Artikel, Victor Yeimo
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Sidang Umum PBB tahun 2025 menjadi salah satu pertemuan paling bersejarah dalam politik global. Forum ini bukan sekadar ajang diplomasi, tetapi panggung bagi negara-negara dunia untuk memperlihatkan kegelisahan dan tuntutan atas ketidakadilan yang sudah lama dibiarkan.
Sorotan utama jatuh pada Palestina, ketika lebih dari 140 negara mendukung penuh solusi dua negara dan menegaskan hak bangsa Palestina untuk merdeka. Ini bukan hanya tentang konflik Timur Tengah, tetapi tentang kolonialisme yang masih hidup di abad ke-21. Dunia dengan jelas mengirim pesan: penindasan bangsa lain tidak akan pernah punya legitimasi.
Di luar Palestina, suara lantang datang dari negara-negara kecil di Pasifik dan Karibia tentang perubahan iklim. Mereka menegaskan bahwa rakyat mereka tidak bersalah atas kerusakan bumi, namun menjadi korban pertama yang pulau-pulaunya tenggelam. Hal yang sama disuarakan negara-negara Afrika dan Amerika Latin, yang menuntut kedaulatan atas sumber daya alam dan menolak jerat hutang sebagai bentuk kolonialisme baru. Dunia pun melihat bahwa ketidakadilan ekonomi global terus melahirkan kesenjangan yang semakin dalam, di mana kekayaan dikontrol segelintir negara besar dan korporasi, sementara rakyat kecil dibiarkan miskin.
Konflik global juga tidak bisa dihindari dari panggung PBB. Perang Ukraina-Rusia, ketegangan AS-Tiongkok, serta krisis di Timur Tengah menunjukkan dunia semakin terbelah ke dalam blok-blok kekuatan. Amerika Serikat dan sekutunya menegaskan diri sebagai penjaga tatanan internasional, sementara Rusia dan Tiongkok menuding Barat menggunakan PBB sebagai alat hegemoni.
Negara-negara Global South, sebaliknya, berusaha membangun jalan ketiga: menolak standar ganda dan memperjuangkan tatanan dunia yang lebih adil. Dinamika ini menegaskan bahwa dunia sedang berada di persimpangan jalan, di mana suara bangsa kecil semakin berani melawan dominasi kekuatan lama.
Isu lain yang juga membara adalah migrasi dan pengungsi. Negara-negara berkembang menegaskan bahwa mereka menanggung beban terbesar dari krisis migrasi global, akibat perang dan perubahan iklim, sementara negara kaya lebih sering menutup pintu. Pada saat yang sama, kemajuan teknologi, keamanan siber, dan kecerdasan buatan menjadi perdebatan: apakah teknologi akan membebaskan manusia atau justru memperkuat represi? Banyak negara memperingatkan bahaya pengawasan digital dan monopoli data oleh negara besar.
Di bidang keamanan, ketegangan soal senjata nuklir juga muncul kembali, terutama dengan sikap keras Korea Utara dan kegelisahan dunia akan potensi perang besar. Semua ini menunjukkan bahwa dunia sedang rapuh, penuh ancaman, tetapi juga penuh peluang perubahan.
Dari semua perdebatan itu, jelas terlihat bahwa standar ganda masih kuat. Negara besar cepat bertindak jika kepentingan mereka terancam, tetapi lambat ketika menyangkut penderitaan bangsa kecil. Justru karena itulah, suara Global South kini menggema lebih kuat. Mereka menuntut agar PBB kembali pada prinsip awalnya: melindungi hak semua bangsa, bukan hanya segelintir yang kuat.
Di sinilah relevansi Papua menjadi nyata. Papua adalah simbol penderitaan bangsa kecil yang ditindas di tanah sendiri, tetapi diabaikan dunia. Papua adalah “Palestina di Pasifik,” yang hak menentukan nasibnya dicabut, sumber dayanya dijarah, dan rakyatnya dipaksa hidup dalam ketakutan oleh kekerasan militer. Jika Palestina menjadi cermin kolonialisme Timur Tengah, maka Papua adalah wajah kolonialisme di Pasifik.
Lebih jauh, Papua adalah Afrika yang kaya emas, tembaga, dan gas, tetapi rakyatnya miskin karena semua kekayaan itu dikuasai oleh kekuatan asing dan elite yang bersekutu dengan penjajah. Papua adalah Pasifik yang menangis karena hutan, sungai, dan gunung dirusak demi kepentingan industri global, tanpa memikirkan generasi masa depan. Papua adalah bangsa pengungsi di tanah sendiri, karena operasi militer memaksa rakyat meninggalkan kampung dan mengungsi ke hutan atau ke negara tetangga.
Dengan kata lain, isu Papua adalah isu global: tentang keadilan, hak hidup, dan melawan kolonialisme modern. Maka langkah strategis bagi bangsa Papua adalah menempatkan diri dalam arus besar Global South. Papua harus bersolidaritas dengan Palestina, dengan Pasifik, dengan Afrika, dengan Amerika Latin.
Papua harus bersuara dalam isu-isu global: perubahan iklim, hak pengungsi, kedaulatan ekonomi, kebebasan digital. Perjuangan Papua bukan sekadar tentang simbol bendera, tetapi tentang kehidupan yang layak bagi manusia, tentang tanah dan alam yang tidak boleh dirampas, tentang masa depan generasi yang berhak merdeka. Sidang Umum PBB 2025 adalah tanda bahwa dunia sedang berubah. Papua harus mengambil tempat di dalam perubahan itu, agar sejarah mencatat: Papua Merdeka adalah bagian dari kemenangan umat manusia melawan penindasan dan ketidakadilan.
Langkah strategis bangsa Papua tidak bisa lagi hanya berharap belas kasihan dari negara penjajah atau dunia internasional yang dikendalikan kepentingan ekonomi-politik kapitalis dan imperialis. Kita harus sadar bahwa Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari jaringan global yang menopang kapitalisme dunia.
Tambang emas di Papua bukan hanya urusan Jakarta, tetapi urusan New York, London, Tokyo, dan Sydney. Gas Papua bukan hanya soal PLN atau Pertamina, tetapi soal kebutuhan energi global yang dikendalikan perusahaan transnasional. Karena itu, perjuangan Papua harus mengerti bahwa musuh kita bukan hanya tentara Indonesia di pos-pos militer, tetapi juga kekuatan modal asing yang menyusu pada darah dan air mata rakyat Papua.
Untuk itu, langkah pertama adalah membongkar hubungan kolonial-ekonomi ini di hadapan rakyat dan dunia. Rakyat Papua harus tahu bahwa kemiskinan, keterbelakangan, dan penderitaan kita bukan karena kita malas atau bodoh, tetapi karena sistem kapitalis-imperialis menjadikan kita objek eksploitasi.
Dunia juga harus tahu bahwa Papua bukan sekadar konflik separatis, tetapi pusat dari kolonialisme ekonomi modern yang memasok emas, tembaga, nikel, dan energi murah ke pasar dunia dengan mengorbankan manusia Papua. Kesadaran ini penting agar perjuangan Papua tidak terjebak dalam politik sempit, tetapi terhubung dengan perjuangan global melawan sistem kapitalisme predator.
Langkah kedua adalah memperkuat persatuan internal. Papua yang terpecah adalah keuntungan bagi kolonialisme. Kita harus membangun kesadaran politik yang sama, bahwa semua orang Papua, dari gunung hingga pesisir, dari suku besar hingga kecil, sedang menghadapi musuh yang sama. Perbedaan agama, budaya, atau asal daerah tidak boleh lagi dipakai untuk memecah belah kita. Strategi ini menuntut pendidikan politik yang terus-menerus, membangun organisasi rakyat yang kuat, dan mendisiplinkan gerakan agar tidak mudah dibeli atau ditakutkan oleh kolonial.
Langkah ketiga adalah memperluas front internasional. Papua harus masuk ke arus Global South yang sedang bangkit di PBB, memperkuat hubungan dengan Palestina, Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin. Papua harus hadir dalam diskursus global tentang perubahan iklim, hak pengungsi, kebebasan digital, dan keadilan ekonomi. Dengan begitu, Papua tidak lagi dipandang sebagai masalah lokal Indonesia, tetapi sebagai bagian dari masalah dunia yang lebih besar. Inilah strategi untuk membawa isu Papua keluar dari bingkai “domestik” Indonesia menuju panggung internasional.
Langkah keempat adalah membangun kemandirian rakyat di dalam negeri. Papua tidak boleh hanya menunggu pengakuan dari luar. Kita harus mulai melatih diri untuk hidup dengan kekuatan sendiri: mengorganisir ekonomi rakyat, mengelola tanah dan sumber daya secara lokal, membangun solidaritas kampung demi kampung, dan mengurangi ketergantungan pada struktur kolonial. Kemandirian rakyat ini akan menjadi fondasi yang membuat bangsa Papua siap ketika pintu kemerdekaan terbuka.
Langkah strategis yang tak kalah penting adalah menegaskan arah ideologis perjuangan Papua. Kita tidak boleh hanya menuntut merdeka dari Indonesia tetapi kemudian jatuh ke tangan kapitalis global. Merdeka harus berarti keluar dari cengkeraman sistem kolonial, kapitalis, dan imperialis, lalu membangun tatanan Papua yang adil, manusiawi, dan sesuai dengan nilai-nilai bangsa kita. Inilah tantangan terbesar: membebaskan tanah, manusia, dan jiwa Papua dari penjajahan dalam segala bentuknya.
Pos. Admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar