Artikel. Yegema
Tetesan Air mata ibunda-kota Tua- Kota Jeruk 🍊 Melangkah Tanpa Alas Kaki- Ketika mendengar nama Immanuel Kant, sebagian besar orang akan teringat pada sosok filsuf yang tinggal di Konigsberg, wilayah kerajaan Prusia. Selama hidupnya, ia tidak pernah keluar dari batas kota Konigsberg. Kendati demikian, pemikirannya telah membawanya melewati batas-batas kebudayaan, yang membuatnya dikenang lebih dari 200 tahun setelah kepergiannya.
Immanuel Kant (1724–1804) adalah seorang intelektual besar dengan pemikiran-pemikiran yang banyak mempengaruhi para filsuf setelahnya. Kegemilangan pemikirannya membuat ia disebut-sebut sebagai revolusionis dalam bidang filsafat.
Kant berjasa dalam merekonsilisasi rasionalisme dan empirisisme, yang selama ini sering berselisih karena keduanya sama-sama menganggap diri sebagai sumber utama pengetahuan. Kant beranggapan bahwa akal budi dan pengalaman inderawi harus diharmonisasikan. Pengetahuan akan cacat jika hanya mengandalkan salah satunya.
𝑲𝒐𝒏𝒔𝒆𝒑 𝑬𝒕𝒊𝒌𝒂 𝑲𝒂𝒏𝒕𝒊𝒂𝒏
Sumbangan pemikiran Kant yang paling menonjol adalah etika deontologis. Pemikiran ini dibahas dalam salah satu karyanya, Kritik Atas Akal Budi Praktis. Dalam buku tersebut, Kan berpendapat bahwa setiap orang dapat menemukan suatu dasar bagi hukum moral yang berlaku secara universal dalam diri mereka sendiri.
Menurut Kant, hukum moral tidak didasarkan dari pengalaman. Ia dirumuskan dari perenungan dan refleksi yang dihasilkan pikiran manusia. Manusia sudah memiliki pengetahuan atau konsep mengenai baik dan buruk secara a priori melalui akal budi. Bahkan, mereka memiliki konsep tersebut sebelum ia mengalaminya.
Hukum moral ini bersifat imperatif kategoris, yang berarti bahwa hukum ini memerintahkan setiap orang untuk bertindak kepada orang lain semata-mata karena kewajiban tanpa syarat atau alasan murni yang berlaku dalam kondisi apapun. Hukum ini menyatakan bahwa seseorang mesti bertindak secara obyektif, terlepas dari sesuatu yang menjadi hasrat dan tujuannya.
Seseorang, menurut Kant, mesti berbuat baik karena dorongan hukum moral semata, bukan karena motif-motif eksternal. Orang yang berbuat baik, yang kemudian mengharapkan imbalan atau ingin mendapatkan pujian dari orang lain, adalah orang yang memang bertindak sesuai hukum moral, tetapi tidak bertindak karena hukum moral.
Sebagai contoh, seorang pedagang yang jujur karena tidak ingin kehilangan kepercayaan dari pelanggannya, telah bertindak sesuai hukum moral. Namun, ia tidak bertindak karena hukum moral, karena ia melakukannya bukan berdasarkan alasan murni, tetapi memiliki tujuan karena takut kehilangan kepercayaan orang lain.
Dalam pandangan Kant, bertindak sesuai hukum moral tidaklah cukup. Orang harus benar-benar bertindak karena ia menghormati hukum moral yang ada dalam dirinya. Perbuatan baik yang dilakukan karena motif-motif eksternal tidaklah otentik, karena perbuatan tersebut tidak berasal dari kesadaran diri dan kepatuhan seseorang terhadap kewajiban.
𝑲𝒆𝒉𝒆𝒏𝒅𝒂𝒌 𝑩𝒆𝒃𝒂𝒔, 𝑰𝒎𝒐𝒓𝒕𝒂𝒍𝒊𝒕𝒂𝒔 𝑱𝒊𝒘𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝑬𝒌𝒔𝒊𝒔𝒕𝒆𝒏𝒔𝒊 𝑻𝒖𝒉𝒂𝒏
Hukum moral yang dirumuskan Kant mengantarkan kita pada tiga postulat: 1) kehendak bebas; 2) imortalitas jiwa, dan 3) eksistensi Tuhan. Ketiga postulat tersebut adalah persoalan metafisis yang abstrak. Mereka tidak bisa dibuktikan kebenaran dan ketidakbenarannya secara praktis. Namun, dengan adanya moralitas di dunia ini, ketiganya adalah sesuatu yang mungkin.
Manusia, menurut Kant, adalah makhluk rasional yang bertindak melalui pertimbangan akal, berbeda dengan binatang yang bertindak hanya berdasarkan hasrat dan kesenangannya sendiri. Manusia bukan hanya makhluk material yang diatur oleh hukum kausalitas, tetapi juga merupakan makhluk rasional yang memiliki kebebasan untuk bertindak sesuai hukum moral tanpa adanya paksaan, dengan mengesampingkan nafsu dan keinginannya sendiri.
Kebaikan atau kebahagiaan memang dirasakan dan didapatkan oleh manusia di dunia yang fana ini, meski keduanya tidaklah sempurna. Kebaikan dan kebahagiaan tertinggi atau sempurna, yang dihasilkan dari moralitas, hanya bisa didapatkan di dunia selanjutnya yang bersifat eternal. Ini memungkinkan immortalitas jiwa, suatu kehidupan abadi yang memberikan tempat bagi manusia untuk menerima balasan berupa ganjaran dan hukuman atas tindakan yang dilakukannya.
Adanya hukum moral di dunia ini memungkinkan eksistensi Tuhan sebagai penyelenggara dan pengatur manusia untuk menjalani kehidupan yang bermoral. Tuhan disebut sebagai tujuan akhir dari kehidupan bermoral. Tuhan juga pemberi hukum moral yang ditanamkan pada diri manusia. Eksistensi Tuhan diperlukan sebagai entitas yang memutlakan kewajiban moral, sekaligus hakim yang mengadili perilaku manusia.
Kant menolak postulat bahwa hukum moral ditanamkan oleh Tuhan pada diri manusia. Menurutnya, hukum moral murni berasal dari akal budi manusia sendiri, dan Tuhan sama sekali tidak memiliki keterlibatan di dalamnya. Sikap Kant bahwa Tuhan tidak bisa dibuktikan keberadaan atau ketidakberadaannya mencirikan bahwa ia seorang agnostik, kendati ia sendiri berasal dari keluarga Protestan yang taat.
𝑲𝒓𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒕𝒆𝒓𝒉𝒂𝒅𝒂𝒑 𝑬𝒕𝒊𝒌𝒂 𝑲𝒂𝒏𝒕𝒊𝒂𝒏
Meskipun etika Kantian terasa ideal, tidak membuatnya luput dari kritik pedas. Hegel, salah satu filsuf yang mengkritik Kant, memandang filsafat etika Kantian terasa sangat formal dan individual. Ia beranggapan bahwa Kant seakan-akan melepaskan suatu individu sebagai bagian dari masyarakat, mengutip Salman Akif Faylasuf dalam artikel berjudul Immanuel Kant (3): Perbuatan Etis Ada di Balik Nalar.
Lebih lanjut, Hegel menilai bahwa Kant tidak melihat konteks dari kehidupan manusia. Kant membuat manusia terlepas dari sejarahnya, hanya sebagai individu yang berkembang secara komunal. Menurut Hans Fink dalam buku Filsafat Sosial, Hegel melihat etika Kantian sebagai prinsip yang abtrak dan bersifat tendensi, tidak menghasilkan solusi apapun untuk mengatasi imoralitas.
Menurut Hegel, upaya Kant untuk mengabstraksikan kehidupan individu dan masyarakat yang konkret, membuatnya tidak mampu memahami prinsip-prinsip kebebasan pribadi yang modern. Ia memandang filsafat Kant sebagai sesuatu yang keliru, meski kekeliruannya tidak berlaku secara keseluruhan.
Max Scheler, seorang filsuf yang memuji etika Kant sebagai etika tertinggi yang pernah dihasilkan seorang jenius filsafat, turut mengkritiknya. Scheler, melalui buku Pengantar Filsafat Nilai yang ditulis Risieri Frondizi, mengatakan bahwa terdapat dua kesalahan yang dilakukan oleh Kant, yakni 1) mengacaukan antara yang a priori dengan yang formal; dan 2) mengacaukan antara yang a priori dan rasional.
Scheler mengatakan bahwa Kant telah melakukan kekeliruan dengan melakukan persamaan antara yang a priori dan formal, dan berpikir bahwa etika material seharusnya merupakan etika benda dan tujuan-tujuan. Scheler juga mengkritik Kant karena telah mereduksi moralitas yang homogen menjadi moralitas yang universal, sehingga tidak ada hierarki atau tingkatan untuk menentukan nilai yang tinggi dan rendah.
Kant dan Scheler memang sejalan dalam memandang bahwa etika atau moralitas dirumuskan berdasarkan prinsip a priori. Namun, keduanya berbeda jalan dalam mendefinisikan apa itu a priori. Bagi Kant, etika atau moralitas dihasilkan dari akal budi yang bersifat universal, sementara Scheler memandang bahwa etika yang dihasilkan secara a priori memiliki relasi dengan pengalaman langsung atau fenomena.
Kendati etika deontologis Kant menerima banyak kritik, ia masih memiliki peranan penting dalam khazanah pemikiran filsafat barat. Posisinya sebagai seorang filsuf tetap tak tergoyahkan. Pengaruhnya tak pernah surut hingga abad manusia modern saat ini. Kant adalah seorang moralis sejati, yang bisa kita lihat dalam ungkapannya yang populer: “langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku.”
*𝑇𝑢𝑙𝑖𝑠𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑟𝑏𝑖𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑠𝑖𝑡𝑢𝑠 𝑀𝑎𝑠𝑗𝑖𝑑 𝐽𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑎𝑙 𝑆𝑢𝑑𝑖𝑟𝑚𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 12 𝐷𝑒𝑠𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟 2023.
-----------------------------------
Post. Admind
Komentar
Posting Komentar