Sabtu, 19 Juli 2025

Uu No. 5 Tahun 1960 Pokok-Pokok Agraria, Tidak Pernah Melibatkan Penjelasan Hak Ulayat TANAH Milik.

Artikel, Paul Apaseray

Uu Agraria No 5 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Mengapus,  Tanpa Bukti Hukum yang Jelas Bahwa, Belum Pernah Melibatkan Penjelasan Pentang Pemilik Hak Ulayat TANAH.
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Holandia Jayapira -Melangka Tanpa Alas Kaki- Banyak Orang Asli Papua Pemilik Ulayat maupun tanah adat belum menyadari bahayanya UU Agraria yang mana pada tahun 2026 kekuatan hukum adat tidak berlaku lagi tanpa bukti tertulis melalui hukum. 

“𝗧𝗮𝗻𝗮𝗵 𝗜𝘁𝘂 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗣𝗲𝗿𝗻𝗮𝗵 𝗣𝗲𝗿𝗴𝗶”

(Cerita Pendek dari Fakta Nyata Tentang Kepemilikan Tanah di Indonesia)

𝐽𝑎𝑦𝑎𝑝𝑢𝑟𝑎, 18 𝐽𝑢𝑙𝑖 2025
Malam turun cepat di lereng Cycloop. Lampu-lampu proyek menyala seperti bintang yang salah tempat. Di kejauhan, suara mesin berat masih bergemuruh. Di kaki gunung, seorang bapak tua bernama Elias duduk memandangi tanah yang dulunya ditanami keladi dan sagu. Kini berganti papan bertuliskan: "Tanah Ini Milik PT. X – Berdasarkan Sertifikat HGU No. 241 Tahun 2022."

“Aku tak pernah menjualnya,” ucap Elias pelan, “tapi negara bilang aku sudah melepasnya.”

Itulah awal dari kegelisahan yang menyebar seperti api di rerumputan kering. Di kampungnya, 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙖𝙙𝙖 𝙨𝙖𝙩𝙪 𝙥𝙪𝙣 𝙬𝙖𝙧𝙜𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙣𝙖𝙧-𝙗𝙚𝙣𝙖𝙧 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙚𝙧𝙩𝙞 𝙞𝙨𝙞 𝙐𝙣𝙙𝙖𝙣𝙜-𝙐𝙣𝙙𝙖𝙣𝙜 𝙉𝙤. 5 𝙏𝙖𝙝𝙪𝙣 1960 𝙩𝙚𝙣𝙩𝙖𝙣𝙜 𝙋𝙤𝙠𝙤𝙠 𝘼𝙜𝙧𝙖𝙧𝙞𝙖, apalagi 𝙥𝙚𝙧𝙪𝙗𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙩𝙪𝙧𝙪𝙣𝙖𝙣 𝙝𝙪𝙠𝙪𝙢 𝙨𝙚𝙥𝙚𝙧𝙩𝙞 𝙋𝙚𝙧𝙖𝙩𝙪𝙧𝙖𝙣 𝙋𝙚𝙢𝙚𝙧𝙞𝙣𝙩𝙖𝙝 𝙉𝙤. 18 𝙏𝙖𝙝𝙪𝙣 2021 atau UU Cipta Kerja yang membuka jalan bagi pengelolaan lahan oleh investor besar melalui skema Hak Guna Usaha (HGU) dan Bank Tanah.

Lahan seluas 2.400 hektar yang sebelumnya dikuasai masyarakat adat kini telah bersertifikat resmi atas nama perusahaan. Dokumen tanda persetujuan? Banyak yang tidak pernah melihatnya. Konsultasi publik? Hanya undangan yang sampai ke kantor distrik, bukan ke pemilik ulayat.

“Lalu siapa yang punya suara kalau kami tak diundang bicara?” tanya Yakob, cucu Elias, yang kini aktif sebagai pendamping hukum untuk masyarakat adat di Papua.

𝙁𝙖𝙠𝙩𝙖 𝙃𝙪𝙠𝙪𝙢 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝘿𝙞𝙝𝙖𝙙𝙖𝙥𝙞

𝙐𝙐 𝙋𝙤𝙠𝙤𝙠 𝘼𝙜𝙧𝙖𝙧𝙞𝙖 menjamin hak masyarakat adat atas tanah ulayat, namun pengakuannya bersyarat: harus diakui secara formal oleh negara atau pemerintah daerah.

𝙐𝙐 𝘾𝙞𝙥𝙩𝙖 𝙆𝙚𝙧𝙟𝙖 (𝙊𝙢𝙣𝙞𝙗𝙪𝙨 𝙇𝙖𝙬) membuka pintu lebih luas bagi pemanfaatan tanah melalui perizinan terpusat dan skema Land Banking.

𝙃𝙖𝙠 𝙂𝙪𝙣𝙖 𝙐𝙨𝙖𝙝𝙖 (𝙃𝙂𝙐) bisa berlaku hingga 90 tahun, dan seringkali diproses tanpa pemahaman penuh dari masyarakat adat.

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023 mencatat lebih 𝙙𝙖𝙧𝙞 212 𝙠𝙤𝙣𝙛𝙡𝙞𝙠 𝙖𝙜𝙧𝙖𝙧𝙞𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙗𝙖𝙩𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙖𝙨𝙮𝙖𝙧𝙖𝙠𝙖𝙩 𝙖𝙙𝙖𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙠𝙤𝙧𝙥𝙤𝙧𝙖𝙨𝙞.

𝙎𝙚𝙘𝙖𝙧𝙖 𝙝𝙪𝙠𝙪𝙢, tanah ulayat memang diakui oleh negara, namun keberlakuannya sangat tergantung pada 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙖𝙠𝙪𝙖𝙣 𝙖𝙙𝙢𝙞𝙣𝙞𝙨𝙩𝙧𝙖𝙩𝙞𝙛 𝙙𝙖𝙣 𝙗𝙪𝙠𝙩𝙞 𝙩𝙚𝙧𝙩𝙪𝙡𝙞𝙨, yang sering kali tidak dimiliki masyarakat adat karena sistem pewarisan mereka bersifat lisan dan kolektif. 

𝙋𝙧𝙤𝙨𝙚𝙙𝙪𝙧 𝙥𝙚𝙧𝙞𝙯𝙞𝙣𝙖𝙣 𝙃𝙂𝙐 𝙙𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙢𝙖𝙣𝙛𝙖𝙖𝙩𝙖𝙣 𝙩𝙖𝙣𝙖𝙝 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙨𝙞𝙨𝙩𝙚𝙢 𝙐𝙐 𝘾𝙞𝙥𝙩𝙖 𝙆𝙚𝙧𝙟𝙖 memberikan kemudahan bagi investor, namun mengabaikan asas kehati-hatian, terutama dalam hal konsultasi dan persetujuan bebas (Free, Prior and Informed Consent / FPIC) dari masyarakat adat.

Maka dalam situasi seperti ini, meskipun legal secara administratif, banyak keputusan pengalihan tanah menjadi tidak legitimate secara sosial dan moral.

Malam makin larut, namun Elias belum beranjak. Yakob duduk di sebelahnya. Di tangan mereka, tanah masih melekat—hitam, lembab, penuh kenangan.

“Kita mungkin tidak punya sertifikat,” kata Yakob, “tapi tanah ini tahu siapa yang menanam dan siapa yang memelihara.”

𝘋𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘵𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘨𝘶𝘯𝘶𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘯𝘢𝘴𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘰𝘯𝘧𝘭𝘪𝘬 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮, 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘬𝘦𝘺𝘢𝘬𝘪𝘯𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱: 𝘵𝘢𝘯𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪𝘯𝘺𝘢—𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘯𝘦𝘨𝘢𝘳𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘭𝘪𝘬𝘯𝘺𝘢.


Pos. Admin 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP KNPB) menyampaikan klarifikasi resmi terkait pernyataan publik Juru Bicara Tentara Nasional Papua Barat Sebby Sambom

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- KnpbNews, !Badan Pengurus Pusat Komite Nasional ...