Artikel.
“Zaman kita dicirikan oleh fluktuasi periodik yang sangat tajam, dengan perubahan situasi yang mendadak, dan ini menempatkan kepemimpinan pada kewajiban yang tidak biasa dalam hal orientasi yang benar…. Salah satu elemen terpenting dalam orientasi adalah penentuan temperamen massa, aktivitas dan kesiapan mereka untuk berjuang. Namun, mood massa tidak ditentukan sebelumnya…. Seni kepemimpinan revolusioner terutama adalah orientasi politik yang benar. Dalam segala kondisi, Bolshevisme mempersiapkan garda depan politik dan melaluinya kelas buruh secara keseluruhan menggunakannya untuk perebutan kekuasaan secara revolusioner…." (Oposisi Kiri Internasional)
Memasuki 2023, Bank Dunia mencatat kalau jumlah lulusan perguruan tinggi global menembus 250 juta. OECD pun memberikan prediksinya bahwa memasuki 2030 jumlahnya akan meningkat menjadi 300 juta. Di Indonesia saja, Kemendikbudristek menerangkan bahwa 1,5 juta orang lulus sebagai sarjana atau diploma setiap tahunnya. Di sisi mereka terdapat pula 1,5 juta lulusan SMK dan 2 juta lebih lulusan SMA. Sementara lapangan pekerjaan yang tersedia tidak lebih dari 300 ribu per tahun dan kurang-lebih 1,8 juta selama periode 2016-2022. Data BPS bahkan mencatat telah terjadi penurunan tenaga kerja berlatar belakang universitas: dari 10,18 persen (Februari 2021) menjadi 9,92 persen (Februari 2022). Di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan, Tuban, dan Gresik; kami pun menyaksikan dengan mata telanjang bagaimana standar hidup kelas proletar dan kaum muda meluncur-jatuh. Loker-loker online bersimbah-ruah tapi kawasan-kawasan industri melayu. Puluhan ribu buruh berpulang ke rumah, pergudangan seiras rumah hantu, mesin-mesin terakhir beroperasi semakin keras menyiksa pekerjanya, dan kawasan industri yang masih terbuka menjelma bak neraka. Jalanan semakin bising dan ramai, bukan lagi oleh kendaraan namun kerumunan muntahan industri.
Tanpa pekerjaan tidak mungkin ada keselamatan dari ancaman kematian yang menyeringai. Akhir 2022-awal 2023, UMP Jatim dan UMK di kota-kota maupun kabupaten-kabupatennya menanjak namun reforma-reforma macam ini tiada mampu lagi menjadi obat. Derita sudah naik seleher. Tidak ada lagi penawar. Semua harga meroket. Bukan saja tarif BBM dan listrik, tapi terutama kebutuhan yang lebih mendasar. Mie rebus atau nasi bungkus dengan telur yang terbanyak ditemui berharga 10-15 ribu per bungkus, gorengan 3-5 ribu per buah. es teh 5-8 ribu per gelas, kopi hitam 9-15 ribu per cangkir, bahkan air putih dan buang hajat saja tidak gratis. Setiap harinya derita menjalar dan mencekik-cekik. Kantong berbulan-bulan kering dan sandal makin tipis. Sementara di bursa-bursa saham tiap detiknya miliaran dolar berayun bebas, meloncat dari satu meja ke meja lainnya, dan menggandakan dirinya berlipat-lipat. Konglomerat dan bankir tertawa terbahak-bahak sambil mengklik tombol di atas dipan-dipan emas, di dalam vila-vila dan rumah-rumah mewahnya. Sedangkan di pemukiman-pemukiman buruh dan kaum miskin kota, ratusan keluarga melarat dengan persoalan sanitasi mengancam, bau bacin dan lalat menerkam, perut keroncongan, gizi buruk, diare dan beragam bala.
Ada-ada saja memang setumpuk lembaga penyalur tenaga kerja tapi berbayar dan lebih sering menipu. Sebagai syarat memperoleh pekerjaan dipatokan harga mulai dari 500 ribu-7 juta rupiah dan beralasankan pelatihan segala. Ini belum tentu langsung bekerja, dan jikapun memasuki pabrik—itu paling lama 2-3 bulan saja. Sepanjang 2020-2022, rata-rata perusahaan memberlakukan pekerja kontrak selama 3 bulan dan digaji di bawah upah minimum. Perusahaan kayu Artha King Indonesia (AKI) misalnya, ratusan buruh dikontrak dengan gaji tidak sesuai UMK Sidoarjo: upah yang seharus 4,5 Juta rupiah dipotong jadi 2,2 juta rupiah. Sepanjang September 2022, PT AKI bahkan membuka lowongan kerja online dan offline yang pekerjaanya bertambah parah: masa training tak dipastikan tapi yang pasti pekerjaan adalah kontrak dengan 12 jam kerja (6 pagi-6 sore), wajib lembur (per jam 10-20 ribu rupiah), dan upah di bulan-bulan pertama sebesar 1,2 juta rupiah. Dari ribuan pendaftarnya AKI pun cuma menyerap di bawah 10 orang pekerja muda (berusia 22-28 tahun). Perusahaan gampang memasang kriteria, menyaring, dan memilih siapa-siapa untuk dipekerjakannya. Namun buruh-buruh muda tak berpilihankan apa-apa, karena jepitan masyarakat kapitalis terus-menerus memaksanya untuk menjual kemampuan kerjanya. Meski tiada yang bisa memberi jaminan pekerjaan dan keselamatan kerja, namun angkatan-angkatan muda menolak menyerah mencari kerja.
Dari wilayah-wilayah terpinggir dan desa-desa, nampak banyak angkatan muda beringsut menuju kawasan-kawasan industri. Sejak satu dekade terakhir, di Cina dan India jutaan orang memobilisasi dirinya untuk bekerja di kota-kota industri dan berpartisipasi dalam pardagangan dunia sebagai pekerja dunia dengan memproduksi barang-barang untuk diekspor ke pelbagai negeri. Namun tiba tahun-tahun terakhirnya, semuanya berubah—krisis kapitalisme seiras jerami yang terbakar dan apinya mengamuk ke segala penjuru: pabrik rata-rata berhenti beroperasi, PHK mendunia dan pengangguran meraksasa. Begitu pula dengan Indonesia: ratusan ribu pemuda timur—Kupang, Sumba, Bima, Dompu, dan sebagainya—beringsut ke Jatim, Jabar, dan Jabodetabek, dan daerah-daerah lainnya—berlatar belakang lulusan universitas, sekolah-sekolah ternama, pekerja-pekerja pertanian kecil, hingga eks-eks anggota organisasi mahasiswa yang di-DO maupun menolak wisuda—berpergian mereka melewati jaur darat dan laut, membayar bus atau menumpang truk barang; setelah berhari-hari menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, membuat pusing, bahkan muntah dan meriang; mereka akhirnya tiba di kota-kota besar, beristrahat sebentar di terminal, teras-teras toko, serta menginap di banyak asrama, sampai kemudian menemukan kenyataan dan beroleh beragam kesimpulan serupa: PHK massal masih berlangsung, pabrik-pabrik melangsungkan pengocokan dan pengosongan, sulit diperoleh pekerjaan, dan tidak tersedia lapangan pekerjaan.
Di antara kaum muda, kemiskinan pun menjadi umum. Pada 2022, Bank Dunia sudah memperkirakan: dari 8 miliar manusia di planet ini terdapat 3 miliar penduduk terdorong jatuh ke lubang kemiskinan. Kelas menengah yang diidentifikasi lembaga imperialis itu sebagai spesies yang berpenghasilan 12-120 dolar per hari telah berjumlah 4,6 miliar: 3,6 miliar di antaranya diperkirakan akan semakin miskin dan sudah nampak 1,3 miliar memenuhi kebutuhan sehari-harinya cuma dengan 2-5 dolar. Kami sendiri memperkirakan bahwa kemiskinan global telah mencapai 4,8 miliar atau 60 persen populasi dunia. Di Cina, 115 juta kelas menengah (borjuis-kecil) menjadi miskin dan menganggur. Di Indonesia, 27 juta borjuis-kecil yang baru saja lulus sekolah dan buruh yang dipecat kontan menjadi semi-proletariat dan terbelenggu kemiskinan yang tak terperikan. Di Afrika, 700 juta penduduknya sangat-sangat miskin-melarat dan berkubang di bawah garis kemiskinan ekstrem. Bahkan 40 persen negara-negara Afrika Sub-Sahara tergelincir kembali pada hutang-hutang baru yang menambah besar tanggungan rakyatnya lewat pemajakan. Di kota terbesar Afrika—Lagos: 65 persen penduduknya tinggal di tempat kumuh dan 300 ribu lainnya sama sekali tidak memiliki hunian.
Di seluruh dunia, mulai setahun yang lalu tecatat ada 55 juta tanpa rumah. PBB pun memperkirakan 20 juta orang menghadapi kelaparan di Sudan Selatan, Yaman, Nigeria, dan Somalia sebagai kejadian terburuk yang melampaui laparnya umat manusia semenjak Perang Dunia II. Di sisinya tingkat kriminalitas, perbudakan seksual dan pemakaian obat-obatan, penyakit jiwa hingga bunuh diri global meningkat pesat semenjak 30 tahun terakhir. Meledaknya pengangguran, menjulangnya kemiskinan, dan terpotongnya tangga pergerakan sosial ke atas telah menyeret banyak spesies manusia ke arah destruktif. Tekanan-tekanan masyarakat kapitalis yang mengalienasi begitu rupa dilampiaskan melalui aktivitas yang paling liar dan merusak. Termasuk menjadi pemakai narkoba hingga kurir dan bandit untuk mengakses narkoba secara praktis dan cepat. Atau bertaruh peruntungan irasional di meja judi demi melipatgandakan uang secepat kilat. Begitulah keterasingan meluas di zaman krisis.
Krisis kapitalisme merasuk ke segala aspek kehidupan dan mencerminkan lewat gunungan kemerosotan masyarakat kapitalis. Menajamya kontradiksi keberadaan para konglomerat dan bankir—borjuis-borjuis nasional dan internasional—dengan kehidupan kita dan semua kontradiksi dalam masyarakat kita; akhirnya membuka mata kita, menerangi pikiran kita, menggetarkan perasaan kita, dan menggeser keyakinan kita terhadap keyakinan-keyakinan lama kita. Masyarakat kapitalis sedang membusuk dengan cepat dan norma-norma borjuis tidak lagi cocok diterapkan di mana-mana. Semua kepercayaan terhadap kelas penguasa telah musnah. Kaum buruh dan muda ingin segera menghapuskan kepemilikan pribadi dan perbatasan-perbatasan sempit negara-bangsa.
Sekarang keterasingan dari aktivitas produksi dan pertukaran sudah menjalar ke segala lini kehidupan. Dalam krisis yang berlarut-larut inilah tindakan, kebijakan dan ide-ide kelas penguasa merosot tajam dan tersingkap terang membawa kehancuran. Ketidakmampuan dan kehilangan arah dari rezim-rezim borjuis dengan membuat berbagai peraturan reaksioner bukan saja memperlihatkan kepanikan-kelas dan kemunafikkan demokrasi borjuis, tetapi juga memperlihatkan bagaimana tenaga-tenaga produktif diperangi dan mempertontonkan antagonisme antara borjuasi dan proletariat yang semakin meluas dan jelas-jemelas. Semua yang hidup teralienasi, manusia dan alam dieksploitasi, dan penindasan-demi-penindasan menjalari. Jika borjuasi tidak digulingkan dan kapitalisme tak dihapuskan, maka kita semua akan terbunuh dan lingkungan kita hancur-berantakan oleh kekuatan gelap dan ambisi mengeruk laba yang tiada berhenti.
Perang, revolusi dan kontra-revolusi merupakan monumen umum di skala dunia saat ini. Kebangkitan revolusioner yang berlangsung di Kazakhstan, Sri Langka, Iran, sedang menjalar ke negeri-negeri lainnya dan menginspirasi perjuangan massa. Cepat atau lambat perjuangan revolusioner akan bangkit di Indonesia. Seperti tersatukannya dunia melalui perdagangan, pembagian kerja, dan menjalarnya krisis kapitalisme maka ledakan di satu negeri mempengaruhi negeri sekitarnya dan ledakan di ketiga negeri tadi berefek domino ke negeri-negeri lainnya.
Oleh. Magazine My
Post. Admind
Tidak ada komentar:
Posting Komentar