Prayogi Dwi Sulistyo : Wartawan Kompas*
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengoordinasi penyusunan prioritas pelaksanaan rekomendasi Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu atau Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi PPHAM. Pemerintah memastikan telah memperhatikan hak-hak korban pelanggaran HAM berat secara berkala.
Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Di dalam inpres disebutkan, kementerian/lembaga terkait diperintahkan untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM.
Rekomendasi tersebut adalah memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat secara adil dan bijaksana. Selain itu, mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak akan terjadi lagi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto mengatakan, pihaknya diberi tugas mengoordinasikan penyusunan prioritas pelaksanaan rekomendasi Tim PPHAM.
”Melalui koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian yang cermat, Kemenko Polhukam telah memastikan pelaksanaan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM terlaksana secara efektif dan efisien,” kata Hadi melalui pesan tertulis, Kamis (16/5/2024).
Koordinasi yang dilakukan oleh Kemenko Polhukam bertujuan untuk memastikan seluruh instansi terkait terlibat dalam upaya pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM. Sinkronisasi bertujuan untuk memastikan setiap langkah yang diambil kementerian/lembaga sejalan dan tidak tumpang tindih.
Pengendalian bertujuan untuk memastikan pelaksanaan pemenuhan hak-hak korban berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Upaya pemenuhan hak-hak korban dapat terus ditingkatkan dan diperkuat demi terciptanya keadilan dan perlindungan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Hadi mengatakan, kementerian/lembaga secara berkala memberikan perhatian cukup besar terhadap korban pelanggaran HAM berat, baik secara personal maupun komunal. ”Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dalam memberikan hak-hak korban ini merupakan wujud nyata dari komitmen negara dalam melindungi dan memperjuangkan hak asasi manusia,” kata Hadi.
Ia mengungkapkan, pada 2023-2024, pemerintah telah memberikan hak-hak korban untuk tahap pertama yang secara resmi ditetapkan oleh Kemenko Polhukam dan Tim PPHAM. Mereka adalah korban peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh, yakni Rumoh Geudong, Jambu Keupok, dan Simpang KKA.
Selain itu, ada peristiwa Trisakti, Semanggi 1 dan 2, kerusuhan Mei 1998, penghilangan orang secara paksa, serta peristiwa 1965-1966 di Sulawesi Tengah.
Secara personal, korban di antaranya diberikan pembangunan rumah, jaminan sosial dan kesehatan, bantuan hewan ternak dan alat pertanian, serta pelatihan keterampilan kerja.
Adapun secara komunal, pemerintah memberikan program rehabilitasi dan rekonstruksi untuk memulihkan kondisi sosial dan ekonomi korban. Program tersebut, di antaranya, pembangunan Living Park dan sumur bor air bersih di Pidie, Aceh, serta pembentukan koperasi.
Dengan upaya tersebut, diharapkan korban memperoleh keadilan yang layak dan pemulihan yang optimal. Langkah tersebut merupakan upaya untuk memperkuat perlindungan terhadap HAM di Indonesia.
Terkait dengan pembangunan Living Park di Pidie, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memulai proyek ini sejak akhir 2023 hingga 2024. Proyek ini menjadi bagian dari upaya pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh.
”Living Park ini dirancang sebagai tempat ibadah dan taman yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat rekreasi, tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat persatuan masyarakat,” kata Hadi.
Menurut Hadi, pembangunan Living Park di Pidie merupakan langkah progresif yang menunjukkan komitmen Kementerian PUPR dalam mendukung upaya rekonsiliasi dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM. Living Park juga diharapkan dapat menjadi sarana umum yang memperkuat hubungan antarwarga tanpa memandang perbedaan latar belakang dan keyakinan.
Melalui pembangunan Living Park di Pidie, pemerintah tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga membangun infrastruktur sosial yang mendorong terciptanya lingkungan yang harmonis dan damai.
Dengan menyediakan ruang terbuka yang dapat digunakan untuk beribadah dan bersantai, pemerintah berharap Living Park dapat menjadi simbol perdamaian dan persatuan masyarakat Aceh.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Jane Rosalina Rumpia mengatakan, Kontras secara aktif menyoroti dan mengkritik sejak awal pembentukan Tim PPHAM.
Hal ini terutama setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat dan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
Kontras menyoroti mulai dari dasar hukum, tupoksi (tugas pokok dan fungsi), komposisi tim yang berisi setidaknya dua sosok bermasalah, tidak munculnya kewajiban menuntut pertanggungjawaban para pelaku, hingga pertanyaan seputar efektivitas dan mekanisme kerja.
”Bahkan, sampai masa kerja (Tim Pemantau PPHAM) berakhir, belum ada kanal ataupun mekanisme resmi dari pemerintah yang memublikasikan akses terhadap laporan Tim PPHAM secara utuh,” kata Jane.
Adapun sesuai Keppres No 4/2023, masa kerja Tim PPHAM hanya berlangsung sampai 31 Desember 2023.
Dalam waktu yang sangat terbatas, upaya untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam rentang waktu 40 tahun di Indonesia terasa semakin dangkal. Padahal, pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak awal kampanye menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Upaya pemutihan
Faktanya, tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM berat diselesaikan secara menyeluruh. Pemerintah justru kembali menunjukkan upaya pemutihan dengan memunculkan tim untuk mendorong penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu di luar jalur pengadilan.
Sejak Tim PPHAM mengeluarkan rekomendasinya dan pidato pengakuan presiden, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kejaksaan Agung masih belum meningkatkan koordinasi untuk memastikan dimulainya penyidikan kasus HAM berat.
Jane melihat kedua lembaga tersebut tidak menyadari bahwa sesungguhnya tahun demi tahun telah berlalu tanpa satu pun hak korban telah dipenuhi oleh rekomendasi PPHAM, baik hak atas penuntutan, pengungkapan kebenaran, maupun reformasi institusi tangan kanan penguasa otoriter Presiden Soeharto.
Ia menegaskan, bentuk pemulihan harus dilakukan bersama pengungkapan kebenaran. Sebab, pemulihan yang dijalankan sendiri dapat kehilangan prinsip dasarnya, yaitu pengakuan terhadap adanya pelanggaran berat HAM yang sebelumnya tidak diakui serta pengakuan terhadap harkat korban dan keluarganya.
Selain itu, berpotensi melanggengkan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Pemberian pemulihan yang tidak menyeluruh akan menjadi bahaya laten terhadap berbagai penuntasan kasus apa pun di masa depan tanpa dibarengi pengungkapan kebenaran.
Kontras juga mencatat proses pendistribusian pemulihan yang bersifat materialistik tersebut masih dilakukan dengan cara serampangan. Hal itu dibuktikan dari adanya data yang tidak sesuai dengan yang ada di lapangan dan tidak merata.
Pemberian kesaksian korban tidak sesuai standar yang layak mulai dari pernyataan kerahasiaan secara tertulis hingga kesiapan tim terhadap reaksi traumatik/psikologis korban.
Terakhir, Kontras mengecam adanya upaya pengabaian penemuan tulang belulang manusia dalam pembangunan Living Park di atas reruntuhan Rumoh Geudong di Pidie, Aceh. Tempat itu merupakan bekas Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) yang pada saat pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) di Aceh pada 1989-1998 digunakan sebagai tempat penyiksaan dan pembunuhan warga Aceh.
”Seharusnya pemerintah menghentikan sementara pembangunan Living Park (Rumoh Geudong) oleh pemerintah secara terburu-buru karena berpotensi merusak barang bukti atau obstruction of justice,” kata Jane.
Menurut Jane, pemerintah perlu mengambil langkah konkret menjamin martabat korban dan keluarga korban di Aceh yang dimulai dengan pengungkapan kebenaran, pelaksanaan pengadilan HAM, serta penggalian dan identifikasi tulang belulang dengan cara yang sensitif dan bermartabat. Dalam proses ini, keluarga korban harus secara aktif terlibat dan diberikan informasi yang transparan mengenai perkembangannya.
Kejaksaan Agung juga seharusnya berinisiatif menindaklanjuti hasil pro justitia laporan penyelidikan peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya. Temuan ini bisa menjadi dasar penguat kasus Rumoh Geudong dibawa ke pengadilan HAM.
”Kami kembali mengingatkan Presiden beserta jajarannya untuk serius dalam menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia dengan kembali ke koridornya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM sesuai dengan mandat Undang-Undang No 26/2000 (tentang Pengadilan HAM) dan standar HAM internasional demi terpenuhinya hak-hak korban secara menyeluruh,” pungkas Jane. ●
Sumber : https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/05/16/pemerintah-beri-perhatian-hak-korban-pelanggaran-ham-berat?open_from=Politik_&_Hukum_Page
Post. Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar