kalau masih ada mereka mas, dan saat ini aku tidak membutuhkan mereka lagi."

Suara Bunga terdengar begitu lembut. Suara inilah yang selalu membuatku jatuh cinta, dan sikapnya yang lemah lembut penuh kasih sayang, menyempurnakan  cintaku padanya. Dan tentu saja wajahnya yang sangat jelita dan tubuhnya yang sempurna juga menjadi sebab lain yang membuatku tergila-gila padanya. Tanpa sadar aku tersenyum, selalu aku tersenyum kalau ingat betapa beruntungnya aku mendapatkan wanita yang memiliki pesona luar biasa ini.

Aku lihat Bunga sudah mengurai rambut belakangnya, dan seperti saling berlomba, ke 12 dayang-dayang tadi berlompatan keluar dari rambutnya. Sebelumnya aku sudah pernah melihat ke 12 dayang tadi dalam bentuk lintah kecil yang kemudian berubah menjadi seperti monster yang menakutkan. Tapi yang kulihat saat ini adalah 12 satria gagah yang berdiri tegap ke arah Bunga sambil menangkupkan kedua telapak tangannya tanda hormat.

Salah satu satria yang aku lihat paling gagah dan berpakaian seperti raja segera maju ke depan dan menjura dengan takzim ke arah Bunga. 

"Putri Roro Jonggrang, aku mewakili semua satria ini mohon pamit. Izinkan kami kembali sebagai manusia yang sejati dan menerima takdir kami untuk kembali ke alam ruh. Hormat dan terima kasih kami untuk sinuwun juga. Matur nuwun sinuwun. Kami undur diri."

Selesai bicara menyampaikan undur diri ini, tiba-tiba tubuh mereka bergetar hebat dan hanya dalam hitungan detik seluruhnya meluruh menjadi abu. 

Aku hanya bisa berdiri mematung dan bingung, dengan kejadian yang berlangsung cepat dan sangat mengejutkan ini. Beberapa ucapan dari satria yang mewakili satria-satria lainnya juga membingungkanku. Dia menyebut Bunga sebagai Putri Roro Jonggrang, dan yang lebih aneh lagi menyebutku sebagai sinuwun, ini kan sebutan untuk anak keturunan raja, seseorang yang dihormati dan muliakan. Aneh banget. Seingatku ayah dan ibuku hanyalah orang biasa dan bukan keturunan ningrat. 

Bunga tersenyum melihatku seperti orang yang kebingunan sendiri. Dia meraih tanganku dan mencium punggung tanganku dengan lembut. 

"Ada yang perlu aku jelaskan mas. Pasti semua ucapan dari satria tersebut membuatmu bingung. Aku Kuntilanak mas, dikenal di banyak zaman dengan nama yang berbeda-beda. Dikenal di banyak zaman dengan peran yang berbeda-beda. Usiaku lebih tua dari semua ingatan manusia di dunia ini. Aku sudah ada sebelum manusia jawa pertama kali beranak pinak disini. Satria gagah yang memanggil aku dengan nama Putri Roro Jonggrang itu adalah Raden Bandung Bondowoso. Dialah satria yang membangun sumur jolotundo dan 1.000 candi di Jawa Tengah. Dia membangun semua itu untuk memenuhi syarat yang aku berikan agar dia layak jadi suamiku. Dia mengenalku sebagai Putri Roro Jonggrang, putri terkasih kerajaan Boko. Semua itu hanya jebakanku agar dia bisa menjadi dayang dan satria penjagaku. Dan satria-satria yang lainnya, juga adalah penguasa-penguasa besar pada zamannya mas. 

Mereka ada yang mengenalku sebagai dewi Kunti, Sinta, dan banyak lagi. Aku hidup di banyak zaman mas, dengan banyak kisah dan cerita. Dan satu lagi mas, tadi Raden Bandung Bondowoso memanggilmu dengan penuh hormat sebagai sinuwun, seakan-akan dia adalah pesuruhmu, padahal dia adalah raja besar di tanah Jawa ini. Dia tidak salah hormat mas. Kamu memang priyayi besar. Keluarga besarmu sampai garis keturunanmu yang pertama adalah priyayi besar tanah Jawa. Orang pertama yang pertama kali membuka peradaban dan babat tanah Jawa ini berasal dari negeri utara yang jauh. Dia juga bernama Mahesa, sama seperti namamu. Dia adalah kakek moyangmu yang ribuan tahun lalu datang ke pulau Jawa. 

Kakek moyangmu itu datang dari Sumeria. Dia adalah raja terbesar di sana, tepatnya di negeri Uruk. Dia dan pengikutnya pergi ke sini karena menghindari pertempuran dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang ingin menguasai seluruh Sumeria. Kerajaan Eridu, Ur, Lagash dan Kish saat itu berkomplot menyerang kerajaan kakekmu. Kakekmu memilih jalan damai demi keselamatan rakyatnya. Dia memilih pergi dari negerinya.

Kakekmu dan keturunannya kemudian pergi ke pulau Jawa dan membangun peradaban di sini. Setelah itu, dia lepaskan haknya sebagai raja, dan menyerahkan pengaturan kerajaan-kerajaan di Jawa pada para prajuritnya. Jadi, meski dia dan semua keturunannya sampai dengan kamu saat ini tidak memegang kerajaan dan menyembunyikan keningratannya, tapi mata batin Raden Bandung Bondowoso bisa melihat rajanya yang ada di depannya. Baginya kamulah Rajanya. Kamu juga mempunyai kekuatan yang luar biasa sebagai manusia mas, hanya saja kamu belum menyadarinya. Tapi kamu pasti tahu, orang tuamu saat masih ada beberapa kali memberimu nasihat dan meninggalkan sesuatu yang harus kamu rahasiakan. Dulu semua itu membuatmu bertanya-tanya, tapi sekarang kamu pasti menyadari semua jawaban dari ketidaktahuanmu itu."

Kembali aku mematung dan mencoba berpikir keras. Ahh iya, aku jadi ingat, ayah beberapa kalai memberiku nasihat yang membingungkan saat dulu beliau masih ada, dan juga peninggalan barang-batang pusaka yang beliau wanti-wanti untuk dirahasiakan keberadaannya. Ada satu kamar di rumahku yang pintunya tidak ada kuncinya. Tapi pintu itu hanya bisa dibuka dengan merapal sesuatu. Tanpa merapalkan sesuatu, pintu itu tidak bisa dibuka atau didobrak dengan cara apa pun. Dan meski ada orang lain yang hafal rapalan atau doa pembuka pintu itu, tetap tidak bisa terbuka kalau yang mengucapkan bukan ayah atau aku. 

Beberapa kali aku pernah diajak ayah masuk ke kamar tersebut, dan saat itu selalu membuatku pusing dan ingin segera keluar kamar. Kamar yang ukuran luasnya hanya beberapa langkah kaki saja, begitu aku masuk bisa seperti seluas-luasnya kamar. Entah berapa luasnya, aku menjelajahi selama berjam-jam dan masih belum tahu ujungnya. Di dalam kamar banyak sekali terdapat benda-benda pusaka, seperti baju zirah ontoseno, belati kuku macan, aneka keris baja meteor, dan ribuan pusaka lainnya. Dan tentu saja berpeti-peti emas dan berlian. Entahlah, ada apa lagi di dalam kamar itu. Selama ini aku tidak pernah benar-benar menjelajahinya. Tiba-tiba saja aku ingin masuk dan melihat lebih jelas lagi apa isinya.

Pelukan hangat Bunga membuyarkan lamunanku ….

"Sekarang sudah tahu kesejatian siapa kamu dan siapa aku kan mas? Terima takdirmu mas. Ada beban tanggung jawab besar di pundakmu untuk meneruskan tugas orang tuamu ikut menjaga tanah Jawa ini dengan tanpa pamrih. Berbakti dengan tanpa gelar dan jabatan. Dan aku memilihmu tidaklah karena kebetulan mas. Engkaulah satria yang menjadi takdirku."

Aku tersenyum pada Bunga. Apa yang disampaikannya seperti mengangkat batu besar yang selama ini menindih dadaku. Lega dan merasa lapang dengan semua informasi dan situasi yang aku hadapi saat ini. 

Dan sejak saat itu, aku pun menjalani hari-hari bersama Bunga seperti selayaknya suami istri. Kami benar-benar menjadi pasangan muda yang penuh daya hidup. Beberapa kota yang indah-indah kami kunjungi untuk mendapatkan suasana baru, menambah sensasi untuk hari-hari indah yang kami anggap sebagai bulan madu ini. Ahhh indahnya. 

Dan memang benar kata orang, waktu adalah pencopet yang paling ulung. Rentang waktu 40 hari sungguh terasa cepat sekali. Tiba saatnya Bunga memenuhi takdirnya harus kembali ke alamnya. Kembali ke dunianya. 

Pada sebuah malam yang rasanya lebih dingin dan gelap dari biasanya, aku melepas kepergian istriku dengan tangis terhebat yang pernah aku ingat. Tidak ada satu patah kata pun yang bisa aku ucap. Dadaku teramat sesak untuk mengucapkan selamat jalan. Tapi ada yang membuat jantungku seperti berhenti berdetak, saat Bunga memelukku untuk terakhir kali dia berbisik lirih, "Aku hamil mas. Aku akan jaga anak kita dalam kandungan ini dengan sebaik-baiknya. Dan setelah dia lahir, aku titip jagalah dia mas. Setiap malam bulan purnama aku akan hadir dalam mimpimu mas. Mengabarkan kandungan anak kita ini. Menyatukan kita sesaat."

"Aku pamit mas Mahes ...."

Mataku tak kuasa melihat kepergiannya. Bunga seperti menghilang begitu saja. Aku pejamkan mata dalam-dalam, dari jauh terdengar suaranya yang semakin lama semakin samar, menembangkan lagu Jawa lingsir wengi, lagu kesayangannya.

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.

Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.

             ***

B U N G A
Saku 4
Apa yang aku lihat teramat mengerikan, sebuah pemandangan menakutkan yang rasanya tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.

Mbak Sun yang sebelumnya begitu sempurna penampilannya, seketika berubah menjadi raksasa wanita dengan rambut yang riap-riap mengerikan. Rambutnya bukanlah helai rambut biasa, tapi menjadi sekumpulan sulur-sulur ular-ular kecil berwarna merah menyala yang mengerikan. Matanya melotot seakan-akan ingin menelan Bunga bulat-bulat. 

Sementara angin topan dan petir yang berputar-putar mengelilingiku dan Bunga juga tidak kalah menakutkan. Topan hitam besar seperti punya tangan-tangan besar yang siap untuk mencabik-cabik tubuh kami. Petir dengan nyala api merah membara juga tak henti-henti menyambar-nyambar dengan suaranya yang membuat telinga seperti mau tuli. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang, bumi seperti jungkir balik dan badanku lunglai tanpa daya. Aku tak kuasa lagi menahan badan dan tanpa bisa ditahan lagi, aku pun jatuh terduduk tanpa daya. 

"Mas, Maaasss, bangkitlah. Suaraku ini penyembuh untukmu, Mas. Bangkitlah. Kamu akan baik-baik saja. Mbak Sun boleh membunuhku, tapi tidak akan bisa menyentuhmu. Kamu masih pegang kalungku itu 'kan, Mas. Jangan pernah terlepas dari genggamanmu. Selama kalungku itu ada padamu, mbak Sun tidak akan bisa menyakitimu."

Seperti biasa suara lirih Bunga sungguh merdu dan diucapkannya tanpa membuka mulutnya. Hanya aku yang bisa mendengar suaranya. Dan sekali lagi, ajaib, tubuhku segera pulih seperti sedia kala, bahkan aku rasakan ada kesegaran dan kekuatan baru yang entah datang darimana.

‘Terima kasih kekasihku,’ bisikku lirih.

Aku segera bangkit dan meloncat ke arah Bunga untuk berjaga-jaga dari serangan mbak Sun. Topan dan petir sudah reda dan entah lenyap ke mana. Tapi sekilas tadi aku lihat Bunga berputar-putar di udara. Aku yakin karena upaya dialah topan dan petir itu lenyap.

"Mbak Sun, sudahlah, Mbak. Aku mohon kembalilah. Aku tidak bisa balik ke kerajaan Kedaton Kidul lagi. Sampaikan permohonan maafku ke Kanjeng Nyai. Di sinilah sekarang duniaku, Mbak."

"Kunti!"

Sambil berteriak memanggil Bunga dengan nama Kunti, mbak Sun tanpa aba-aba lagi menyerang Bunga dengan sangat ganas. Dari kedua matanya keluar api membara yang seperti ingin membakar Bunga hidup-hidup, sementara kedua tangannya merentang memanjang dan langsung mencekik kuat-kuat leher Bunga.

Sekali lagi, aku hanya bisa melihat semua peristiwa itu tanpa bisa membantu Bunga. Semua seranganku ke mbak Sun seperti menemui ruang hampa, tanpa bisa menyentuh dia sama sekali.

"Lakukan semaumu mbak Sun, bunuhlah aku, aku tidak akan melawan," ucap Bunga lirih sambil tersenyum ke arah mbak Sun.

"Keparat kau Kunti. Lawan aku. Ayo lawan aku!"

Meski mbak Sun semakin memperkuat cekikan di leher dan juga menyemburkan api dari kedua matanya tanpa henti, Bunga sedikit pun tidak bergeming. Bunga seperti pasrah dan memilih mati daripada harus melawan kakaknya ini.

Tiba-tiba mbak Sun berhenti menyerang Bunga dan melirik ke arahku. Raksasa wanita menakutkan ini melihatku dengan mata melotot. Ular-luar kecil merah menyala yang memenuhi rambutnya tiba-tiba melompat dan terbang ke arahku. 

Aiihhhh, aku berteriak kencang-kencang sambil sibuk lompat sana-sini untuk menghindari serangan ular-luar siluman ini. Sementara kedua tangan mbak Sun juga memanjang dan tiba-tiba saja sudah mencekik leherku kuat-kuat. Tapi anehnya, cekikannya ini seperti tidak aku rasakan. Begitu juga dengan gigitan ular-ular siluman di kaki dan tubuhku juga sama sekali tidak kurasakan. Ahhh, Bunga, ini pasti karena kekuatanmu yang kamu salurkan melalui kalungmu yang aku genggam kuat-kuat ini yang membentengiku dari serangan-serangan mbak Sun dan ular silumannya.

Aku pun melirik ke arah Bunga sambil tersenyum dan berbisik lirih, ‘Terima kasih, kekasihku.’

Tapi Bunga tak sempat lagi membalas senyumanku, karena pada detik itu juga mbak Sun sudah menyerangnya dengan lebih ganas lagi.

Kali ini Bunga tidak mau tinggal diam dan pasrah saja. Amarahnya juga sudah membuncah melihat mbak Sun yang tadi ingin membunuhku.

Pertarungan mereka sulit untuk aku gambarkan dengan kata-kata. Pertarungan mereka bukanlah pertarungan seperti yang biasa kita tahu. Bunga sudah mengerahkan seluruh dayang-dayangnya yang berjumlah dua belas. Mbak Sun juga sudah mengerahkan semua siluman-siluman ular di rambutnya. Sementara Bunga dan mbak Sun juga sudah saling serang secara langsung. Kadang mereka terlihat saling mencekik dan cakar. Kadang keduanya menghilang dan tiba-tiba saja seperti sudah ada diatas langit dan saling terjang. Pertarungan yang berimbang, sengit dan sangat mengerikan, dan entah kapan akan selesainya.

Tiba-tiba ….

Dunia seperti berhenti berputar. Waktu seperti dibekukan. Bunga dan mbak Sun berdiri mematung saling berhadapan, begitu juga dengan para dayang dan siluman ular yang juga diam semua, tidak bergerak sama sekali.

Samar-samar seperti terdengar suara derap kereta kuda.

Hanya aku yang bisa menggerakkan tubuh. Aku lihat ke kanan dan kiri, tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanya padang rumput hitam dan pekat. 

‘Dari mana datangnya suara kereta kuda ini?’

Suara derap kereta kuda semakin keras dan jelas kudengar, diiringi ringkikan suaranya yang terasa lain. Suara ringkikan kuda yang menggema dan seperti berputar-putar di atas langit.

Aku pun mendongakkan kepala ke atas, dan sungguh terkejut dengan yang aku lihat ….

Aku lihat sebuah kereta kuda kencana yang sangat megah membawa seorang wanita dengan gaun ratu kerajaan yang sangat cantik jelita. Kereta kuda kencana itu perlahan turun dari langit ke arah kami. Dalam sekejap mata, di depan kami sudah berdiri dengan anggun wanita penumpang kereta kuda kencana itu.

"Ibu datang anak-anakku ...."

Suaranya lembut dan lirih seperti embusan angin saja. Dan ajaib, setelah wanita itu mengucapkan kalimat pendek itu, tiba-tiba saja Bunga dan mbak Sun bisa bergerak kembali dan tidak lagi mematung.

‘Siapa wanita ini ya?’

‘Betapa saktinya wanita ini yang bisa membuat mereka mematung dan membuat alam seperti berhenti.’

‘Dan kenapa dia bilang Ibu pada Bunga dan mbak Sun?’

‘Apakah ini Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mereka, Ratu Kerajaan Kedaton Kidul?’

[Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mbak Sun dan Bunga datang tepat waktu di saat mereka sedang saling serang mengadu nyawa. Pada akhirnya Bunga menerima titah ibundanya untuk kembali ke kerajaan Kedaton Kidul. Namun ibundanya berbaik hati dengan memberinya waktu 40 hari di dunia untuk bisa hidup bersamaku, sebelum kembali ke kerajaan. Ibundanya juga memberi kekuatan  kepada Bunga, selama 40 hari ini bisa menjadi seutuhnya manusia, yang mampu hidup dalam dunia terang.]

***

Semua kejadian dalam beberapa minggu ini sungguh seperti mimpi saja. Berawal dari pertemuan dengan Bunga di kafe, dan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang akhirnya menyatukan kami sebagai sepasang kekasih. Dan sekarang hanya dalam satu malam saja aku harus menerima kenyataan bahwa Bunga, kekasihku ini ternyata seorang Kuntilanak, adik dari Sundel Bolong, dan mereka adalah anak-anak Kanjeng Nyai Roro Kidul penguasa kerajaan Kedaton Kidul. Nama-nama Kuntilanak, Sundel Bolong, Kanjeng Nyai Roro Kidul dan kerajaan Kedaton Kidul selama ini sudah sering aku dengar, tapi aku anggap hanya cerita tahyul saja. Ternyata semua benar dan nyata, bahkan aku sekarang menjadi bagian dari kisah mereka, bagian dari keluarga mereka. 

Bunga seperti memahami semua perenunganku ini. Dengan tersenyum sangat manis, dia bertutur lembut kepadaku.

"Mas, dengarkan aku mas, Kanjeng Ratu dan mbak Sun sudah balik ke Kedaton Kidul. Tapi Kanjeng Ratu hanya memberi waktu kepadaku manjing sempurna di duniamu 40 hari saja. Sepanjang waktu itu, aku seutuhnya wanita bumi, yang bisa menjalani kehidupan di malam dan siang hari. Kita syukuri saja mas. Apa kita punya pilihan lain? Tidak kan mas. Aku akan temani kamu mas, seutuhnya jadi istrimu. Dan sebelum utuh sebagai suami istri, izinkan aku melepas ke 12 dayang-dayangku yang selama ini menjadi penjagaku. Aku tidak akan bisa menjadi istrimu yang sempurna kalau masih ada mereka mas, dan saat ini aku tidak membutuhkan mereka lagi."

Suara Bunga terdengar begitu lembut. Suara inilah yang selalu membuatku jatuh cinta, dan sikapnya yang lemah lembut penuh kasih sayang, menyempurnakan  cintaku padanya. Dan tentu saja wajahnya yang sangat jelita dan tubuhnya yang sempurna juga menjadi sebab lain yang membuatku tergila-gila padanya. Tanpa sadar aku tersenyum, selalu aku tersenyum kalau ingat betapa beruntungnya aku mendapatkan wanita yang memiliki pesona luar biasa ini.

Aku lihat Bunga sudah mengurai rambut belakangnya, dan seperti saling berlomba, ke 12 dayang-dayang tadi berlompatan keluar dari rambutnya. Sebelumnya aku sudah pernah melihat ke 12 dayang tadi dalam bentuk lintah kecil yang kemudian berubah menjadi seperti monster yang menakutkan. Tapi yang kulihat saat ini adalah 12 satria gagah yang berdiri tegap ke arah Bunga sambil menangkupkan kedua telapak tangannya tanda hormat.

Salah satu satria yang aku lihat paling gagah dan berpakaian seperti raja segera maju ke depan dan menjura dengan takzim ke arah Bunga. 

"Putri Roro Jonggrang, aku mewakili semua satria ini mohon pamit. Izinkan kami kembali sebagai manusia yang sejati dan menerima takdir kami untuk kembali ke alam ruh. Hormat dan terima kasih kami untuk sinuwun juga. Matur nuwun sinuwun. Kami undur diri."

Selesai bicara menyampaikan undur diri ini, tiba-tiba tubuh mereka bergetar hebat dan hanya dalam hitungan detik seluruhnya meluruh menjadi abu. 

Aku hanya bisa berdiri mematung dan bingung, dengan kejadian yang berlangsung cepat dan sangat mengejutkan ini. Beberapa ucapan dari satria yang mewakili satria-satria lainnya juga membingungkanku. Dia menyebut Bunga sebagai Putri Roro Jonggrang, dan yang lebih aneh lagi menyebutku sebagai sinuwun, ini kan sebutan untuk anak keturunan raja, seseorang yang dihormati dan muliakan. Aneh banget. Seingatku ayah dan ibuku hanyalah orang biasa dan bukan keturunan ningrat. 

Bunga tersenyum melihatku seperti orang yang kebingunan sendiri. Dia meraih tanganku dan mencium punggung tanganku dengan lembut. 

"Ada yang perlu aku jelaskan mas. Pasti semua ucapan dari satria tersebut membuatmu bingung. Aku Kuntilanak mas, dikenal di banyak zaman dengan nama yang berbeda-beda. Dikenal di banyak zaman dengan peran yang berbeda-beda. Usiaku lebih tua dari semua ingatan manusia di dunia ini. Aku sudah ada sebelum manusia jawa pertama kali beranak pinak disini. Satria gagah yang memanggil aku dengan nama Putri Roro Jonggrang itu adalah Raden Bandung Bondowoso. Dialah satria yang membangun sumur jolotundo dan 1.000 candi di Jawa Tengah. Dia membangun semua itu untuk memenuhi syarat yang aku berikan agar dia layak jadi suamiku. Dia mengenalku sebagai Putri Roro Jonggrang, putri terkasih kerajaan Boko. Semua itu hanya jebakanku agar dia bisa menjadi dayang dan satria penjagaku. Dan satria-satria yang lainnya, juga adalah penguasa-penguasa besar pada zamannya mas. 

Mereka ada yang mengenalku sebagai dewi Kunti, Sinta, dan banyak lagi. Aku hidup di banyak zaman mas, dengan banyak kisah dan cerita. Dan satu lagi mas, tadi Raden Bandung Bondowoso memanggilmu dengan penuh hormat sebagai sinuwun, seakan-akan dia adalah pesuruhmu, padahal dia adalah raja besar di tanah Jawa ini. Dia tidak salah hormat mas. Kamu memang priyayi besar. Keluarga besarmu sampai garis keturunanmu yang pertama adalah priyayi besar tanah Jawa. Orang pertama yang pertama kali membuka peradaban dan babat tanah Jawa ini berasal dari negeri utara yang jauh. Dia juga bernama Mahesa, sama seperti namamu. Dia adalah kakek moyangmu yang ribuan tahun lalu datang ke pulau Jawa. 

Kakek moyangmu itu datang dari Sumeria. Dia adalah raja terbesar di sana, tepatnya di negeri Uruk. Dia dan pengikutnya pergi ke sini karena menghindari pertempuran dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang ingin menguasai seluruh Sumeria. Kerajaan Eridu, Ur, Lagash dan Kish saat itu berkomplot menyerang kerajaan kakekmu. Kakekmu memilih jalan damai demi keselamatan rakyatnya. Dia memilih pergi dari negerinya.

Kakekmu dan keturunannya kemudian pergi ke pulau Jawa dan membangun peradaban di sini. Setelah itu, dia lepaskan haknya sebagai raja, dan menyerahkan pengaturan kerajaan-kerajaan di Jawa pada para prajuritnya. Jadi, meski dia dan semua keturunannya sampai dengan kamu saat ini tidak memegang kerajaan dan menyembunyikan keningratannya, tapi mata batin Raden Bandung Bondowoso bisa melihat rajanya yang ada di depannya. Baginya kamulah Rajanya. Kamu juga mempunyai kekuatan yang luar biasa sebagai manusia mas, hanya saja kamu belum menyadarinya. Tapi kamu pasti tahu, orang tuamu saat masih ada beberapa kali memberimu nasihat dan meninggalkan sesuatu yang harus kamu rahasiakan. Dulu semua itu membuatmu bertanya-tanya, tapi sekarang kamu pasti menyadari semua jawaban dari ketidaktahuanmu itu."

Kembali aku mematung dan mencoba berpikir keras. Ahh iya, aku jadi ingat, ayah beberapa kalai memberiku nasihat yang membingungkan saat dulu beliau masih ada, dan juga peninggalan barang-batang pusaka yang beliau wanti-wanti untuk dirahasiakan keberadaannya. Ada satu kamar di rumahku yang pintunya tidak ada kuncinya. Tapi pintu itu hanya bisa dibuka dengan merapal sesuatu. Tanpa merapalkan sesuatu, pintu itu tidak bisa dibuka atau didobrak dengan cara apa pun. Dan meski ada orang lain yang hafal rapalan atau doa pembuka pintu itu, tetap tidak bisa terbuka kalau yang mengucapkan bukan ayah atau aku. 

Beberapa kali aku pernah diajak ayah masuk ke kamar tersebut, dan saat itu selalu membuatku pusing dan ingin segera keluar kamar. Kamar yang ukuran luasnya hanya beberapa langkah kaki saja, begitu aku masuk bisa seperti seluas-luasnya kamar. Entah berapa luasnya, aku menjelajahi selama berjam-jam dan masih belum tahu ujungnya. Di dalam kamar banyak sekali terdapat benda-benda pusaka, seperti baju zirah ontoseno, belati kuku macan, aneka keris baja meteor, dan ribuan pusaka lainnya. Dan tentu saja berpeti-peti emas dan berlian. Entahlah, ada apa lagi di dalam kamar itu. Selama ini aku tidak pernah benar-benar menjelajahinya. Tiba-tiba saja aku ingin masuk dan melihat lebih jelas lagi apa isinya.

Pelukan hangat Bunga membuyarkan lamunanku ….

"Sekarang sudah tahu kesejatian siapa kamu dan siapa aku kan mas? Terima takdirmu mas. Ada beban tanggung jawab besar di pundakmu untuk meneruskan tugas orang tuamu ikut menjaga tanah Jawa ini dengan tanpa pamrih. Berbakti dengan tanpa gelar dan jabatan. Dan aku memilihmu tidaklah karena kebetulan mas. Engkaulah satria yang menjadi takdirku."

Aku tersenyum pada Bunga. Apa yang disampaikannya seperti mengangkat batu besar yang selama ini menindih dadaku. Lega dan merasa lapang dengan semua informasi dan situasi yang aku hadapi saat ini. 

Dan sejak saat itu, aku pun menjalani hari-hari bersama Bunga seperti selayaknya suami istri. Kami benar-benar menjadi pasangan muda yang penuh daya hidup. Beberapa kota yang indah-indah kami kunjungi untuk mendapatkan suasana baru, menambah sensasi untuk hari-hari indah yang kami anggap sebagai bulan madu ini. Ahhh indahnya. 

Dan memang benar kata orang, waktu adalah pencopet yang paling ulung. Rentang waktu 40 hari sungguh terasa cepat sekali. Tiba saatnya Bunga memenuhi takdirnya harus kembali ke alamnya. Kembali ke dunianya. 

Pada sebuah malam yang rasanya lebih dingin dan gelap dari biasanya, aku melepas kepergian istriku dengan tangis terhebat yang pernah aku ingat. Tidak ada satu patah kata pun yang bisa aku ucap. Dadaku teramat sesak untuk mengucapkan selamat jalan. Tapi ada yang membuat jantungku seperti berhenti berdetak, saat Bunga memelukku untuk terakhir kali dia berbisik lirih, "Aku hamil mas. Aku akan jaga anak kita dalam kandungan ini dengan sebaik-baiknya. Dan setelah dia lahir, aku titip jagalah dia mas. Setiap malam bulan purnama aku akan hadir dalam mimpimu mas. Mengabarkan kandungan anak kita ini. Menyatukan kita sesaat."

"Aku pamit mas Mahes ...."

Mataku tak kuasa melihat kepergiannya. Bunga seperti menghilang begitu saja. Aku pejamkan mata dalam-dalam, dari jauh terdengar suaranya yang semakin lama semakin samar, menembangkan lagu Jawa lingsir wengi, lagu kesayangannya.

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.

Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.
Apa yang aku lihat teramat mengerikan, sebuah pemandangan menakutkan yang rasanya tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.

Mbak Sun yang sebelumnya begitu sempurna penampilannya, seketika berubah menjadi raksasa wanita dengan rambut yang riap-riap mengerikan. Rambutnya bukanlah helai rambut biasa, tapi menjadi sekumpulan sulur-sulur ular-ular kecil berwarna merah menyala yang mengerikan. Matanya melotot seakan-akan ingin menelan Bunga bulat-bulat. 

Sementara angin topan dan petir yang berputar-putar mengelilingiku dan Bunga juga tidak kalah menakutkan. Topan hitam besar seperti punya tangan-tangan besar yang siap untuk mencabik-cabik tubuh kami. Petir dengan nyala api merah membara juga tak henti-henti menyambar-nyambar dengan suaranya yang membuat telinga seperti mau tuli. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang, bumi seperti jungkir balik dan badanku lunglai tanpa daya. Aku tak kuasa lagi menahan badan dan tanpa bisa ditahan lagi, aku pun jatuh terduduk tanpa daya. 

"Mas, Maaasss, bangkitlah. Suaraku ini penyembuh untukmu, Mas. Bangkitlah. Kamu akan baik-baik saja. Mbak Sun boleh membunuhku, tapi tidak akan bisa menyentuhmu. Kamu masih pegang kalungku itu 'kan, Mas. Jangan pernah terlepas dari genggamanmu. Selama kalungku itu ada padamu, mbak Sun tidak akan bisa menyakitimu."

Seperti biasa suara lirih Bunga sungguh merdu dan diucapkannya tanpa membuka mulutnya. Hanya aku yang bisa mendengar suaranya. Dan sekali lagi, ajaib, tubuhku segera pulih seperti sedia kala, bahkan aku rasakan ada kesegaran dan kekuatan baru yang entah datang darimana.

‘Terima kasih kekasihku,’ bisikku lirih.

Aku segera bangkit dan meloncat ke arah Bunga untuk berjaga-jaga dari serangan mbak Sun. Topan dan petir sudah reda dan entah lenyap ke mana. Tapi sekilas tadi aku lihat Bunga berputar-putar di udara. Aku yakin karena upaya dialah topan dan petir itu lenyap.

"Mbak Sun, sudahlah, Mbak. Aku mohon kembalilah. Aku tidak bisa balik ke kerajaan Kedaton Kidul lagi. Sampaikan permohonan maafku ke Kanjeng Nyai. Di sinilah sekarang duniaku, Mbak."

"Kunti!"

Sambil berteriak memanggil Bunga dengan nama Kunti, mbak Sun tanpa aba-aba lagi menyerang Bunga dengan sangat ganas. Dari kedua matanya keluar api membara yang seperti ingin membakar Bunga hidup-hidup, sementara kedua tangannya merentang memanjang dan langsung mencekik kuat-kuat leher Bunga.

Sekali lagi, aku hanya bisa melihat semua peristiwa itu tanpa bisa membantu Bunga. Semua seranganku ke mbak Sun seperti menemui ruang hampa, tanpa bisa menyentuh dia sama sekali.

"Lakukan semaumu mbak Sun, bunuhlah aku, aku tidak akan melawan," ucap Bunga lirih sambil tersenyum ke arah mbak Sun.

"Keparat kau Kunti. Lawan aku. Ayo lawan aku!"

Meski mbak Sun semakin memperkuat cekikan di leher dan juga menyemburkan api dari kedua matanya tanpa henti, Bunga sedikit pun tidak bergeming. Bunga seperti pasrah dan memilih mati daripada harus melawan kakaknya ini.

Tiba-tiba mbak Sun berhenti menyerang Bunga dan melirik ke arahku. Raksasa wanita menakutkan ini melihatku dengan mata melotot. Ular-luar kecil merah menyala yang memenuhi rambutnya tiba-tiba melompat dan terbang ke arahku. 

Aiihhhh, aku berteriak kencang-kencang sambil sibuk lompat sana-sini untuk menghindari serangan ular-luar siluman ini. Sementara kedua tangan mbak Sun juga memanjang dan tiba-tiba saja sudah mencekik leherku kuat-kuat. Tapi anehnya, cekikannya ini seperti tidak aku rasakan. Begitu juga dengan gigitan ular-ular siluman di kaki dan tubuhku juga sama sekali tidak kurasakan. Ahhh, Bunga, ini pasti karena kekuatanmu yang kamu salurkan melalui kalungmu yang aku genggam kuat-kuat ini yang membentengiku dari serangan-serangan mbak Sun dan ular silumannya.

Aku pun melirik ke arah Bunga sambil tersenyum dan berbisik lirih, ‘Terima kasih, kekasihku.’

Tapi Bunga tak sempat lagi membalas senyumanku, karena pada detik itu juga mbak Sun sudah menyerangnya dengan lebih ganas lagi.

Kali ini Bunga tidak mau tinggal diam dan pasrah saja. Amarahnya juga sudah membuncah melihat mbak Sun yang tadi ingin membunuhku.

Pertarungan mereka sulit untuk aku gambarkan dengan kata-kata. Pertarungan mereka bukanlah pertarungan seperti yang biasa kita tahu. Bunga sudah mengerahkan seluruh dayang-dayangnya yang berjumlah dua belas. Mbak Sun juga sudah mengerahkan semua siluman-siluman ular di rambutnya. Sementara Bunga dan mbak Sun juga sudah saling serang secara langsung. Kadang mereka terlihat saling mencekik dan cakar. Kadang keduanya menghilang dan tiba-tiba saja seperti sudah ada diatas langit dan saling terjang. Pertarungan yang berimbang, sengit dan sangat mengerikan, dan entah kapan akan selesainya.

Tiba-tiba ….

Dunia seperti berhenti berputar. Waktu seperti dibekukan. Bunga dan mbak Sun berdiri mematung saling berhadapan, begitu juga dengan para dayang dan siluman ular yang juga diam semua, tidak bergerak sama sekali.

Samar-samar seperti terdengar suara derap kereta kuda.

Hanya aku yang bisa menggerakkan tubuh. Aku lihat ke kanan dan kiri, tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanya padang rumput hitam dan pekat. 

‘Dari mana datangnya suara kereta kuda ini?’

Suara derap kereta kuda semakin keras dan jelas kudengar, diiringi ringkikan suaranya yang terasa lain. Suara ringkikan kuda yang menggema dan seperti berputar-putar di atas langit.

Aku pun mendongakkan kepala ke atas, dan sungguh terkejut dengan yang aku lihat ….

Aku lihat sebuah kereta kuda kencana yang sangat megah membawa seorang wanita dengan gaun ratu kerajaan yang sangat cantik jelita. Kereta kuda kencana itu perlahan turun dari langit ke arah kami. Dalam sekejap mata, di depan kami sudah berdiri dengan anggun wanita penumpang kereta kuda kencana itu.

"Ibu datang anak-anakku ...."

Suaranya lembut dan lirih seperti embusan angin saja. Dan ajaib, setelah wanita itu mengucapkan kalimat pendek itu, tiba-tiba saja Bunga dan mbak Sun bisa bergerak kembali dan tidak lagi mematung.

‘Siapa wanita ini ya?’

‘Betapa saktinya wanita ini yang bisa membuat mereka mematung dan membuat alam seperti berhenti.’

‘Dan kenapa dia bilang Ibu pada Bunga dan mbak Sun?’

‘Apakah ini Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mereka, Ratu Kerajaan Kedaton Kidul?’

[Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mbak Sun dan Bunga datang tepat waktu di saat mereka sedang saling serang mengadu nyawa. Pada akhirnya Bunga menerima titah ibundanya untuk kembali ke kerajaan Kedaton Kidul. Namun ibundanya berbaik hati dengan memberinya waktu 40 hari di dunia untuk bisa hidup bersamaku, sebelum kembali ke kerajaan. Ibundanya juga memberi kekuatan  kepada Bunga, selama 40 hari ini bisa menjadi seutuhnya manusia, yang mampu hidup dalam dunia terang.]

***

Semua kejadian dalam beberapa minggu ini sungguh seperti mimpi saja. Berawal dari pertemuan dengan Bunga di kafe, dan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang akhirnya menyatukan kami sebagai sepasang kekasih. Dan sekarang hanya dalam satu malam saja aku harus menerima kenyataan bahwa Bunga, kekasihku ini ternyata seorang Kuntilanak, adik dari Sundel Bolong, dan mereka adalah anak-anak Kanjeng Nyai Roro Kidul penguasa kerajaan Kedaton Kidul. Nama-nama Kuntilanak, Sundel Bolong, Kanjeng Nyai Roro Kidul dan kerajaan Kedaton Kidul selama ini sudah sering aku dengar, tapi aku anggap hanya cerita tahyul saja. Ternyata semua benar dan nyata, bahkan aku sekarang menjadi bagian dari kisah mereka, bagian dari keluarga mereka. 

Bunga seperti memahami semua perenunganku ini. Dengan tersenyum sangat manis, dia bertutur lembut kepadaku.

"Mas, dengarkan aku mas, Kanjeng Ratu dan mbak Sun sudah balik ke Kedaton Kidul. Tapi Kanjeng Ratu hanya memberi waktu kepadaku manjing sempurna di duniamu 40 hari saja. Sepanjang waktu itu, aku seutuhnya wanita bumi, yang bisa menjalani kehidupan di malam dan siang hari. Kita syukuri saja mas. Apa kita punya pilihan lain? Tidak kan mas. Aku akan temani kamu mas, seutuhnya jadi istrimu. Dan sebelum utuh sebagai suami istri, izinkan aku melepas ke 12 dayang-dayangku yang selama ini menjadi penjagaku. Aku tidak akan bisa menjadi istrimu yang sempurna kalau masih ada mereka mas, dan saat ini aku tidak membutuhkan mereka lagi."

Suara Bunga terdengar begitu lembut. Suara inilah yang selalu membuatku jatuh cinta, dan sikapnya yang lemah lembut penuh kasih sayang, menyempurnakan  cintaku padanya. Dan tentu saja wajahnya yang sangat jelita dan tubuhnya yang sempurna juga menjadi sebab lain yang membuatku tergila-gila padanya. Tanpa sadar aku tersenyum, selalu aku tersenyum kalau ingat betapa beruntungnya aku mendapatkan wanita yang memiliki pesona luar biasa ini.

Aku lihat Bunga sudah mengurai rambut belakangnya, dan seperti saling berlomba, ke 12 dayang-dayang tadi berlompatan keluar dari rambutnya. Sebelumnya aku sudah pernah melihat ke 12 dayang tadi dalam bentuk lintah kecil yang kemudian berubah menjadi seperti monster yang menakutkan. Tapi yang kulihat saat ini adalah 12 satria gagah yang berdiri tegap ke arah Bunga sambil menangkupkan kedua telapak tangannya tanda hormat.

Salah satu satria yang aku lihat paling gagah dan berpakaian seperti raja segera maju ke depan dan menjura dengan takzim ke arah Bunga. 

"Putri Roro Jonggrang, aku mewakili semua satria ini mohon pamit. Izinkan kami kembali sebagai manusia yang sejati dan menerima takdir kami untuk kembali ke alam ruh. Hormat dan terima kasih kami untuk sinuwun juga. Matur nuwun sinuwun. Kami undur diri."

Selesai bicara menyampaikan undur diri ini, tiba-tiba tubuh mereka bergetar hebat dan hanya dalam hitungan detik seluruhnya meluruh menjadi abu. 

Aku hanya bisa berdiri mematung dan bingung, dengan kejadian yang berlangsung cepat dan sangat mengejutkan ini. Beberapa ucapan dari satria yang mewakili satria-satria lainnya juga membingungkanku. Dia menyebut Bunga sebagai Putri Roro Jonggrang, dan yang lebih aneh lagi menyebutku sebagai sinuwun, ini kan sebutan untuk anak keturunan raja, seseorang yang dihormati dan muliakan. Aneh banget. Seingatku ayah dan ibuku hanyalah orang biasa dan bukan keturunan ningrat. 

Bunga tersenyum melihatku seperti orang yang kebingunan sendiri. Dia meraih tanganku dan mencium punggung tanganku dengan lembut. 

"Ada yang perlu aku jelaskan mas. Pasti semua ucapan dari satria tersebut membuatmu bingung. Aku Kuntilanak mas, dikenal di banyak zaman dengan nama yang berbeda-beda. Dikenal di banyak zaman dengan peran yang berbeda-beda. Usiaku lebih tua dari semua ingatan manusia di dunia ini. Aku sudah ada sebelum manusia jawa pertama kali beranak pinak disini. Satria gagah yang memanggil aku dengan nama Putri Roro Jonggrang itu adalah Raden Bandung Bondowoso. Dialah satria yang membangun sumur jolotundo dan 1.000 candi di Jawa Tengah. Dia membangun semua itu untuk memenuhi syarat yang aku berikan agar dia layak jadi suamiku. Dia mengenalku sebagai Putri Roro Jonggrang, putri terkasih kerajaan Boko. Semua itu hanya jebakanku agar dia bisa menjadi dayang dan satria penjagaku. Dan satria-satria yang lainnya, juga adalah penguasa-penguasa besar pada zamannya mas. 

Mereka ada yang mengenalku sebagai dewi Kunti, Sinta, dan banyak lagi. Aku hidup di banyak zaman mas, dengan banyak kisah dan cerita. Dan satu lagi mas, tadi Raden Bandung Bondowoso memanggilmu dengan penuh hormat sebagai sinuwun, seakan-akan dia adalah pesuruhmu, padahal dia adalah raja besar di tanah Jawa ini. Dia tidak salah hormat mas. Kamu memang priyayi besar. Keluarga besarmu sampai garis keturunanmu yang pertama adalah priyayi besar tanah Jawa. Orang pertama yang pertama kali membuka peradaban dan babat tanah Jawa ini berasal dari negeri utara yang jauh. Dia juga bernama Mahesa, sama seperti namamu. Dia adalah kakek moyangmu yang ribuan tahun lalu datang ke pulau Jawa. 

Kakek moyangmu itu datang dari Sumeria. Dia adalah raja terbesar di sana, tepatnya di negeri Uruk. Dia dan pengikutnya pergi ke sini karena menghindari pertempuran dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang ingin menguasai seluruh Sumeria. Kerajaan Eridu, Ur, Lagash dan Kish saat itu berkomplot menyerang kerajaan kakekmu. Kakekmu memilih jalan damai demi keselamatan rakyatnya. Dia memilih pergi dari negerinya.

Kakekmu dan keturunannya kemudian pergi ke pulau Jawa dan membangun peradaban di sini. Setelah itu, dia lepaskan haknya sebagai raja, dan menyerahkan pengaturan kerajaan-kerajaan di Jawa pada para prajuritnya. Jadi, meski dia dan semua keturunannya sampai dengan kamu saat ini tidak memegang kerajaan dan menyembunyikan keningratannya, tapi mata batin Raden Bandung Bondowoso bisa melihat rajanya yang ada di depannya. Baginya kamulah Rajanya. Kamu juga mempunyai kekuatan yang luar biasa sebagai manusia mas, hanya saja kamu belum menyadarinya. Tapi kamu pasti tahu, orang tuamu saat masih ada beberapa kali memberimu nasihat dan meninggalkan sesuatu yang harus kamu rahasiakan. Dulu semua itu membuatmu bertanya-tanya, tapi sekarang kamu pasti menyadari semua jawaban dari ketidaktahuanmu itu."

Kembali aku mematung dan mencoba berpikir keras. Ahh iya, aku jadi ingat, ayah beberapa kalai memberiku nasihat yang membingungkan saat dulu beliau masih ada, dan juga peninggalan barang-batang pusaka yang beliau wanti-wanti untuk dirahasiakan keberadaannya. Ada satu kamar di rumahku yang pintunya tidak ada kuncinya. Tapi pintu itu hanya bisa dibuka dengan merapal sesuatu. Tanpa merapalkan sesuatu, pintu itu tidak bisa dibuka atau didobrak dengan cara apa pun. Dan meski ada orang lain yang hafal rapalan atau doa pembuka pintu itu, tetap tidak bisa terbuka kalau yang mengucapkan bukan ayah atau aku. 

Beberapa kali aku pernah diajak ayah masuk ke kamar tersebut, dan saat itu selalu membuatku pusing dan ingin segera keluar kamar. Kamar yang ukuran luasnya hanya beberapa langkah kaki saja, begitu aku masuk bisa seperti seluas-luasnya kamar. Entah berapa luasnya, aku menjelajahi selama berjam-jam dan masih belum tahu ujungnya. Di dalam kamar banyak sekali terdapat benda-benda pusaka, seperti baju zirah ontoseno, belati kuku macan, aneka keris baja meteor, dan ribuan pusaka lainnya. Dan tentu saja berpeti-peti emas dan berlian. Entahlah, ada apa lagi di dalam kamar itu. Selama ini aku tidak pernah benar-benar menjelajahinya. Tiba-tiba saja aku ingin masuk dan melihat lebih jelas lagi apa isinya.

Pelukan hangat Bunga membuyarkan lamunanku ….

"Sekarang sudah tahu kesejatian siapa kamu dan siapa aku kan mas? Terima takdirmu mas. Ada beban tanggung jawab besar di pundakmu untuk meneruskan tugas orang tuamu ikut menjaga tanah Jawa ini dengan tanpa pamrih. Berbakti dengan tanpa gelar dan jabatan. Dan aku memilihmu tidaklah karena kebetulan mas. Engkaulah satria yang menjadi takdirku."

Aku tersenyum pada Bunga. Apa yang disampaikannya seperti mengangkat batu besar yang selama ini menindih dadaku. Lega dan merasa lapang dengan semua informasi dan situasi yang aku hadapi saat ini. 

Dan sejak saat itu, aku pun menjalani hari-hari bersama Bunga seperti selayaknya suami istri. Kami benar-benar menjadi pasangan muda yang penuh daya hidup. Beberapa kota yang indah-indah kami kunjungi untuk mendapatkan suasana baru, menambah sensasi untuk hari-hari indah yang kami anggap sebagai bulan madu ini. Ahhh indahnya. 

Dan memang benar kata orang, waktu adalah pencopet yang paling ulung. Rentang waktu 40 hari sungguh terasa cepat sekali. Tiba saatnya Bunga memenuhi takdirnya harus kembali ke alamnya. Kembali ke dunianya. 

Pada sebuah malam yang rasanya lebih dingin dan gelap dari biasanya, aku melepas kepergian istriku dengan tangis terhebat yang pernah aku ingat. Tidak ada satu patah kata pun yang bisa aku ucap. Dadaku teramat sesak untuk mengucapkan selamat jalan. Tapi ada yang membuat jantungku seperti berhenti berdetak, saat Bunga memelukku untuk terakhir kali dia berbisik lirih, "Aku hamil mas. Aku akan jaga anak kita dalam kandungan ini dengan sebaik-baiknya. Dan setelah dia lahir, aku titip jagalah dia mas. Setiap malam bulan purnama aku akan hadir dalam mimpimu mas. Mengabarkan kandungan anak kita ini. Menyatukan kita sesaat."

"Aku pamit mas Mahes ...."

Mataku tak kuasa melihat kepergiannya. Bunga seperti menghilang begitu saja. Aku pejamkan mata dalam-dalam, dari jauh terdengar suaranya yang semakin lama semakin samar, menembangkan lagu Jawa lingsir wengi, lagu kesayangannya.

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.


B U N G A
#cerbung#cerbung
#part3
#horror_romansa_ZP

B U N G A

Apa yang aku lihat teramat mengerikan, sebuah pemandangan menakutkan yang rasanya tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.

Mbak Sun yang sebelumnya begitu sempurna penampilannya, seketika berubah menjadi raksasa wanita dengan rambut yang riap-riap mengerikan. Rambutnya bukanlah helai rambut biasa, tapi menjadi sekumpulan sulur-sulur ular-ular kecil berwarna merah menyala yang mengerikan. Matanya melotot seakan-akan ingin menelan Bunga bulat-bulat. 

Sementara angin topan dan petir yang berputar-putar mengelilingiku dan Bunga juga tidak kalah menakutkan. Topan hitam besar seperti punya tangan-tangan besar yang siap untuk mencabik-cabik tubuh kami. Petir dengan nyala api merah membara juga tak henti-henti menyambar-nyambar dengan suaranya yang membuat telinga seperti mau tuli. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang, bumi seperti jungkir balik dan badanku lunglai tanpa daya. Aku tak kuasa lagi menahan badan dan tanpa bisa ditahan lagi, aku pun jatuh terduduk tanpa daya. 

"Mas, Maaasss, bangkitlah. Suaraku ini penyembuh untukmu, Mas. Bangkitlah. Kamu akan baik-baik saja. Mbak Sun boleh membunuhku, tapi tidak akan bisa menyentuhmu. Kamu masih pegang kalungku itu 'kan, Mas. Jangan pernah terlepas dari genggamanmu. Selama kalungku itu ada padamu, mbak Sun tidak akan bisa menyakitimu."

Seperti biasa suara lirih Bunga sungguh merdu dan diucapkannya tanpa membuka mulutnya. Hanya aku yang bisa mendengar suaranya. Dan sekali lagi, ajaib, tubuhku segera pulih seperti sedia kala, bahkan aku rasakan ada kesegaran dan kekuatan baru yang entah datang darimana.

‘Terima kasih kekasihku,’ bisikku lirih.

Aku segera bangkit dan meloncat ke arah Bunga untuk berjaga-jaga dari serangan mbak Sun. Topan dan petir sudah reda dan entah lenyap ke mana. Tapi sekilas tadi aku lihat Bunga berputar-putar di udara. Aku yakin karena upaya dialah topan dan petir itu lenyap.

"Mbak Sun, sudahlah, Mbak. Aku mohon kembalilah. Aku tidak bisa balik ke kerajaan Kedaton Kidul lagi. Sampaikan permohonan maafku ke Kanjeng Nyai. Di sinilah sekarang duniaku, Mbak."

"Kunti!"

Sambil berteriak memanggil Bunga dengan nama Kunti, mbak Sun tanpa aba-aba lagi menyerang Bunga dengan sangat ganas. Dari kedua matanya keluar api membara yang seperti ingin membakar Bunga hidup-hidup, sementara kedua tangannya merentang memanjang dan langsung mencekik kuat-kuat leher Bunga.

Sekali lagi, aku hanya bisa melihat semua peristiwa itu tanpa bisa membantu Bunga. Semua seranganku ke mbak Sun seperti menemui ruang hampa, tanpa bisa menyentuh dia sama sekali.

"Lakukan semaumu mbak Sun, bunuhlah aku, aku tidak akan melawan," ucap Bunga lirih sambil tersenyum ke arah mbak Sun.

"Keparat kau Kunti. Lawan aku. Ayo lawan aku!"

Meski mbak Sun semakin memperkuat cekikan di leher dan juga menyemburkan api dari kedua matanya tanpa henti, Bunga sedikit pun tidak bergeming. Bunga seperti pasrah dan memilih mati daripada harus melawan kakaknya ini.

Tiba-tiba mbak Sun berhenti menyerang Bunga dan melirik ke arahku. Raksasa wanita menakutkan ini melihatku dengan mata melotot. Ular-luar kecil merah menyala yang memenuhi rambutnya tiba-tiba melompat dan terbang ke arahku. 

Aiihhhh, aku berteriak kencang-kencang sambil sibuk lompat sana-sini untuk menghindari serangan ular-luar siluman ini. Sementara kedua tangan mbak Sun juga memanjang dan tiba-tiba saja sudah mencekik leherku kuat-kuat. Tapi anehnya, cekikannya ini seperti tidak aku rasakan. Begitu juga dengan gigitan ular-ular siluman di kaki dan tubuhku juga sama sekali tidak kurasakan. Ahhh, Bunga, ini pasti karena kekuatanmu yang kamu salurkan melalui kalungmu yang aku genggam kuat-kuat ini yang membentengiku dari serangan-serangan mbak Sun dan ular silumannya.

Aku pun melirik ke arah Bunga sambil tersenyum dan berbisik lirih, ‘Terima kasih, kekasihku.’

Tapi Bunga tak sempat lagi membalas senyumanku, karena pada detik itu juga mbak Sun sudah menyerangnya dengan lebih ganas lagi.

Kali ini Bunga tidak mau tinggal diam dan pasrah saja. Amarahnya juga sudah membuncah melihat mbak Sun yang tadi ingin membunuhku.

Pertarungan mereka sulit untuk aku gambarkan dengan kata-kata. Pertarungan mereka bukanlah pertarungan seperti yang biasa kita tahu. Bunga sudah mengerahkan seluruh dayang-dayangnya yang berjumlah dua belas. Mbak Sun juga sudah mengerahkan semua siluman-siluman ular di rambutnya. Sementara Bunga dan mbak Sun juga sudah saling serang secara langsung. Kadang mereka terlihat saling mencekik dan cakar. Kadang keduanya menghilang dan tiba-tiba saja seperti sudah ada diatas langit dan saling terjang. Pertarungan yang berimbang, sengit dan sangat mengerikan, dan entah kapan akan selesainya.

Tiba-tiba ….

Dunia seperti berhenti berputar. Waktu seperti dibekukan. Bunga dan mbak Sun berdiri mematung saling berhadapan, begitu juga dengan para dayang dan siluman ular yang juga diam semua, tidak bergerak sama sekali.

Samar-samar seperti terdengar suara derap kereta kuda.

Hanya aku yang bisa menggerakkan tubuh. Aku lihat ke kanan dan kiri, tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanya padang rumput hitam dan pekat. 

‘Dari mana datangnya suara kereta kuda ini?’

Suara derap kereta kuda semakin keras dan jelas kudengar, diiringi ringkikan suaranya yang terasa lain. Suara ringkikan kuda yang menggema dan seperti berputar-putar di atas langit.

Aku pun mendongakkan kepala ke atas, dan sungguh terkejut dengan yang aku lihat ….

Aku lihat sebuah kereta kuda kencana yang sangat megah membawa seorang wanita dengan gaun ratu kerajaan yang sangat cantik jelita. Kereta kuda kencana itu perlahan turun dari langit ke arah kami. Dalam sekejap mata, di depan kami sudah berdiri dengan anggun wanita penumpang kereta kuda kencana itu.

"Ibu datang anak-anakku ...."

Suaranya lembut dan lirih seperti embusan angin saja. Dan ajaib, setelah wanita itu mengucapkan kalimat pendek itu, tiba-tiba saja Bunga dan mbak Sun bisa bergerak kembali dan tidak lagi mematung.

‘Siapa wanita ini ya?’

‘Betapa saktinya wanita ini yang bisa membuat mereka mematung dan membuat alam seperti berhenti.’

‘Dan kenapa dia bilang Ibu pada Bunga dan mbak Sun?’

‘Apakah ini Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mereka, Ratu Kerajaan Kedaton Kidul?’

[Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mbak Sun dan Bunga datang tepat waktu di saat mereka sedang saling serang mengadu nyawa. Pada akhirnya Bunga menerima titah ibundanya untuk kembali ke kerajaan Kedaton Kidul. Namun ibundanya berbaik hati dengan memberinya waktu 40 hari di dunia untuk bisa hidup bersamaku, sebelum kembali ke kerajaan. Ibundanya juga memberi kekuatan  kepada Bunga, selama 40 hari ini bisa menjadi seutuhnya manusia, yang mampu hidup dalam dunia terang.]

***

Semua kejadian dalam beberapa minggu ini sungguh seperti mimpi saja. Berawal dari pertemuan dengan Bunga di kafe, dan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang akhirnya menyatukan kami sebagai sepasang kekasih. Dan sekarang hanya dalam satu malam saja aku harus menerima kenyataan bahwa Bunga, kekasihku ini ternyata seorang Kuntilanak, adik dari Sundel Bolong, dan mereka adalah anak-anak Kanjeng Nyai Roro Kidul penguasa kerajaan Kedaton Kidul. Nama-nama Kuntilanak, Sundel Bolong, Kanjeng Nyai Roro Kidul dan kerajaan Kedaton Kidul selama ini sudah sering aku dengar, tapi aku anggap hanya cerita tahyul saja. Ternyata semua benar dan nyata, bahkan aku sekarang menjadi bagian dari kisah mereka, bagian dari keluarga mereka. 

Bunga seperti memahami semua perenunganku ini. Dengan tersenyum sangat manis, dia bertutur lembut kepadaku.

"Mas, dengarkan aku mas, Kanjeng Ratu dan mbak Sun sudah balik ke Kedaton Kidul. Tapi Kanjeng Ratu hanya memberi waktu kepadaku manjing sempurna di duniamu 40 hari saja. Sepanjang waktu itu, aku seutuhnya wanita bumi, yang bisa menjalani kehidupan di malam dan siang hari. Kita syukuri saja mas. Apa kita punya pilihan lain? Tidak kan mas. Aku akan temani kamu mas, seutuhnya jadi istrimu. Dan sebelum utuh sebagai suami istri, izinkan aku melepas ke 12 dayang-dayangku yang selama ini menjadi penjagaku. Aku tidak akan bisa menjadi istrimu yang sempurna kalau masih ada mereka mas, dan saat ini aku tidak membutuhkan mereka lagi."

Suara Bunga terdengar begitu lembut. Suara inilah yang selalu membuatku jatuh cinta, dan sikapnya yang lemah lembut penuh kasih sayang, menyempurnakan  cintaku padanya. Dan tentu saja wajahnya yang sangat jelita dan tubuhnya yang sempurna juga menjadi sebab lain yang membuatku tergila-gila padanya. Tanpa sadar aku tersenyum, selalu aku tersenyum kalau ingat betapa beruntungnya aku mendapatkan wanita yang memiliki pesona luar biasa ini.

Aku lihat Bunga sudah mengurai rambut belakangnya, dan seperti saling berlomba, ke 12 dayang-dayang tadi berlompatan keluar dari rambutnya. Sebelumnya aku sudah pernah melihat ke 12 dayang tadi dalam bentuk lintah kecil yang kemudian berubah menjadi seperti monster yang menakutkan. Tapi yang kulihat saat ini adalah 12 satria gagah yang berdiri tegap ke arah Bunga sambil menangkupkan kedua telapak tangannya tanda hormat.

Salah satu satria yang aku lihat paling gagah dan berpakaian seperti raja segera maju ke depan dan menjura dengan takzim ke arah Bunga. 

"Putri Roro Jonggrang, aku mewakili semua satria ini mohon pamit. Izinkan kami kembali sebagai manusia yang sejati dan menerima takdir kami untuk kembali ke alam ruh. Hormat dan terima kasih kami untuk sinuwun juga. Matur nuwun sinuwun. Kami undur diri."

Selesai bicara menyampaikan undur diri ini, tiba-tiba tubuh mereka bergetar hebat dan hanya dalam hitungan detik seluruhnya meluruh menjadi abu. 

Aku hanya bisa berdiri mematung dan bingung, dengan kejadian yang berlangsung cepat dan sangat mengejutkan ini. Beberapa ucapan dari satria yang mewakili satria-satria lainnya juga membingungkanku. Dia menyebut Bunga sebagai Putri Roro Jonggrang, dan yang lebih aneh lagi menyebutku sebagai sinuwun, ini kan sebutan untuk anak keturunan raja, seseorang yang dihormati dan muliakan. Aneh banget. Seingatku ayah dan ibuku hanyalah orang biasa dan bukan keturunan ningrat. 

Bunga tersenyum melihatku seperti orang yang kebingunan sendiri. Dia meraih tanganku dan mencium punggung tanganku dengan lembut. 

"Ada yang perlu aku jelaskan mas. Pasti semua ucapan dari satria tersebut membuatmu bingung. Aku Kuntilanak mas, dikenal di banyak zaman dengan nama yang berbeda-beda. Dikenal di banyak zaman dengan peran yang berbeda-beda. Usiaku lebih tua dari semua ingatan manusia di dunia ini. Aku sudah ada sebelum manusia jawa pertama kali beranak pinak disini. Satria gagah yang memanggil aku dengan nama Putri Roro Jonggrang itu adalah Raden Bandung Bondowoso. Dialah satria yang membangun sumur jolotundo dan 1.000 candi di Jawa Tengah. Dia membangun semua itu untuk memenuhi syarat yang aku berikan agar dia layak jadi suamiku. Dia mengenalku sebagai Putri Roro Jonggrang, putri terkasih kerajaan Boko. Semua itu hanya jebakanku agar dia bisa menjadi dayang dan satria penjagaku. Dan satria-satria yang lainnya, juga adalah penguasa-penguasa besar pada zamannya mas. 

Mereka ada yang mengenalku sebagai dewi Kunti, Sinta, dan banyak lagi. Aku hidup di banyak zaman mas, dengan banyak kisah dan cerita. Dan satu lagi mas, tadi Raden Bandung Bondowoso memanggilmu dengan penuh hormat sebagai sinuwun, seakan-akan dia adalah pesuruhmu, padahal dia adalah raja besar di tanah Jawa ini. Dia tidak salah hormat mas. Kamu memang priyayi besar. Keluarga besarmu sampai garis keturunanmu yang pertama adalah priyayi besar tanah Jawa. Orang pertama yang pertama kali membuka peradaban dan babat tanah Jawa ini berasal dari negeri utara yang jauh. Dia juga bernama Mahesa, sama seperti namamu. Dia adalah kakek moyangmu yang ribuan tahun lalu datang ke pulau Jawa. 

Kakek moyangmu itu datang dari Sumeria. Dia adalah raja terbesar di sana, tepatnya di negeri Uruk. Dia dan pengikutnya pergi ke sini karena menghindari pertempuran dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang ingin menguasai seluruh Sumeria. Kerajaan Eridu, Ur, Lagash dan Kish saat itu berkomplot menyerang kerajaan kakekmu. Kakekmu memilih jalan damai demi keselamatan rakyatnya. Dia memilih pergi dari negerinya.

Kakekmu dan keturunannya kemudian pergi ke pulau Jawa dan membangun peradaban di sini. Setelah itu, dia lepaskan haknya sebagai raja, dan menyerahkan pengaturan kerajaan-kerajaan di Jawa pada para prajuritnya. Jadi, meski dia dan semua keturunannya sampai dengan kamu saat ini tidak memegang kerajaan dan menyembunyikan keningratannya, tapi mata batin Raden Bandung Bondowoso bisa melihat rajanya yang ada di depannya. Baginya kamulah Rajanya. Kamu juga mempunyai kekuatan yang luar biasa sebagai manusia mas, hanya saja kamu belum menyadarinya. Tapi kamu pasti tahu, orang tuamu saat masih ada beberapa kali memberimu nasihat dan meninggalkan sesuatu yang harus kamu rahasiakan. Dulu semua itu membuatmu bertanya-tanya, tapi sekarang kamu pasti menyadari semua jawaban dari ketidaktahuanmu itu."

Kembali aku mematung dan mencoba berpikir keras. Ahh iya, aku jadi ingat, ayah beberapa kalai memberiku nasihat yang membingungkan saat dulu beliau masih ada, dan juga peninggalan barang-batang pusaka yang beliau wanti-wanti untuk dirahasiakan keberadaannya. Ada satu kamar di rumahku yang pintunya tidak ada kuncinya. Tapi pintu itu hanya bisa dibuka dengan merapal sesuatu. Tanpa merapalkan sesuatu, pintu itu tidak bisa dibuka atau didobrak dengan cara apa pun. Dan meski ada orang lain yang hafal rapalan atau doa pembuka pintu itu, tetap tidak bisa terbuka kalau yang mengucapkan bukan ayah atau aku. 

Beberapa kali aku pernah diajak ayah masuk ke kamar tersebut, dan saat itu selalu membuatku pusing dan ingin segera keluar kamar. Kamar yang ukuran luasnya hanya beberapa langkah kaki saja, begitu aku masuk bisa seperti seluas-luasnya kamar. Entah berapa luasnya, aku menjelajahi selama berjam-jam dan masih belum tahu ujungnya. Di dalam kamar banyak sekali terdapat benda-benda pusaka, seperti baju zirah ontoseno, belati kuku macan, aneka keris baja meteor, dan ribuan pusaka lainnya. Dan tentu saja berpeti-peti emas dan berlian. Entahlah, ada apa lagi di dalam kamar itu. Selama ini aku tidak pernah benar-benar menjelajahinya. Tiba-tiba saja aku ingin masuk dan melihat lebih jelas lagi apa isinya.

Pelukan hangat Bunga membuyarkan lamunanku ….

"Sekarang sudah tahu kesejatian siapa kamu dan siapa aku kan mas? Terima takdirmu mas. Ada beban tanggung jawab besar di pundakmu untuk meneruskan tugas orang tuamu ikut menjaga tanah Jawa ini dengan tanpa pamrih. Berbakti dengan tanpa gelar dan jabatan. Dan aku memilihmu tidaklah karena kebetulan mas. Engkaulah satria yang menjadi takdirku."

Aku tersenyum pada Bunga. Apa yang disampaikannya seperti mengangkat batu besar yang selama ini menindih dadaku. Lega dan merasa lapang dengan semua informasi dan situasi yang aku hadapi saat ini. 

Dan sejak saat itu, aku pun menjalani hari-hari bersama Bunga seperti selayaknya suami istri. Kami benar-benar menjadi pasangan muda yang penuh daya hidup. Beberapa kota yang indah-indah kami kunjungi untuk mendapatkan suasana baru, menambah sensasi untuk hari-hari indah yang kami anggap sebagai bulan madu ini. Ahhh indahnya. 

Dan memang benar kata orang, waktu adalah pencopet yang paling ulung. Rentang waktu 40 hari sungguh terasa cepat sekali. Tiba saatnya Bunga memenuhi takdirnya harus kembali ke alamnya. Kembali ke dunianya. 

Pada sebuah malam yang rasanya lebih dingin dan gelap dari biasanya, aku melepas kepergian istriku dengan tangis terhebat yang pernah aku ingat. Tidak ada satu patah kata pun yang bisa aku ucap. Dadaku teramat sesak untuk mengucapkan selamat jalan. Tapi ada yang membuat jantungku seperti berhenti berdetak, saat Bunga memelukku untuk terakhir kali dia berbisik lirih, "Aku hamil mas. Aku akan jaga anak kita dalam kandungan ini dengan sebaik-baiknya. Dan setelah dia lahir, aku titip jagalah dia mas. Setiap malam bulan purnama aku akan hadir dalam mimpimu mas. Mengabarkan kandungan anak kita ini. Menyatukan kita sesaat."

"Aku pamit mas Mahes ...."

Mataku tak kuasa melihat kepergiannya. Bunga seperti menghilang begitu saja. Aku pejamkan mata dalam-dalam, dari jauh terdengar suaranya yang semakin lama semakin samar, menembangkan lagu Jawa lingsir wengi, lagu kesayangannya.

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.

Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.
#part3
#horror_romansa_ZP

B U N G A

Apa yang aku lihat teramat mengerikan, sebuah pemandangan menakutkan yang rasanya tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.

Mbak Sun yang sebelumnya begitu sempurna penampilannya, seketika berubah menjadi raksasa wanita dengan rambut yang riap-riap mengerikan. Rambutnya bukanlah helai rambut biasa, tapi menjadi sekumpulan sulur-sulur ular-ular kecil berwarna merah menyala yang mengerikan. Matanya melotot seakan-akan ingin menelan Bunga bulat-bulat. 

Sementara angin topan dan petir yang berputar-putar mengelilingiku dan Bunga juga tidak kalah menakutkan. Topan hitam besar seperti punya tangan-tangan besar yang siap untuk mencabik-cabik tubuh kami. Petir dengan nyala api merah membara juga tak henti-henti menyambar-nyambar dengan suaranya yang membuat telinga seperti mau tuli. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang, bumi seperti jungkir balik dan badanku lunglai tanpa daya. Aku tak kuasa lagi menahan badan dan tanpa bisa ditahan lagi, aku pun jatuh terduduk tanpa daya. 

"Mas, Maaasss, bangkitlah. Suaraku ini penyembuh untukmu, Mas. Bangkitlah. Kamu akan baik-baik saja. Mbak Sun boleh membunuhku, tapi tidak akan bisa menyentuhmu. Kamu masih pegang kalungku itu 'kan, Mas. Jangan pernah terlepas dari genggamanmu. Selama kalungku itu ada padamu, mbak Sun tidak akan bisa menyakitimu."

Seperti biasa suara lirih Bunga sungguh merdu dan diucapkannya tanpa membuka mulutnya. Hanya aku yang bisa mendengar suaranya. Dan sekali lagi, ajaib, tubuhku segera pulih seperti sedia kala, bahkan aku rasakan ada kesegaran dan kekuatan baru yang entah datang darimana.

‘Terima kasih kekasihku,’ bisikku lirih.

Aku segera bangkit dan meloncat ke arah Bunga untuk berjaga-jaga dari serangan mbak Sun. Topan dan petir sudah reda dan entah lenyap ke mana. Tapi sekilas tadi aku lihat Bunga berputar-putar di udara. Aku yakin karena upaya dialah topan dan petir itu lenyap.

"Mbak Sun, sudahlah, Mbak. Aku mohon kembalilah. Aku tidak bisa balik ke kerajaan Kedaton Kidul lagi. Sampaikan permohonan maafku ke Kanjeng Nyai. Di sinilah sekarang duniaku, Mbak."

"Kunti!"

Sambil berteriak memanggil Bunga dengan nama Kunti, mbak Sun tanpa aba-aba lagi menyerang Bunga dengan sangat ganas. Dari kedua matanya keluar api membara yang seperti ingin membakar Bunga hidup-hidup, sementara kedua tangannya merentang memanjang dan langsung mencekik kuat-kuat leher Bunga.

Sekali lagi, aku hanya bisa melihat semua peristiwa itu tanpa bisa membantu Bunga. Semua seranganku ke mbak Sun seperti menemui ruang hampa, tanpa bisa menyentuh dia sama sekali.

"Lakukan semaumu mbak Sun, bunuhlah aku, aku tidak akan melawan," ucap Bunga lirih sambil tersenyum ke arah mbak Sun.

"Keparat kau Kunti. Lawan aku. Ayo lawan aku!"

Meski mbak Sun semakin memperkuat cekikan di leher dan juga menyemburkan api dari kedua matanya tanpa henti, Bunga sedikit pun tidak bergeming. Bunga seperti pasrah dan memilih mati daripada harus melawan kakaknya ini.

Tiba-tiba mbak Sun berhenti menyerang Bunga dan melirik ke arahku. Raksasa wanita menakutkan ini melihatku dengan mata melotot. Ular-luar kecil merah menyala yang memenuhi rambutnya tiba-tiba melompat dan terbang ke arahku. 

Aiihhhh, aku berteriak kencang-kencang sambil sibuk lompat sana-sini untuk menghindari serangan ular-luar siluman ini. Sementara kedua tangan mbak Sun juga memanjang dan tiba-tiba saja sudah mencekik leherku kuat-kuat. Tapi anehnya, cekikannya ini seperti tidak aku rasakan. Begitu juga dengan gigitan ular-ular siluman di kaki dan tubuhku juga sama sekali tidak kurasakan. Ahhh, Bunga, ini pasti karena kekuatanmu yang kamu salurkan melalui kalungmu yang aku genggam kuat-kuat ini yang membentengiku dari serangan-serangan mbak Sun dan ular silumannya.

Aku pun melirik ke arah Bunga sambil tersenyum dan berbisik lirih, ‘Terima kasih, kekasihku.’

Tapi Bunga tak sempat lagi membalas senyumanku, karena pada detik itu juga mbak Sun sudah menyerangnya dengan lebih ganas lagi.

Kali ini Bunga tidak mau tinggal diam dan pasrah saja. Amarahnya juga sudah membuncah melihat mbak Sun yang tadi ingin membunuhku.

Pertarungan mereka sulit untuk aku gambarkan dengan kata-kata. Pertarungan mereka bukanlah pertarungan seperti yang biasa kita tahu. Bunga sudah mengerahkan seluruh dayang-dayangnya yang berjumlah dua belas. Mbak Sun juga sudah mengerahkan semua siluman-siluman ular di rambutnya. Sementara Bunga dan mbak Sun juga sudah saling serang secara langsung. Kadang mereka terlihat saling mencekik dan cakar. Kadang keduanya menghilang dan tiba-tiba saja seperti sudah ada diatas langit dan saling terjang. Pertarungan yang berimbang, sengit dan sangat mengerikan, dan entah kapan akan selesainya.

Tiba-tiba ….

Dunia seperti berhenti berputar. Waktu seperti dibekukan. Bunga dan mbak Sun berdiri mematung saling berhadapan, begitu juga dengan para dayang dan siluman ular yang juga diam semua, tidak bergerak sama sekali.

Samar-samar seperti terdengar suara derap kereta kuda.

Hanya aku yang bisa menggerakkan tubuh. Aku lihat ke kanan dan kiri, tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanya padang rumput hitam dan pekat. 

‘Dari mana datangnya suara kereta kuda ini?’

Suara derap kereta kuda semakin keras dan jelas kudengar, diiringi ringkikan suaranya yang terasa lain. Suara ringkikan kuda yang menggema dan seperti berputar-putar di atas langit.

Aku pun mendongakkan kepala ke atas, dan sungguh terkejut dengan yang aku lihat ….

Aku lihat sebuah kereta kuda kencana yang sangat megah membawa seorang wanita dengan gaun ratu kerajaan yang sangat cantik jelita. Kereta kuda kencana itu perlahan turun dari langit ke arah kami. Dalam sekejap mata, di depan kami sudah berdiri dengan anggun wanita penumpang kereta kuda kencana itu.

"Ibu datang anak-anakku ...."

Suaranya lembut dan lirih seperti embusan angin saja. Dan ajaib, setelah wanita itu mengucapkan kalimat pendek itu, tiba-tiba saja Bunga dan mbak Sun bisa bergerak kembali dan tidak lagi mematung.

‘Siapa wanita ini ya?’

‘Betapa saktinya wanita ini yang bisa membuat mereka mematung dan membuat alam seperti berhenti.’

‘Dan kenapa dia bilang Ibu pada Bunga dan mbak Sun?’

‘Apakah ini Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mereka, Ratu Kerajaan Kedaton Kidul?’

[Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mbak Sun dan Bunga datang tepat waktu di saat mereka sedang saling serang mengadu nyawa. Pada akhirnya Bunga menerima titah ibundanya untuk kembali ke kerajaan Kedaton Kidul. Namun ibundanya berbaik hati dengan memberinya waktu 40 hari di dunia untuk bisa hidup bersamaku, sebelum kembali ke kerajaan. Ibundanya juga memberi kekuatan  kepada Bunga, selama 40 hari ini bisa menjadi seutuhnya manusia, yang mampu hidup dalam dunia terang.]

***

Semua kejadian dalam beberapa minggu ini sungguh seperti mimpi saja. Berawal dari pertemuan dengan Bunga di kafe, dan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang akhirnya menyatukan kami sebagai sepasang kekasih. Dan sekarang hanya dalam satu malam saja aku harus menerima kenyataan bahwa Bunga, kekasihku ini ternyata seorang Kuntilanak, adik dari Sundel Bolong, dan mereka adalah anak-anak Kanjeng Nyai Roro Kidul penguasa kerajaan Kedaton Kidul. Nama-nama Kuntilanak, Sundel Bolong, Kanjeng Nyai Roro Kidul dan kerajaan Kedaton Kidul selama ini sudah sering aku dengar, tapi aku anggap hanya cerita tahyul saja. Ternyata semua benar dan nyata, bahkan aku sekarang menjadi bagian dari kisah mereka, bagian dari keluarga mereka. 

Bunga seperti memahami semua perenunganku ini. Dengan tersenyum sangat manis, dia bertutur lembut kepadaku.

"Mas, dengarkan aku mas, Kanjeng Ratu dan mbak Sun sudah balik ke Kedaton Kidul. Tapi Kanjeng Ratu hanya memberi waktu kepadaku manjing sempurna di duniamu 40 hari saja. Sepanjang waktu itu, aku seutuhnya wanita bumi, yang bisa menjalani kehidupan di malam dan siang hari. Kita syukuri saja mas. Apa kita punya pilihan lain? Tidak kan mas. Aku akan temani kamu mas, seutuhnya jadi istrimu. Dan sebelum utuh sebagai suami istri, izinkan aku melepas ke 12 dayang-dayangku yang selama ini menjadi penjagaku. Aku tidak akan bisa menjadi istrimu yang sempurna kalau masih ada mereka mas, dan saat ini aku tidak membutuhkan mereka lagi."

Suara Bunga terdengar begitu lembut. Suara inilah yang selalu membuatku jatuh cinta, dan sikapnya yang lemah lembut penuh kasih sayang, menyempurnakan  cintaku padanya. Dan tentu saja wajahnya yang sangat jelita dan tubuhnya yang sempurna juga menjadi sebab lain yang membuatku tergila-gila padanya. Tanpa sadar aku tersenyum, selalu aku tersenyum kalau ingat betapa beruntungnya aku mendapatkan wanita yang memiliki pesona luar biasa ini.

Aku lihat Bunga sudah mengurai rambut belakangnya, dan seperti saling berlomba, ke 12 dayang-dayang tadi berlompatan keluar dari rambutnya. Sebelumnya aku sudah pernah melihat ke 12 dayang tadi dalam bentuk lintah kecil yang kemudian berubah menjadi seperti monster yang menakutkan. Tapi yang kulihat saat ini adalah 12 satria gagah yang berdiri tegap ke arah Bunga sambil menangkupkan kedua telapak tangannya tanda hormat.

Salah satu satria yang aku lihat paling gagah dan berpakaian seperti raja segera maju ke depan dan menjura dengan takzim ke arah Bunga. 

"Putri Roro Jonggrang, aku mewakili semua satria ini mohon pamit. Izinkan kami kembali sebagai manusia yang sejati dan menerima takdir kami untuk kembali ke alam ruh. Hormat dan terima kasih kami untuk sinuwun juga. Matur nuwun sinuwun. Kami undur diri."

Selesai bicara menyampaikan undur diri ini, tiba-tiba tubuh mereka bergetar hebat dan hanya dalam hitungan detik seluruhnya meluruh menjadi abu. 

Aku hanya bisa berdiri mematung dan bingung, dengan kejadian yang berlangsung cepat dan sangat mengejutkan ini. Beberapa ucapan dari satria yang mewakili satria-satria lainnya juga membingungkanku. Dia menyebut Bunga sebagai Putri Roro Jonggrang, dan yang lebih aneh lagi menyebutku sebagai sinuwun, ini kan sebutan untuk anak keturunan raja, seseorang yang dihormati dan muliakan. Aneh banget. Seingatku ayah dan ibuku hanyalah orang biasa dan bukan keturunan ningrat. 

Bunga tersenyum melihatku seperti orang yang kebingunan sendiri. Dia meraih tanganku dan mencium punggung tanganku dengan lembut. 

"Ada yang perlu aku jelaskan mas. Pasti semua ucapan dari satria tersebut membuatmu bingung. Aku Kuntilanak mas, dikenal di banyak zaman dengan nama yang berbeda-beda. Dikenal di banyak zaman dengan peran yang berbeda-beda. Usiaku lebih tua dari semua ingatan manusia di dunia ini. Aku sudah ada sebelum manusia jawa pertama kali beranak pinak disini. Satria gagah yang memanggil aku dengan nama Putri Roro Jonggrang itu adalah Raden Bandung Bondowoso. Dialah satria yang membangun sumur jolotundo dan 1.000 candi di Jawa Tengah. Dia membangun semua itu untuk memenuhi syarat yang aku berikan agar dia layak jadi suamiku. Dia mengenalku sebagai Putri Roro Jonggrang, putri terkasih kerajaan Boko. Semua itu hanya jebakanku agar dia bisa menjadi dayang dan satria penjagaku. Dan satria-satria yang lainnya, juga adalah penguasa-penguasa besar pada zamannya mas. 

Mereka ada yang mengenalku sebagai dewi Kunti, Sinta, dan banyak lagi. Aku hidup di banyak zaman mas, dengan banyak kisah dan cerita. Dan satu lagi mas, tadi Raden Bandung Bondowoso memanggilmu dengan penuh hormat sebagai sinuwun, seakan-akan dia adalah pesuruhmu, padahal dia adalah raja besar di tanah Jawa ini. Dia tidak salah hormat mas. Kamu memang priyayi besar. Keluarga besarmu sampai garis keturunanmu yang pertama adalah priyayi besar tanah Jawa. Orang pertama yang pertama kali membuka peradaban dan babat tanah Jawa ini berasal dari negeri utara yang jauh. Dia juga bernama Mahesa, sama seperti namamu. Dia adalah kakek moyangmu yang ribuan tahun lalu datang ke pulau Jawa. 

Kakek moyangmu itu datang dari Sumeria. Dia adalah raja terbesar di sana, tepatnya di negeri Uruk. Dia dan pengikutnya pergi ke sini karena menghindari pertempuran dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang ingin menguasai seluruh Sumeria. Kerajaan Eridu, Ur, Lagash dan Kish saat itu berkomplot menyerang kerajaan kakekmu. Kakekmu memilih jalan damai demi keselamatan rakyatnya. Dia memilih pergi dari negerinya.

Kakekmu dan keturunannya kemudian pergi ke pulau Jawa dan membangun peradaban di sini. Setelah itu, dia lepaskan haknya sebagai raja, dan menyerahkan pengaturan kerajaan-kerajaan di Jawa pada para prajuritnya. Jadi, meski dia dan semua keturunannya sampai dengan kamu saat ini tidak memegang kerajaan dan menyembunyikan keningratannya, tapi mata batin Raden Bandung Bondowoso bisa melihat rajanya yang ada di depannya. Baginya kamulah Rajanya. Kamu juga mempunyai kekuatan yang luar biasa sebagai manusia mas, hanya saja kamu belum menyadarinya. Tapi kamu pasti tahu, orang tuamu saat masih ada beberapa kali memberimu nasihat dan meninggalkan sesuatu yang harus kamu rahasiakan. Dulu semua itu membuatmu bertanya-tanya, tapi sekarang kamu pasti menyadari semua jawaban dari ketidaktahuanmu itu."

Kembali aku mematung dan mencoba berpikir keras. Ahh iya, aku jadi ingat, ayah beberapa kalai memberiku nasihat yang membingungkan saat dulu beliau masih ada, dan juga peninggalan barang-batang pusaka yang beliau wanti-wanti untuk dirahasiakan keberadaannya. Ada satu kamar di rumahku yang pintunya tidak ada kuncinya. Tapi pintu itu hanya bisa dibuka dengan merapal sesuatu. Tanpa merapalkan sesuatu, pintu itu tidak bisa dibuka atau didobrak dengan cara apa pun. Dan meski ada orang lain yang hafal rapalan atau doa pembuka pintu itu, tetap tidak bisa terbuka kalau yang mengucapkan bukan ayah atau aku. 

Beberapa kali aku pernah diajak ayah masuk ke kamar tersebut, dan saat itu selalu membuatku pusing dan ingin segera keluar kamar. Kamar yang ukuran luasnya hanya beberapa langkah kaki saja, begitu aku masuk bisa seperti seluas-luasnya kamar. Entah berapa luasnya, aku menjelajahi selama berjam-jam dan masih belum tahu ujungnya. Di dalam kamar banyak sekali terdapat benda-benda pusaka, seperti baju zirah ontoseno, belati kuku macan, aneka keris baja meteor, dan ribuan pusaka lainnya. Dan tentu saja berpeti-peti emas dan berlian. Entahlah, ada apa lagi di dalam kamar itu. Selama ini aku tidak pernah benar-benar menjelajahinya. Tiba-tiba saja aku ingin masuk dan melihat lebih jelas lagi apa isinya.

Pelukan hangat Bunga membuyarkan lamunanku ….

"Sekarang sudah tahu kesejatian siapa kamu dan siapa aku kan mas? Terima takdirmu mas. Ada beban tanggung jawab besar di pundakmu untuk meneruskan tugas orang tuamu ikut menjaga tanah Jawa ini dengan tanpa pamrih. Berbakti dengan tanpa gelar dan jabatan. Dan aku memilihmu tidaklah karena kebetulan mas. Engkaulah satria yang menjadi takdirku."

Aku tersenyum pada Bunga. Apa yang disampaikannya seperti mengangkat batu besar yang selama ini menindih dadaku. Lega dan merasa lapang dengan semua informasi dan situasi yang aku hadapi saat ini. 

Dan sejak saat itu, aku pun menjalani hari-hari bersama Bunga seperti selayaknya suami istri. Kami benar-benar menjadi pasangan muda yang penuh daya hidup. Beberapa kota yang indah-indah kami kunjungi untuk mendapatkan suasana baru, menambah sensasi untuk hari-hari indah yang kami anggap sebagai bulan madu ini. Ahhh indahnya. 

Dan memang benar kata orang, waktu adalah pencopet yang paling ulung. Rentang waktu 40 hari sungguh terasa cepat sekali. Tiba saatnya Bunga memenuhi takdirnya harus kembali ke alamnya. Kembali ke dunianya. 

Pada sebuah malam yang rasanya lebih dingin dan gelap dari biasanya, aku melepas kepergian istriku dengan tangis terhebat yang pernah aku ingat. Tidak ada satu patah kata pun yang bisa aku ucap. Dadaku teramat sesak untuk mengucapkan selamat jalan. Tapi ada yang membuat jantungku seperti berhenti berdetak, saat Bunga memelukku untuk terakhir kali dia berbisik lirih, "Aku hamil mas. Aku akan jaga anak kita dalam kandungan ini dengan sebaik-baiknya. Dan setelah dia lahir, aku titip jagalah dia mas. Setiap malam bulan purnama aku akan hadir dalam mimpimu mas. Mengabarkan kandungan anak kita ini. Menyatukan kita sesaat."

"Aku pamit mas Mahes ...."

Mataku tak kuasa melihat kepergiannya. Bunga seperti menghilang begitu saja. Aku pejamkan mata dalam-dalam, dari jauh terdengar suaranya yang semakin lama semakin samar, menembangkan lagu Jawa lingsir wengi, lagu kesayangannya.

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.

Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.
Apa yang aku lihat teramat mengerikan, sebuah pemandangan menakutkan yang rasanya tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.

Mbak Sun yang sebelumnya begitu sempurna penampilannya, seketika berubah menjadi raksasa wanita dengan rambut yang riap-riap mengerikan. Rambutnya bukanlah helai rambut biasa, tapi menjadi sekumpulan sulur-sulur ular-ular kecil berwarna merah menyala yang mengerikan. Matanya melotot seakan-akan ingin menelan Bunga bulat-bulat. 

Sementara angin topan dan petir yang berputar-putar mengelilingiku dan Bunga juga tidak kalah menakutkan. Topan hitam besar seperti punya tangan-tangan besar yang siap untuk mencabik-cabik tubuh kami. Petir dengan nyala api merah membara juga tak henti-henti menyambar-nyambar dengan suaranya yang membuat telinga seperti mau tuli. Mataku tiba-tiba berkunang-kunang, bumi seperti jungkir balik dan badanku lunglai tanpa daya. Aku tak kuasa lagi menahan badan dan tanpa bisa ditahan lagi, aku pun jatuh terduduk tanpa daya. 

"Mas, Maaasss, bangkitlah. Suaraku ini penyembuh untukmu, Mas. Bangkitlah. Kamu akan baik-baik saja. Mbak Sun boleh membunuhku, tapi tidak akan bisa menyentuhmu. Kamu masih pegang kalungku itu 'kan, Mas. Jangan pernah terlepas dari genggamanmu. Selama kalungku itu ada padamu, mbak Sun tidak akan bisa menyakitimu."

Seperti biasa suara lirih Bunga sungguh merdu dan diucapkannya tanpa membuka mulutnya. Hanya aku yang bisa mendengar suaranya. Dan sekali lagi, ajaib, tubuhku segera pulih seperti sedia kala, bahkan aku rasakan ada kesegaran dan kekuatan baru yang entah datang darimana.

‘Terima kasih kekasihku,’ bisikku lirih.

Aku segera bangkit dan meloncat ke arah Bunga untuk berjaga-jaga dari serangan mbak Sun. Topan dan petir sudah reda dan entah lenyap ke mana. Tapi sekilas tadi aku lihat Bunga berputar-putar di udara. Aku yakin karena upaya dialah topan dan petir itu lenyap.

"Mbak Sun, sudahlah, Mbak. Aku mohon kembalilah. Aku tidak bisa balik ke kerajaan Kedaton Kidul lagi. Sampaikan permohonan maafku ke Kanjeng Nyai. Di sinilah sekarang duniaku, Mbak."

"Kunti!"

Sambil berteriak memanggil Bunga dengan nama Kunti, mbak Sun tanpa aba-aba lagi menyerang Bunga dengan sangat ganas. Dari kedua matanya keluar api membara yang seperti ingin membakar Bunga hidup-hidup, sementara kedua tangannya merentang memanjang dan langsung mencekik kuat-kuat leher Bunga.

Sekali lagi, aku hanya bisa melihat semua peristiwa itu tanpa bisa membantu Bunga. Semua seranganku ke mbak Sun seperti menemui ruang hampa, tanpa bisa menyentuh dia sama sekali.

"Lakukan semaumu mbak Sun, bunuhlah aku, aku tidak akan melawan," ucap Bunga lirih sambil tersenyum ke arah mbak Sun.

"Keparat kau Kunti. Lawan aku. Ayo lawan aku!"

Meski mbak Sun semakin memperkuat cekikan di leher dan juga menyemburkan api dari kedua matanya tanpa henti, Bunga sedikit pun tidak bergeming. Bunga seperti pasrah dan memilih mati daripada harus melawan kakaknya ini.

Tiba-tiba mbak Sun berhenti menyerang Bunga dan melirik ke arahku. Raksasa wanita menakutkan ini melihatku dengan mata melotot. Ular-luar kecil merah menyala yang memenuhi rambutnya tiba-tiba melompat dan terbang ke arahku. 

Aiihhhh, aku berteriak kencang-kencang sambil sibuk lompat sana-sini untuk menghindari serangan ular-luar siluman ini. Sementara kedua tangan mbak Sun juga memanjang dan tiba-tiba saja sudah mencekik leherku kuat-kuat. Tapi anehnya, cekikannya ini seperti tidak aku rasakan. Begitu juga dengan gigitan ular-ular siluman di kaki dan tubuhku juga sama sekali tidak kurasakan. Ahhh, Bunga, ini pasti karena kekuatanmu yang kamu salurkan melalui kalungmu yang aku genggam kuat-kuat ini yang membentengiku dari serangan-serangan mbak Sun dan ular silumannya.

Aku pun melirik ke arah Bunga sambil tersenyum dan berbisik lirih, ‘Terima kasih, kekasihku.’

Tapi Bunga tak sempat lagi membalas senyumanku, karena pada detik itu juga mbak Sun sudah menyerangnya dengan lebih ganas lagi.

Kali ini Bunga tidak mau tinggal diam dan pasrah saja. Amarahnya juga sudah membuncah melihat mbak Sun yang tadi ingin membunuhku.

Pertarungan mereka sulit untuk aku gambarkan dengan kata-kata. Pertarungan mereka bukanlah pertarungan seperti yang biasa kita tahu. Bunga sudah mengerahkan seluruh dayang-dayangnya yang berjumlah dua belas. Mbak Sun juga sudah mengerahkan semua siluman-siluman ular di rambutnya. Sementara Bunga dan mbak Sun juga sudah saling serang secara langsung. Kadang mereka terlihat saling mencekik dan cakar. Kadang keduanya menghilang dan tiba-tiba saja seperti sudah ada diatas langit dan saling terjang. Pertarungan yang berimbang, sengit dan sangat mengerikan, dan entah kapan akan selesainya.

Tiba-tiba ….

Dunia seperti berhenti berputar. Waktu seperti dibekukan. Bunga dan mbak Sun berdiri mematung saling berhadapan, begitu juga dengan para dayang dan siluman ular yang juga diam semua, tidak bergerak sama sekali.

Samar-samar seperti terdengar suara derap kereta kuda.

Hanya aku yang bisa menggerakkan tubuh. Aku lihat ke kanan dan kiri, tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanya padang rumput hitam dan pekat. 

‘Dari mana datangnya suara kereta kuda ini?’

Suara derap kereta kuda semakin keras dan jelas kudengar, diiringi ringkikan suaranya yang terasa lain. Suara ringkikan kuda yang menggema dan seperti berputar-putar di atas langit.

Aku pun mendongakkan kepala ke atas, dan sungguh terkejut dengan yang aku lihat ….

Aku lihat sebuah kereta kuda kencana yang sangat megah membawa seorang wanita dengan gaun ratu kerajaan yang sangat cantik jelita. Kereta kuda kencana itu perlahan turun dari langit ke arah kami. Dalam sekejap mata, di depan kami sudah berdiri dengan anggun wanita penumpang kereta kuda kencana itu.

"Ibu datang anak-anakku ...."

Suaranya lembut dan lirih seperti embusan angin saja. Dan ajaib, setelah wanita itu mengucapkan kalimat pendek itu, tiba-tiba saja Bunga dan mbak Sun bisa bergerak kembali dan tidak lagi mematung.

‘Siapa wanita ini ya?’

‘Betapa saktinya wanita ini yang bisa membuat mereka mematung dan membuat alam seperti berhenti.’

‘Dan kenapa dia bilang Ibu pada Bunga dan mbak Sun?’

‘Apakah ini Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mereka, Ratu Kerajaan Kedaton Kidul?’

[Kanjeng Nyai Roro Kidul, ibunda mbak Sun dan Bunga datang tepat waktu di saat mereka sedang saling serang mengadu nyawa. Pada akhirnya Bunga menerima titah ibundanya untuk kembali ke kerajaan Kedaton Kidul. Namun ibundanya berbaik hati dengan memberinya waktu 40 hari di dunia untuk bisa hidup bersamaku, sebelum kembali ke kerajaan. Ibundanya juga memberi kekuatan  kepada Bunga, selama 40 hari ini bisa menjadi seutuhnya manusia, yang mampu hidup dalam dunia terang.]

***

Semua kejadian dalam beberapa minggu ini sungguh seperti mimpi saja. Berawal dari pertemuan dengan Bunga di kafe, dan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang akhirnya menyatukan kami sebagai sepasang kekasih. Dan sekarang hanya dalam satu malam saja aku harus menerima kenyataan bahwa Bunga, kekasihku ini ternyata seorang Kuntilanak, adik dari Sundel Bolong, dan mereka adalah anak-anak Kanjeng Nyai Roro Kidul penguasa kerajaan Kedaton Kidul. Nama-nama Kuntilanak, Sundel Bolong, Kanjeng Nyai Roro Kidul dan kerajaan Kedaton Kidul selama ini sudah sering aku dengar, tapi aku anggap hanya cerita tahyul saja. Ternyata semua benar dan nyata, bahkan aku sekarang menjadi bagian dari kisah mereka, bagian dari keluarga mereka. 

Bunga seperti memahami semua perenunganku ini. Dengan tersenyum sangat manis, dia bertutur lembut kepadaku.

"Mas, dengarkan aku mas, Kanjeng Ratu dan mbak Sun sudah balik ke Kedaton Kidul. Tapi Kanjeng Ratu hanya memberi waktu kepadaku manjing sempurna di duniamu 40 hari saja. Sepanjang waktu itu, aku seutuhnya wanita bumi, yang bisa menjalani kehidupan di malam dan siang hari. Kita syukuri saja mas. Apa kita punya pilihan lain? Tidak kan mas. Aku akan temani kamu mas, seutuhnya jadi istrimu. Dan sebelum utuh sebagai suami istri, izinkan aku melepas ke 12 dayang-dayangku yang selama ini menjadi penjagaku. Aku tidak akan bisa menjadi istrimu yang sempurna kalau masih ada mereka mas, dan saat ini aku tidak membutuhkan mereka lagi."

Suara Bunga terdengar begitu lembut. Suara inilah yang selalu membuatku jatuh cinta, dan sikapnya yang lemah lembut penuh kasih sayang, menyempurnakan  cintaku padanya. Dan tentu saja wajahnya yang sangat jelita dan tubuhnya yang sempurna juga menjadi sebab lain yang membuatku tergila-gila padanya. Tanpa sadar aku tersenyum, selalu aku tersenyum kalau ingat betapa beruntungnya aku mendapatkan wanita yang memiliki pesona luar biasa ini.

Aku lihat Bunga sudah mengurai rambut belakangnya, dan seperti saling berlomba, ke 12 dayang-dayang tadi berlompatan keluar dari rambutnya. Sebelumnya aku sudah pernah melihat ke 12 dayang tadi dalam bentuk lintah kecil yang kemudian berubah menjadi seperti monster yang menakutkan. Tapi yang kulihat saat ini adalah 12 satria gagah yang berdiri tegap ke arah Bunga sambil menangkupkan kedua telapak tangannya tanda hormat.

Salah satu satria yang aku lihat paling gagah dan berpakaian seperti raja segera maju ke depan dan menjura dengan takzim ke arah Bunga. 

"Putri Roro Jonggrang, aku mewakili semua satria ini mohon pamit. Izinkan kami kembali sebagai manusia yang sejati dan menerima takdir kami untuk kembali ke alam ruh. Hormat dan terima kasih kami untuk sinuwun juga. Matur nuwun sinuwun. Kami undur diri."

Selesai bicara menyampaikan undur diri ini, tiba-tiba tubuh mereka bergetar hebat dan hanya dalam hitungan detik seluruhnya meluruh menjadi abu. 

Aku hanya bisa berdiri mematung dan bingung, dengan kejadian yang berlangsung cepat dan sangat mengejutkan ini. Beberapa ucapan dari satria yang mewakili satria-satria lainnya juga membingungkanku. Dia menyebut Bunga sebagai Putri Roro Jonggrang, dan yang lebih aneh lagi menyebutku sebagai sinuwun, ini kan sebutan untuk anak keturunan raja, seseorang yang dihormati dan muliakan. Aneh banget. Seingatku ayah dan ibuku hanyalah orang biasa dan bukan keturunan ningrat. 

Bunga tersenyum melihatku seperti orang yang kebingunan sendiri. Dia meraih tanganku dan mencium punggung tanganku dengan lembut. 

"Ada yang perlu aku jelaskan mas. Pasti semua ucapan dari satria tersebut membuatmu bingung. Aku Kuntilanak mas, dikenal di banyak zaman dengan nama yang berbeda-beda. Dikenal di banyak zaman dengan peran yang berbeda-beda. Usiaku lebih tua dari semua ingatan manusia di dunia ini. Aku sudah ada sebelum manusia jawa pertama kali beranak pinak disini. Satria gagah yang memanggil aku dengan nama Putri Roro Jonggrang itu adalah Raden Bandung Bondowoso. Dialah satria yang membangun sumur jolotundo dan 1.000 candi di Jawa Tengah. Dia membangun semua itu untuk memenuhi syarat yang aku berikan agar dia layak jadi suamiku. Dia mengenalku sebagai Putri Roro Jonggrang, putri terkasih kerajaan Boko. Semua itu hanya jebakanku agar dia bisa menjadi dayang dan satria penjagaku. Dan satria-satria yang lainnya, juga adalah penguasa-penguasa besar pada zamannya mas. 

Mereka ada yang mengenalku sebagai dewi Kunti, Sinta, dan banyak lagi. Aku hidup di banyak zaman mas, dengan banyak kisah dan cerita. Dan satu lagi mas, tadi Raden Bandung Bondowoso memanggilmu dengan penuh hormat sebagai sinuwun, seakan-akan dia adalah pesuruhmu, padahal dia adalah raja besar di tanah Jawa ini. Dia tidak salah hormat mas. Kamu memang priyayi besar. Keluarga besarmu sampai garis keturunanmu yang pertama adalah priyayi besar tanah Jawa. Orang pertama yang pertama kali membuka peradaban dan babat tanah Jawa ini berasal dari negeri utara yang jauh. Dia juga bernama Mahesa, sama seperti namamu. Dia adalah kakek moyangmu yang ribuan tahun lalu datang ke pulau Jawa. 

Kakek moyangmu itu datang dari Sumeria. Dia adalah raja terbesar di sana, tepatnya di negeri Uruk. Dia dan pengikutnya pergi ke sini karena menghindari pertempuran dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang ingin menguasai seluruh Sumeria. Kerajaan Eridu, Ur, Lagash dan Kish saat itu berkomplot menyerang kerajaan kakekmu. Kakekmu memilih jalan damai demi keselamatan rakyatnya. Dia memilih pergi dari negerinya.

Kakekmu dan keturunannya kemudian pergi ke pulau Jawa dan membangun peradaban di sini. Setelah itu, dia lepaskan haknya sebagai raja, dan menyerahkan pengaturan kerajaan-kerajaan di Jawa pada para prajuritnya. Jadi, meski dia dan semua keturunannya sampai dengan kamu saat ini tidak memegang kerajaan dan menyembunyikan keningratannya, tapi mata batin Raden Bandung Bondowoso bisa melihat rajanya yang ada di depannya. Baginya kamulah Rajanya. Kamu juga mempunyai kekuatan yang luar biasa sebagai manusia mas, hanya saja kamu belum menyadarinya. Tapi kamu pasti tahu, orang tuamu saat masih ada beberapa kali memberimu nasihat dan meninggalkan sesuatu yang harus kamu rahasiakan. Dulu semua itu membuatmu bertanya-tanya, tapi sekarang kamu pasti menyadari semua jawaban dari ketidaktahuanmu itu."

Kembali aku mematung dan mencoba berpikir keras. Ahh iya, aku jadi ingat, ayah beberapa kalai memberiku nasihat yang membingungkan saat dulu beliau masih ada, dan juga peninggalan barang-batang pusaka yang beliau wanti-wanti untuk dirahasiakan keberadaannya. Ada satu kamar di rumahku yang pintunya tidak ada kuncinya. Tapi pintu itu hanya bisa dibuka dengan merapal sesuatu. Tanpa merapalkan sesuatu, pintu itu tidak bisa dibuka atau didobrak dengan cara apa pun. Dan meski ada orang lain yang hafal rapalan atau doa pembuka pintu itu, tetap tidak bisa terbuka kalau yang mengucapkan bukan ayah atau aku. 

Beberapa kali aku pernah diajak ayah masuk ke kamar tersebut, dan saat itu selalu membuatku pusing dan ingin segera keluar kamar. Kamar yang ukuran luasnya hanya beberapa langkah kaki saja, begitu aku masuk bisa seperti seluas-luasnya kamar. Entah berapa luasnya, aku menjelajahi selama berjam-jam dan masih belum tahu ujungnya. Di dalam kamar banyak sekali terdapat benda-benda pusaka, seperti baju zirah ontoseno, belati kuku macan, aneka keris baja meteor, dan ribuan pusaka lainnya. Dan tentu saja berpeti-peti emas dan berlian. Entahlah, ada apa lagi di dalam kamar itu. Selama ini aku tidak pernah benar-benar menjelajahinya. Tiba-tiba saja aku ingin masuk dan melihat lebih jelas lagi apa isinya.

Pelukan hangat Bunga membuyarkan lamunanku ….

"Sekarang sudah tahu kesejatian siapa kamu dan siapa aku kan mas? Terima takdirmu mas. Ada beban tanggung jawab besar di pundakmu untuk meneruskan tugas orang tuamu ikut menjaga tanah Jawa ini dengan tanpa pamrih. Berbakti dengan tanpa gelar dan jabatan. Dan aku memilihmu tidaklah karena kebetulan mas. Engkaulah satria yang menjadi takdirku."

Aku tersenyum pada Bunga. Apa yang disampaikannya seperti mengangkat batu besar yang selama ini menindih dadaku. Lega dan merasa lapang dengan semua informasi dan situasi yang aku hadapi saat ini. 

Dan sejak saat itu, aku pun menjalani hari-hari bersama Bunga seperti selayaknya suami istri. Kami benar-benar menjadi pasangan muda yang penuh daya hidup. Beberapa kota yang indah-indah kami kunjungi untuk mendapatkan suasana baru, menambah sensasi untuk hari-hari indah yang kami anggap sebagai bulan madu ini. Ahhh indahnya. 

Dan memang benar kata orang, waktu adalah pencopet yang paling ulung. Rentang waktu 40 hari sungguh terasa cepat sekali. Tiba saatnya Bunga memenuhi takdirnya harus kembali ke alamnya. Kembali ke dunianya. 

Pada sebuah malam yang rasanya lebih dingin dan gelap dari biasanya, aku melepas kepergian istriku dengan tangis terhebat yang pernah aku ingat. Tidak ada satu patah kata pun yang bisa aku ucap. Dadaku teramat sesak untuk mengucapkan selamat jalan. Tapi ada yang membuat jantungku seperti berhenti berdetak, saat Bunga memelukku untuk terakhir kali dia berbisik lirih, "Aku hamil mas. Aku akan jaga anak kita dalam kandungan ini dengan sebaik-baiknya. Dan setelah dia lahir, aku titip jagalah dia mas. Setiap malam bulan purnama aku akan hadir dalam mimpimu mas. Mengabarkan kandungan anak kita ini. Menyatukan kita sesaat."

"Aku pamit mas Mahes ...."

Mataku tak kuasa melihat kepergiannya. Bunga seperti menghilang begitu saja. Aku pejamkan mata dalam-dalam, dari jauh terdengar suaranya yang semakin lama semakin samar, menembangkan lagu Jawa lingsir wengi, lagu kesayangannya.

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.

Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.

Post. Admind

       ***
Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.

Post. Admind

       ***

B U N G A
Aku Cinta
"Bunga, aku takut," hanya kalimat pendek ini yang bisa terucap dari bibirku, saat melihat sesosok raksasa berbulu hitam lebat dengan mata merah api menyala muncul di hadapanku. Sikapnya penuh dengan ancaman. Aku lihat kedua tangannya direntangkannya lebar-lebar, siap untuk meremukkan tulang-tulangku. Pancaran matanya siap membakar tubuhku. Aku bergidik dan tanpa bisa aku cegah lagi, seluruh badanku bergetar hebat. Mata berkunang-kunang, pandangan mulai gelap dan rasanya sebentar lagi aku pasti pingsan.

"Mas, tenangkan dirimu, Sayang. Aku percaya kamu. Jangan takut. Ada aku. Jangan biarkan ketakutan menguasai dirimu. Itu yang diinginkannya. Dia akan menguasaimu kalau ada sedikit saja ketakutan di hatimu," Suara Bunga lirih terdengar merdu, begitu halus seperti alunan musik klasik. 

Suara Bunga selalu lebih sejuk dari embun pertama di pagi hari. Tidak ada sedikit pun penolakan di hatiku, pada apa pun yang diucapkannya. Suaranyalah salah satu yang membuatku jatuh cinta padanya. Dan sekarang, suara ini juga yang membuatku merasa kuat, atau lebih tepatnya berani nekat. Suaranya selalu menjadi mantra penguat bagiku.

Aku pun berdiri tegak tepat di depan Bunga. Pandangan lurus ke depan dengan memaksakan senyum sinis pada semua makhluk laknat yang ada di depanku. Aku pandang mereka satu-satu dengan tatapan menantang. Aku tatap mata Wewe Gombel dengan pandangan menyepelekan. Aku pandang sorot mata Suster Ngesot sambil tersenyum meremehkan. Dan aku tatap mata merah api Gandaruwo yang sosoknya tinggi besar, barangkali tingginya dua kali dari tinggi tubuhku, dengan tatapan mengejek. Entah darimana muncul keberanianku ini. Mungkin dari mantra yang diberikan Bunga, mungkin juga dari besarnya cintaku pada Bunga dan tekad besarku untuk menjaganya. 

Aku segera ingat pesan dari Bunga untuk melemparkan binatang-binatang kecil, wujud para dayang-dayangnya ke arah mereka.

Sekuat tenaga aku lemparkan semua binatang-binatang kecil ini ke arah mereka. 

Whuzzzz, ajaib, saat aku lemparkan ke depan, tiba-tiba binatang-binatang kecil serupa lintah ini seketika berubah wujud menjadi berbagai macam bentuk makhluk yang tidak kalah menyeramkan dari para hantu dari tanah jahanam ini. Ada belasan dayang-dayang Bunga yang dengan ganas mulai menyerang Wewe Gombel, Suster Ngesot dan juga Gandaruwo. Wujud dari dayang-dayang Bunga ini sungguh mengerikan. Untung mereka di pihakku, kalau tidak, pasti aku sudah pingsan dari tadi. Ada yang bentuknya tengkorak tanpa sedikit pun menyisakan daging di tubuhnya. Ada yang penampilannya seperti manusia serigala dengan kepalanya yang sangat besar yang mampu mengeluarkan api merah berkobar dari mulutnya. Yang lainnya tidak kalah mengerikan. Aku benar-benar bergidik melihatnya.

Aku menarik napas lega. Sangat percaya diri pertarungan ini akan dimenangkan pihak kami. Sambil tersenyum, aku menengok ke belakang untuk melihat Bunga. 

Dan aku sungguh terkejut bercampur marah, entah darimana datangnya makhluk-makhluk ini dan kapan mereka bisa melewatiku dan menyerang Bunga. Ada dua mahkluk hitam legam, kurus dan tinggi sekali, yang mencekik leher Bunga secara bersama-sama. Kedua tangan Bunga berusaha sekuat mungkin melepaskan tangan-tangan mereka dari lehernya, sekaligus mencoba mencakar tubuh para penyerangnya ini. Tapi kekuatan kedua penyerangnya ini luar biasa, lebih dari kekuatan Bunga. 

Aku berusaha membantu Bunga dengan menyerang kedua mahkluk yang mencekiknya ini. Tapi semua pukulan dan tendanganku seperti menemui ruang hampa. Kedua makluk ini semakin kuat mencekik Bunga dan aku lihat Bunga semakin tak berdaya. 

Tiba-tiba Bunga berucap lirih padaku dengan tanpa menggerakkan bibir sama sekali, "Mas, tarik kalung yang ada di dadaku. Kemudian tiup tiga kali tepat di atas bandulnya. Lakukan cepat mas. Cepat, Mas. Ini untuk memanggil kakakku datang. Hanya dia yang bisa membantu kita mengalahkan mereka."

Tanpa ada keraguan sedikit pun pada perintahnya kali ini, dengan sigap aku segera menarik kalung yang ada di dada Bunga. Dan dengan penuh keyakinan hati, aku tiup bandul kalungnya tiga kali tepat di atasnya. 

Tiba-tiba ....

Seperti ada angin besar yang berputar-putar di atas tubuh kami, bersama embusan udara yang sangat dingin. 

Kemudian terdengar suara tawa seorang wanita dengan nada yang melengking tinggi, tidak memekakkan telinga, tapi sungguh suara yang membuat bulu kudukku berdiri.

Entah bagaimana cara datangnya, tiba-tiba saja ada seorang wanita yang sangat cantik berdiri tepat di samping Bunga. Pakaiannya dress panjang putih penuh renda-renda. Dari gerak tubuhnya tercium semerbak harum bunga kantil yang membuat kepala seperti melayang-layang, memabukkan.

"Dik Kunti, mbak Sun datang," ucap lirih wanita cantik ini.

‘Wah, siapa wanita cantik yang memanggil Bunga dengan nama kunti ini?’

Apakah dia benar-benar kakak dari Bunga?

Dia menyebutkan namanya mbak Sun. 

‘Dia ini siapa, ya?’

"Mbak Sun. Mbaaaakkk. Aku sudah nggak kuat. Tolong adikmu ini, Mbak," suara Bunga samar-samar kudengar. Sekali lagi Bunga mengucapkannya dengan tanpa menggerakkan bibirnya sama sekali. 

Aku hanya bisa menangis melihat Bunga semakin tak berdaya dicekik oleh kedua mahkluk hitam terkutuk ini. Nampaknya sebentar lagi Bungaku akan menemui ajalnya, karena aku lihat kedua tangan Bunga sudah lunglai di pundaknya dan matanya sudah mulai rapat menutup. Aku menangis sekuat-kuatnya, sambil tak henti-hentinya memukul dan menendang kedua mahkluk hitam ini. Tapi apalah dayaku, semua seranganku sedikit pun tidak bisa menyentuh mereka.

Tangisan dan seranganku terhenti, ketika wanita cantik yang dipanggil mbak Sun oleh Bunga ini tertawa melengking tinggi sekali, sambil menunjuk-nunjukkan jarinya yang lentik ke arah kedua mahkluk hitam yang mencekik Bunga.

Ajaib. Tiba-tiba kedua mahkluk hitam ini melepaskan cekikannya, kemudian berguling-guling dan menjerit-jerit kesakitan seperti sedang terpanggang di atas api yang sangat panas. Tak butuh waktu lama, kedua mahkluk inipun menemui ajalnya dengan sangat mengenaskan. Yang tertinggal dari mereka hanya dua onggok abu dari tubuh mereka yang terbakar habis. Mengerikan.

Bersamaan dengan musnahnya dua makhluk hitam ini. Semua hantu tanah jahanam pun segera melarikan diri. Sosok mbak Sun benar-benar membuat jerih mereka. Dan dayang-dayang Bunga pun berubah bentuk seperti semula, menjadi binatang-binatang kecil seperti lintah yang berlompatan masuk kembali ke rambut belakang Bunga.

Wanita cantik ini pun kemudian mendekati Bunga yang terlihat nyaris pingsan. Dibelainya ubun-ubun Bunga perlahan-lahan, dan seketika itu juga Bunga langsung membuka matanya kembali. Badannya masih lemas, tapi aku yakin akan segera pulih kembali, terlihat dari pancaran matanya dan senyuman manisnya padaku dan pada wanita cantik yang menyelamatkannya ini.

"Mbak Sun, terima kasih. Terima kasih sudah menyelamatkanku dan juga kekasihku," ucap Bunga lirih sambil berjalan mendekat ke wanita yang dipanggilnya mbak Sun ini. Kedua wanita cantik ini pun berpelukan erat.

Ahh, iya, ini pasti Sundel Bolong, kakak dari Bunga. Entah kenapa menyebut nama dan bertemu dengan mbak Sun pada situasi ini sama sekali tidak membuatku takut, bahkan merasa tenang dan aman. Padahal di kampungku, jangankan bertemu dia, menyebut namanya saja tidak akan ada yang berani. Sundel Bolong selalu dikaitkan dengan kematian yang mengerikan dan wabah penyakit yang tidak tersembuhkan. Semua orang teramat takut pada sosok hantu ini.

‘Wah, kalau mbak Sun adalah Sundel Bolong dan Bunga adalah adik dari dia, berarti kekasihku ini Kuntilanak?’

‘Bunga kekasihku ini Kuntilanak?’

Aku bergidik saat membatin ini. Berarti benar kata Agus temanku, bahwa Bunga adalah hantu. Tapi kegelisahan dan ketakutan ini hanya sesaat menghampiri hatiku. Entah kenapa kenyataan bahwa Bunga adalah hantu sedikit pun tidak membuatku takut. Aku ingat-ingat kembali selama ini Bunga selalu menjagaku dan mencurahkan cintanya dengan setulus hati. Bagiku ini sudah lebih dari cukup.

"Mbak Sun, ini Mahes kekasihku ...," Bunga berusaha mengenalkan aku ke kakaknya.

"Aku sudah tahu, Kunti! Kamu pikir selama ini kita tidak tahu apa yang kamu lakukan selama menghilang dari kerajaan Kedaton Kidul!" ucap mbak Sun dengan tajam.

"Aku kemari tidak hanya untuk menyelamatkanmu, tapi juga atas perintah Kanjeng Ratu untuk membawamu pulang kembali. Cukup sudah petualanganmu," kembali mbak Sun mengucapkan kata-katanya dengan lebih tajam.

Tiba-tiba dunia seperti berputar-putar. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi, kalau Bunga kembali ke alamnya, dan aku ditinggal sendiri.

‘Apa bisa aku hidup tanpa Bunga?’

Bunga seperti bisa membaca pikiranku. Dia tersenyum manis padaku dengan pandangan yang teramat teduh.

Senyuman Bunga kepadaku kuartikan sebagai tanda dia tidak akan meninggalkan aku hidup sendirian di dunia. Tapi entahlah, bagaimana pun juga masih ada keraguan di hatiku, apakah cinta yang kami miliki mampu untuk menyatukan kami berdua, dua sosok yang berbeda alam. 

Bunga seperti tahu keragu-raguan yang kembali mengusik hatiku ini. Dia kembali tersenyum manis padaku.

"Mas, lihat sekelilingmu yang bukan lagi kamar dan rumah atau kebunmu. Yang kamu lihat sekarang adalah alam duniaku. Dunia yang hanya berwarna kelabu dan hitam. Tidak ada sinar apa pun di sini. Sang Hyang Widi tidak mengizinkan ada sedikit pun cahaya dan warna lain di alamku, selain kelabu dan hitam. Warna bajuku pun sekarang bukan putih lagi, tetapi kelabu. Apakah ini dunia tempat kamu bisa tinggal? Tidak mas. Tidak. Aku pun tidak ingin kamu tinggal di sini. Ada banyak aturan kehidupan di sini yang berbeda dengan duniamu. Aku akan menetap di duniamu mas, sebagaimana Bunga yang kamu kenal selama ini. Sebagai wanita bernama Bunga yang hidup di dunia malam hari. Sebagai Bunga kekasihmu yang sejati. Biar aku yang berkorban demi kebersamaan kita. Kamu sudah lulus uji mas, bukan dari pertarungan dan pengorbananmu melawan makhluk-makhluk tanah jahanam itu, tapi dari pesona kakakku. Selama ini semua laki-laki yang melihat mbak Sun, pasti akan langsung terpikat dan tergila-gila padanya. Terlihat dari sinar mata mereka yang bersinar-sinar tanda ketertarikan yang sangat. Kamu tidak mas. Cinta sejatimu padaku, mematikan gairah kelakianmu pada wanita lain, meski itu adalah mbak Sun, wanita yang tidak pernah ditolak laki-laki mana pun."

Aku sulit mencerna kata-kata Bunga, apakah ini pujian atau ujian padaku. Tapi aku kembali ingat saat kemunculan mbak Sun tadi, bagaimana jantungku tiba-tiba berdebar teramat keras. Pesona magisnya luar biasa. Kecantikannya seperti tidak nyata, sulit digambarkan dengan kata-kata. Kecantikan yang tidak ada padanan katanya. Keindahan pesona wanita yang belum dikenal dunia. Andaikata aku belum memiliki Bunga, pastilah hanya dengan melihat ujung jarinya saja, aku akan tergila-gila padanya. Belum lagi baunya yang memabukkan yang pasti membuat semua laki-laki mabuk kepayang. Tapi syukurlah, aku tidak hilang kesadaran, jauh di dasar hatiku yang terdalam, seperti menegurku dengan keras saat sepersekian detik aku mengagumi mbak Sun. Aku bersyukur cinta yang ada di hatiku pada Bunga, bisa mengalahkan semua pesona mbak Sun. Dan Bunga melihat itu. Ahhh, aku merasa bahagia dan lega luar biasa. Inikah yang dinamakan cinta sejati? Entahlah, tapi rasanya ini puncak dari segala kecintaan laki-laki pada wanita. Cinta yang menepiskan semua perbedaan. Cinta yang mampu mengalahkan semua goda. Terima kasih Bunga, karenamu aku memiliki cinta seperti ini. Dan ini pasti juga karena cintamu yang luar biasa padaku. Terima kasih Bunga.

"Cukup, Kunti! Ingat siapa kamu. Jangan kau lemahkan dirimu dengan cinta-cintaan seperti itu. Kamu harus kembali ke kerajaan Kedaton Kidul. Kanjeng Nyai sudah menunggumu. Kamulah pewaris tahta kerajaan, setelah aku sebagai kakakmu dianggap tidak layak menjadi Ratu yang baru. Perkara kekasihmu ini, bisa kamu bawa ke sana sebagai dayangmu yang baru, sebagaimana ke 12 dayang-dayangmu yang menetap di rambutmu. Atau, hihihi, biar aku yang menjaganya sebelum aku jadikan dia tumbal yang baru. Dia tentu akan membuat senang kakakmu ini," ucap mbak Sun dengan nada tajam dan sedikit genit.

Bunga menarik napas dalam-dalam dan kembali tersenyum padaku. Duuhhh, senyummu itu, Sayang, selalu membuat hatiku tenang dan nyaman sekali. 

Sambil tersenyum, Bunga pun lirih berkata, "Mas, mbak Sun tadi sudah membuka sedikit tentang siapa aku dan rahasia hidupku. Aku Kuntilanak, Mas, salah satu putri mahkota kerajaan Kedaton Kidul yang letaknya ada di tiga tingkat langit di atas langit ini. Kami dua bersaudara, kakakku Sundel Bolong, dan aku Kuntilanak. Usiaku lebih dari ingatan semua manusia tentang kehidupan dan penciptaan bumi. Karena kami ada sebelum bumi ini ada. Sebelum bertemu denganmu, aku tidak berbeda dengan kakakku. Aku pengelana malam dengan banyak korban di setiap malamku. Ke 12 dayang-dayangku yang berdiam di rambutku ini adalah satria-satria terhebat yang pernah hidup di duniamu. Setelah mereka menjadi kekasihku, aku menjadikan mereka budak dan satria penjagaku. Yang paling muda dari mereka hidup 600 tahun dari saat ini. Yang lainnya, ada yang hidup lebih dari beberapa ribu tahun dari saat ini. Tapi, Mas, semenjak bertemu denganmu, tidak ada sedikit pun keinginan untuk menjadikanmu seperti mereka. Kamu berbeda. Cintamu tulus dan murni, sebuah kekuatan yang lebih dahsyat dari apa pun, di duniamu mau pun di duniaku."

Tiba-tiba cuaca berubah seketika dan menjadi sangat menakutkan. Topan hitam entah datang dari mana bergulung-gulung, bergerak mengelilingi kami seperti punya tangan-tangan yang bisa digerakkan. Sementara petir besar menyambar-nyambar memekakkan telinga, membuat suasana menjadi sangat mencekam. Rasanya telingaku menjadi tuli, setiap mendengar ledakan petir yang menyambar.

"Hentikan mbak Sun! Hentikan! Aku adikmu. Aku tidak mau berkelahi dan melawanmu. Kita bisa bicara baik-baik!" ucap Bunga dengan sedikit berteriak.

‘Jadi ini semua ulah mbak Sun?’

‘Semurka inikah dia?’

Aku pun menengok ke arah mbak Sun, dan melihat pemandangan menakutkan yang rasanya tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku ....

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.

Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.

Post. Admind

           ***

B U N G A
Aku Cemburu 5
"Bunga, aku takut," hanya kalimat pendek ini yang bisa terucap dari bibirku, saat melihat sesosok raksasa berbulu hitam lebat dengan mata merah api menyala muncul di hadapanku. Sikapnya penuh dengan ancaman. Aku lihat kedua tangannya direntangkannya lebar-lebar, siap untuk meremukkan tulang-tulangku. Pancaran matanya siap membakar tubuhku. Aku bergidik dan tanpa bisa aku cegah lagi, seluruh badanku bergetar hebat. Mata berkunang-kunang, pandangan mulai gelap dan rasanya sebentar lagi aku pasti pingsan.

"Mas, tenangkan dirimu, Sayang. Aku percaya kamu. Jangan takut. Ada aku. Jangan biarkan ketakutan menguasai dirimu. Itu yang diinginkannya. Dia akan menguasaimu kalau ada sedikit saja ketakutan di hatimu," Suara Bunga lirih terdengar merdu, begitu halus seperti alunan musik klasik. 

Suara Bunga selalu lebih sejuk dari embun pertama di pagi hari. Tidak ada sedikit pun penolakan di hatiku, pada apa pun yang diucapkannya. Suaranyalah salah satu yang membuatku jatuh cinta padanya. Dan sekarang, suara ini juga yang membuatku merasa kuat, atau lebih tepatnya berani nekat. Suaranya selalu menjadi mantra penguat bagiku.

Aku pun berdiri tegak tepat di depan Bunga. Pandangan lurus ke depan dengan memaksakan senyum sinis pada semua makhluk laknat yang ada di depanku. Aku pandang mereka satu-satu dengan tatapan menantang. Aku tatap mata Wewe Gombel dengan pandangan menyepelekan. Aku pandang sorot mata Suster Ngesot sambil tersenyum meremehkan. Dan aku tatap mata merah api Gandaruwo yang sosoknya tinggi besar, barangkali tingginya dua kali dari tinggi tubuhku, dengan tatapan mengejek. Entah darimana muncul keberanianku ini. Mungkin dari mantra yang diberikan Bunga, mungkin juga dari besarnya cintaku pada Bunga dan tekad besarku untuk menjaganya. 

Aku segera ingat pesan dari Bunga untuk melemparkan binatang-binatang kecil, wujud para dayang-dayangnya ke arah mereka.

Sekuat tenaga aku lemparkan semua binatang-binatang kecil ini ke arah mereka. 

Whuzzzz, ajaib, saat aku lemparkan ke depan, tiba-tiba binatang-binatang kecil serupa lintah ini seketika berubah wujud menjadi berbagai macam bentuk makhluk yang tidak kalah menyeramkan dari para hantu dari tanah jahanam ini. Ada belasan dayang-dayang Bunga yang dengan ganas mulai menyerang Wewe Gombel, Suster Ngesot dan juga Gandaruwo. Wujud dari dayang-dayang Bunga ini sungguh mengerikan. Untung mereka di pihakku, kalau tidak, pasti aku sudah pingsan dari tadi. Ada yang bentuknya tengkorak tanpa sedikit pun menyisakan daging di tubuhnya. Ada yang penampilannya seperti manusia serigala dengan kepalanya yang sangat besar yang mampu mengeluarkan api merah berkobar dari mulutnya. Yang lainnya tidak kalah mengerikan. Aku benar-benar bergidik melihatnya.

Aku menarik napas lega. Sangat percaya diri pertarungan ini akan dimenangkan pihak kami. Sambil tersenyum, aku menengok ke belakang untuk melihat Bunga. 

Dan aku sungguh terkejut bercampur marah, entah darimana datangnya makhluk-makhluk ini dan kapan mereka bisa melewatiku dan menyerang Bunga. Ada dua mahkluk hitam legam, kurus dan tinggi sekali, yang mencekik leher Bunga secara bersama-sama. Kedua tangan Bunga berusaha sekuat mungkin melepaskan tangan-tangan mereka dari lehernya, sekaligus mencoba mencakar tubuh para penyerangnya ini. Tapi kekuatan kedua penyerangnya ini luar biasa, lebih dari kekuatan Bunga. 

Aku berusaha membantu Bunga dengan menyerang kedua mahkluk yang mencekiknya ini. Tapi semua pukulan dan tendanganku seperti menemui ruang hampa. Kedua makluk ini semakin kuat mencekik Bunga dan aku lihat Bunga semakin tak berdaya. 

Tiba-tiba Bunga berucap lirih padaku dengan tanpa menggerakkan bibir sama sekali, "Mas, tarik kalung yang ada di dadaku. Kemudian tiup tiga kali tepat di atas bandulnya. Lakukan cepat mas. Cepat, Mas. Ini untuk memanggil kakakku datang. Hanya dia yang bisa membantu kita mengalahkan mereka."

Tanpa ada keraguan sedikit pun pada perintahnya kali ini, dengan sigap aku segera menarik kalung yang ada di dada Bunga. Dan dengan penuh keyakinan hati, aku tiup bandul kalungnya tiga kali tepat di atasnya. 

Tiba-tiba ....

Seperti ada angin besar yang berputar-putar di atas tubuh kami, bersama embusan udara yang sangat dingin. 

Kemudian terdengar suara tawa seorang wanita dengan nada yang melengking tinggi, tidak memekakkan telinga, tapi sungguh suara yang membuat bulu kudukku berdiri.

Entah bagaimana cara datangnya, tiba-tiba saja ada seorang wanita yang sangat cantik berdiri tepat di samping Bunga. Pakaiannya dress panjang putih penuh renda-renda. Dari gerak tubuhnya tercium semerbak harum bunga kantil yang membuat kepala seperti melayang-layang, memabukkan.

"Dik Kunti, mbak Sun datang," ucap lirih wanita cantik ini.

‘Wah, siapa wanita cantik yang memanggil Bunga dengan nama kunti ini?’

Apakah dia benar-benar kakak dari Bunga?

Dia menyebutkan namanya mbak Sun. 

‘Dia ini siapa, ya?’

"Mbak Sun. Mbaaaakkk. Aku sudah nggak kuat. Tolong adikmu ini, Mbak," suara Bunga samar-samar kudengar. Sekali lagi Bunga mengucapkannya dengan tanpa menggerakkan bibirnya sama sekali. 

Aku hanya bisa menangis melihat Bunga semakin tak berdaya dicekik oleh kedua mahkluk hitam terkutuk ini. Nampaknya sebentar lagi Bungaku akan menemui ajalnya, karena aku lihat kedua tangan Bunga sudah lunglai di pundaknya dan matanya sudah mulai rapat menutup. Aku menangis sekuat-kuatnya, sambil tak henti-hentinya memukul dan menendang kedua mahkluk hitam ini. Tapi apalah dayaku, semua seranganku sedikit pun tidak bisa menyentuh mereka.

Tangisan dan seranganku terhenti, ketika wanita cantik yang dipanggil mbak Sun oleh Bunga ini tertawa melengking tinggi sekali, sambil menunjuk-nunjukkan jarinya yang lentik ke arah kedua mahkluk hitam yang mencekik Bunga.

Ajaib. Tiba-tiba kedua mahkluk hitam ini melepaskan cekikannya, kemudian berguling-guling dan menjerit-jerit kesakitan seperti sedang terpanggang di atas api yang sangat panas. Tak butuh waktu lama, kedua mahkluk inipun menemui ajalnya dengan sangat mengenaskan. Yang tertinggal dari mereka hanya dua onggok abu dari tubuh mereka yang terbakar habis. Mengerikan.

Bersamaan dengan musnahnya dua makhluk hitam ini. Semua hantu tanah jahanam pun segera melarikan diri. Sosok mbak Sun benar-benar membuat jerih mereka. Dan dayang-dayang Bunga pun berubah bentuk seperti semula, menjadi binatang-binatang kecil seperti lintah yang berlompatan masuk kembali ke rambut belakang Bunga.

Wanita cantik ini pun kemudian mendekati Bunga yang terlihat nyaris pingsan. Dibelainya ubun-ubun Bunga perlahan-lahan, dan seketika itu juga Bunga langsung membuka matanya kembali. Badannya masih lemas, tapi aku yakin akan segera pulih kembali, terlihat dari pancaran matanya dan senyuman manisnya padaku dan pada wanita cantik yang menyelamatkannya ini.

"Mbak Sun, terima kasih. Terima kasih sudah menyelamatkanku dan juga kekasihku," ucap Bunga lirih sambil berjalan mendekat ke wanita yang dipanggilnya mbak Sun ini. Kedua wanita cantik ini pun berpelukan erat.

Ahh, iya, ini pasti Sundel Bolong, kakak dari Bunga. Entah kenapa menyebut nama dan bertemu dengan mbak Sun pada situasi ini sama sekali tidak membuatku takut, bahkan merasa tenang dan aman. Padahal di kampungku, jangankan bertemu dia, menyebut namanya saja tidak akan ada yang berani. Sundel Bolong selalu dikaitkan dengan kematian yang mengerikan dan wabah penyakit yang tidak tersembuhkan. Semua orang teramat takut pada sosok hantu ini.

‘Wah, kalau mbak Sun adalah Sundel Bolong dan Bunga adalah adik dari dia, berarti kekasihku ini Kuntilanak?’

‘Bunga kekasihku ini Kuntilanak?’

Aku bergidik saat membatin ini. Berarti benar kata Agus temanku, bahwa Bunga adalah hantu. Tapi kegelisahan dan ketakutan ini hanya sesaat menghampiri hatiku. Entah kenapa kenyataan bahwa Bunga adalah hantu sedikit pun tidak membuatku takut. Aku ingat-ingat kembali selama ini Bunga selalu menjagaku dan mencurahkan cintanya dengan setulus hati. Bagiku ini sudah lebih dari cukup.

"Mbak Sun, ini Mahes kekasihku ...," Bunga berusaha mengenalkan aku ke kakaknya.

"Aku sudah tahu, Kunti! Kamu pikir selama ini kita tidak tahu apa yang kamu lakukan selama menghilang dari kerajaan Kedaton Kidul!" ucap mbak Sun dengan tajam.

"Aku kemari tidak hanya untuk menyelamatkanmu, tapi juga atas perintah Kanjeng Ratu untuk membawamu pulang kembali. Cukup sudah petualanganmu," kembali mbak Sun mengucapkan kata-katanya dengan lebih tajam.

Tiba-tiba dunia seperti berputar-putar. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi, kalau Bunga kembali ke alamnya, dan aku ditinggal sendiri.

‘Apa bisa aku hidup tanpa Bunga?’

Bunga seperti bisa membaca pikiranku. Dia tersenyum manis padaku dengan pandangan yang teramat teduh.

Senyuman Bunga kepadaku kuartikan sebagai tanda dia tidak akan meninggalkan aku hidup sendirian di dunia. Tapi entahlah, bagaimana pun juga masih ada keraguan di hatiku, apakah cinta yang kami miliki mampu untuk menyatukan kami berdua, dua sosok yang berbeda alam. 

Bunga seperti tahu keragu-raguan yang kembali mengusik hatiku ini. Dia kembali tersenyum manis padaku.

"Mas, lihat sekelilingmu yang bukan lagi kamar dan rumah atau kebunmu. Yang kamu lihat sekarang adalah alam duniaku. Dunia yang hanya berwarna kelabu dan hitam. Tidak ada sinar apa pun di sini. Sang Hyang Widi tidak mengizinkan ada sedikit pun cahaya dan warna lain di alamku, selain kelabu dan hitam. Warna bajuku pun sekarang bukan putih lagi, tetapi kelabu. Apakah ini dunia tempat kamu bisa tinggal? Tidak mas. Tidak. Aku pun tidak ingin kamu tinggal di sini. Ada banyak aturan kehidupan di sini yang berbeda dengan duniamu. Aku akan menetap di duniamu mas, sebagaimana Bunga yang kamu kenal selama ini. Sebagai wanita bernama Bunga yang hidup di dunia malam hari. Sebagai Bunga kekasihmu yang sejati. Biar aku yang berkorban demi kebersamaan kita. Kamu sudah lulus uji mas, bukan dari pertarungan dan pengorbananmu melawan makhluk-makhluk tanah jahanam itu, tapi dari pesona kakakku. Selama ini semua laki-laki yang melihat mbak Sun, pasti akan langsung terpikat dan tergila-gila padanya. Terlihat dari sinar mata mereka yang bersinar-sinar tanda ketertarikan yang sangat. Kamu tidak mas. Cinta sejatimu padaku, mematikan gairah kelakianmu pada wanita lain, meski itu adalah mbak Sun, wanita yang tidak pernah ditolak laki-laki mana pun."

Aku sulit mencerna kata-kata Bunga, apakah ini pujian atau ujian padaku. Tapi aku kembali ingat saat kemunculan mbak Sun tadi, bagaimana jantungku tiba-tiba berdebar teramat keras. Pesona magisnya luar biasa. Kecantikannya seperti tidak nyata, sulit digambarkan dengan kata-kata. Kecantikan yang tidak ada padanan katanya. Keindahan pesona wanita yang belum dikenal dunia. Andaikata aku belum memiliki Bunga, pastilah hanya dengan melihat ujung jarinya saja, aku akan tergila-gila padanya. Belum lagi baunya yang memabukkan yang pasti membuat semua laki-laki mabuk kepayang. Tapi syukurlah, aku tidak hilang kesadaran, jauh di dasar hatiku yang terdalam, seperti menegurku dengan keras saat sepersekian detik aku mengagumi mbak Sun. Aku bersyukur cinta yang ada di hatiku pada Bunga, bisa mengalahkan semua pesona mbak Sun. Dan Bunga melihat itu. Ahhh, aku merasa bahagia dan lega luar biasa. Inikah yang dinamakan cinta sejati? Entahlah, tapi rasanya ini puncak dari segala kecintaan laki-laki pada wanita. Cinta yang menepiskan semua perbedaan. Cinta yang mampu mengalahkan semua goda. Terima kasih Bunga, karenamu aku memiliki cinta seperti ini. Dan ini pasti juga karena cintamu yang luar biasa padaku. Terima kasih Bunga.

"Cukup, Kunti! Ingat siapa kamu. Jangan kau lemahkan dirimu dengan cinta-cintaan seperti itu. Kamu harus kembali ke kerajaan Kedaton Kidul. Kanjeng Nyai sudah menunggumu. Kamulah pewaris tahta kerajaan, setelah aku sebagai kakakmu dianggap tidak layak menjadi Ratu yang baru. Perkara kekasihmu ini, bisa kamu bawa ke sana sebagai dayangmu yang baru, sebagaimana ke 12 dayang-dayangmu yang menetap di rambutmu. Atau, hihihi, biar aku yang menjaganya sebelum aku jadikan dia tumbal yang baru. Dia tentu akan membuat senang kakakmu ini," ucap mbak Sun dengan nada tajam dan sedikit genit.

Bunga menarik napas dalam-dalam dan kembali tersenyum padaku. Duuhhh, senyummu itu, Sayang, selalu membuat hatiku tenang dan nyaman sekali. 

Sambil tersenyum, Bunga pun lirih berkata, "Mas, mbak Sun tadi sudah membuka sedikit tentang siapa aku dan rahasia hidupku. Aku Kuntilanak, Mas, salah satu putri mahkota kerajaan Kedaton Kidul yang letaknya ada di tiga tingkat langit di atas langit ini. Kami dua bersaudara, kakakku Sundel Bolong, dan aku Kuntilanak. Usiaku lebih dari ingatan semua manusia tentang kehidupan dan penciptaan bumi. Karena kami ada sebelum bumi ini ada. Sebelum bertemu denganmu, aku tidak berbeda dengan kakakku. Aku pengelana malam dengan banyak korban di setiap malamku. Ke 12 dayang-dayangku yang berdiam di rambutku ini adalah satria-satria terhebat yang pernah hidup di duniamu. Setelah mereka menjadi kekasihku, aku menjadikan mereka budak dan satria penjagaku. Yang paling muda dari mereka hidup 600 tahun dari saat ini. Yang lainnya, ada yang hidup lebih dari beberapa ribu tahun dari saat ini. Tapi, Mas, semenjak bertemu denganmu, tidak ada sedikit pun keinginan untuk menjadikanmu seperti mereka. Kamu berbeda. Cintamu tulus dan murni, sebuah kekuatan yang lebih dahsyat dari apa pun, di duniamu mau pun di duniaku."

Tiba-tiba cuaca berubah seketika dan menjadi sangat menakutkan. Topan hitam entah datang dari mana bergulung-gulung, bergerak mengelilingi kami seperti punya tangan-tangan yang bisa digerakkan. Sementara petir besar menyambar-nyambar memekakkan telinga, membuat suasana menjadi sangat mencekam. Rasanya telingaku menjadi tuli, setiap mendengar ledakan petir yang menyambar.

"Hentikan mbak Sun! Hentikan! Aku adikmu. Aku tidak mau berkelahi dan melawanmu. Kita bisa bicara baik-baik!" ucap Bunga dengan sedikit berteriak.

‘Jadi ini semua ulah mbak Sun?’

‘Semurka inikah dia?’

Aku pun menengok ke arah mbak Sun, dan melihat pemandangan menakutkan yang rasanya tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku ....

(Bersambung)

- Mahesa Jenar

Catatan:
Para leluhur manusia mewarisi legenda, hikayat atau bahkan dongeng kepada penerusnya. Dan biarlah aku menceritakan kisahku sendiri.

Ini murni fiksi, nama semua tokoh hantu semuanya familiar, tapi perannya sebagai protagonis atau pun antagonis tidak akan mainstream.

Post. Admind

            ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP KNPB) menyampaikan klarifikasi resmi terkait pernyataan publik Juru Bicara Tentara Nasional Papua Barat Sebby Sambom

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- KnpbNews, !Badan Pengurus Pusat Komite Nasional ...