Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Kota Deiyai- Melangkah Tanpa Alas Kaki-Aku menulis namamu di udara, di antara asap kopi yang sebentar lagi hilang seperti kau berikan padaku Nasionalisme mendua.
Aku tahu huruf-huruf itu tidak akan bertahan lama karena kau membalik wajah dariku, tapi tetap saja kutulis pada dinding pemimpin bahwa mengapa mendua nasionalisme?.
Seperti aku yang tetap tanam di benak yang mendua, meski tahu kah kapan bisa pergi kapan saja itukan indah hanya di pandang tanpa melibatkan banyak diantara kau kira pada hari yang cerah 17 Agustus 2025.
Aku sering berpikir, apa gunanya kita berdua saling ada, Meksi kau membalik wajah dari asal nasionalismnya, bila yang tersisa hanyalah jarak dan doa agar kau mengerti juga tentang dirimu bahwa, mengapa kau membalik wajah yang terbalik dari asal dan Aslinya?
Tapi setiap kali pertanyaan itu datang, aku menemukan alasan lain untuk bertahan bahawa suatu kelak menjadi lebih baik dari nasionalisme yang lain yang kau kira dibalik itu.
Senyummu. Caramu menyebut namaku seakan aku adalah satu-satunya orang yang perlu kau panggil dibalik bedah cerita bedah warna dan bedah wujud-Nya.
Ingatanku tentang suaramu yang lebih hangat daripada selimut di dini hari yang kau pikul tanpa dasar Nilai Nasionalisme yang indah, tentang bagaimana cara menghadapi pengaruh dan kata-kata bijak dari berbagai sumber tentang dirimu hingga lupakan nasionalismenya sendiri.
Aku tidak ingin menuntut. Kau tahu itu. Aku hanya ingin menyimpanmu di tempat paling tenang dalam kandungan ayah dan ibunya sendiri, agar kau bisa mengerti bahwa nasionalisme mendua adalah kelemahan watak.
Tidak ada orang lain yang boleh masuk ke sana. Hanya kau. Meski barangkali suatu saat kau akan lupa padaku, aku ingin tetap ingat padamu begitulah sesingkat cerita Nasionalisme Mendua.
Cinta Nasionalisme bagiku, bukan soal siapa yang berhasil menggenggam siapa. Cinta Nasionalisme adalah tentang siapa yang rela menunggu di persimpangan, meski tahu mungkin tidak ada yang akan datang.
Aku adalah wajah Nasionalisme orang itu. Aku menunggu, bukan karena tidak punya pilihan lain, tetapi karena di dalam diriku yang banyak pola warna yang disimpan di benak, namun mungkin kau yang mendua nasionalisme berwatak dua, hanya ada satu pintu, dan di balik pintu itu, wajahmu berdiri seperti cahaya yang selalu membuatku kembali, Namun berwajah tampan yang mencelakakan dirinya sendiri karena nwatak yang mendua nasionalisme.
Dan jika suatu saat kita bertemu lagi, aku tidak ingin apa-apa selain duduk di sampingmu, Namun kau tak akan mengenal aku bahwa aku ini siapa?, mendengar ceritamu yang panjang atau singkat, lalu membiarkan hening di antara kita menjelaskan hal-hal yang tidak pernah berani kita katakan dengan kata-kata, karena Nasionalisme tidak memiliki kata-kata namun memiliki Nilayainya.
Aku ingin kau tahu, dalam segala hal yang kubayangkan dalam Nilai Nasionalisme namun kau membalik wajah dari tentang bahagia untuk melakukan hubungan yang baik dengan mendua Nasionalisme itu.
Memerkosa wajah Nasionalisme adalah sistem budak.
Pos. Admin
Komentar
Posting Komentar