Kamis, 06 Maret 2025

20 Ormas Sipil Indonesia Desak Uni Eropa Perhitungkan Krisis Deforestasi di Papua.

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Timika-Melangkah Tanpa Alas Kaki-TIMIKA – Sebanyak Dua puluh dua organisasi masyarakat (Ormas) sipil Indonesia telah mengirimkan surat kepada para pejabat tinggi Uni Eropa untuk menyampaikan kekhawatiran atas semakin parahnya kondisi hutan hujan di Papua Barat dengan ancaman deforestasi 2 juta hektar hutan serta meningkatnya ancaman terhadap masyarakat adat Malind dan Yei di wilayah tersebut.

Berdasarkan siaran pers YLBHI tanggal 4 Maret 2025 dijelaskan surat ini ditujukan kepada Teresa Ribera, Wakil Presiden Eksekutif untuk Transisi Bersih, Adil, dan Kompetitif; Kaja Kallas, Perwakilan Tinggi untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan serta Wakil Presiden Komisi Eropa; Jessica Roswall, Komisaris untuk Lingkungan, Ketahanan Air, dan Ekonomi Sirkular Kompetitif; Jozef Síkela, Komisaris untuk Kemitraan Internasional; dan Maroš Šefčovič, Komisaris untuk Keamanan Perdagangan dan Ekonomi, Hubungan Antar Lembaga, dan Transparansi.
Dalam surat tersebut, organisasi masyarakat sipil meminta Komisi Eropa untuk secara serius mempertimbangkan krisis deforestasi dan ancaman terhadap hak-hak masyarakat adat di Papua dalam proses penilaian risiko negara dan bagian-bagiannya dalam skema Benchmarking Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR).

Berdasarkan skema ini, Uni Eropa akan mengklasifikasikan negara atau wilayah sebagai berisiko rendah, standar, atau tinggi terhadap deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Penetapan ini harus dilakukan sebelum 30 Juni 2025.

Pasal 29 EUDR menyatakan bahwa penilaian risiko harus mempertimbangkan tingkat deforestasi dan ekspansi lahan pertanian. Lebih lanjut, Pasal 29(4)(d) mengharuskan Komisi Eropa untuk memperhitungkan keberadaan undang-undang yang melindungi hak asasi manusia, hak masyarakat adat, penanganan korupsi, serta transparansi dari data-data yang dibutuhkan dalam memenuhi ketentuan EUDR.

“Kami mendesak Komisi Eropa untuk memastikan bahwa Pasal 29(4)(d) diterapkan secara konsisten dan ketat di semua negara dan wilayah, termasuk Papua Barat. Tanpa pendekatan yang ketat terhadap perlindungan hutan dan masyarakat adat, skema EUDR berisiko gagal mencapai tujuannya dalam mencegah deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai pasok global,” ujar Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi.

Laporan yang sebelumnya telah disampaikan kepada Komisi Eropa pada tahun 2024—yang didukung lebih dari 30 organisasi masyarakat sipil di Indonesia—memperjelas bagaimana ekspansi industri perkebunan skala besar di Papua telah mengancam kelestarian ekosistem serta hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada hutan. Papua merupakan salah satu pemegang cadangan hutan alam untuk industri perkebunan di Indonesia seluas lebih dari 2 juta hektar—1,9 juta di antaranya hanya untuk komoditas kelapa sawit dan kayu.

Oleh karena itu, organisasi masyarakat sipil mendesak Uni Eropa untuk memastikan bahwa klasifikasi risiko dalam skema benchmarking EUDR mempertimbangkan kerentanan Papua terhadap deforestasi, di mana hal ini mencerminkan realitas di lapangan.

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, menegaskan bahwa pembabatan hutan Papua jelas melanggar hak-hak masyarakat adat di sekitar konsesi, terutama masyarakat adat Malind dan Yei.
Sumber Sasagupapua.com
Pos. Admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kolonialisme Pemukiman Penindasan Harga Diri Pemilik Tanah

𝐊𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐏𝐞𝐦𝐮𝐤𝐢𝐦 (𝐒𝐞𝐭𝐭𝐥𝐞𝐫 𝐂𝐨𝐥𝐨𝐧𝐢𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦) Artikel, Yegema  Konsep kolonialisme pemukim dap...