*Degei Siorus Degei Siorus
Siakah Tuhan?
Siapakah Tuhan? Setiap agama punya jawaban masing-masing ihwal siapakah Tuhan? Tanpa terpengaruh doktrin agama yang ketat, saya mau jawab begini:
Pertama, jika ditanya dengan kata siapa, itu berarti merujuk pada person, subjek, pribadi, maka jawabannya pun mesti menunjukkan letak kepribadian Tuhan. Tuhan memang ber-pribadi tetapi bukan dalam arti manusiawi atau antropomorfistis.
Bahasa filsafat, terutama bahasa filsafat ketuhanan mengatakan Tuhan sebagai pengada yang tak diadakan, Ia sendiri tak pernah diadakan. Ia adalah ada yang sudah ada sejak sejak ada itu ada dan akan selalu ada sekalipun yang ada itu tiada lagi. Ia juga adalah sebab yang tidak disebabkan, sebab yang menyebabkan sebab-sebab lain.
Jika menyitir pada Magniz dalam bukunya ‘Menalar Tuhan’ (2006) maka di sana secara rasional ditunjukkan tentang siapa itu Tuhan? Bahwa Ia adalah Sang Ketakterhinggaan (jalan ontologis), Sang Kemutlakan Semesta (jalan kosmologis) dan Sang Keterarahan Ajaib-Kosmik (jalan fisiko-teologis).
Tuhan itu apa?
Jika pertanyaan siapakah itu Tuhan? Menuntut jawaban yang bercorak antropologis, maka untuk pertanyaan Tuhan itu apa? Akan lebih melihat Tuhan sebagai objek, sebagai sesuatu yang melaimpaui realitas fisik. Pastor Nico Syukur Diester Ofm menulis buku ‘Bapak dan Ibu sebagai Simbol Allah’ (1983). Apakah Allah itu berjengot? Apakah Allah itu feminim atau maskulin? Dengan menggunakan studi psikologis agama Diester menunjukkan bahwa aspek atau ciri maskulinitas dan feminisitas Allah itu hanya sebagai simbol.
Simbol terberi yang mau mengatakan bahwa Allah itu sesuatu yang sulit manusia reduksi menggunakan nalar dan kategori-kategori bahasa yang terbatas. Perkakas manusia untuk menalar Allah amat terbatas dan apa adanya.
Kita barangkali masih ingat kisah Agustinus: Ia berjalan di pinggiran pantai, di sana ia melihat seorang anak kecil yang menggali pasir membentuk lubang kecil. Agustinus penasaran dengan apa yang sedang anak kecil itu, ia menghampiri anak itu dan bertanya kenapa anak itu menggali lubang di bibir pantai, anak itu menjawab ia hendak memindahkan air laut yang besar dan luas itu ke dalam lubang kecil yang sudah ia siapkan itu.
Agustinus merasa terkejut, baginya ini adalah hal mustahil yang baru ia dengar. Lalu Agustinus menanyakan lagi, tapi bagaimana bisa samudera yang luas ini dapat kau tampung dalam lubang yang kecil ini. Kemudian anak itu menjawab bahwa apa yang ia lakukan itu tidak ada bedanya dengan apa yang selama ini Agustinus buat. Ia kira dapat menampung konsep Allah yang mahabesar dan mahaluas itu dalam rasionya yang terbatas.
Apakah Tuhan Ada?
Apakah Tuhan ada? Jika Tuhan tidak ada, tidak mungkin pertanyaan apakah Tuhan ada itu ada, artinya bahwa sejauh pertanyaan apakah Tuhan itu ada, itu ada, maka sejauh itu pula Tuhan itu ada, Ia ada sebagai titik pusat pergumulan umat manusia. Sehingga jawaban ringkas saya ialah Tuhan itu ada, sebab sia-sialah dan terlaluh konyol kita mau sibuk-sibuk dengan satu hal yang tidak ada, makanya Tuhan itu ada karena pergumulan tentang eksistensi-Nya senantiasa relevan dari jaman ke jaman.
Jawaban lainnya meliputi tiga jalan pembuktian rasional adanya Tuhan sebagaimana dalam buku ‘Menalar Tuhan’ (2006) dari Romo Frans Magniz Suseno Sj:
Pertama, jalan ontologis. Ini adalah jalan klasik, jalan ini menunjukkan eksistensi Tuhan sebagai ‘maha segala’. Konsep jalan ontologis berasal dari salah satu bapa Gereja dan bapa skolatisisme, Anselmus Canterbury (1033–1109). Menurut Anselmus, Tuhan adalah ‘Pengada sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan lagi’. Kata-kata Anselmus ini mau menegaskan satu ontologi dasar tentang keberadaan Tuhan. Bahwa eksistensi Tuhan itu melampaui eksistensi lainnya, ia adalah ‘Sang Ketak-terhinggaan’.
Kedua, jalan kosmologis. Adalah jalan yang menunjukkan bahwa Tuhan itu dapat kita jumpai melalui alam semesta yang indah dan teratur ini. Salah satu teolog terkemuka yang Romo Magnis rujuk adalah Henri-Marie Joseph Sonier de Lubac SJ (1896-1991) yang mengatakan ‘sesuatu itu ada, jadi Allah itu ada’ bagi Lubac, Allah adalah manifestasi konkret dari kehadiran Allah. Sebab ada relasi ketat antara realitas terbatas dengan realitas tak terbatas. Ada hubungan kuat antara ciptaan dan penciptanya, misalnya untuk mengenal seorang pelukis dapat kita kenal lewat karya lukisannya. Tuhan yang mahasuci dan Sang Ketak-terhinggaan itu dapat kita resapi kehadiran dan keberadaan-Nya melalui semesta alam.
Singkatnya, Allah itu alam dan alam itu Allah.
Ketiga, jalan fisiko-teologis. Adalah jalan keterarahan. Dalam semesta jni ada suatu efek yang menjadi energi, daya, dan roh yang selalu hadir dalam proses, siklus, dan evolusi. Manusia laki-laki dan perempuan membangun relasi badan yang intim, kemudian lahirnya kehidupan manusia baru, ia melewati proses biologis-alami sejak dalam masa pembuaan, masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia, dan fase pasca kehidupan (tubuh menjadi debu dalam angin, roh melayang-layang).
Semua entitas yang hidup tidak abadi. Selalu ada dinamika alam yang mereka lewati menuju suatu kemenjadian yang absolut. Jalan fisiko-teologis ini mau menunjukkan bahwa Tuhan adalah ‘asal dan tujuan keter-arahan kosmik’. Ia adalah alfa sekaligus omega dari semua entitas fisik yang ada.
Lima Jalan Pembuktian Aquinas
Thomas Aquinas mengusulkan lima jalan (Quinque Viae) untuk membuktikan keberadaan Tuhan, yang didasarkan pada pengamatan dunia alami dan logika. Kelima jalan tersebut adalah: jalan penggerak pertama (motion): jalan sebab akibat (causation): jalan kemungkinan dan keniscayaan (contingency): jalan tingkatan kesempurnaan (degrees of perfection): dan Jalan tata tertib (design).
Jalan Penggerak Pertama (Motus). Segala sesuatu yang bergerak pasti digerakkan oleh sesuatu yang lain. Namun, tidak mungkin ada rangkaian sebab-akibat yang tak terhingga. Oleh karena itu, harus ada Penggerak Pertama yang tidak digerakkan oleh apapun, dan Penggerak Pertama inilah yang disebut Tuhan.
Jalan Sebab Akibat (Causation). Setiap akibat pasti memiliki sebab. Tidak mungkin ada rangkaian sebab-akibat yang tak terhingga. Oleh karena itu, harus ada sebab pertama yang tidak disebabkan oleh apapun, dan sebab pertama inilah yang disebut Tuhan.
Jalan Kemungkinan dan Keniscayaan (Contingency). Segala sesuatu di dunia ini bersifat mungkin, bisa ada atau tidak ada. Jika segala sesuatu hanya bersifat mungkin, maka pada suatu waktu tidak akan ada sesuatu pun. Oleh karena itu, harus ada sesuatu yang niscaya, yang keberadaannya tidak bergantung pada yang lain, dan sesuatu yang niscaya inilah yang disebut Tuhan.
Jalan Tingkatan Kesempurnaan (Degrees of Perfection). Kita melihat adanya tingkatan kesempurnaan pada berbagai hal di dunia ini. Ada yang lebih baik, lebih indah, lebih benar, dll. Kesempurnaan ini pasti memiliki standar pembanding, yaitu sesuatu yang paling sempurna. Sesuatu yang paling sempurna inilah yang disebut Tuhan.
Jalan Tata Tertib (Design). Alam semesta ini menunjukkan adanya keteraturan dan tujuan. Benda-benda mati pun menunjukkan adanya tujuan. Keteraturan dan tujuan ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, melainkan pasti ada perancang yang cerdas. Perancang yang cerdas inilah yang disebut Tuhan.
Kelima jalan ini menunjukkan bahwa keberadaan
Tuhan dapat dibuktikan melalui pengamatan dan penalaran rasional berdasarkan pengalaman terhadap dunia dan segala isinya.
Budaya sebagai Jalan Pembuktian Hakiki
Bagaimana saya mempertanggung-jawabkan iman saya tentang keberadaan Tuhan?
Pertama, sebagai anak adat, saya meyakini bahqa sebelum menganut agama Katolik,Tuhan sudah lebih dulu hadir dalam kebudayaan saya. Budaya saya meyakini adanya ‘Sosok Transenden’, Daya Ilahi, Energi Dasar yang menyelenggarakan kehidupan ini.
Kami atau suku saya menyapa ‘sang transenden’ ini dengan sebutab sakral, seperti ‘ugatame’ (pencipta), ‘poyame’ (pemilik nilai-nilai baik), ‘wadome’ (yang di atas), dan lainnya. Dalam keyakinan, atau religiositas lokal saya, saya tidak menemukan debat kusir antara teisme, ateisme, dan agnotisisme.
Saya tidak perlu mempersoalkan atau meributkan apakah Tuhan itu ada atau tidak ada. Saya tidak perlu tampil bak ‘pahlawan kesiangan’ untuk membela Tuhan dalam budayaku. Sehingga bagi saya, orang berbudaya dan beriman’, soal-soal kusir seperti apakah Tuhan itu ada atau tidak ada, bagaimana mempertanggung-jawabkan iman itu tidak begitu relevan, sebab sekali lagi, saya sangat mengalami dan merasakan kehadiran dan keberadaan Tuhan dalam realitas historis ‘budayaku’.
Budayaku adalah agamaku, di sana Tuhan tidak perlu saya cari seakan-akan ia bersemayam di tempat yang jauh. Dalam agama budayaku Tuhan itu transenden sekaligus imanen, ia dekat tapi jauh, ia ada tapi seakan-akan tidak ada. Jadi, cara saya mempertanggung-jawabkan iman saya, yaitu dengan jalan ‘mengimani Tuhan dengan Jalan Budayaku’. (*)
🌺🌸
Pos. Admin
Komentar
Posting Komentar