Oleh: Aleks Giyai
Pada suatu sore; ada engkau, dulu, dulu sekali. Sekali bagian daun bibir! aku mencium sajak-sajakmu yang bertoreh tentang keringkihan hati. Di sebelah bagian dagu! Aku kecup cerita-ceritamu yang mengurai tentang jiwa yang terkulai di persada tanah air atau cerita kisahmu.
Aku ingin jadi apa saja bagimu, saat-saat itu; angin kecil berdiam di alismu, atau sebutir peluh dalam keluhmu. Aku ingin menjadi sesuatu yang melekat dalam ceritamu, sehingga ketika orang melihat kau pun melihat aku atau ketika kau berkisah selalu ada cerita tentangku.
Perempuan itu selalu menggenggam erat tangannya, meski penuh bercak-bercak pilu. Ia memeluk air mata, walaupun isak tangis tak merinai di pipi. Menemanimu duduk, mengurai kata-kata getir di secangkir imajinya dan bisa menawar perih untuk melepaskannya.
Aku sengaja menyamarkan diriku agar kamu tak mengenaliku. Jika sudah seperti itu, semoga rindu tak bersuara di hatimu. Mencintaimu membuatku semakin menderita, itu lebih baik daripada memilikimu tanpa rasa cinta.
Siapakah gerangan yang telah mengiris bibirmu setipis ini? Aku yang tersayat bahkan tak merasakan pedihnya. Berbekal rindu bergemuruh, menuju padamu dan kugenggam sungguh eratnya, bahwa kau hanya bayangan bukan nyata. Menjemukan tapi selalu ingin dipertemukan.
Kini, senyap dan tak tampak. Tiada suara, tinggal malam dalam hening yang senyap. Aku ingin menikmati matahari terbenam denganmu, bersandar di pundakmu, dengan dua cangkir kopi manis. Sambil melempar tawa dan membagi cerita-cerita.
Wahai kekasih, cintailah kepada yang memberi hikmat bukanlah terlalu terlena mencintai pada yang memberikan nikmat. Karena kehidupan membutuhkan hikmat bukan nikmat. Teruslah berpuisi tentang cinta. Selama 'cinta' yang kau tunjukkan adalah hikmah bukan nikmat bagi sesama terutama tanah air.
Meepago, 12/12/22
Komentar
Posting Komentar