Menguak Bisnis Air Mata Buaya dalam Rumah Tuhan
*Degei Siorus
Tetesan Ait Mata Ibunda-Kota tua Kota Jeruk π - Melangka Tanpa Alas Kaki- Seorang sahabat membagikan pengalamannya saat mengunjungi Kota Jakarta untuk menghadiri acara kelulusan dari salah satu anggota keluarganya.
Pengalaman yang ia bagikan terkait fenomena para pengamen di lampu merah yang merajalela. Pengamen di kota-kota metropolitan di negeri ini memang menjadi isu klasik yang tidak mendapatkan perhatian serius pihak berwajib.
Saya bukan baru kali ini saja mendengarkan cerita tentang pengamen atau pengemis di kota-kota besar. Sudah berkali-kali saya mendengar cerita tentang mereka. Menarik bahwa para pengamen ini punya modus-modus yang menjadi strategi pengamenannya. Mereka berjualan koran saat lampu lalu lintas berwarna merah. Seperti gerombolan ikan kelaparan di dalam kolam yang disemburi pakan, mereka berebutan mobil yang parkir. Saya tidak tahu menahu perhitungan mereka seperti apa? Apakah semua mobil mereka datangi atau mobil-mobil tertentu yang menurut intuisi ala pengamen merupakan mobil-mobil orang berada, para sultan tajir.
Menurut cerita beberapa sahabat juga bahwa para penggemis ini adalah mereka yang ruang hidupnya terjepit di kota besar. Sebagian dari mereka adalah orang-orang kampung yang tersihir cerita-cerita enak dan hebat kota besar, tiba di tempat rupanya kenyataan tak semanis harapan, mereka harus bergulat, namun apa boleh buat, keterampilan mereka terbatas, ijazah mereka yang lulusan sekolah pinggiran tidak berafaedah untuk bersaing dengan anak konglomerat papan menengah ke atas.
Ada juga pengemis, ibu-ibu yang mengendong anak sesama pengemisnya seakan-akan adalah anaknya sendiri, kemudian ia merangkai alibi bahwa anaknya sedang sakit, belum makan beberapa hari. Sambil melakoni wajah memprihatikan ia mengais cuan. Ada juga pengemis yang memakai perban luka, mepertontonkan diri bak pasien kritis, heran sakit tapi bisa tadah hujan dan panas. Kemudian ada juga mulai menggunakan kursi roda atau tongkat menghampiri mobil-mobil, mengetuk-ngetuk jendela, meminta belas kasihan.
Banyak strategi para pengemis. Beda dengan para pengamen tentunya, yang muncul di dalam kendaraan angkutan umum, taksi, kereta, kapal, bis, dan lainnya, juga di pusat-pusat perbelanjaan, alun-alun kota, taman, dan pusat-pusat keramaian sejenisnya, mereka akan menyanyikan lagu-lagu favorit kebanyakan warga masyarakat yang sedang trending, setelahnya akan mereka jalankan kotak sumbangan.
Karena berlangsung lama, turun-temurun, dari generasi ke genarasi, waktu lepas waktu, maka tidak heran bahwa aktivitas mengemis, mengamen, memulung, meminta-minta, memohon-mohon rasanya tela bermetafosa menjadi tradisi, budaya, cara berada beberapa insan manusia negeri ini untuk survive.
Para pengemis, pengamen, pemulung, dan peminta-minta tidak saja selalu ada di lampu merah atau pusat-pusat keramaian kota metropolitan, mereka sudah tersebar kemana-mana, di mana-mana. Dalam bentuknya yang lain namun isi yang sama, budaya itu juga dapat kita lihat dalam mentalitas para pejabat, para pemimpin, mereka yang sudah mapan secara ekonomi.
Mengemis jabatan dengan jalan munafik, menjadi penjilat yang sekali menjilat langsung kinclong. Pengemis berkedok agama. Ini yang mau saya soroti. Saya melihat bahwa ada banyak sekali unit karya sosial agama, seperti sekolah, asrama, panti asuhan, klinik, rumah sakit, dan sejenisnya yang digunakan pertama-tama bukan untuk misi kemanusiaan, melainkan misi bisnis.
Ada konspirasi yang luar biasa. Banyak lembaga-lembaga swadaya atau LSM-LSM (yayasan) yang para tokoh agamawan buka, atau tokoh siapa saja buka mengatasnamakam agama, kongregasi, Tuhan, yang bila kita cek visi-misi awalnya dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya amat sangat sosialis dan harmonis, tidak lupa teologis, spiritualis, dan agamis. Namun dalam prakteknya bercokol segala macam sifat Dajjal, Valak, Lucifer, Beelzebub, dan neraka.
Ketika mereka mendirikan suatu lembaga pelayanan atas nama kemanusiaan dan keadilan, mereka mulai membidik para pejabat seagama, segaris kepentingan, orang-orang berada yang mereka namakan donatur, sponsor, dermawan, dan pemerintah tentunya. Bangunan yang tidak layak, fasilitas penunjang yang tidak pantas, siatuasi da kondisi para peserta didik yang terbatas, penghuni asrama atau panti yang penuh intrik belas kasihan, dan lain-lain menjadi komoditas yang menjanjikan di pasar terang (bukan pasar gelab, karena berlangsung di rumah Tuhan). Ini semua menjadi objek komodifikasi, komersialisasi melalui dokumentasi dan publikasi.
Inilah bisnis air mata buaya yang saya maksud. Tidak ada yang terberi di sini, tidak ada yang alami, semua adalah desain, adalah settingan. Dalam bisnis air mata buaya di pasar terang ini air mata adalah komoditi, luka, derita, dan sakit adalah komoditi. Mereka menjual air mata dan derita demi cuan. Mereka arsipkan lara baik-baik dalam proposal permohonan bantuan dana yang bunyinya bisa membocorkan atap rumah berlantai.
Pemerintah, para sponsor, donatur, dan penderma tentunya akan mendukung, mereka akan meyuntikkan atau mensubsidikan bantuan dalam bentuk dana, barang, dan jasa. Bantuan tersebut akan pengurus gunakan untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Tidak sampai lama, proposal baru akan muncul lagi, lagi, dan lagi. Fasilitas sepertinya tidak banyak mengalami perubahan signifikan. Tidak ada progres perubahan situasi dan kondiai sekolah, asrama, panti asuhan, klinik, dan lainnya. Jika regresnya tentunya akan tambah banyak dan menjadi-jadi variannya.
Lantas kemudian orang mulai bertanya, kemanakah semua bala bantuan dana, barang, dan jasa yang melimpah, terutama dana meroket itu? Alat-alat makan masih sama saja, tempat tidur, tempat mandi, tempat belajar, tempat berdoa, tempat olahraga, gedung-gedunya masih sama saja tidak ada upaya pemulihan, penyegaran, dan peremajaannya? Bahan-bahan yang dirubah dan diganti jika dikalkulasi tidak sebanding dengan jumlah bantuan yang ada. Kemana bantuan-bantuan itu?
Dari belakang kita kaget, bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme beranak cicit di dalam sistem pengelolahan unit-unit karya sosial yang memakai nama orang-orang suci sebagai pelindungnya tadi. Tidak ada pelaporan pertanggung-jawaban dana dan bantuan yang jelas. Keterbukaan informasi terkait alur keluar masuk uang juga nihil, dibuat dengan rumus asal bapa senang.
Dari belakang juga kita kaget bahwa mereka-mereka yang melakukan KKN berjamaah ini memiliki gaya hidup yang super glamor, punya rumah mewah, mobil dan motor mewah, kapling tanah yang luas, bisnis-bisnis rahasia, punya tabungan harta yang besar. Dari mana semua ini berasal? Hanya mereka dan rumput bergoyng yang paham barangkali. Tidak ada Komisi Pemberantas KKN dalam institusi agama, Gereja misalnya, tidak ada undang-undang KKN, ini artinya selalu pelakunya selamat, dan korbannya selamat melarat.
Kita melihat banyak tokoh agamawan kita berkompetisi dalam membangun Gereja atau bangunan-bangunan megah berdimensi religius. Anda tahu biaya pembangunannya bisa menjadi ratusan miliar dan belasan triliun. Lantas untuk apa dan siapa uang sebanyak itu? Relevankah gedung yang megah dengan pertumbuhan iman umat?
Panitia pembangunan dan pimpinan agamanya mulai putar otak, goyang pinggul tujuh kali keliling dunia mencari suaka dan bantuan dengan mental pengemis, pengamen, dan pemulung. Dari sinilah teori-teori pengemis dari yang halus sampai yang ekstrim mereka peragakan. Berbondong-bondong mereka yang menamakan diri kaum religius mulai mengganti profesi sebagai pengemis, pengamen, dan pemulung.
Pengemis. Anda tahukan perawakannya? Mereka memperlihatkan muka yang suci tak bernoda, muka penuh belas kasih, muka proposal, muka permohonan. Mereka menggunakan bahasa, suara, dengan dana datar yang penuh meyakinkan. Gimick dan mimik muka ala-ala pengemis profesional yang bersertifikat mereka keluarkan.
Pengamen. Mereka menjual kharisma-kharismannya. Menjual firman Tuhan, kecakapan berkhotbanya atau berceramahnya. Bakat bernyanyi dan bermusik, dan bakat-bakat lainnya demi sehelai cuan.
Mereka membagikan sumbangan di pusat-pusat keramaian, ebamukai mereka gelar berkali-kali. Untuk umat ada semacam paksaan untuk mengumpulkan upeti kepada sang kaisar. Umat menjadi budak yang sumber daya ekonominya dieksploitasi besar-besaran tanpa pandang stratifikasi sosial, ekonomi, dan politiknya dalam masyarakat. Pedihnya lagi umat-umat kecil yang harus membagikan 1000-2000 uang hasil kebunnya, untuk anaknya yang sedang sekolah, untuk makan minum keluarga, atau untuk panitia pembangunan yang ujung-ujungnya hangus di dalam api ketamakan mamon bernama KKN.
Saya sedih mendengarkan keluh kesah beberapa umat kecil. Saya jadi ingat ambisi para firaun membangun piramida tersohor di Mesir antik yang jejak arkeologisnya masih eksis hingga hari ini dan masuk sebagai salah satu dari sekian warisan dunia yang ada. Anda tahu piramida Mesir itu dibangun di atas talang darah, bukit tulang, dan gunung nyawa ribuan manusia tidak bersalah dan berdosa. Banyak manusia yang firaun jadikan sandera dan budak, kerja paksa atau rodi armada Mesir terapkan untuk para budak tersebut.
Anda juga tentunya bangga dengan Basilika-Basilika yang dijuluki bangunan suci, dulunya bangunan-bangunan itu adalah istana kaisar/raja, pusat penguasa ekonomi dan politik. Dan pola pembangunannya sama, ada wilayah jajahan yang dijadikan tumbal, bukan saja sumber daya alamnya, tapi juga sumber daya manusianya yang diporak-porandakan dengan sistem kerja paksa, tanam paksa, pajak paksa, upeti paksa, semua serba paksa, jika tidak taat dan melawan berarti mati.
Gejala yang sama juga terjadi dalam ruang dan waktu kita dewasa ini. Tidak sedikit penguasa rohani maupun penguasa jasmani kita yang berlombah-lombah membangun ini itu demi namaya bisa masuk prasasti supaya dikenang sebagai sosok yang sudah membangun ini dan itu, dan inilah kepuasaan yang mereka cari, inilah kebahagiaan dan kedamaian panggilan yang mereka idam-idamkan, syukur bukan yang mereka ngidam-ngidamkan.
Saya melihat para pemimpin agama lewat proyek-proyek prestisiusnya sedang mengulang sejarah yang sama, mereka sedang memutar lagu lama yang sama. Mereka tidak ada ubahnya dengan para firaun kejam, kaisar-kaisar keji, dan raja-raja picik yang gila hormat, gila harta, gila tahta. Bagi saya, dengan menangungkan biaya yang super berat mahalnya ke atas pundak umat kecil yang berada di bawah garis kemiskinan ekstrim itu tidak lain tidak bukan adalah praktek rodi, praktek kerja paksa, praktek kolonialisme berkedok kepentingan individu dan koncoisme atas nama agama. Ada penjajahan serius di sini menurut saya, para umat ini misikin, sangat miskin, negara sudah menjajah dan memperbudak mereka di segala arah penjuru mata angin kehidupannya, mengapa sekarang agama/ Gereja lagi memperbudak merekai? Lagi-lagi orang Papua menjadi budak yang memperbudak budak-budak yang lain.
KPR Siriwini, 22/07/25
πΊ
Pos. Admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar