Oleh. Mahesa Jenar
1/ Hari Pertama - Senin
Angkasa raya itu ruang yang terbatas
Sejauh pandang ada batasnya
Batas yang tak terjangkau mata
Aku terbang melintas bagian atasnya
Di atas bumi, bukan sekadar di atas kepala
Gelombang awan serupa lautan saja
Bagai rambut putih ikal yang berkibar-kibar
Di atasnya banyak lagi yang pekat, yang tak terhitung jumlahnya
Batas langit, sisinya mungkin bulat
Mustahil aku kenali mana timur dan barat
Aku terbang di antara rasi bintang Orion
Di antara konstelasi bintang-bintang yang merupa pemanah yang marah
Bermuka-muka dengan bintang Alnilam, Mintaka, dan Alnitak yang paling benderang
Kabut di bawah sedang bersiasat membangun hehujan
Bumi adalah pantat botol tempat semua bersemi
Gunung-gunung seperti jerawat remaja
Hutan-hutan nampak serupa serabut hijau menawan
Gedung dan jalan seperti mainan baru yang terus diperbarui
Aku melihat ke bawah
Langit-langit bawah berkabut, cakrawala bundar, dan sinar matahari yang lindap
Tetiba rasa sedih, airmataku meleleh di pipi
Aku melihat melalui mataku yang basah
Duniaku ada di bawah sana
Dunia yang rendah, sebuah bola yang terayun dan berputar
Terkadang seperti pendulum yang berjalan lambat
Kanan kiri, sedikit ke atas dan bawah, tanpa bisa terlepas
Mengikuti takdir
2/ Hari Kedua - Selasa
Saat gumpalan cahaya utara senyap
Di sore hari, aku menuju rasi bintang Pegasus
Formasi kuda terbang yang mendesis, mengepak sayapnya
Bintang-bintang menderu buritan
Guntur menghantam semua sisinya
Segala topan bergolak dan mencemooh
Seperti anak kecil yang kedinginan, aku meringkuk di bawah selimut awan
Menutup palka mata, pejamkan kelopaknya
Pergerakan bintang bergemuruh, terangkat, turun sendiri, bermain-main
Tergelincir ke samping, turun dan berputar dengan sendirinya
Langit yang tidak pernah diam, yang tidak pernah stabil
Aku makan dan minum bertumpah-tumpah: bintang Enif menertawakanku
Ia berwajah putih, secara terang-terangan menerobos pesawat ruang angkasaku
Nampak di koridor dengan kepala terjepit
Oh, apakah ia akan berhenti menggangguku?
Bayangan senyumnya terlihat licik di atas mangkuk supku
3/ Hari Ketiga - Rabu
Tumpukan gelombang kabut gas tergelincir, terbelah, bergeser
Hitam di bawah dengan sedikit kelabu di atasnya
Kabut gas di sini seperti halimun yang berhembus di pagi hari
Dinginnya rasi bintang Ursa Major membuat bilah gigi beruang besar menggeretak
Dan pagi selalu membeku di sini
Menjelang siang, bintang-bintang biru dengan banyak kabut kelabu
Bagai sekawanan burung camar terbang tinggi
Pada sisi luar setelah malam
Nampak sebuah bintang di atas bidang angkasa yang sunyi
Memekik, mencakar, mengacak-acak,
menggeram, bagai beruang besar yang murka
Aku melihatnya di dalam pesawatku
Sendirian di angkasa yang tak berangin
4/ Hari Keempat - Kamis
Hari ini, di cakrawala bundar, hujan di belahan utara
Di seberang awan terlihat seorang puteri yang cantik jelita, bernama Andromeda
Kedua tangannya dirantai pada batu karang di tepian langit
Wajahnya bergaris lembut, tak nampak kesedihan, ia tersenyum tengadah ke langit
Aneka warna hijau, kuning, merah dan biru keluar dari anak matanya
Warna yang bulat, utuh dan tebal, menyaput langit berlapis-lapis
Semuanya melengkung, menyebar luas, penutup cahaya gelap yang tidak indah
Aku rasa ia tidak dapat melihatku
Tapi siapa pun yang menatapnya akan terkesima
Dari jendela pesawat, ia serupa pelangi paling indah
Aku berdoa untuk kebahagiaannya
Nampaknya ia tahu ada yang melihatnya
Seluruh ruangan di pesawat berkilau cahaya
Tetiba pesawatku terguncang pelan
Ia menyapaku sebagai seorang sahabat
5/ Hari Kelima - Jumat
Pesawat ruang angkasaku menari
Di atas batu api lembut
Di langit tanpa arah
Bintang-bintang bagai batu besar berbibir putih
Mereka berkerumun menamakan diri Aquila
Pada sebuah padang langit yang melingkar
Aku bermalas-malasan di kursi depan
Terpikat pada cantiknya Altair, Cignus dan Vega
Yang rebah memanjakan diri di bawah sinar angkasa
Kemudian aku melihat mereka berlari ke kaki setiap gelombang cahaya
Melompat ke cakrawala tipis, gelombang yang biru tua
Aku berjingkat-jinkat bangkit dari kursiku
Menatap mereka lebih lekat
Mereka mendaki kaki bukit,
mengarungi teluk dan lautan angkasa
Melompat dengan riang di udara yang bebas angin
Aku mencari, apa yang kucari di langit tak berpenghuni? Di antara gugusan rasi bintang?
Di darat aku merindukan tempat kosong yang luas
Menghindari pekerjaan, kendaraan, orang-orang, semua yang selalu datang
Mataku ingin memandang jauh, tanpa halang, tanpa bingkai, tanpa gangguan
Tetapi seperti batu yang dilempar jauh, ia akan terbentur, berhenti, tersandung dan jatuh
Aku, di sini, di atas bumi yang aku cintai, mendengar denyut nadiku sendiri
Merasakan gemetar kaki yang sama di langit atau di bumi
Seperti kereta api mendekati stasiun terakhir
Alamat keburukan seharusnya ditinggalkan
Dengan wajah tengadah, tersenyum serupa Andromeda
Sesekali tak terlupa melihat jauh ke bawah
Menatap bumi yang bulat ini
Melalui airmata yang membasah di mata
Entah sedih atau bahagia
Malang, 25 Februari 2023
Post. Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar