Frans, Pigai
Ada kalanya, beberapa orang yang tinggal dalam ruang lingkup semesta memperlakukan satu manusia dengan manusia lainnya dengan cara yang tidak sama. Sebagian dihargai, sebagiannya lagi menepikan rasa peduli.
Terlebih pada manusia-manusia yang lunglai, lemah, tidak berdaya lalu diperdaya. Mirisnya lagi, sebagian dari mereka mengucilkan si manusia yang memiliki keterbatasan. Menusuk tombak ke dalam relungnya dengan sengaja, memporak-porandakan impiannya yang dipatahkan sebelum sempat menjadi angan-angan. Di antara kelebihan yang mereka punya—sekalipun titipan.
Aku adalah diksi yang payah, menggambarkan tentang kepedihan beberapa orang yang tidak dapat keadilan. Meraung dalam sajak yang menyeruakkan rasa sakit, ketika si lemah dipaksa bertahan untuk tetap hidup—sekalipun harus menari di bawah pijakan kerikil tajam. Di mana gendang telinga dipenuhi ejekan dan makian, terekam dan nyaring bila keheningan datang.
Ketika netra menangkap baiknya takdir seorang insan, ada kalanya benak memaki semesta berulang-ulang, perihal; mengapa harus ia yang Tuhan jadikan sandraan di tengah penjara yang bebas tetapi menikam. Kaki diharuskan berdiri sendirian, jatuh dipaksakan berdiri meski terinjak duri. Bibir diminta bungkam, tidak boleh menyela yang menyala.
Maka bagi ia yang penat tetapi tidak mampu istirahat, tidak ada pilihan sebaik-baiknya pilihan, selain; menyanggupi diri untuk bertahan dan mempertahankan hidup sampai Tuhan meminta untuk pulang.
Negeri ku Tertindas Salam Rindu Hari Jauh ✍️
Poat. Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar