Oleh. Mahesa Jenar
menggantung kabut. Teteskan
pahit, getir, cemas, dan pilu
jatuhkan air hujan pada wajah
yang terbakar, yang mengepul,
pada mulut menghisap ludah.
Tempat tidur mereka lebar
di trotoar kelabu. Di bawah
lampu pertokoan yang redup
seperti dua pasang mata mereka
yang redup.
Rintih hujan, meraung angin menyusuri
koridor yang jauh, dan terdengar
desahan dan gelisah yang menghujam
dari atas. Berembus ke samping
dari dinding, lalu jatuh kembali, terantuk
dan berhenti pada tubuh mereka.
Mereka adalah isak angin, yang membuat
hati bergoyang. Api kita yang berkibar
padam dan hening, tenggelam
pada mereka yang redup.
“Mereka adalah kunci Ramadanmu,” bisik rintik hujan pada seorang pejalan.
Post. Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar