BACA SAMPAI SELESAI SAYA RASA INI SUDAH PALING KOMPLIT UNTUK DI BACA DAN DI PAHAMI.
Membakar Mahkota Cenderawasih apakah Solusi atau Luka Baru untuk kami orang Papua ?
Hari ini masyarakat Papua dan pengguna media sosial di seluruh Papua dihebohkan dengan tindakan salah satu dinas pemerintah yang mengumpulkan dan membakar mahkota Cenderawasih.
Mahkota-mahkota tersebut terbuat dari bulu burung Cenderawasih, dan beberapa burung endemik Papua. Burung Cenderawasih sendiri dikenal sebagai Bird of Paradise.
Alasan pemerintah melakukan pembakaran ini adalah untuk membatasi perburuan liar dan perdagangan bulu Cenderawasih, yang dianggap mengancam kelestarian spesiesnya.
Namun, tindakan itu justru memicu perdebatan dan kemarahan masyarakat Papua dan saya juga secara pribadi tidak setuju dan mengutuk keras tindak tersebut , dan sudah pasti untuk masyarakat adat Papua. Karena mahkota Cenderawasih bukan sekadar hiasan, tapi simbol kehormatan, identitas, dan kebanggaan.
( BUKAN UNTUK KESOMBONGAN )
Dalam tradisi masyarakat Papua, mahkota Cenderawasih memiliki nilai adat yang sangat tinggi. Mahkota ini dipakai oleh kepala suku, tokoh adat, atau diberikan kepada tamu terhormat sebagai tanda penghormatan dan kebanggaan.
Jadi, bulu Cenderawasih yang telah dijadikan mahkota bukan lagi sekadar bagian dari hewan, tetapi telah berubah menjadi simbol nilai budaya dan identitas.
Membakar mahkota seperti itu bagi banyak orang Papua bukan hanya membakar benda, tetapi melukai simbol kehormatan dan jati diri kami.
Kalau mau bicara pelestarian Satwa Endemik saya rasa kalian harus belajar dari negara Lain
Banyak negara di dunia berhasil melestarikan hewan langka mereka sambil tetap mempertahankan penggunaannya secara simbolik atau budaya contohnya :
1. Amerika Serikat – Bulu elang
(bald eagle feathers) digunakan dalam upacara adat suku-suku Indian, tapi hanya boleh dipakai oleh anggota suku yang memiliki izin khusus. Pemerintah menyediakan bulu elang dari program konservasi, bukan dari perburuan liar.
2. Selandia Baru – Bulu burung Kiwi dan Huia (sebelum punah) dulu digunakan oleh suku Māori dalam ritual adat. Kini, penggunaannya hanya melalui izin adat dan hasil konservasi.
3. Kanada – Suku First Nations tetap memakai bulu elang dan hewan endemik lain dalam acara spiritual, tetapi diatur ketat agar tidak merugikan populasi hewan tersebut.
4. Samoa & Hawaii – Bulu burung tropis dipakai untuk mahkota raja dan tarian adat, tapi bahan diambil dari bulu burung yang sudah rontok atau dari program konservasi yang berizin.
5. PNG penggunaan dibolehkan hanya untuk orang-khusus/adat” itu dalam konteks adat/tradisi, ada peningkatan perhatian konservasi karena dampak tradisi terhadap populasi spesies tertentu (contoh: penggunaan bulu Pesquet’s Parrot di PNG).
Namun mereka tidak pernah melakukan ( PEMBAKARAN TERHADAP AKSESORIS )
Apapun itu alasannya.
Artinya, pelestarian dan penghormatan budaya bisa berjalan berdampingan, asal ada pendekatan yang bijak dan regulasi yang adil.
Di Indonesia sendiri, ada beberapa daerah yang juga menggunakan bagian tubuh hewan endemik dalam simbol adat, tapi kini mulai diarahkan agar tidak merusak populasi hewan.
Tapi tidak dengan cara “DIBAKAR”
DiKalimantan Suku Dayak memakai bulu enggang dalam hiasan kepala. Kini, banyak komunitas yang beralih menggunakan replika bulu sintetis atau bulu hasil konservasi.
Jadi, pelestarian satwa dan penghormatan budaya tidak harus saling meniadakan, tapi harus disinergikan dengan kebijakan yang menghargai kedua sisi.
pemerintah harus sadar dan jangan mabuk bahwa melihat Permasalahan Sosial dan Ekonomi di Papua.
Masyarakat Papua yang menangkap burung Cenderawasih bukan tanpa alasan.
Bagi sebagian warga, menjual bulu atau mahkota menjadi sumber penghasilan ekonomi di tengah keterbatasan lapangan kerja.
INI FAKTA YANG SEBENARNYA MEREKA ( OKNUM DALAM PEMERINTAHAN) TAHU TAPI PURA PURA TULI DAN BUTA KARENA MEREKA ADALAH MANUSIA RAKUS YANG HANYA MENCARI DIMANA LETAK PELUANG
UNTUK MEMUNCULKAN STEREOTIP & DISKRIMINATIF YANG MEMUNCULKAN API YANG MEMBAKAR SOLIDARITAS INTERNAL
OAP VS OAP
Ini merupakan dampak nyata dari stereotip dan kebijakan diskriminatif. Stereotip yang menilai masyarakat Papua tanpa memahami konteks budayanya telah memecah persaudaraan, menciptakan perasaan saling curiga, dan menyalakan konflik horizontal di antara orang asli Papua sendiri.
Ketika pemerintah melarang perburuan dan kemudian membakar hasil karya mereka, muncul pertanyaan besar:
“Lalu, dari mana mereka akan hidup?”
Inilah inti persoalan. Pelarangan tanpa solusi ekonomi alternatif hanya akan menimbulkan kekecewaan dan ketegangan sosial.
Saya pernah di tawarkan oleh seorang Bapak yang menjual burung cenderawasih yang sudah di awetkan dengan alasan menjual karena anaknya mau wisuda. Kemudian ada juga yang menjual karena anaknya mau tes Polisi, tes masuk TNI dll tapi tidak punya uang untuk biaya tiket dan biaya lain lain.
Kalau sudah seperti ini, saya harus bgamana?
INI FAKTA YANG BUKAN HANYA SAYA TEMUI TAPI PASTI DI ANTARA KALIAN YANG BACA PERNAH KETEMU.
INGATAN!!!
Membakar mahkota bukanlah solusi. Yang dibutuhkan adalah pendekatan manusiawi, edukatif, dan berkelanjutan.
Pendekatan Budaya & Sosialisasi Langsung
Pemerintah perlu datang ke masyarakat, berdialog dengan tokoh adat dan kepala suku, menjelaskan pentingnya pelestarian Cenderawasih, dan menyepakati batas-batas penggunaannya.
Legalitas Adat Terbatas.
Beri izin adat khusus agar bulu atau mahkota hanya dipakai untuk upacara adat atau oleh tokoh tertentu bukan untuk diperjualbelikan bebas.
Program Ekonomi Alternatif
Bangun program ekonomi pengganti, seperti:
•Pelatihan pembuatan mahkota replika dari bahan sintetis atau daur ulang.
•Pemberdayaan masyarakat lokal dalam pariwisata, seni budaya, atau ekowisata Cenderawasih.
•Insentif bagi masyarakat yang terlibat dalam pelestarian burung di alam liar.
Konservasi Berbasis Masyarakat.
Libatkan masyarakat adat dalam menjaga habitat burung Cenderawasih.
Mereka menjadi penjaga alam
(community rangers), bukan pemburu.
Pendekatan Edukasi dan Media.
Gunakan media sosial, sekolah, dan gereja lokal untuk menyampaikan pesan bahwa menjaga Cenderawasih berarti menjaga simbol Papua itu sendiri.
Membakar mahkota mungkin dimaksudkan sebagai simbol pelestarian, tetapi tanpa memahami konteks budaya dan ekonomi, tindakan itu justru bisa menjadi luka baru bagi masyarakat Papua.
Burung Cenderawasih adalah simbol kebanggaan “roh keindahan dari Tanah Papua.”
Namun, mahkota Cenderawasih juga adalah simbol martabat manusia Papua.
Oleh karena itu, pelestarian hewan endemik dan penghormatan budaya, unsur ekonomi harus berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.
---------------------------------------------------------
Burung Surga sebagai Simbol Kecantikan, Jati Diri Budaya, dan Kehormatan Perempuan dalam Narasi Melanesia.
Kutipan, Herman Wainggai
Burung Surga adalah ikon visual yang sering dikaitkan dengan wilayah Melanesia, khususnya Melanesia Barat ( Papua Barat) dan daerah sekitarnya. Dalam tradisi budayanya yang beragam, julukan “Wanita Melanesia” untuk burung ini dipahami sebagai simbol budaya yang merayakan kecantikan, keanggunan, dan peran perempuan dalam identitas adat dan komunal.
Penting untuk menekankan bahwa label ini bukan klaim biologis atau universal untuk semua kelompok Melanesia; interpretasi simbolis ini berakar dalam bahasa lokal, ritual, estetika, dan sejarah yang berbeda antar komunitas.
Dalam konteks narasi kebangsaan Republik Melanesia Barat, simbol ini dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan terhadap beragam peran perempuan dalam menjaga adat istiadat, bahasa, seni, dan aspirasi komunal. Antara lain:
1. Lambang Kecantikan dan Anugerah
The Bird of Paradise menonjol karena bulunya yang berwarna-warni, pola yang menawan, dan tarian kawin yang dinamis. Kualitas keindahan dan gerakan cairan ini sering didukung sebagai cita-cita estetika dalam banyak tradisi Melanesia.
Di banyak komunitas, wanita dipandang sebagai simbol kecantikan, kelembutan, dan status sosial, peran yang tercermin dalam upacara, ekspresi artistik, dan kepemimpinan tradisional. Oleh karena itu, burung ini sering digunakan sebagai representasi visual keindahan dan keanggunan dalam tarian, ornamen, hiasan kepala, atau benda ritual.
Namun, sangat penting untuk menyoroti bahwa interpretasi yang menghubungkan simbol ini dengan feminitas tidak seragam: arti keindahan bervariasi dari satu suku ke suku lainnya, tergantung pada nilai-nilai, kisah leluhur, dan norma-norma adat yang hidup dari setiap komunitas.
2. Lambang kekudusan dan keunikan
Penampilan yang relatif langka dari Bird of Paradise, khusus untuk daerah tertentu, membuatnya dipandang istimewa dan hampir sakral dalam banyak tradisi Melanesia.
Dalam pandangan dunia adat, keunikan dan kemurnian alam seringkali dikaitkan dengan tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan lingkungan, menegakkan nilai-nilai tradisional, dan menjaga keselarasan masyarakat.
Perempuan, dalam banyak budaya Melanesia, memainkan peran kunci sebagai penjaga tradisi, penjaga bahasa, dan pewaris pengetahuan leluhur.
Dengan demikian, gagasan tentang burung ini yang melambangkan kesucian atau kehormatan komunal mencerminkan komitmen bersama untuk menjaga kesejahteraan sosial dan lingkungan. Perbedaan budaya berarti tidak semua kelompok Melanesia mengartikan simbol ini secara identik; beberapa mungkin menekankan unsur spiritual, yang lain berhubungan dengan tanah, air, atau warisan budaya.
3. Penanda identitas dan kebanggaan budaya
Di banyak bagian Melanesia, gambar dan simbol dari Bird of Paradise muncul dalam upacara tradisional, tutup kepala, karya seni, dan sebagai lambang identitas masyarakat.
Simbol-simbol tersebut berfungsi sebagai jangkar budaya: mereka membantu menjelaskan siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita menjaga bahasa, kebiasaan, dan pengetahuan lokal.
Dalam narasi “Republik Melanesia Barat”, menyebut burung sebagai “Wanita Melanesia” dapat dilihat sebagai bentuk penghormatan terhadap kontribusi perempuan dalam menjaga identitas budaya, sekaligus mengakui bahwa identitas budaya dibentuk oleh peran laki-laki, keluarga, pemimpin tradisional, dan masyarakat sebagai sebuah Seluruhnya.
Oleh karena itu, narasi seperti itu harus menyoroti upaya kolaborasi antar jenis kelamin dan generasi dalam menjaga warisan budaya.
4. Representasi Feminin di Alam
Seni, cerita rakyat, dan mitologi sering menggunakan alam sebagai kiasan untuk kualitas feminin, seperti kelembutan, keragaman warna-warni, dan daya tarik. Burung Surga, dengan warna yang semarak dan gerakannya yang memukau, sering digunakan untuk melambangkan keindahan alam yang intim yang terhubung dengan kehidupan manusia.
Namun, penting untuk menghindari mengurangi wanita menjadi sifat belaka seperti kerapian atau daya tarik visual. Dalam konteks modern, narasi seperti itu harus diperkaya dengan pengakuan peran perempuan dalam kepemimpinan tradisional, pelestarian bahasa, seni, pendidikan, kesehatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi.
Representasi simbolis tidak harus membatasi perempuan pada peran pasif, tetapi juga harus menghubungkan mereka dengan kekuatan, kebijaksanaan, dan otonomi pribadi.
Kesimpulan:
Mengacu pada Bird of Paradise sebagai “Wanita Melanesia” merupakan bentuk penghormatan budaya terhadap kecantikan, peran, dan nilai-nilai perempuan dalam masyarakat Melanesia.
Ini tidak hanya mewakili keindahan visual, tetapi juga kekuatan budaya, identitas, dan warisan yang didukung oleh perempuan di wilayah tersebut, khususnya di Republik Melanesia Barat (West Papua).
--------------------------------------------------
Budaya Itu Bukan Benda Mati yang Dibekukan, Melainkan Hasil Dari Interaksi Dinamis Antara Manusia dan Lingkungannya (Malinowski, Geertz).
Kutipan: Victor Yeimo
Yang harus dipahami, mahkota bulu cenderawasih itu hasil dari relasi kosmologis dan ekologis antara manusia dan alam Papua. Budaya itu bukan benda mati yang dibekukan, melainkan hasil dari interaksi dinamis antara manusia dan lingkungannya (Malinowski, Geertz). Ia selalu berubah mengikuti kondisi ekologis, sosial, dan spiritual. Ketika alam berubah, budaya pun bertransformasi. Karena itu, mempertahankan bentuk lama budaya di tengah perubahan ekologi yang drastis adalah ilusi romantik. Kita tidak bisa paksa makna lama hidup dalam dunia yang habitatnya telah hancur.
Hari ini, mahkota cenderawasih kehilangan maknanya karena relasi yang melahirkannya suda rusak. Kolonialisme, kapitalisme ekstraktif, dan logika antroposentris telah mengganti hubungan spiritual dengan hubungan komoditas. Hutan dijadikan sumber proyek, satwa dijadikan barang pajangan, dan budaya dijadikan alat pamer kekuasaan. Ini yang disebut wajah antroposentrisme destruktif, yaitu menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta, jadi termasuk burung cenderawasih, diukur dengan nilai guna bagi manusia. Kita harus tau, kolonialisme akan slalu menjajah cara berpikir bangsa Papua tentang alam dan budayanya sendiri.
Kita tidak boleh terjebak dalam kesadaran palsu, yang dalam bahasa Frantz Fanon, bangsa terjajah sering kali mencintai simbol yang diciptakan penindasnya. Kita marah pada pembakaran mahkota, tapi diam ketika hutan dibakar dan satwa diburu untuk pasar. Kita seolah mempertahankan budaya, padahal yang dipertahankan adalah bentuk kosong dari budaya yg sedang hilang dari sumber kehidupannya. Budaya yang kehilangan relasi dengan alam bukan lagi kebanggaan, tapi itu kepunahan.
Padahal secara ekologi politik dan antropologi lingkungan (Escobar, Ingold), budaya sejati adalah praktik kehidupan yang tumbuh dari interaksi manusia dengan lingkungan tempatnya hidup. Ia adalah proses kreatif yang bergerak bersama ritme alam, bukan warisan beku yang dipuja tanpa konteks. Karena itu, mempertahankan budaya tudak berarti mengulang masa lalu, melainkan menciptakan bentuk baru yang setia pada keseimbangan antara manusia dan alam. Bila hutan berubah, bila burung cenderawasih terancam, maka cara kita menghormatinya juga harus berubah. Budaya tidak bisa hidup dalam ruang kosong; ia hidup hanya jika relasi ekologisnya hidup.
Bangsa Papua harus paham, pertahankan budaya berarti pertahankan ekosistem yang melahirkannya. Tanpa hutan, tanpa cenderawasih, tidak ada mahkota yang bermakna. Kemegahan manusia di atas kematian alam hanyalah kesombongan kolonial yang kita warisi tanpa sadar.
Karena itu, marah kita harus naik menjadi kesadaran: bahwa membela budaya berarti membela kehidupan, bukan simbol; membela mahkota berarti menjaga cenderawasih; dan membela bangsa berarti memulihkan kembali hubungan suci antara manusia dan tanah leluhur.
Mohon maaf, dan izin saya untuk menggunakan foto atau gambar itu.
Hasil Potret ( Khemal Burumi ) 📷
Pos. Admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar