Senin, 05 September 2022

PERBAURAN MALUKU-PAPUADI WILAYAH KEPALA BURUNG

Tetesan Air Mata Ibunda, Kota Jeruk, Melangkah Tanpa Alas Kaki, Tempo lalu saya memposting postingan tentang sejarah singkat Pulau Doom.

 Sorong dan langsung menuai kritik bahkan hujatan. Saya menyimak satu per satu komentar sehingga kemudian saya menyadari masih banyak sekali orang Papua yang buta sejarah Tanah Papua. 

Miris sekali melihat beberapa komentar beserta argumen yang saya nilai sangat dangkal bahkan cacat historis.

Agar bisa lebih paham, apakah menjadi paham banyak atau menjadi sedikit paham, saya jelaskan secara singkat demikian:

Dalam membahas sejarah kita semua harus membedakan perspektif adat suatu wilayah dan perspektif sejarah suatu wilayah. Contohnya, wilayah Kepala Burung adalah wilayah adat orang Papua, namun, dalam catatan sejarah nenek moyang orang di wilayah Kepala Burung sangat bangga menjadi vassal (wilayah bawahan).

 Kesultanan Tidore, juga ada yang sangat bangga memberi persembahan pada Sultan Ternate, dan dengan sukarela mengakui Sultan Tidore sebagai junjungan atau pemimpim teritorial beberapa tempat di wilayah Kepala Burung, termasuk Pulau Doom.

Mengapa?

Wilayah Kepala Burung sampai ke Fak-fak, sangat dekat dengan wilayah Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Jadi, pada masa itu ada perbauran budaya orang Maluku dengan orang Papua khusus di wilayah itu.

 Sekali lagi, jaman itu orang-orang asli Papua di wilayah ini sangat bangga menjadi vassal Kesultanan Tidore atau Kesultanan Ternate. 

Suku-suku lain kemudian datang ke wilayah Kepala Burung, apakah suku-suku non-Papua maupun suku-suku Papua, dan yang paling dominan dari semuanya adalah suku Biak, yang memiliki kelompok sangat besar yang menetap di wilayah Kepala Burung, terutama sekali di Kepulauan Raja Ampat.

 Mereka bisa ada disana karena terdampar saat pulang dari kunjungan pada sultan Ternate dan kemudian memilih menetap disana turun temurun.

 Sebagian suku Biak yang memilih untuk pulang ke Biak, beberapa dari mereka kemudian kembali ke Kepulauan Raja Ampat bersama keluarga mereka saat mereka melakukan Pelayaran Hongi, dan memilih menetap disana.

Semua itu terjadi jauh sebelum jaman Belanda. 

Jaman itu juga, wilayah ini memiliki penduduk beragama Islam, dan marga-marga Maluku juga berbaur menjadi marga-marga Papua. 

Kemudian, ketika zending datang, keturunan-keturunan Maluku bersama keturunan asli OAP di wilayah kepala burung memeluk Kristen sehingga Kristen menjadi agama dominan di wilayah ini, tapi kita semua tahu kan bahwa di wilayah tertentu ada suku-suku asli yang beragama Islam, itulah bukti perbauran budaya dan sejarah Maluku dan Papua. 

Selain itu, catatan sejarah pemerintah Belanda juga merekam semua ini dengan jelas.

Jadi, kita tidak bisa memaksa persepsi jaman now untuk harus sama dengan kenyataan pada jaman dulu yang sebenarnya ada dalam catatan sejarah, termasuk dalam membahas sejarah Tanah Papua. Baca dulu sejarah tanah ini barulah memberikan argumen agar argumennya berbobot dan historis. 

Setidaknya, belajar lihat peta wilayah.

Jika saudara sekalian melihat peta maka akan terlihat jelas letak Ternate dan Tidore yang sangat dekat dengan wilayah Sorong. 

Kalau tidak mau melihat peta, setidaknya mengingat pengalaman berlayar, atau kalau tidak ada cobalah menyimak pengalaman orang lain. 

Coba ingat, ada yang berlayar dengan kapal Pelni melalui rute populer yang melewati Sorong-Ternate-Bitung-dst. Jarak Sorong dan Ternate hanya 18 jam paling lama jika kapalnya berjalan sangat pelan. Dekat sekali. 

Apalagi jarak Maluku dengan pulau-pulau Papua diwilayah perbatasan laut antar provinsi, sangat dekat.

Saya harap grup yang saya dirikan dan bangun ini bisa menjadi sarana belajar sejarah Tanah Papua yang efektif. 

Budayakan baca dan belajar dulu bukan "katanya ini... katanya itu."

Dibawah ini saya sertakan peta agar bisa dilihat dimana letak wilayah Sorong dan letak wilayah Maluku Utara.

.admin.

_____________________
Oleh Devy Ransun

Daftar Pustaka:
1. "Ensiklopedia Suku Bangsa di Provinsi Papua Barat", Adolof Ronsumbre, Kepel Press, 2020;
2. "Hikayat Raja Ampat", Rama Prambadhi Dikimara, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017;
3. "Tradisi Sasi di Raja Ampat", Shiffa Febyandika S. & Muhammad Abdul Chafid, Sabda Volume 11, 2016.

Foto: 
Peta wilayah
Maluku Utara dan Papua.

Pos. Atmind.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Topik Komentar antara Kristian Griapon dan Pengamat Papua Barat asal Australia, Andrew Johnson, Perselisihan antara Indonesia dan Belanda adalah setelah 1945

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Topik Komentar antara Kristian Griapon dan ...