Selasa, 15 Juli 2025

Membaca Sejarah Papua Memahami Tragedi Papua

Oleh; Gerry van Klinken
Judul: Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri
Penulis: Pieter J Drooglever
Penerjemah: Jan Riberu
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta, 2010
Tebal: 867 halaman; ISBN 978-979-21-2280-0
 
 
Cerita Papua adalah sebuah tragedi. Belum banyak orang luar Papua mengetahui hal itu. Buku ini memang bukan yang pertama, namun Drooglever menyampaikan cerita itu dengan rinci. Karya ilmiah setebal 800 halaman lebih berisi 14 bab ini semula diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul Een Daad van Vrije Keuze: De Papoea’s vam Westelijk Niew-Guinea en de Grenzen van het zelbeschikkingsrecht. Banyak pemimpinpemimpin perjuangan Papua Merdeka menghadiri peluncuran pertama buku itu dalam seminar bertajuk “Act of Free Choice” di Den Haag pada 15 November 2005. Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dan terbit pada 2009 dengan judul An Act of Free Choice: Decolonization and the Right to Self-Determination in Papua.
 
Bab awal buku ini dibuka dengan cerita tentang munculnya elite Papua modern sebelum Perang Dunia II. Mereka hidup di pesisir pantai pulau besar yang hampir belum disentuh kehidupan modern. Walaupun jumlahnya kecil, keberanian mereka sangat luar biasa. Pada 1947, salah seorang petinggi Belanda yang bertugas di Nederlands Nieuw Guinea, JPK van Eechoud mencatat, “tampaknya kaum muda di kalangan orang Papua hampir di setiap wilayah Nieuw Guinea telah sadar politik, walaupun pada derajat berbeda-beda. Lebih luar biasa lagi, hal ini diutarakan semua pihak dalam bentuk harapan untuk dimintakan pendapat dalam segala hal dan keputusan mengenai Nieuw Guinea serta keterkaitan wilayah ini dengan Indonesia (hal. 93).”
 
Sayangnya, pendapat mereka nyaris tidak didengar. Usai Perang Dunia II, nasib Papua lebih banyak ditentukan di tempat lain — Jakarta, Yogyakarta, Den Haag, Washington, dan New York. Sambil bernegosiasi untuk mengakhiri revolusi nasional Indonesia, Belanda mengeluarkan Nederlands Nieuw Guinea — nama kolonial Papua Barat — dari draf kesepakatan Indonesia-Belanda. Ketika Indonesia merayakan hari kemerdekaannya pada 1950, Papua belum menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
 
Dua belas tahun kemudian, dunia internasional mendesak Belanda menyerahkan wilayah tersebut ke Indonesia. Dalam kurun sebelas tahun (1950-1961), terutama setelah JPK van Eechoud membenahi administrasi pemerintahan dan pembangunan, Papua dianggap sah menjadi koloni Belanda. Pembangunan di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan menjadi fokus utama. Sebagian besar guru, rohaniwan, dan administrator idealis asal Belanda bekerja keras mengantar rakyat Papua memasuki dunia modern. Uang mengalir masuk, partai-partai politik berkembang subur, pemilihan diadakan secara berkala. Kebangkitan nasionalisme di wilayah itu tampaknya telah cukup matang untuk mengisi Papua sebagai negara tersendiri. Pemerintah Belanda sendiri berkeyakinan bahwa Papua harus dipisahkan dari Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
 
Namun, semua harapan itu berakhir menyedihkan. Indonesia melancarkan serangan “menggigit” sepanjang tahun 1950-an dan mengancam akan melakukan invasi besar-besaran pada 1962. Negosiasi tergesa-gesa di bawah tekanan Amerika Serikat pada tahun itu membuahkan kesepakatan untuk mengalihkan wilayah tersebut ke Indonesia melalui satu pemerintahan sementara Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB). Orang Papua juga akan dimintakan pendapat, namun tertunda-tunda sampai tahun 1969, ketika nasi sudah menjadi bubur.
 
Inilah kali ketiga kekuasaan kolonial Belanda dipermalukan — pertama oleh Jepang, kemudian Republik Indonesia, dan sekali lagi Republik Indonesia. Namun, bila pada 1950 Republik Indonesia masih optimistis, pada tahun 1962 ia menderita di bawah tekanan hiperinflasi dan rezim otoriter. Sebagian besar elite Papua melarikan diri ke Negeri Belanda, tempat mereka membangun kampanye solidaritas demi kemerdekaan Papua. Militer Indonesia yang menyadari diri kurang populer kemudian melarang orang asing masuk ke Papua. Pada 1969, Indonesia melaksanakan kegiatan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua di bawah pengawasan PBB.
 
Namun, banyak pihak menilai Indonesia telah memanipulasi Pepera. Di bawah tekanan intel militer, dan tanpa kehadiran dunia internasional yang berarti, seribu “wakil rakyat” Papua bak koor menyatakan setuju integrasi dengan Indonesia. Pelanggaran HAM pun kian meluas seiring dengan bertumbuhnya perlawanan Papua. Lengkap sudah tragedi yang terjadi di tanah Papua. Pada 2000, Muridan Widjojo dan kawan-kawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menulis sebuah laporan berjudul Papua Road Map. Pada halaman 12 laporan mereka tersua kalimat-kalimat berikut:
 
Kehadiran Pemerintah Indonesia pada tahun 1962 di Papua menandai babak awal kekerasan politik. Periode 1962 dan 1984 dapat dikatakan sebagai perang rahasia antara TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kekerasan politik adalah pengalaman obyektif yang dialami oleh rakyat Papua sebagai akibat dari strategi utama Pemerintah Pusat untuk memerangi OPM. Representasi menonjol negara dan Pemerintah Pusat di Papua adalah aparat-aparat militer dan kepolisian. Negara sebagai institusi hadir di Papua dalam bentuk kekuatan-kekuatan militer. Sebaliknya, negara dalam perspektif Foucault (1977) tentang  overnmentality sebagai seni memerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, tidak hadir di Papua. Negara justru hadir di Papua sebagai institusi-institusi yang memusatkan perhatiannya pada seni menundukkan dengan cara-cara konvensional, yakni menggunakan instrumen kekerasan. Pada tingkatan tertentu, perilaku militer/polisi terhadap rakyat Papua dapat dianggap sebagai relasi dominasi antara sang penjajah dengan kaum yang dijajah.
 
Buku Drooglever ini ditulis atas permintaan Parlemen Belanda pada 1999, untuk dapat mendasari dialog baru dengan Indonesia tentang masa depan Papua menyusul reformasi di Indonesia setahun sebelumnya. Karena disponsori lembaga-lembaga di Negeri Belanda, buku ini menjadi kontroversial di Indonesia. Namun, sebagaimana tercatat dalam Kata Pengantar, buku ini bukan sebuah dokumen pemerintah melainkan sebuah studi akademis yang “objektif”. Kesan saya pada bagian awal, tengah dan penutup narasinya, Drooglever lebih menekankan soal nasib orang-orang Papua dan bukan mewakili kepentingan negara-negara besar, termasuk Belanda. Buku Drooglever ini sangat cermat, teliti, dan mudah dicerna. Penulis menggali arsip-arsip di Negeri Belanda, AS, PBB, dan Australia, serta mewawancarai beberapa orang Papua, termasuk mantan pejabat dan rohaniwan.
 
Sayangnya, arsip resmi Indonesia seputar Papua sampai sekarang masih tertutup. Nasib orang Papua memang tragis, dan Drooglever berusaha mengeksplorasi bagaimana tragedi itu bisa terjadi. Saya menduga, buku ini tidak menggali tragedi yang paling mendalam. Dia menyampaikan sebuah cerita yang bermula dengan pengharapan tinggi orang-orang Papua pada awal tahun 1950-an dan berujung kekejaman di tangan militer Indonesia sejak 1962. Sementara dunia internasional lebih banyak berpangku tangan. Ini adalah sebuah kisah tentang kebenaran yang harus bergulat dengan kebatilan. Ceritanya memang cukup meyakinkan, karena kejahatan terus berkembang biak selama puluhan tahun di seluruh Indonesia. Tidak hanya di tanah Papua, kejahatan juga kembali terulang setiap rezim Orde Baru melanggar hak asasi warga negaranya.
 
Akan tetapi, kisah tentang “kebenaran melawan kebatilan” sebenarnya bukan tragedi dalam arti sesungguhnya. Ia lebih merupakan cerita heroik. Menurut Hegel, mengomentari sebuah karangan sastrawan kuno Sophokles, tragedi yang asli menempatkan “kebenaran berhadapan dengan kebenaran”. Apakah tak boleh dikatakan di Papua telah terjadi sebuah “kebenaran berhadapan dengan kebenaran”? Bila jawabannya ya, maka kedua kebenaran itu harus kita pahami. Di satu sisi adalah kebenaran hak penentuan nasib sendiri orang Papua sebagai kelompok etnis. Hukum internasional mengakui hak setiap bangsa (nasion) untuk menentukan nasib sendiri tanpa paksaan pihak luar. Banyak bangsa merasa diri telah menjadi bangsa karena adanya kesamaan etnis. Hukum internasional tidak mendefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud “sebuah bangsa”, bagaimana proses penentuan nasib sendiri harus dijalankan, dan seperti apa formasi politik penentuan nasib sendiri itu. Bagaimanapun juga, terlepas dari praktik di lapangan, kebenaran ini sah dan secara gamblang buku Drooglever berangkat dari kebenaran moril ini. Harus diakui kebenaran ini tampak murni dalam versi cerita Drooglever, sebab belum sempat diuji oleh sejarah. Berbeda dengan Papua Nugini di timur atau Timor Leste di selatan, misalnya, Papua belum pernah menentukan nasib sendiri secara bebas.
 
Bila nanti sungguh-sungguh terjadi, kemungkinan besar hasilnya tidak semanis seperti diharapkan. Namun, sekali lagi kebenaran itu tetap sah; seabsah kebenaran cinta yang sering berujung perceraian. Di sisi lain adalah adanya kebenaran hak yang sama dimiliki Indonesia sebagai bangsa. Cerita yang disampaikan Drooglever agaknya terlalu cepat mengasumsikan bahwa hak tersebut tidak berlaku bagi Papua, sebab wilayah ini tidak “masuk” saat Indonesia merdeka. Karena itu, pelajaran yang dapat dipetik dari paparan Drooglever adalah kegagalan Indonesia untuk mengakui hak rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri sebagai kelompok etnis.
 
Berbeda dengan Timor Leste sebelum referendum 1999, Papua tidak berstatus sebagai wilayah jajahan yang belum mengalami dekolonisasi. PBB sendiri telah menerima Pepera sebagai pelaksanaan penentuan nasib sendiri. Bagaimanapun juga, sampai hari ini, argumen paling dahsyat dari resistansi Papua adalah tetap bersandar pada keunikan etnis mereka. Drooglever tampaknya mengikuti alur cerita  seperti itu. Beruntung, buku sangat rinci ini bisa dibaca dengan cara lain.
 
 
Alternatif
Inti narasi alternatif tidak terletak pada penentuan nasib sendiri 1969, sebagaimana tersua dalam anak judul buku ini. Inti persoalan berada dua puluh tahun sebelumnya ketika Pemerintah Belanda mengambil keputusan mengeluarkan wilayah Papua dari Republik Indonesia Serikat yang dibawanya ke meja perundingan dengan Indonesia. Ini harus dilihat sebagai sebuah kesalahan serius. Rasa sakit hati orang Papua di kemudian hari akibat keputusan itu sudah seharusnya diprediksi sejak dini. Pada awalnya, sebagian besar pelaku Belanda,  baik di Batavia (Jakarta) maupun Den Haag, tidak memandang tanah Papua berbeda dengan wilayah lain di Nusantara. Segelintir elite modern di tengah massa tidak berpendidikan adalah sesuatu hal yang biasa di luar Jawa masa itu. Kondisi pedalaman Kalimantan tidak banyak berbeda dengan Papua. Orang Belanda pun, sama seperti orang Indonesia, sangat menyadari adanya sebuah prinsip hukum internasional uti possidetis juris, yakni dekolonisasi yang harus menghormati tapal-tapal batas kolonial.
 
Namun, Belanda pasca-Perang Dunia II diterpa badai politik domestik yang membuatnya semakin konservatif. Pendirian Belanda dalam hal Papua semakin bergeser ke arah yang sulit dibenarkan dalam hukum internasional. Dua orang Belanda kemudian tampil memainkan peran penting mengubah pandangan elite Belanda masa itu. Seorang di antaranya ialah JPK van Eechoud, pejabat kolonial yang penuh semangat. Dia mengatakan bahwa budaya Nieuw Guinea sangat primitif dan beragam,  sehingga wilayah itu harus dikecualikan dari dekolonisasi. Belanda harus lebih dulu dan lebih lama mendidik orang-orang Papua. Bila tidak, orang-orang non-Papua akan membanjiri Papua dan menenggelamkan semua budaya Papua. Satu orang lagi ialah Menteri Urusan Kolonial JH van Maarseveen yang menganggap jika isu Nieuw Guinea dikecualikan dari dekolonisasi, hal ini akan berdampak positif bagi politik dalam negeri Belanda. Langkah itu dapat mengurangi rasa sakit publik di Negeri Belanda yang telah kehilangan muka dengan melepas Indonesia ke tangan kaum nasionalis muda. Jika tidak segera diobati, rasa sakit tersebut dapat memukul balik Pemerintah Belanda. Faktor lain juga berperan di balik layar, termasuk harapan akan ditemukannya emas dan minyak bumi di tanah Papua. Seluruh argumen Belanda itu sebenarnya tidak memiliki landasan yang kuat.
 
Kekayaan alam berupa emas dan minyak bumi di wilayah jajahan yang akan didekolonisasi jelas bukan milik Belanda lagi. Pendek kata, rasa kecewa publik Belanda adalah masalah Belanda sendiri yang tidak perlu ditimpakan kepada bangsa lain. Menegaskan kekhasan Papua dengan cara menutup wilayah ini dari pengaruh dunia luar juga sangat tidak masuk akal. Banyak daerah lain di Indonesia seperti Flores, Bali, Dayak, Aceh, dan lain-lain, juga masih bergumul dengan persoalan serupa; kaum pendatang akan selalu membanjiri budaya lokal.
 
Pada periode berikutnya, argumen Belanda mengenai keistimewaan atau keunikan tanah dan orang-orang Papua tidak terlalu bergaung dan dapat dipatahkan di kancah internasional. Kebanyakan orang Belanda sampai sekarang cenderung menganggap kekalahan diplomasi itu disebabkan oleh politik Perang Dingin yang ditempuh Amerika Serikat. Mereka menyalahkan Amerika Serikat karena mengorbankan mitra kecil di Eropa agar membantu negara-negara mitra besar baru di Asia.Namun, pada dasarnya pelepasan Papua lebih mengikuti alur logika hukum internasional utipossidetis juris ketimbang permainan politik internasional.
 
Kesimpulannya jelas, keengganan Belanda untuk memenuhi tuntutan hak menentukan nasib sendiri bangsa Indonesia pada tahun 1940-an berdampak buruk terhadap Papua pada tahun 1960-an. Proses integrasi dengan Indonesia yang diharapkan berjalan mulus bila dilakukan pada 1949 menjadi sangat menyakitkan karena ditunda. Sikap “buruk” Belanda tidak hanya terbatas pada masalah Papua saja.
 
Banyak hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila Indonesia merdeka tanpa perang antikolonial berdarah-darah. Salah satunya alergi yang tumbuh di Indonesia terhadap kebhinekaan secara umum pada tahun 1960- an. Alergi inilah yang merusak suasana di Papua pasca-1962, dan juga di setiap daerah yang senantiasa membanggakan budaya lokal masing-masing. Ia memiliki akar kuat dalam perjuangan antikolonial. Belanda sendiri, terutama sejak tahun 1920-an, yang secara konsisten menyemai neotradisionalisme di tingkat lokal dengan melembagakan raja-raja, pergerakan etnis lokal, serta hukum adat. Jelas, maksud Belanda adalah merongrong dan menghambat pergerakan nasionalis progresif. Apabila Belanda tidak secara sadar bersikap antimodern seperti itu, kaum nasionalis Indonesia pasca-1945 mungkin tidak akan begitu memusuhi budaya-budaya lokal. Indonesia akan menjadi sebuah negeri yang sama sekali berbeda.
 
Pendirian Belanda untuk mengeluarkan Papua dari draf kesepakatan pada 1949 sebenarnya dapat diterima dalam kerangka pemikiran pemerintahan tidak langsung. Di Hindia-Belanda yang majemuk dan begitu luas, kelompok-kelompok etnis biasanya menempati wilayah yang tidak terlampau besar. Mendorong otonomi di tingkat lokal berdasarkan adat memang cocok dengan kondisi lokal. Di samping itu, otonomi di tingkat lokal membuat negeri jajahan dapat lebih mudah dikontrol ketimbang membangun sebuah negara kolonial modern dengan melibatkan kaum nasionalis.
 
Setelah Perang Dunia I, Belanda mulai membentuk sistem perwakilan berdasarkan identitas etnis. Setelah Perang Dunia II, ide tersebut dikembangkan menjadi sebuah struktur federal di wilayah-wilayah tertentu. Raja-raja feodal tiba-tiba kembali berkuasa di wilayah masing-masing. Sementara itu, dalam periode yang sama, kaum nasionalis Indonesia sibuk mengembangkan sebuah “kebangsaan” yang secara sadar tidak berdasarkan identitas etnis. Mereka diinspirasikan oleh cita-cita kewarganegaraan hasil Revolusi Perancis serta sosialisme. Dengan kata lain, Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tidak bersandar pada klaim-klaim etnis.Harus diakui bahwa kedua asas politik di atas mengandung sejumlah kebenaran. Pendukung federalisme pasca-1945 bukan Cuma “penjilat pantat” orang-orang Belanda, sebagaimana dituding oleh para pendukung republikein.
 
Mereka bangga dengan adat-istiadat lokal yang berakar dalam tanah yang mereka cintai. Sebaliknya, kaum republikein pun bukan cuma “pengacau” yang haus kekuasaan, seperti dituduhkan Belanda. Mereka menganggap neotradisionalisme yang dianut kaum federalis sebagai kepercayaan yang sudah ketinggalan zaman. Mereka berharap akan adanya sebuah masa depan berasaskan kesamaan hak dan kemakmuran bersama. Benturan di antara kedua pandangan tersebut yang sedemikian dahsyat adalah tragedi yang sebenarnya. Inilah “kebenaran berhadapan dengan kebenaran” yang dimaksud Hegel. Satu kebenaran bermuara pada klaim hak penentuan nasib sendiri
bagi Papua sebagai bangsa yang berlandaskan etnis, sedangkan kebenaran yang lain pada klaim serupa bagi Indonesia sebagai bangsa yang tidak berlandaskan etnis, bahkan bernuansa sosialis.
 
Ketika kedua belah pihak membawa masing-masing asas yang saling bertentangan itu ke meja perundingan pada 1949, debat di antara mereka sudah bukan lagi perdebatan ilmiah. Keduanya telah menegaskan pendirian sejak tahun 1920-an. Kegetiran konflik di antara federalisme Belanda yang mempraktikkan devide et impera dengan sebuah republikanisme Indonesia yang lebih memilih kekuasaan sentralistik kemudian merasuk dalam perdebatan tentang bentuk politik yang terbaik. Sampai sekarang pengaruhnya masih sangat terasa. Pada 1949, kedua belah pihak “berperang” untuk dapat menguasai seluruh wilayah lawan. Dari segi militer, Republik Indonesia sempat dikalahkan, namun memenangkannya secara diplomatis karena Perserikatan Bangsa-Bangsa meyakini perlunya dekolonisasi. Tidak seperti negeri-negeri di Benua Afrika, dekolonisasi di Indonesia berdasarkan tapal-tapal batas kolonial memiliki makna yang tidak sedikit. Dengan kata lain, menjelang pendudukan Jepang, nasionalisme di seluruh Nusantara yang tidak bertumpu pada kelompok-kelompok etnis telah menjadi keniscayaan, meski dengan intensitas berbeda-beda.
 
Seandainya
Apa yang akan terjadi bila kolonial Belanda tidak memilih jalan represif pada akhir tahun 1920-an? Apa yang terjadi seandainya orangorang Belanda di Hindia-Belanda sama seperti orang Inggris di India yang merangkul kaum nasionalis sebagai kenyataan historis? Apa yang terjadi seandainya Belanda memilih untuk tidak berperang melawan Republik Indonesia setelah Agustus 1945? Walau tak seorang pun dapat mengetahui dengan pasti, ada beberapa hal yang relatif pasti. Di pihak belanda, pilihan itu akan memperlemah argumen untuk mengeluarkan Papua dari peralihan kedaulatan. Di pihak Indonesia, pilihan ini akan membangkitkan segolongan politikus yang lebih percaya diri dan lebih terbuka pada keberagaman serta inisiatif daerah. Revolusi dengan segala konsekuensinya, termasuk kekhawatiran pembangkangan di daerah, tidak akan perlu terjadi. Tanpa “dijiwai” semangat revolusi, militer tidak akan memiliki legitimasi untuk menjadi aktor politik yang sangat berkuasa.
 
Tanpa mitra tanding Belanda, nasionalis sipil garis keras seperti Soekarno mungkin akan bertingkah lebih low profile, dan yang lebih menent.

https://prismajurnal.com/issues.php?id=c9af91e0-56bf-11e3-a6cc-429e1b0bc2fa&bid=2b18be46-56b8-11e3-a6cc-429e1b0bc2fa

Pos. Admin 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP KNPB) menyampaikan klarifikasi resmi terkait pernyataan publik Juru Bicara Tentara Nasional Papua Barat Sebby Sambom

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- KnpbNews, !Badan Pengurus Pusat Komite Nasional ...