Langsung ke konten utama

TNI-POLRI DAN TPN-PB WAJIB MEMATUHI PRINSIP-PRINSIP KONVENSI JENEWA 1949 DEMI MELINDUNGI MASYARAKAT SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA DI PAPUA


Oleh. Direktur LBH E Gobai
“Presiden Republik Indonesia Segera Mengunakan Pengalaman di Aceh Atau Timor-timor Untuk Menyelesaikan Persoalan Politik Di Papua Demi Menghentikan Konflik Bersenjata antara TNI-Polri dan TPN-PB yang Mengorbankan Masyarakat Sipil”


Sesuai dengan hasil penelitian tim kajian Papua LIPI ditemukan ada 4 (empat) persoalan besar yang kerap menjadi pemicu konflik di Papua. "Empat persoalan besar di Papua yang kami sebut dengan Papua Road Map adalah Permasalahan pertama, masalah marginalisasi dan diskriminasi, "Permasalah kedua, adalah kegagalan pembangunan di berbagai aspek. Permasalahan ketiga adalah kegagalan politik yang diideologikan dengan kemerdekaan Papua. Terakhir, Permasalahan hak asasi manusia (HAM) yang mendasar di Papua (Baca : LIPI Rilis Hasil Kajian Soal 4 Masalah Utama Pemicu Konflik Papua | Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Dari keempat akar persoalan itu sudah banyak kebijakan yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan persoalan di Tanah Papua namun semuanya mubasir alias menabur garam ke dalam air laut. Terlepas dari banyak kebijakan dalam rangka menangani persoalan kegagalan politik yang diideologikan dengan kemerdekaan Papua pemerintah pusat selalu mengunakan pendekatan pertahanan keamanan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sesuai Pasal 4 ayat (1), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua sehingga terus memicu terjadinya konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan TPN –PB.

Dengan melihat fakta konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Papua sehingga sudah sewajibnya para pihak yang menjadi Peserta Agung (istilah konflik bersenjata dalam Konvensi jenewa) yang bertikan mengedepankan prinsip-prinsi Konvensi Jenewa 1949. Untuk diketahui bahwa Konvensi Jenewa adalah bagian dari Hukum Internasional yang juga dikenal sebagai Hukum Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata. Tujuan konvensi ini adalah untuk menjadi patokan standar dalam memperlakukan korban perang. Meski konvensi ini diadopsi pada 1949, seusai Perang Dunia Kedua, namun empat Konvensi Jenewa masih berlaku hingga saat ini. Untuk diketahui bahwa Negara Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Penduduk Sipil pada masa perang ke dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Aksesi Negara Republik Indonesia Terhadap Konvensi Jenewa 1949 sehingga penerapan dan memetahui perinsip-prinsip Konvensi Jenewa 1949 dalam Konflik Bersenjata Antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Papua adalah kewajiban hukum.

Berdasarkan data yang ada, sejak tahun 2018 sampai sekarang (2022) Konflik Bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB terus terjadi awalnya dari satu kabupaten terus merambah ke beberapa kabupaten dalam dua Propinsi di Tanah Papua. Dalam konflik bersenjata antara kedua pihak selama ini telah melahirkan banyak sekali peristiwa yang memilukan pada masyarakat sipil baik papua maupun non papua yang berada di wilayah konflik bersenjata. Berdasarkan kasus yang ditemukan secara garis besar terbagi kedalam 2 (dua) bentuk kasus yaitu : Pertama, Kasus Pembunuhan atau Penembakan yang dilakukan oleh TNI-Polri terhadap Masyarakat Sipil Orang Asli Papua dan atau TPN-PB terhadap Masyarakat sipil Non Orang Asli Papua dan Kedua kasus Pengungsian yang dialami oleh Masyarakat sipil yang berada disekitar Konflik Bersenjata sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Nduga (2018), Kabupaten Intan Jaya (2019 – 2020), Kabupaten Mimika (2020), Kabupaten Maybrat (2020), Kabupaten Puncak Papua (2021), Kabupaten Tambrauw (2021), Kabupaten Pegunungan Bintang (2021) dan Kabupaten Yapen Waropen (Desember 2022).

Apabila kedua pihak dalam Konflik Bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB di Papua mengedepankan prinsp-prinsip dalam Konvensi Jenewa 1949 tentunya tidak akan ada banyak masyarakat sipil baik Papua maupun Non Papua yang menjadi korban sebab pada prinsipnya ketentuan terkait perlindungan hukum terhadap masyarakat sipil dalam daerah konflik bersenjata secara tegas diatur pada Pasal 3 angka 1 Konvensi Jenewa tahun 1949 sebagai berikut : 

“Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung, Orang-orang yang tidak turut serta aktip dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga :

(a) Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan;

(b) Penyanderaan;

(c) Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;

(d) Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab”. 

Terlepas dari itu, apabila Pemerintah Pusat yang sudah mengetahui salah satu akar persoalan di Papua  adalah kegagalan politik yang diideologikan dengan kemerdekaan Papua sesuai hasil pemerlitia LIPI dan memilih alternative peyelesaian persoalan politik mengunakan pendekatan penyelesaian politik yang pernah dipraktekan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh pada tahun 2000 atau antara Pemerintah Pusat dengan Timor-Timur pada tahun 1999 yang pasti tidak akan ada cerita Konflik Bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN –PB di Tanah Papua yang terus melairkan peristiwa memilukan pada masyarakat sipil baik papua maupun non papua yang berada di tengah wilayah konflik bersenjata di Papua. 

Berdasarkan fakta pemerintah pusat yang tidak mau mengunakan pengalaman penyelesaian persoalan politik kasus Aceh dan kasus Timor-Timor dalam kasus Papua malah justru memilih pendekatan keamanan yang memicu terjadinya Konflik Bersenjata di Papua yang  melahirkan Kasus pelanggaran HAM dan Penggungsian secara langsung menunjukan ketidaktaatan pihak TNI-Polri dan pihak TPN-PB dalam menjalankan prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 khususnya dalam melindungi masyarakat sipil yang berada disekitar atau ditengah-tengah Konflik Bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN –PB di Tanah Papua. Atas dasar itu, harapannya Pihak TNI-Polri dan Pihak TPN-PB dapat menjalankan kebijakan perlindungan bagi masyarakat sipil yang berada dalam wilayah konflik bersenjata sesuai dengan perintah Pasal 3 angka 1, Konvensi Jenewa 1949 agar dapat tercipta perlindungan Hak Asasi Manusia milik Masyarakat Sipil bagi Papua maupun Non Papua dalam Konflik Bersenjata yang sedang terjadi.

Dengan melihat adanya korban Masyarakat sipil baik Orang Asli Papua dan Non Papua di wilayah konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPN-PB maka pemerintah juga harus memfasilitasi Palang Merah Indonesia untuk melakukan tugasnya dalam menangani Pengungsi dengan cara Pendirian dan/atau pengelolaan darurat, Pelayanan kesehatan; dan/atau Pelayanan social sesuai perintah pasal 10, PP Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18 Tentang Kepalangmerahan dalam wilayah konflik bersenjata.
 
Berdasarkan uraian diatas, Lembaga Bantuan Hukum Papua mengunakan kewenangan yang diberikan berdasarkan ketentuan “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada pasal 100, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan kepada :

1. Presiden Republik Indonesia Segera Mengunakan Pengalaman di Aceh atau Timor-Timor Untuk Menyelesaikan Persoalan Politik di Papua Demi Menghentikan Konflik Bersenjata antara TNI-Polri dan TPN-PB yang mengorbankan Masyarakat Sipil;

2. TNI-POLRI dan TPN-PB sebagai Para Peserta Agung Konflik Bersenjata Di Papua Segera Menaati dan Menjalankan Prinsip-Prinsip Konvensi Jenewa 1949;

3. TNI-POLRI dan TPN PB Wajib Melindungi Masyarakat Sipil Dalam Konflik Bersenjata di Papua sesuai perintah Pasal 3 angka 1, Konvensi Jenewa 1949;

4. Palang Merah Indonesia Segera Menangani Penggungsi Akibat Konflik Bersenjata Di Papua Sesuai Perintah Pasal 10, PP Nomor 7 Tahun 2019 junto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2O18.

Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.

Jayapura, 15 Desember 2022

Hormat Kami

LEMBAGA BANTUAN HUKUM PAPUA


EMANUEL GOBAY, S.H.,MH
(Direktur)

Narahubung :
082199507613.

Post. Admind

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia, Orang Sulawesi yang Mengklaim Diri Sebagai “Anak Papua”

Sebuah Mesin Perampasan yang Bekerja atas Nama Negara, Investasi, dan Kepentingan Global.  Oleh : Victor F. Yeimo  Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua Holandia-Melangkah Tanpa Alas Kaki - Bahlil   Lahadalia, orang Sulawesi yang mengklaim diri sebagai “anak Papua” memainkan peran yang secara teoritis dapat kita sebut sebagi agen apropriatif kolonial, atau individu yang melakukan klaim identitas demi legitimasi proyek hegemonik pusat atas wilayah pinggiran.  Bahlil Lahadalia, Sebagai Menteri Investasi, ia menjelma menjadi agen ideologis dan teknokratis kapitalisme kolonial. Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua adalah mega-infrastruktur of dispossession, yaitu infrastruktur raksasa yang berfungsi sebagai mekanisme primitive accumulation dalam versi abad ke-21. PSN adalah wajah mutakhir dari kapitalisme kolonial, sebuah mesin perampasan yang bekerja atas nama negara, investasi, dan kepentingan global.  Di Merauke, negara merampas...

Victor Yeimo Berpesan kepada GEDIX ATEGE pada Awalnya Penyair dibangun Dari Rakyat, Maka Suara yang Lahir Dari Tanah adalah Harapan Rakyat Penindas

GEDIX ATEGE Bukan Penyanyi Panggung Glamor, tapi Penyair Rakyat, Yakni Suara yang Lahir Dari Tanah, Menyatu Dengan Penderitaan, Kasih, dan Kehidupan Melanesia.  Tetesan Air Mata Ibunda- di Harapan Kafetaria, KM Gunung Dempo- Melangkah Tanpa Alas Kaki - Setiap kaset Gedix yang diputar di tahun 90-an dan 2000-an langsunh bawa memori: masa kecil duduk bersama orang tua yang kini sudah tiada, perjalanan jauh dengan sahabat yang hilang, cinta pertama yang terlupakan, atau pengalaman sekolah/kuliah yang penuh perjuangan. Gedix Atege akan konser di Paniai,  Berpesan  Victor Yeimo kepada GEDIX ATEGE Bahwa konser yang akan harus bawakan seperti, Pepa Nating, School Fee Problem, Pain Blong Love, dan Salim Giraun. Lagu-lagunya sperti Taim Mi Skul Mangi, Mama, Corruption, bukan sekadar hiburan, tapi cermin kehidupan rakyat kecil: tentang biaya sekolah yang menjerat, korupsi yang merusak, harapan anak muda, dan kerinduan terdalam pada orang tua. Gedix Atege akan konser di ...

Benua Australia Bergeser 7 cm Menuju Indonesia Mengakibatkan Gempa Bumi

Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura-Melangkah Tanpa Alas Kaki- Sebuah video di Instagram mengungkapkan bahwa Benua Australia bergeser menuju Indonesia 7 cm setiap tahunnya. Dilansir dari akun @u******d, video tersebut menampakkan ilustrasi pergerakan benua tersebut secara perlahan atau yang disebut sepanjang "ibu jari" tiap tahunnya. "Jika terus bergerak, dalam 50 juta tahun Australia akan menabrak Papua Nugini dan Indonesia Timur, menciptakan pegunungan raksasa baru yang lebih besar dari apa pun saat ini," tulis keterangan video yang diunggah pada Rabu (3/9/2025). Ahli Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, membenarkan unggahan tersebut. "Ya lempeng Australia memang bergerak 7 cm per tahun," ujar Heri saat dihubungi Kompascom, Jumat (5/9/2025). Dia pun menjelaskan dampak dari pergeseran Benua Australia menuju Indonesia Heri mengatakan, pergeseran Benua Australia ke utara memakan waktu yang cukup panjang, yaitu...