Langsung ke konten utama

DIKSI, DIKSI ARKAIK, DIKSI SASTRAWI—APA ITU DAN APA RELEVANSINYA PADA PENULISAN PUISI

Oleh. Maesa Jenal
Ada beberapa hal yang disampaikan teman-teman di kolom komentar postingan sebelumnya. Menarik, karena ada yang mentahwil diksi arkaik (archaic words), sesuatu yang sudah lama tidak saya dengar lagi. Ada juga yang sudah menjelaskan apa itu diksi sastrawi dengan baik.

Tulisan perihal ini lumayan panjang dengan pembahasan yang mungkin akan loncat-loncat, jauh dari sistematis. Pertama, karena memang ada beberapa catatan tambahan terkait apa yang ingin saya sampaikan, kedua, karena ini saya tuliskan secara spontan saja. Silakan saja teman-teman menambahkan beberapa hal yang mungkin terlewat.

Saya mulai dari pembahasan apa itu Diksi. Dulu saya pernah membahasnya, dan saya lihat pembahasan perihal ini juga banyak diberikan teman-teman lainnya. Tapi, saya akan coba bahas lebih detil lagi.

I. DIKSI

Dalam menulis, diksi adalah pemilihan kata yang strategis berdasarkan audiens, konteks, atau situasi. Itu juga dapat mengungkapkan makna tambahan atau gaya tertentu. Kata-kata yang kita pilih dalam surat cinta kepada kekasih hati tentu berbeda dengan kata-kata yang kita pilih dalam surat resmi pekerjaan—itulah diksi.

Tentu saja, dalam praktiknya diksi bisa menjadi rumit. Kita akan mulai dengan definisi diksi yang lebih tepat, kemudian melanjutkan dengan berbagai jenis dan bentuk diksi, juga relevansinya pada penulisan puisi.

Apa yang dimaksud dengan diksi?

Jawaban singkatnya diksi adalah pilihan kata. Situasi dan audiens yang berbeda memerlukan gaya yang berbeda.

Menurut KBBI, diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).

Lalu apa itu diksi dalam tulisan? Diksi menentukan kata-kata yang kita gunakan, yang membentuk gaya penulisan dan jenis “nada” yang kita gunakan. Melalui diksi, seorang penulis bisa terdengar ramah atau serius, berempati tinggi atau tidak, puitis atau kering. 

Penulis yang baik menggunakan diksi untuk mengomunikasikan subteks dan makna berlapis di luar definisi literal kata. Misalnya, jika seorang karakter (pada tulisan) berbicara dengan kata-kata puitis, pembaca dapat berasumsi bahwa mereka ingin karakter tersebut dianggap romantis. Menampilkan detail tokoh melalui penokohan tidak langsung seperti ini mempunyai dampak yang lebih besar dibandingkan mengungkapkannya secara harfiah melalui kata-kata saja, seperti halnya penokohan langsung. 

Bagaimana diksi digunakan dalam menulis puisi?

Melalui pilihan kata, pemuisi secara efektif menentukan gaya dan bunyi sebuah puisi, menjadikan diksi sebagai alat yang penting. Ini juga dapat membantu karakterisasi tidak langsung pada puisi.

Diksi melibatkan pilihan dan fleksibilitas—pemuisi yang berbeda dapat menggunakan kata-kata yang berbeda agar terdengar unik, meskipun mereka mendeskripsikan hal yang sama.

Diksi biasanya dinilai berdasarkan standar penulisan dan ucapan yang berlaku dan dipandang sebagai tanda kualitas tulisan. Dipahami juga sebagai pilihan kata atau frasa tertentu yang menjadi ciri khas seorang pemuisi. Saya pribadi banyak menggunakan kata sambung pada puisi—ini bagian dari diksi yang menjadi karakter puisi saya.

JENIS DAN BENTUK DIKSI

A. Jenis Diksi

Secara umum ada 5 jenis diksi, masing-masing memiliki gaya spesifiknya sendiri sesuai tujuan yang diinginkan penulisnya, sbb. : diksi formal, diksi informal, diksi abstrak, diksi konkrit dan diksi puitis. Perihal diksi formal dan informal rasanya sudah jelas. Saya akan bahas sedikit perihal diksi abstrak, konkrit dan puitis. 

Diksi abstrak mengacu pada pembahasan sesuatu yang tidak berwujud, seperti ide atau emosi. Mengungkapkan pemikiran abstrak ke dalam kata-kata, sehingga diksi abstrak sering kali terlihat kabur atau ambigu. 

Kebalikan dari diksi abstrak adalah diksi konkrit yang menggunakan bahasa spesifik dan langsung. Diksi konkrit menggambarkan segala sesuatu sebagaimana adanya, mengikuti definisi kata yang tepat dan hanya mengutip fakta. 

Diksi puitis memanfaatkan potensi rima, ritme, dan fonetik untuk membuat kata-kata terdengar indah jika dipadukan. Ini merupakan elemen penting dari banyak saluran kreatif seperti puisi, lirik lagu, naskah drama, dan sampai batas tertentu penulisan pidato. Diksi puitis belum tentu menjadi diksi sastrawi, tapi mempunyai potensi membangun diksi satrawi. Tataran diksi puitis adalah diksi yang indah dibaca dan didengar, tapi belum tentu membangun sesuatu yang sastrawi.

Saya contohkan penggunaan diksi puitis pada sebuah puisi karya saya di bawah ini:

Lima menit lewat dari senja
engkau lenyap begitu saja

Terasa begitu senyap
ketika ada yang tak lengkap
karena engkau tak lagi terdekap

Puisi ini banyak bermain-main dengan aspek bunyi dengan rima yang terjaga, secara maknawi tidak dalam, nyaris tidak punya kesamaran atau terbaca maknanya begitu saja. Diksi pada puisi ini hanya sampai pada diksi puitis, tapi belum sampai pada diksi sastrawi.

B. Bentuk Diksi

Secara umum ada 8 bentuk diksi, sbb. : sinonim, antonim, polisemi, homograf, homofon, homonim, hiponim, dan hipernim. Perihal bentuk diksi ini saya kira clear dan sudah kita pahami bersama.

II. DIKSI ARKAIK

Diksi arkaik (ada juga yang menyebutnya arkais), pada bahasa Inggris dituliskan “archaic words” berasal dari bahasa Yunani “arkhaikos” yang berarti kuno, mengacu pada kata-kata atau ungkapan yang sudah tidak digunakan lagi dalam bahasa sehari-hari. Kata-kata ini seperti peninggalan masa lalu yang membawa nuansa antik dan klasik.

Diksi arkaik sering ditemukan pada karya sastra lama (hikayat, pantun, gurindam, dll.), upacara adat dan tradisi, juga pada bidang tertentu (hukum, agama, dll.).

Ciri-ciri diksi arkaik di Indonesia :

- Berasal dari bahasa Indonesia lama. Kata-kata ini tidak mengalami perkembangan dan perubahan makna seiring waktu, atau andaikata ada pergeseran makna pun tidak banyak.

- Memiliki sinonim dalam bahasa Indonesia baru. Makna kata arkaik dapat diungkapkan dengan kata-kata yang lebih baru.

- Penggunaannya terbatas. Kata-kata ini jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Contoh diksi arkaik : acapkali, manakala, laksana, hamba sahaya, barang siapa, jikalau, dll. Dalam tradisi lisan saat ini, kata dan frasa ini rasanya sudah tidak digunakan lagi.

Fungsi diksi arkais : memberikan nuansa kuno, antik, dan klasik pada karya sastra atau teks, memberikan kesan dramatis, juga mempertahankan keaslian teks atau naskah kuno.

Meskipun diksi arkaik tidak lagi digunakan secara umum, kata-kata ini tetap memiliki nilai sejarah dan budaya. Mempelajarinya dapat membantu kita memahami asal-usul bahasa Indonesia dan kekayaan budayanya.

Dari penjelasan ini, meski diksi arkaik punya potensi membangun sesuatu yang sastrawi, tapi tidak bisa disebut sebagai diksi sastrawi.

Saya contohkan dengan dua penggalan bait puisi zaman Balai Pustaka di bawah ini:

Syair Rindu
(Surat dari Samsulbahri kepada Sitti Nurbaya)
Karya: Marah Roesli
1920

Lipur segala susah di hati,
Melihat adikku emas sekati,
Datang menjelang abang menanti,
Dagang merindu bagaikan mati.

Silakan gusti emas tempawan,
Sila mengobat dagang yang rawan,
Penyakit hebat tidak berlawan,
Sebagai kayu penuh cendawan.

Apa relevansinya pada penulisan puisi zaman sekarang?

Terkadang pemuisi zaman sekarang masih menggunakan diksi arkaik ini untuk membangun sesuatu yang klasik dan puitik. Tentu ini syah-syah saja, meski pada pandangan saya seharusnya pemuisi zaman sekarang memberdayakan kata-kata yang hidup pada zaman sekarang juga.

Menghindari kata-kata kuno membantu menjaga kata-kata yang kita gunakan tetap familier bagi pembaca. Ini memperkuat unsur sensorik puisi. Ini juga penting agar bahasa Indonesia baru bisa semakin tumbuh dan berkembang.

Terkadang pemuisi menggunakan kata-kata kuno karena pengertian tradisi atau konvensi yang salah. Ingat, sebuah karya puisi bukanlah tentang penulisnya, melainkan lebih banyak tentang pembacanya. Ini tentang menulis dengan jelas sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami pesan dan makna puisi.

Selain sudah ketinggalan zaman, saat ini arti kata-kata kuno bisa jadi tidak jelas atau tidak tepat lagi (ada pergeseran arti).

Meski begitu ada seorang pemuisi hebat di masa lalu yang sukses memberdayakan diksi arkaik pada pusinya. Karyanya tetap dianggap kuno—karya kuno yang dianggap baik pada zaman kuno. Rasanya ini hanya sebagai upaya coba-coba menantang kreativitasnya menuliskan puisi dengan diksi kuno. 

Pernah dengar Thomas Chatterton's pseudo-medievalism?

Thomas Chatterton adalah seorang penyair Inggris yang hidup singkat namun berbakat luar biasa. Lahir pada tahun 1752 dan sayangnya meninggal muda pada usia 17 tahun di 1770, dia dikenal sebagai :

- Penyair ajaib (prodigy). Dia menunjukkan kemampuan menulis puisi yang matang pada usia muda.

- Pelopor Romantisme. Karyanya memengaruhi penyair Romantis seperti Shelley, Keats, Wordsworth, dan Coleridge.

- Pemalsu karya sastra. Karya paling terkenal Chatterton adalah puisi-puisi yang dia klaim ditulis oleh pendeta abad ke-15 bernama Thomas Rowley. Ternyata, puisi-puisi tersebut ciptaan Chatterton sendiri, dia hanya menyamar sebagai penulis lain di masa lalu (pseudo medievalism).

Meskipun kontroversial karena pemalsuannya, karya Chatterton tetap diakui bagus dan berpengaruh. Dia adalah sosok yang rumit dan menarik dalam sejarah sastra Inggris.

Bagaimana dengan bahasa Sansekerta, apakah kosakatanya masuk sebagai diksi arkaik?

Tidak. Bahasa Sansekerta tidak bisa disebut sebagai archaic language atau bahasa arkaik. Diksi bahasa Sansekerta bukan diksi arkaik. 

Diksi Arkaik untuk bahasa Indonesia adalah kosakata bahasa Indonesia lama yang hidup pada abad 19 atau 20 awal yang saat ini sudah tidak dipakai atau sudah sangat jarang dipakai lagi (seperti dicontohkan di atas). Jadi, bayangkan saja seorang pemuisi masih menggunakan diksi yang ada pada Gurindam 12 Raja Ali Haji atau puisi-puisi zaman Balai Pustaka—ya, ini puisi arkaik, dengan diksi arkaik.

Bahasa Sanskerta sendiri tergolong sebagai bahasa kuno dengan sejarah panjang. Tapi bahasa ini bukan akar bahasa Melayu, yang membentuk bahasa Indonesia yang kita pakai saat ini. Meski ada banyak kata serapan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Sansekerta, sebagaimana kata serapan lainnya dari bahasa Arab, Portugal, Belanda, dll. 

Bahasa Sansekerta ini mulai digunakan sekitar 1500 SM, dan perkembangannya terhenti sekitar abad ke-13 Masehi. Bahasa Sanskerta tidak lagi digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat luas. Bahasa ini hanya digunakan dalam konteks tertentu, seperti upacara keagamaan, studi sastra kuno, dan penelitian linguistik. 

Apa relevansi pemakaian kosakata bahasa Sansekerta pada puisi berbahasa Indonesia?

100% adalah benar untuk menggunakan kosakata serapan dari bahasa Sansekerta, seperti : istana, bahagia, agama, aksara, asmara, cerita, dll., untuk sastra, bahkan juga untuk non sastra. Tapi, cermatlah dalam penggunaan kosakata bahasa Sansekerta yang belum mengalami penyerapan (melalui proses penyemadanan, dll.) dalam bahasa Indonesia. Saya banyak membaca karya puisi yang menggunakan diksi bahasa Sansekerta yang benar-benar tidak dikenal dalam tradisi lisan, belum mengalami penyerapan, padahal ada banyak kosakata bahasa Indonesia yang bisa merepresentasikannya. Ini yang menurut saya tidak tepat.

III. DIKSI SASTRAWI

Diksi sastrawi itu memoles kata, memperkaya makna. Ibarat permata yang menghiasi mahkota bahasa, merupakan pilihan kata yang indah, puitis, dan penuh makna dalam karya sastra. Lebih dari sekadar padu padanan kata, diksi sastrawi menghadirkan nuansa estetika, membangkitkan emosi, dan memperdalam makna dalam setiap untaian kalimat.

Jadi, apa definisi dari diksi sastrawi?

Diksi sastrawi adalah pilihan kata yang tepat dan cermat yang digunakan dalam karya sastra untuk menciptakan efek estetika, membangkitkan emosi, dan memperdalam makna. Diksi ini bukan hanya tentang menggunakan kata-kata yang indah dan tidak biasa, tetapi juga tentang memilih kata yang tepat untuk menyampaikan makna yang ingin disampaikan penulis dengan cara yang paling efektif.

Apa yang menjadi ciri khas dari diksi sastrawi?

1. Kekayaan dan keunikan kata. Pemilihan kata-kata yang unik, padu padankan kata biasa secara cermat sehingga mempunyai makna yang lebih dalam dan indah.

2. Ketepatan makna. Setiap kata dipilih dengan cermat, memastikan ketepatan makna dan nuansa yang ingin disampaikan. Kata-kata ini tidak hanya merujuk pada benda atau tindakan, tetapi juga membangkitkan gambaran, perasaan, dan atmosfer yang mendalam.

3. Nilai estetika. Memadukan potensi keindahan bunyi, rima, dan irama. Pengulangan kata, pemilihan kata berima, dan permainan bunyi lainnya menciptakan alunan yang merdu dan memikat, memperkaya pengalaman membaca.

4. Kekuatan penggambaran. Pilihan katanya bukan hanya tentang keindahan, tetapi juga kekuatan penggambaran (unsur sensorik). Kata-kata yang dipilih mampu melukiskan gambaran yang jelas dan hidup, membangkitkan imajinasi pembaca dan membawa mereka ke dalam dunia penyairnya.

5. Kedalaman makna. Pilihan katanya hasil dari proses menggali lebih dalam makna tersembunyi di balik kata-kata. Kata-kata ini tidak hanya mengungkapkan makna literal, tetapi juga menyiratkan makna simbolik dan filosofis, memperkaya interpretasi dan membuka ruang bagi penafsiran yang beragam.

Gaya bahasa memiliki peran penting dalam membentuk diksi sastrawi pada puisi. Gaya bahasa yang digunakan penyair akan memengaruhi nilai pilihan kata, penggunaan majas, dan struktur kalimat dalam puisi, yang pada akhirnya akan menentukan makna dan efek estetika puisi tersebut. Pilihan kata-katanya bisa jadi biasa, tapi dengan gaya bahasa yang baik, membuat kata-kata ini menjadi diksi sastrawi. 

Saya contohkan dengan sebuah puisi yang syarat diksi sastrawi di bawah ini:

Sajak Kecil Tentang Cinta
Karya: Sapardi Djoko Damono

Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintai-Mu harus menjelma aku

- Mahesa Jenar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia, Orang Sulawesi yang Mengklaim Diri Sebagai “Anak Papua”

Sebuah Mesin Perampasan yang Bekerja atas Nama Negara, Investasi, dan Kepentingan Global.  Oleh : Victor F. Yeimo  Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Holandia-Melangkah Tanpa Alas Kaki - Bahlil   Lahadalia, orang Sulawesi yang mengklaim diri sebagai “anak Papua” memainkan peran yang secara teoritis dapat kita sebut sebagi agen apropriatif kolonial, atau individu yang melakukan klaim identitas demi legitimasi proyek hegemonik pusat atas wilayah pinggiran.  Bahlil Lahadalia, Sebagai Menteri Investasi, ia menjelma menjadi agen ideologis dan teknokratis kapitalisme kolonial. Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua adalah mega-infrastruktur of dispossession, yaitu infrastruktur raksasa yang berfungsi sebagai mekanisme primitive accumulation dalam versi abad ke-21. PSN adalah wajah mutakhir dari kapitalisme kolonial, sebuah mesin perampasan yang bekerja atas nama negara, investasi, dan kepentingan global.  Di Merauke, negara merampas...

Fakta hari ini TPNPB/OPM adalah bukan masyarakat yang kami tinggl bersama-sama dengan masyarakat di intanjaya Dan Militer Indonesia pun Demikian Sama Dari mana mereka Datang?.

Enam Orang Asli Papua yang merupakan warga civil yang telah di tembak Militer Indonesia🇮🇩 pada 14 Mei 2025 di Kabupaten Intan jaya Laporan resmi Seby Sambom dari markas pusat TPNPB OPM. Korban tewas dan korban luka-luka telah berhasil di evakuasi oleh Tim Pemerintah Dan Masyarakat, pertempuran ini masyarakat lain masih dalam pencarian apakah mereka masih hidup atau tertembak oleh Militer Indonesia.  Militer Indonesia telah lakukan kesalahan besar yang mana telah menyerang warga civil  dan membunuh  dan menyerang dengan tidak hormat tanpa memikirkan rasa kemanusiaan.  Menyerang pembrutalan militer Indonesia terhadap Masyarakat intanjaya ketika masayarakat berada di rumah, kebun, dan di pasar termasuk menyerang di gereja-gereja, pelanggaran ini merupakan pelanggaran HAM berat dan melanggar hukum Nasional dan internasional.  Masyarakat internasional dan lembag terkait harus bersuara terkait insiden penembakan terjadi ini di Intan jaya papu...

BAKAT DAN TALENTA ANAK-ANAK PAPUA, BUTUH PERHATIAN KHUSUS DARI PEMERINTAH.

BAKAT DAN TALENTA ANAK-ANAK PAPUA, BUTUH PERHATIAN KHUSUS DARI PEMERINTAH. Artikel. Sian Madai Konsep Dari Seorang Pemimpin Daerah Adalah Dasar untuk Menentukan Masadepan yang Lebih Cerah.  Keahlian/ Hobi, dan Kreatif/Karier yang di miliki oleh Orang Asli Papua (OAP) merupakan membuka ruang dan membuka lapangan kerja untuk membantu pemerintah setempat, sebagaian juga sebagai bentuk nyata membangun dan mempersempit pengangguran di Papua. Sekali lagi, Melalui bakat/ Karier yang telah dimilikinya merupakan menciptakan lapangan pekerjaan baru sebagai membantu pemerintah Daerah untuk itu, pemerintah perlu diperhatikan dan diolah dengan baik.  Dimana pemerintah pusat diberikan Otonomi khusus seluasnya di Papua bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia papua namun, Dana otonomi khusus Papua hilang jejak adalah cara tidak betul yang dilakukan, Dana otonomi khusus tersebut  harus digunakan dengan baik dan harus diperioritaskan Anak-anak Papua dalam ...