Oleh. Mahesa Jenar
CUK!
(Kenangan lama di Surabaya)
Malam itu, aku bergegas
keluar dari pintu kamar kostku. Sekadar menjauh dari segala yang membuat gamang, dari semua diktat dan fotokopian murahan. Pukul tujuh malam aku berjalan melewati pot bunga besar yang dirantai bagian bawahnya, persis seperti motorku di garasi rumah kost itu. Rupanya rantai diperlukan untuk menemani barang yang dianggap berharga. Biar tidak kesepian.
Berjalan di bawah langit bercat hitam, di atas paving kelabu kurang rata yang menutupi lubang di tanah. Menyeberang jalan, naik angkutan kota warna kuning yang menderu-deru, melewati pojok apotek tua, melewati poster Coca Cola dan sepatu Ardilles yang memudar. Pintu kayu jasa laundry dengan tangga semen yang rusak ujungnya terlihat sepi dan bosan termangu, kontras dengan warna Tunjungan Plaza yang benderang. Saat itu malam minggu. Harusnya semua ‘mlaku-mlaku ning Tunjungan, sopo ngerti nasib awak lagi mujur, kenal anake sing dodol rujak cingur’. Aku percaya dengan nasihat dari Mus Mulyadi itu. Dia penyanyi yang jujur.
Sepanjang trotoar di jalanan arah Tunjungan, anak-anak punk dengan rambut dicat warna-warni ramai mengiring keriuhan kota. Terasa menggelikan ketika ada genjrengan gitar menyanyikan lagu sepasang mata bola, dengan mulut bau tequila kw lima made in Suroboyo. Suara mereka serak setengah teriak mengabarkan ada yang datang dari Jakarta menuju medan perwira. Rupanya saat itu kita masih berperang, atau setidaknya masih merasakan suasana perang. Heroiknya perjuangan nampak dari sorot mata mereka yang memerah.
Aku berjalan perlahan saja melewati satu pleton anak punk itu. Melihat dengan gembira semua canda tawa mereka. Berbagi rokok dengan satu dua dari mereka yang merentangkan tangan sambil nyengir.
"Salam Satu Nyali," ucapku lantang.
"Wani!" jawab mereka setengah berteriak.
Keluar dari kerumunan mereka yang bersiap menuju medan perwira itu, dan dibuai hayalan sebentar lagi bertemu dengan anak penjual rujak cingur yang ayu itu, memburamkan keadaan. Melepas kewaspadaanku. Ayahab ilakes kerr.
"Emmuuaahh!" tiba-tiba pipi sebelah kiriku terasa dingin. Ada seorang laki-laki melambai berambut panjang, berbaju mini, mencium pipiku, sebelum dengan tergesa masuk ke angkutan kota yang segera melaju.
Aku hanya bisa diam. Mematung.
Cuk!
Post. Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar