Part 9
Seumur hidup, baru kali ini Rasti menjumpai manusia seperti Inggar. Semua laki-laki yang mendekatinya selalu berusaha menunjukkan performa terbaiknya, bukan malah norak dan membuatnya bergidik geli.
Bahkan, dulu Rion menarik simpatinya dengan elegan. Laki-laki itu bersikap sangat manis dan sopan sehingga Rasti diam-diam menaruh hati padanya. Dan yang semanis Rion saja bisa berkhianat, apalagi yang dari awal sudah urakan seperti Inggar.
Rasti menggeleng. Dia berusaha mengenyahkan bayangan Inggar semalam yang melempar kecupan ke udara. Di saksikan puluhan pengunjung, laki-laki itu seolah tidak memiliki rasa malu.
"Ras, mulai sekarang gue jadi asisten pribadi kamu, ya." Andin tiba-tiba muncul di kamar Rasti pagi-pagi sekali.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Rasti dengan sebal. Dia baru menatap Andin dari pantulan cermin. "Nggak sopan nyelonong masuk ke rumah orang."
"Ye, siapa yang nyelonong. Orang aku datang sama Tante Rumi, kok."
Rasti berhenti menyatok rambut. Tumben sekali sepagi ini ibunya datang. Dia sudah menebak, pasti ada hal yang akan dibahas. Benar-benar pagi yang buruk.
Benar saja, sewaktu Rasti menuju ruang makan, ibunya sudah menunggu di sana. Tanpa basa-basi, wanita itu mengatakan bahwa Nino masih berharap Rasti mau jadi istrinya.
"Aduh, Ma …." Rasti membelah telur rebus yang sudah dikupas kulitnya. "Rasti nggak mau ngasuh anak. Yang ada anak itu tertekan hidup sama Rasti."
"Anaknya bisa pakai babysitter, Ras. Kamu cukup mendampingi Nino saja."
"Wah, tambah nggak bener. Katanya nikah nyari ibu buat anaknya, kok mulai melenceng?" Rasti menyuap telur ke mulut dan mengunyahnya.
"Nino itu punya perusahaan besar. Dia butuh istri seperti kamu."
"Lebih baik Mama jodohin Andin aja. Biar dia nggak merecoki Rasti." Rasti bicara seolah Andin tidak sedang bersama mereka.
"Kalau orangnya cakep, Andin mau, Tante!" kata Andin penuh antusias.
"Kalau yang modelan seperti kamu sudah banyak yang mau jadi istri Nino. Tapi, kebanyakan hanya mau enaknya saja. Giliran diajak diskusi katanya nggak nyambung."
Rasti tertawa pelan melihat ekspresi Andin yang berubah cemberut. Sepupunya itu bersungut-sungut sembari menyantap nasi goreng mentega.
"Atau kamu sudah punya calon sendiri, Ras?" tanya Rumi.
Rasti menghentikan kunyahan, sedangkan Andin terbatuk-batuk karena tersedak.
"Kalau memang sudah ada calon suami, kenalkan sama Mama dan Papa. Tapi, kali ini jangan sampai salah pilih lagi. Pastikan dia berasal dari keluarga yang sepadan dengan kita."
"Nggak penting kali, Ma," sahut Rasti dengan santai. Dia meraih gelas berisi air putih dan meneguknya banyak-banyak.
"Nggak penting bagaimana? Apa kejadian kemarin nggak membuat kamu kapok berurusan dengan orang miskin?" Rumi mendengkus. "Sudah miskin, nggak tau diri! Bikin malu keluarga saja!"
"Cari suami yang mapan, Ras. Biar nggak malu dikenalin sama keluarga," kata Andin. Dia mengambil nasi goreng lagi ke piringnya.
"Mapan nggak perlu kaya raya," sahut Rasti.
"Rasti …."
"Apa definisi mapan menurut Mama?" Rasti menatap ibunya. "Kaya raya? Punya perusahaan besar? Atau … punya banyak aset?"
"Semuanya," jawab Rumi.
"Rasti nggak mau nikah kalau patokannaya cuma itu, Ma. Kalau mau kaya, Rasti juga bisa. Kenapa harus menikah sama orang dulu biar kaya?
"Rasti akan menikah lagi kalau emang ada yang cocok. Tolong Mama berhenti desak Rasti."
"Mama cuma takut kamu salah pilih lagi."
"Mama nggak perlu mengkhawatirkan hal yang belum terjadi. Rasti bisa belajar dari pengalaman, kok."
***
Walaupun Andin bersikeras, tapi Rasti tetap menolak perempuan itu jadi asisten pribadinya. Dia bisa menebak bukannya terbantu, kehadiran Andin justru akan membuat pekerjaannya berantakan.
"Kapan berkembangnya kalau kamu ngikut sodara terus?" ucap Rasti. Mempekerjakan saudara yang tidak berkompeten hanya akan membuat ikatan darah menjadi terpecah. Pasti akan ada banyak drama yang mewarnai ke depan. Lagi pula, tiga bulan lagi asisten pribadinya akan habis masa cuti. Kinerjanya pun patut diacungi jempol. Jadi, Rasti tidak berniat menggantinya.
Beruntung, Pak Sabar sudah sembuh. Hari ini, pria paruh baya itu siap mengantar ke mana pun.
Dalam perjalanan ke Jagakarsa, Rasti mendapat telepon asisten rumah tangga mertuanya. Belum apa-apa dia sudah takut jika Risma kenapa-kenapa.
Benar saja, asisten rumah tangga itu mengabarkan bahwa Risma mendadak pingsan setelah mendapat telepon dari petugas lapas.
"Ada informasi apa tentang Rion?" tanya Rasti. Walaupun sudah menjadi mantan, tetap saja dia penasaran.
"Belum tau, Bu. Waktu mendapat telepon, Bu Risma langsung pingsan. Belum sempat cerita sama saya."
"Oke. Saya ke situ. Jaga Ibu, ya."
Rasti langsung meminta Pak Sabar putar balik. Rencana untuk mengecek kafe di Jagakarsa batal total.
Begitu Rasti tiba, mertuanya sudah siuman. Namun, langsung menangis histeris melihat kedatangan mantan menantunya.
Risma meraung. Menyuarakan penyesalan sebagai seorang ibu yang terlalu larut dalam kekecewaan. Wanita itu bersimpuh di kaki Rasti, meminta pengampunan.
Sementara, Rasti sendiri hanya bisa mematung. Otaknya terlalu lambat untuk mencerna kabar bahwa Rion meninggal. Laki-laki itu telah tiada.
Perlahan, Rasti luruh ke lantai. Sejahat apa pun Rion padanya, lelaki itu pernah menjadi bagian dari hidupnya selama tiga tahun. Rion pernah mengisi hatinya dan membuat hari-harinya berwarna.
"Maafkan Rion, Rasti. Maafkan Rion …."
Bahkan jauh sebelum lelaki itu berpulang, Rasti sudah memaafkannya. Dendam di hati Rasti telah hilang. Dia merasa Rion sudah mendapat hukuman setimpal karena mendekam di penjara.
"Rion … kenapa kamu meninggalkan Ibu …."
Rasti tidak bisa menenangkan Risma. Hatinya sendiri kalut. Seandainya tahu umur Rion tidak lama, pasti kemarin-kemarin dia akan membawa mertuanya menjenguk ke lapas.
"Non, apa nggak sebaiknya kita memastikan ke lapas?"
Ucapan Pak Sabar seolah menarik kesadaran Rasti agar tidak larut dalam kesedihan. Rion tidak memiliki keluarga. Kawan-kawannya semasa hidup pun tidak ada yang mau mengenalnya lagi. Jadi, mau tidak mau, Rasti yang harus mengurus semuanya.
Setelah menghubungi pihak lapas dan meminta informasi yang lebih jelas, Rasti bersama mertuanya menuju rumah sakit di mana jenazah Rion berada. Menurut informasi yang Rasti dapat, Rion sempat muntah darah dan dilarikan ke rumah sakit. Namun, laki-laki itu mengembuskan napas terakhir ketika masih dalam perjalanan.
Pihak lapas memberi tahu bahwa penyebab kematian Rion adalah karena penyakit bawaan dan luka di kaki yang infeksi. Namun, entah mengapa rasanya ada yang janggal. Setahu Rasti, Rion tidak mengidap penyakit serius.
Minggu lalu saat Rasti menjenguk di lapas, Rion memang terlihat sangat kurus dan kuyu. Jalannya juga pincang dengan kain sobekan kaus dijadikan pembebat luka di kaki. Dan Rasti tidak menduga jika itu menjadi pertemuan terakhir mereka.
Setibanya di rumah sakit, Rasti segera menuju kamar jenazah. Risma yang kakinya belum sembuh betul, didorong menggunakan kursi roda oleh asisten rumah tangganya.
Beberapa pihak polisi berjaga di depan kamar jenazah. Mereka melarang Rasti dan rombongannya masuk.
"Kami keluarganya, Pak."
"Jenazah sudah dikafani, tidak boleh dibuka lagi."
"Ibunya ingin melihat jenazah anaknya." Rasti terus bernegosiasi. Dia tahu betul Risma ingin melihat Rion untuk terakhir kali.
"Tetap tidak bisa, Bu."
Rasti paling tidak bisa mendapati penolakan di luar nalar. Dia menatap tajam anggota polisi di sana satu per satu. "Apa yang kalian sembunyikan dari kami?"
Suara Rasti pelan, tapi kentara sekali mengintimidasi. Tidak ada rasa takut meski berhadapan dengan segerombolan orang berseragam.
"Ibunya berhak melihat jenazah Ari Sujono," ucap Rasti lagi. "Larangan kalian justru membuat kami curiga."
Akhirnya, polisi membiarkan Rasti dan mertuanya masuk. Ternyata, Rion belum dikafani. Jenazahnya baru akan dimandikan.
Ari Sujono, pria yang dulu gagah dan menawan banyak perempuan, kini terbujur kaku dengan lebam yang bertebaran di hampir sekujur tubuh. Wajahnya nyaris tak bisa dikenali. Ada bekas darah di area hidung dan mulut yang Rasti yakini bukan sekadar muntahan.
Sementara Risma bergelung dengan tangis, Rasti sibuk mengambil gambar dari beberapa lebam yang ada di tubuh Rion. Seorang polisi sempat mencegah, tapi dia tidak mengindahkan. Dan sebelum ada yang memaksanya untuk menghapus foto-foto itu, Rasti lebih dulu mengirim kepada pengacaranya.
"Saya minta jenazah Ari Sujono diautopsi," ucap Rasti. Ekspresinya datar. Dia yakin kecurigaannya tidak salah.
"Tidak ada surat perintah untuk autopsi," ucap salah seorang polisi.
Masih dengan ekspresi yang sama dinginnya, Rasti kembali berkata, "Saya minta jenazah Ari Sujono diautopsi." Tatapannya tertuju pada jenazah Rion. "Apa seorang narapidana tidak berhak memperoleh keadilan?"
Rasti melirik petugas polisi di sampingnya. "Autopsi secepatnya. Jangan sampai menyesal karena mengabaikan permintaan saya."
Rion memang pernah jahat, tapi sebagai penghormatan terakhir, sebagai orang yang pernah hidup bersama, Rasti tidak akan membiarkan lelaki itu meninggal sia-sia.
Rasti akan mengungkap kebenaran sebagai tanda maaf karena dirinya juga yang mengirim Rion ke penjara. Setidaknya, dia harus tahu penyebab kematian Rion.
Rasti tidak menangis. Dia hanya mengepalkan tangan untuk meredam jutaan kenangan yang berkelindan. Rion adalah lelaki yang mampu menumpulkan logikanya, yang membuatnya berani mengambil keputusan untuk menikah, walaupun pada akhirnya pria itu juga yang membuat hatinya patah dan berdarah-darah.
Ari Sujono, laki-laki itu kini hanya berupa raga tanpa nyawa, membawa pergi separuh hati Rasti yang tak lagi percaya tentang cinta.
Rion telah tiada, telah berpulang pada pangkuan Tuhan dengan segenap sesal mendalam.
***
Hai, cerita Dilema Janda Kaya sudah part 30 di KBM App ya.
Post. Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar