Oleh. Mahesa Jenar
Mereka adalah pejalan yang purba
Melewati banyak zaman dengan tabah
Menjadikannya bijaksana
Dilihatnya seekor burung camar tersaruk di angkasa
Dadanya lebam, kedua sayapnya terbang timpang
Tak tahan melihat derita burung malang itu
Mereka pun menyapa;
“Burung Camar, jangan menangis lagi
Terbanglah di bawah pendar cahaya
Kepakkan sayapmu lebar-lebar, jaga arah yang hendak kautuju
Luka-luka jangan kau sembunyikan di sumsum tulang
Sementara rintihanmu menggema di dada
Wahai, Burung Camar, betapa pedihnya tangisanmu
Anak-anak kesedihanmu, hirupkan napas dalam-dalam
Sesak dada hanya akan menindih bahagiamu
Bebaskan segala muslihat cinta
Sakitmu akan meniada, meski airmata masih menyisa
Segala luka, sudahkan saja
Segala kisah lama, kuburkan segera
Segala ibu kesedihan, pulangkan semua
Burung Camar, kata-kata di hatimu itu benar
Luka perkara yang tak pernah selesai
Tapi luka dan kesedihan hanya akan ada
Jika kau terus berkawan dengannya
Lihatlah bahtera di bawahmu
Bukankah itu menginspirasimu untuk terus terbang?
Cintanya pada lautan adalah untaian kasih
Terus melaju meski badai menghadang
Menyapa debur gelombang dengan senyuman
Terbanglah juga ke segala ladang
Kemudian turunlah dengan perlahan
Peluk tubuhmu dengan kedua sayapmu
Berjalanlah tenang di antara rimbun bebungaan
Bersijingkat—mendekatlah ke bunga matahari yang paling mekar
Lihat betapa rekahannya menarik banyak kupu dan kumbang
Menyesap menyadap nektarnya
Ia menghidupi hidup meski tersayat luka
Luka di hatimu, Burung Camar
Bangun dari impianmu yang semu
Sementara duka cita hanyalah sebuah permainan
Penderitaan adalah apa yang kau pikirkan
Patah hati membuatmu hancur”
Seekor burung camar mengepakkan sayapnya lebar-lebar
Berterima kasih ia pada awan yang baik hati
Kali ini ia terbang dengan riang
Pada senja yang mulai memadamkan cahaya
Setengah menunduk ia berbisik pelan;
“Hei temaram, terbangkan aku pulang
Hei kesedihan, jangan merupa luka
Hei jejak baru, tunjukkan aku jalan yang baru”.
Post. Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar