BUTTERFLY AND HURRICANE
Part.1
Tetesan Air Mata Ibunda, kota tua Kota Jeruk-, Melangkah Tanpa Alas Kaki_ terjebak lebih cepat maka harap lebih melihat. Entah mimpi apa semalam hingga aku bisa terjebak dalam situasi mengerikan seperti sekarang.
Dua preman hanya berada satu langkah di hadapan. Tubuhku sudah bergetar hebat saat bersandar sepenuhnya di pagar tembok toko sebuah gang sempit. Napasku tak beraturan. Memaksakan diri untuk melawan jelas sia-sia, kekuatanku tak mungkin sebanding dengan otot besar mereka. Berharap seseorang datang menolong pun percuma karena sudah larut malam.
“Hei, siniin uang lu!” gertak salah satu preman berambut panjang. Badannya begitu besar dan memiliki tato di sepanjang lengan kanan.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, aku mengulurkan tas. Berpikir bahwa mungkin dengan menyerahkan uang, preman-preman itu segera pergi dan tidak mengganggu lagi. Namun, perkiraanku meleset jauh. Karena kini, preman berkepala botak dengan wajah persegi dan memiliki codet di pipi kiri sudah memegang daguku.
“Wajah lo cantik juga.” Preman berkepala botak menyeringai nakal.
Refleks aku menepis tangannya. Alih-alih pergi, dia malah tampak makin semangat mengerjaiku. Kini, ketakutan mulai menyergapku dari berbagai sisi.
“Jangan sok jual mahal. Gadis yang keliaran malam hari pantesnya disebut gadis nakal?” Preman berambut panjang mengulurkan tangan dan mengelus pipiku.
Kembali aku menampik tangan pria kurang ajar itu. Dadaku terasa panas. Hinaan preman tadi sungguh keterlaluan.
“Lo makin cantik kalo marah. Ayolah, Sayang, kita bisa bersenang-senang sebentar,” rayu preman berkepala botak.
Cukup sudah! Dengan keberanian setebal kulit bawang, aku mendorong preman berambut panjang dan mencoba lari. Baru saja aku melangkah, tangan kiriku seperti tertahan sesuatu. Suara tertahan di tenggorokan. Aku hanya bisa menangis sambil berdoa dalam hati. Berharap ada orang baik yang menyelamatkanku dari cengkeraman dua preman tak berperasaan.
Tubuhku seperti diterjang gempa. Bergetar hebat saat tangan preman berkepala botak bergerak liar di sepanjang pinggul dan bukit kembar. Aroma alkohol dari mulut manusia durjana di depan mata seolah-olah mengaduk isi perut. Aku berusaha meronta. Namun, cekalan pria berambut panjang mematikan pergerakanku.
Ya Tuhan, tolong aku!
“Hei, lepaskan dia!” Suara berat seorang pria menginterupsi tindakan kurang ajar preman berkepala botak.
Dua preman menoleh serentak ke sumber suara. Begitu pula denganku. Tampak siluet pria bertubuh tinggi tegap. Wajahnya tidak terlihat jelas. Maklum saja, tempatku sekarang hanya diterangi lampu temaram dari ujung belakang tembok toko.
“Jangan sok jadi pahlawan. Pergi dari sini!” Pria berkepala botak terdengar kesal.
“Dasar ban ci, beraninya cuma sama cewek.”
“Kurang ajar!”
Preman berambut panjang mengumpat sebelum melayangkan tin ju ke arah pria itu. Namun, sedetik kemudian, si Pria Misterius sudah menangkap pukulan dan balas memu kul keras perut preman hingga tersungkur di tanah. Preman berkepala botak ikut menye rang. Dengan gesit, dia melempar tin ju ke hidung preman berkepala botak. Terdengar bunyi tulang patah diiringi lolongan kesakitan.
Dalam gerakan cepat, pria itu meraih tas selempangku yang tergeletak di tanah. Tanpa basa-basi, dia menggandeng tanganku untuk diajaknya keluar gang.
Kini, aku dapat memindai wajah si Pria Misterius. Sepasang mata tampak menyorot tajam di bawah naungan alis sedikit tebal. Hidung mancung hingga mengingatkanku pada perosotan di taman bermain. Rambut hitam sepanjang bahu yang tampak kontras dengan warna kulit. Pria itu tampak memakai anting di kedua telinga. Tidak dapat dipungkiri, dia seperti Dewa Yunani dalam versi nakal.
Ya, pria nakal. Sebuah kesimpulan saat aku mendapati kedua tangannya dipenuhi tato. Tak lupa ukiran tinta juga ada di leher sebelah kiri. Badai cemas melanda. Apakah setelah lolos dari kandang harimau, aku justru masuk mulut buaya?
“Lo nggak apa-apa, ‘kan?” tanya pria bertato saat berhenti di depan minimarket 24 jam.
Aku mengangguk kemudian menunduk, mengusap tebing pipi dari hujan air mata. Meski lega bisa selamat dari lubang sial, tetapi aku tak dapat menyangkal debar lain sekarang. Entahlah, ada ketakutan yang merayap setiap kali beradu tatap dengan manik kecokelatan milik si Pria Misterius itu.
“Nih.” Pria bertato itu mengangsurkan tas ke arahku. Betapa lemahnya aku yang hanya mampu mengangguk khusyuk.
“Cewek kayak lo, nggak seharusnya keliaran malam-malam gini.”
Untuk beberapa saat, kami dibius bisu. Hanya ada deru mobil sebagai musik pengiring di antara kami. Aku kehilangan pembendaharaan kata. Sementara itu, dia tampak bergeming kaku.
“Kenapa lo diam aja?”
Setelah menarik dan membuang napas, aku memberanikan diri menatap wajahnya. Hanya sekilas, sebelum aku berlari tunggang langgang diiringi derai air mata, meninggalkan pria itu yang mungkin kebingungan. Bukan karena aku ketakutan dan tidak ingin berterima kasih, melainkan ketidakmampuan bibir mengucapkan dua kata itulah yang membuatku menangis sekarang.
***
Merangkai bunga adalah keahlian serta aktivitasku setiap hari. Seperti pagi ini, Nyonya Anne memintaku membuatkan buket bunga favoritnya. Beliau adalah pelanggan setia di toko bungaku. Bahkan, wanita anggun itu sudah terbiasa membeli bunga sejak toko masih dalam pengawasan Mama.
“Aku suka membeli bunga di sini, karena semua bunga tampak segar,” ujar Nyonya Anne. Sementara itu, aku hanya merespons ucapannya dengan senyuman.
“Kalau aku lihat, semakin dewasa kamu makin mirip Ester.” Nyonya Anne tersenyum ramah.
Aku tersenyum sambil terus menyelesaikan rangkaian mawar merah. Setelah buket selesai, aku menyerahkannya kepada Nyonya Anne. Dengan sigap, dia meraih buket mawar dan tampak tersenyum puas. Lantas dia membuka dompet dan menyerahkan empat lembar uang ratusan ribu.
“Ambil saja kembaliannya.”
Rezeki tak terduga pagi ini. Aku mengangguk seraya mengangkat sudut bibir.
“Jangan lupa pesananku untuk lusa,” imbuh Nyonya Anne sebelum beranjak keluar toko.
Selepas kepergian Nyonya Anne, aku mengempaskan diri di kursi belakang meja counter. Tatapanku terpaku ke foto keluarga di meja. Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-21, sekaligus ulang tahun ketujuh tanpa Papa dan Mama. Air mata rebas begitu saja setiap kali mengingat kejadian tragis tujuh tahun lalu. Kejadian yang tidak hanya merenggut nyawa orang tua, tetapi juga menghancurkan duniaku. Peristiwa menyedihkan hingga mengantar diri ini ke dunia baru yang sunyi dan sepi.
“Hei, kenapa?”
Buru-buru aku menghapus jejak basah di wajah. Kepalaku menggeleng, sedangkan tangan beraksi merapikan meja dari peralatan merangkai bunga.
“Ini uangnya.” Kak Marsha menyodorkan uang hasil delivery bunga hari ini.
Beruntung bagiku memiliki teman sekaligus pegawai seloyal Kak Marsha. Entah bagaimana nasibku jika tidak ada wanita berwajah oriental itu. Karena berkatnya, aku jadi lebih mudah melanjutkan bisnis peninggalan Mama. Ya, dia memang lebih dulu bergelut dengan bunga. Tepatnya sejak lulus SMA saat toko berada di bawah kendali Mama.
“Oh, ya, nanti malam kamu jadi ikut, ‘kan?” tanya Kak Marsha yang hanya kubalas dengan gelengan.
“Oh, ayolah, Ra. Kamu juga perlu bersenang-senang. Apa seumur hidupmu harus kamu habiskan dengan merawat bunga? Kamu juga butuh bersosialiasi.” Terdengar Kak Marsha begitu bersemangat membujukku.
Bukan keinginanku untuk tidak bersosialisasi. Keadaanlah yang membuat diri memilih menjadi penyendiri. Masa depan memang tidak bisa diprediksi. Dahulu, hidupku terasa indah tanpa cela. Memiliki orang tua hebat yang selalu memanjakanku setiap waktu. Namun sekarang, hanya dalam waktu singkat, hidupku berubah 180 derajat. Tak cukup dengan kehilangan orang tua, tetapi harus terjebak dalam kesialan berkepanjangan.
“Aku nggak mau tahu alasan kamu. Pokoknya malam ini, kamu harus ikut aku. Titik!” tandas Kak Marsha sambil melempar tatapan tajam. Mau tidak mau, aku mengangguk lemah.
***
Aku mengernyit saat membaca papan nama kelab. Malam ini dengan terpaksa, aku menemani Kak Marsha ke pesta ulang tahun salah satu temannya. Aku pikir pesta diadakan di rumah atau restoran. Bukan kelab malam seperti sekarang.
“Ayo, turun.” Kak Marsha melepas sabuk pengamannya. Sementara itu, aku masih menatap ragu ke arah kelab.
“Temanku yang ulang tahun itu pemilik kelab ini. Jadi, malam ini kelab ditutup untuk umum. Kamu nggak harus merasa takut atau cemas, karena yang datang tentu cuma tamu undangan, bukan sembarangan orang,” celetuk Kak Marsha seolah-olah tahu jalan pikiranku.
Kami turun dari kereta besi. Setelah mengunci pintu mobil, Kak Marsha menggandeng tanganku memasuki kelab. Musik terdengar berdentum keras. Bukan riuh EDM seperti kebanyakan kelab, melainkan musik rock and roll.
Pegangan tanganku semakin erat di tangan Kak Marsha. Bahkan, keringat dingin sudah tergelincir di lekuk punggung. Bukan tanpa alasan bertindak sepecundang sekarang. Toh, ini memang pertama kali bagiku masuk kelab malam.
Kak Marsha melambaikan tangan kepada dua pria yang bersandar di meja bar. Satu pria berwajah manis khas orang Jawa, sedangkan pria yang lain berwajah khas oriental.
“Hai, Marsha, tumben cantik,” sapa pria berwajah manis sambil tersenyum.
“Heh! Nggak sopan. Aku cantik dari dulu tau!” Kak Marsha berkacak pinggang.
Pria itu terkekeh, lalu mendekat dan mendaratkan kecupan di pipi kanan Kak Marsha. “Iya … iya. Aku manutlah.”
Kak Marsha mencebik, lalu beralih menatap pria berwajah oriental sama dengannya. “Eh, ada si Ganteng Joan, apa kabar?”
“Dih! Lu bilang gitu biar dapet jatah minuman racikan terbaik gue paling banyak. Iya, ‘kan?” Pria itu maju selangkah demi bisa mengecup pipi kiri Kak Marsha.
Tawa Kak Marsha meledak. “Ya ampun, aku ketahuan.”
Jangan tanyakan bagaimana aku. Tentu saja hanya berperan sebagai figuran. Mengamati gerak-gerik semua orang tanpa tahu caranya berbaur. Menyedihkan, bukan?
“Ehm, itu siapa, Sha?” Pria berwajah khas Jawa menunjukku sesaat setelah berhenti tertawa.
“Eh, gara-gara kalian aku sampai lupa. Kenalin, ini Yara. Pemilik toko bunga tempatku kerja,” jawab Kak Marsha.
“Hei, gue Joan.” Pria berwajah oriental mengulurkan tangan. Walau sedikit ragu, aku membalas jabat tangannya.
“Andar.” Kali ini, pria manis yang menjabat tanganku. Lagi-lagi, aku berjabat tangan sembari berusaha melempar senyum.
Oke, ternyata pengalaman pertamaku masuk kelab tidak terlalu buruk. Ketakutan saat memasuki ruang berisik ini mendadak lesap. Aku menangkap sikap teman Kak Marsha yang cenderung tampak santai dan apa adanya. Mungkin otakku saja yang terlalu primitif hingga memiliki opini bahwa semua pengunjung kelab malam pastilah bertingkah berengsek.
Dengan begitu, aku berani mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Mengabaikan perbincangan seru tiga orang di dekatku. Menyelisik desain kelab lebih menarik daripada terpasung gugup di tengah kericuhan mereka.
Desain interior jauh berbeda dengan dekorasi kelab malam yang pernah aku lihat di situs gaya hidup. Ada replika gitar besar di tembok belakang panggung. Untuk panggung sendiri terletak di sisi kanan ruangan, lengkap dengan berbagai macam perangkat bermelodi. Bisa jadi ada pertunjukan live music pada waktu tertentu.
Perbedaan paling menonjol, tentu saja musik pengiring di dalam kelab. Bukan irama elektrik modern seperti yang sering digunakan remaja sekarang untuk ber-TikTok ria. Alunan musik rock era 90-an terdengar lebih menarik dan pastinya masih mampu diterima telingaku.
Tepukan di bahu menginterupsi kegiatanku mengamati sekitar. Aku menoleh ke arah Kak Marsha. “Yara, kenalin ini Nino, temanku yang ulang tahun.”
Selama ini, aku tidak percaya sebuah kebetulan. Akan tetapi, saat dipertemukan kembali dengan si pemilik tato indah di kedua lengan, kepercayaan diriku seketika luruh ke mata kaki. Berkelebat prasangka di kepala, entah takdir apa yang harus aku jalani nanti.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Usaha untuk menghapus kegugupan saat mataku tak sengaja bertubrukan dengan iris Nino, penolongku semalam. Entah memang benar atau hanya halusinasi semata, aku bisa menangkap rona gemap di wajahnya. Namun, hanya sekilas dan terjadi tak lebih dari tiga detik. Ya, aku memang segila ini menghitung waktu ketika berada di antara orang asing.
“Jadi, nama lo Yara.”
Celetukan Nino sepertinya memantik rasa penasaran ketiga sosok di dekatku. Buktinya, Kak Marsha langsung melempar tanya. “Eh, maksudnya gimana, sih? Kalian udah pernah ketemu gitu?”
“Semalam gue nggak sengaja lihat dia diganggu preman. Jadi, gue inisiatif buat nolong dia,” sahut Nino.
Lagi-lagi, bibir bawah menjadi pelampiasanku membuang gelisah. Jujur, aku belum siap bertemu lagi dengan pria penolongku meski dalam hati sangat ingin mengucapkan terima kasih.
“Benarkah?” Marsha tampak menatap Nino tak percaya, lalu beralih menatapku. “Kenapa nggak bilang sama aku kalo kamu diserang preman, Ra?” tanyanya lengkap diiringi nada khawatir yang kentara.
Ya, inilah salah satu alasanku tidak menceritakan kejadian semalam kepada Kak Marsha. Dia pasti akan bertindak seperti seorang ibu cerewet. Bukan aku malas, tetapi lebih pada tak ingin terus-menerus menggantungkan hidup kepadanya. Karena sejak kecelakaan dulu, dialah yang selalu menemani hari-hari sepiku.
Hening membentang di antara kami. Seolah-olah kami terjebak dalam dimensi lain. Suasana mendadak rikuh.
Tiba-tiba Nino berdeham lalu bersuara dengan nada tajam. “Sha, bilangin ke teman lo cara berterima kasih. Dia punya mulut buat bicara, bukan berlagak kayak orang bisu.”
Kalimat Nino begitu menusuk. Tidak berniat mempermalukan diri dengan menangis, aku segera angkat kaki dari kelab. Sadar diri bahwa aku memang bisu!
Bersambung....
Cerita karya Mbak Titin Akhiroh ini sudah sampai part 7 di KBM app.
Post. Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar