Oleh: Gemuruh
Tetesan Air Mata Ibunda, Kota Tua Kota Jeruk, Melangkah tanpa Alas Kaki, Doa kita berdua belum sampai terjawab Tuhan.
Terkadang, anda ingin untuk kembali menyapa seseorang yang sudah jauh sekali berlalu, namun, melihat betapa indah-Nya senyum-Nya setelah aku tiada, rasa-Nya semakin sadar bahwa hadir-Ku tak pernah diharap-Kan.
Hanya, ada semoga, untuk-Nya, di sana;
Kau tahu, di saat kau melangkah-Kan kaki dan memutus-Kan semua-Nya berakhir, di saat itu pula-Lah aku merasa bahagia-Ku juga berakhir.
Aku selalu dipenuhi rasa cemas akan kabar-Mu, padahal aku tahu kau sedang baik-baik saja bersama seseorang yang kau pilih setelah menyingkir-Kan-Ku.
Aku selalu merindu-Kan-Mu, padahal aku tahu, memikir-Kan-Ku saja kamu sudah tidak.
Aku selalu mendoakan-Mu, padahal aku tahu, doa-Ku dan doa-Mu tidak bermuara lagi pada satu amin yang sama; aku ingin didekatk-Kan dengan-Mu, kau ingin dijauh-Kan dari-Ku.
Betapa aku sadar bahwa aku adalah manusia bodoh; Menjadi lilin penerang tidur untuk seseorang yang lebih menyukai terlelap di dalam gelap. Aku relakan diri-Ku terbakar, meleleh, bah-Kan hancur. Namun, kau padam-Kan aku, lalu memilih memejam-Kan mata-Mu.
Betapa aku sadar bahwa aku adalah manusia menyedih-Kan; Menjadi payung untuk seseorang yang lebih menyukai tetesan hujan. Aku rentang-Kan diri-Ku, aku lindungi tubuh-Mu. Namun, kau lempar-Kan aku jauh ke tepi, lalu memilih basah oleh air yang tanpa kau ketahui dapat membuat-Mu sakit.
Betapa aku sadar bahwa aku adalah manusia tidak tahu diri; Menjadi awan untuk seseorang yang lebih menyu-Kai mentari. Aku tebal-Kan diri-Ku, aku naungi diri-Mu. Namun, kau menghindari, lalu memilih berpindah ke tempat terik yang tanpa kau ketahui hangat-Nya dapat menggores lembut-Nya kulit-Mu.
Tapi, aku abai-Kan tentang itu. Begitulah keras-Nya hati-Ku menyayangi-Mu.
Kepada-Mu;
Izinkan-Lah aku tetap menanti-Mu pada sebuah rumah meski aku tahu kau tak pernah sudi pulang, dan tinggal di dalam-Nya.
Izinkan-Lah aku tetap menulis puisi-puisi untuk-Mu meski aku tahu kau tak akan pernah sudi membaca-Nya.
Izinkanlah aku tetap menyanyi-Kan lagu-lagu kesukaan-Mu meski aku tahu kau tak akan pernah sudi mendengar-Nya.
Izinkan-Lah aku menyambut sebuah pagi, menghidang-Kan dua cangkir teh, serta membayang-Kan menikmati-Nya bersama-Mu meski aku tahu itu tidak akan pernah menjadi nyata.
Izinkan-Kah aku tetap duduk menghadap luas-Nya laut, memandang jingga-Nya langit, dan menganggap bahwa kau berada di samping-Ku, meski aku tahu itu hanya-Lah fatamorgana.
Izinkan-Lah, izinkan-Lah, izinkan-Lah aku.
Hanya dengan cara itu aku bisa memiliki-Mu, hanya dengan cara itu aku bisa merawat-Mu, hanya dengan cara itu aku tidak akan lagi kehilangan-Mu.
Dan kau tahu;
Siapa-Pun yang bertanya perihal sudah seikhlas apa aku, aku katakan “Aku ikhlas” Aku bohongi mereka, aku bohongi diri-Ku sendiri. Sungguh, jika ikhlas itu dapat terlihat dengan nyata oleh sepasang mata, maka, di hati-Ku, tidak ada siapapun yang bisa menemukan-Nya. Karena, kata “Ikhlas” itu memang tak pernah ada. (Di sana).
Maaf-Kan aku, maaf-Kan aku, maaf-Kan aku.
Ribuan kata yang aku rangkai menjadi kalimat-kalimat, ratusan kalimat yang aku rangkai menjadi puisi-puisi, ratusan puisi yang aku rangkai menjadi buku-buku, semua hanya angan-Ku untuk sampai di titik itu. Pada kenyataan-Nya, aku tidak mampu.
patahan.ranting
Dalam buku; Kembalikan Aku Seperti Sebelum Mengenal Cinta.
Pos .Atmind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar