Suatu Negara dibentuk dari Kesadaran dan Hak Asasi manusia
Perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia lahir dari kesadaran akan hak asasi manusia, martabat bangsa, dan keadilan universal. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda, para tokoh pejuang seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan KH. Hasyim Asy’ari tidak membawa agama sebagai dasar permusuhan. Mereka bersatu sebagai bangsa tertindas untuk mengusir kolonialisme demi kedaulatan rakyat. Perjuangan mereka bersifat anti-penjajahan, bukan anti-agama atau anti-suku bangsa tertentu.
Demikian pula perjuangan rakyat Palestina hari ini bukanlah perang agama untuk menyerang keyakinan tertentu, tetapi merupakan perjuangan kemanusiaan melawan penjajahan, perampasan tanah, pembunuhan warga sipil, dan pelanggaran HAM internasional. Dunia mendukung Palestina bukan karena fanatisme agama tertentu, tetapi karena prinsip universal bahwa setiap bangsa berhak merdeka dan bebas dari kolonialisme modern.
Perjuangan Papua Merdeka juga berdiri di atas prinsip kemanusiaan dan hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Papua tidak pernah menyatakan perang terhadap agama atau rakyat Indonesia, tetapi menolak sistem kolonialisme negara dan struktur politik-militer yang menindas, mengeksploitasi sumber daya alam, dan menghilangkan hak hidup rakyat Papua sebagai bangsa yang berbeda secara historis, antropologis, dan kultural.
Dalam sejarah Indonesia, para pejuang dari berbagai agama seperti Islam, Kristen, Hindu, maupun kepercayaan lokal bersatu melawan penjajah karena musuh utama mereka adalah kolonialisme yang merampas hak bangsa. Begitu pula semangat perjuangan Papua tidak memusuhi umat Islam, Kristen, Hindu, atau agama apa pun, karena seluruh agama mengajarkan keadilan dan menolak penindasan. Musuh perjuangan Papua adalah sistem penjajahan negara yang membungkam hak asasi rakyat Papua.
Banyak tokoh nasional Indonesia menegaskan bahwa penjajahan harus dihapus karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Prinsip ini tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama. Secara moral, prinsip tersebut juga berlaku bagi Papua karena rakyat Papua merasa sedang mengalami kondisi penjajahan di tanah sendiri. Dengan demikian, perjuangan Papua Merdeka sejalan dengan nilai-nilai universal yang dulu juga digunakan oleh para pendiri bangsa Indonesia.
Perjuangan kemerdekaan Papua tidak bertujuan untuk memusuhi rakyat Indonesia sebagai individu, karena rakyat Indonesia bukan penjajah. Penjajahan dilakukan oleh struktur kekuasaan negara, aparat militer, dan kebijakan politik yang merampas hak hidup rakyat Papua. Oleh karena itu, perjuangan Papua bersifat anti-penjajahan dan pro-kemanusiaan, bukan anti-agama atau anti-suku bangsa lain.
Dalam perspektif hukum internasional, setiap bangsa yang mengalami kolonialisme memiliki hak untuk menentukan masa depannya sendiri melalui referendum yang bebas dan adil. Inilah yang dituntut oleh rakyat Papua sejak Pepera 1969 yang dinilai cacat hukum dan tidak demokratis. Perjuangan ini bukan sentimen kebencian, melainkan tuntutan untuk mengoreksi sejarah dan memberikan keadilan bagi bangsa Papua.
Perjuangan Papua sejatinya bersifat damai dan bermartabat, tercermin dalam aksi-aksi demonstrasi, diplomasi internasional, serta suara para mahasiswa, gereja, dan tokoh adat. Seluruh gerakan ini menekankan bahwa Papua ingin hidup sebagai bangsa yang bermartabat, setara, dan bebas dari kekerasan negara. Papua mengajak dialog dengan dunia internasional berdasarkan prinsip kemanusiaan, bukan dengan kekerasan agama.
Jika Indonesia dahulu berjuang untuk mengusir Belanda karena penjajahan, maka Papua hari ini berjuang karena mengalami bentuk kolonialisme modern yang serupa: eksploitasi kekayaan alam, militerisasi, pelanggaran HAM, dan marginalisasi penduduk asli. Perjuangan ini adalah kelanjutan dari nilai kemerdekaan universal yang juga pernah diperjuangkan bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, perjuangan Papua Merdeka harus dilihat sebagai perjuangan kemanusiaan dan pembebasan bangsa, bukan konflik agama atau kebencian terhadap rakyat Indonesia. Tujuan utamanya adalah mengembalikan kedaulatan bangsa Papua, memulihkan martabat manusia, dan menciptakan perdamaian sejati berdasarkan keadilan. Inilah garis moral yang menyatukan perjuangan Indonesia dahulu, Palestina hari ini, dan Papua Merdeka sebagai bagian dari perjuangan global melawan segala bentuk kolonialisme.
*******
Cinta Habis Di Revolusi
Di sudut kota Holandia
Cendrawasih berdanca
Di atas podium auditorium Uncen, pria itu
Sebut saja namanya Kamus Bayage,
Sosok Pria yang tidak asing terkenal di kalangan mahasiswa universitas cenderawasih.
suara lantang bergema penonton bergemuruh kata-katanya sangat menantang dengan realitas situasi kehidupan Masyarakat Papua.
Kata-demi kata begitu tersusun rapi,
Kalimat demi kalimat di ucapkan dengan semangat, bagaikan api berkobar di tengah kayu kering yang melahap.
setiap ucapannya menginspirasi anak mudah bangkitkan jiwa yang tidur Melawan ketidakadilan meraya Lela di depan mata.
Satu ucapan kalimat yang sangat populer adalah "belajar bersama dan bergerak bersama"
.merupakan akar dari pergerakan mahasiswa sebagai agen pengerak
Untuk mengakomodir beragam aspirasi kepentingan Rakyat Papua.
Dirinya sosok yang dikagumi oleh kalangan Mahasiswa universitas cenderawasih, sebagai pria tangguh mengangkat suara mahasiswa yang dibunggamkan oleh akademis.
sering juga di sebut sebagai aktivis Mahasiswa yang selalu membangkitkan semangat generasi untuk jangan tunduk pada aturan yang justru merugikan masyarakat Papua.
Jejak perjuangan panjang yang ditempuhnya Kamus bayage pdikenal masyarakat luas, Menjadi benteng pertahanan. Dan sosok inspiratif bagi generasi muda Papua.
Sampai saat ini pria itu berdiri kokoh sebagai
Sosok inspirator dan aktivitas kampus
bagi generasi mudah.
Membagikan pengalaman dan pelajaran berharga kepada semua mahasiswa, untuk terus lawan sampai ketidak Adilan itu di tuntas.
closing tax
Akademisi milik mahasiswa,
Tapi kamu Milik rakyat Papua,
Suatu kelak saya akan membaca
Biografi mu dalam buku yang berjudul
Cinta habis di Revolusi,
Dengan kata romantis namun penuh inspirasi dan emosi ekspresi dari perjuangan panjang yang selami ini anda tempuh.
Tuhan Yesus memberkati ✊๐๐พ
Dari tanah Amume Kamoro.
Untuk kknada Kamus bayage di Holandia.
By Nare Eben.
Hormat diberi terimakasih kawaEben Nr'Dellll untuk artikelnya .
*******
KAWAN..., BUKAN HATI YANG PANAS DAN DINGIN
=================================
Kita Merasa bahwa hati kita kadang menjadi panas dan kadang dingin, padahal hanya darah yang selalu berubah-ubah berdasarkan setiap situasi yang kita ciptakan bahkan kita alami
Dan juga kita Merasa bahwa tubuh kita yang sedang berubah, pada hal tubuh kita tidak berubah. Yang sedang berubah adalah proses peredaran darah yang ada dalam tubuh kita.
Oleh karena itu, apa yang kita lakukan untuk tubuh kita ini, tetap tercipta sehat, aman, damai dan suka-cita alias "DI DALAM TUBUH YANG SEHAT TERDAPAT PULA JIWA YANG SEHAT".
Untuk itu, kita mesti melakukan cara-cara terbaik untuk menyelamatkan Tubuh dan Jiwa kita dengan cara:
@Jaga mulut = berdamai dengan mulutmu
@Jaga mata = berdamai dengan Matamu
@Jaga telinga = berdamai dengan Telingamu
@Jaga tangan = berdamai dengan tanganmu
@Jaga rasa =. berdamai dengan Rasamu
@Dll.
Melakukan hal-hal di atas itu, yakin bahwa darah kita tetap bersih, maka tubuh pun tetap aman dan sehat.
Dari situlah segala realitas yang terjadi di setiap saat dalam perjalanan hidup kita SEMUANYA KINI DAPAT MELIHAT DENGAN MATA BARU".
Dengan demikian, terciptalah DAMAI DI DALAM DIRIMU alias Berdamailah dengan Dirimu sendiri agar dapat berdamai dengan sesama dan berdamai dengan segala Ciptaan.
Akhirnya dambaan "KEDAMAIAN ABADI" menjadi nyata dalam kehidupan ini.
Aturan emas bagiku dan bagimu adalah: "BERDAMAILAH DENGAN DIRIMU SENDIRI"
"Alam Papua Mau itu, terhadap dirimu"
*******
Realitas Atas arsip sejarah sejak 60-an hingga kini, di seluruh Bangsa Papua barat, Dengan berbagai pengorbanan terhadap rakyat bahkan (SDA) belum ada namanya pembelaan, yang ada hanya Perakusan manusia dan tanah air west papua barat, Dengan adanya persoalan-persoalan regresif yang di terapkan oleh watak kapitalisme, lebih khusus Sistim bangsa Indonesia,dan militerisme Indonesia terhadap masyarakat Papua, itulah Negara yang konyol, seharusnya Hukum sudah ada, peraturan sudah ada, UUD, ayat-ayat, pasal-pasal, tolol hekkk..... Kepentingan dri pada Kapitalisme, Militerisme, imperialisme,berbagai wilayah di sisi sosial, ekonomi, pendidikan, agama, bahkan itu semua hanya kepentingan politik oleh kapitalis. Di tengah penderitaan kenyataan dan fakta yang di putar balikan dengan metode-metode memusnahkan bagi rakyat bahkan orang Papua itu sendiri, Maka Rakyat yang tertindas berbagai persoalan ini, Kita bisa Serang dengan bersuara perlawanan yang sesungguhnya,Satukan barisan, Jangan heran dengan barang-barang kini, Itu hanyalah membodohi anda, Rakyat Papua harus ada Satu kata yaitu lawan,Rebutkan kembali Menuju Pembebasan Bangsa West Papua Barat.
*******
Ini Stigma yang Bisa Merusak Masa Depan Anak-anak.
Disaat saya, anda dan kita menjalani masa kecil dan di saat yang sama orang tua anda ditahan bertahun-tahun karena perjuangan Papua Merdeka, apa yang saya, anda dan kita rasakan?
Buat saya, yang paling berat adalah mendengar sebutan "anak OPM" yang ditujukan pada saya, anda dan kita di masa kecil itu. Ini stigma yang bisa merusak masa depan anak-anak namun bisa juga membangun masa depan yang lebih revolusioner.
Tergantung keluarga dimana saya, anda dan kita menjalani kehidupan.
Jadi jangan pernah "bermain-main" dengan perjuangan orang tua saya, anda dan kita.
Orang tua selalu menginginkan yang terbaik buat anak-anaknya. Perjuangan Papua Merdeka adalah pilihan yang mereka anggap terbaik untuk masa depan anak-anaknya.
Kenanglah selalu mereka tanpa harus menciderai pilihan mereka.
Oleh
___ Viktor mambor__201⁸
*****
Tempat Hidup Anda adalah Tanah Kudus-Mu Yang Harus Merawat Dalam Naungan
Diciptakan untuk mengalami: Aman, damai dan Suka-cita dalam hidup ini di tanah kudusmu.
Entah kaya, entah miskin; entah pintar, entah bodoh; entah punya kekuasaan, entah jelata; entah punya kekayaan, entah tidak punya apa-apa.
Semuanya itu warna dari kehidupan di bumi ini.
Yang penting adalah Hati dan jiwa yang penuh damai dan suka-cita.
Yang penting adalah menyadari diri untuk hidup di bumi ini, karena di mana kakimu berpijak di situlah tempat kudusmu yang Tuhan beri bagimu.
Jangan lupa amanat ini,
"Berbahagialah orang yang memiliki bumi, karena mereka akan disebut Anak-anak Allah.
"Alam Papua Mengajarkan"
*******
“Nyanyian Merdu Sang Malaikat dari Ujung Timur”
Dari ujung timur Pulau Papua, di tanah Melanesia Barat yang kaya akan keajaiban alam dan budaya, terdengar nyanyian merdu sang malaikat bumi — lembut, tenang, dan penuh makna. Ia bukan sekadar suara yang meluncur di antara pepohonan, melainkan getaran suci yang lahir dari hati tanah dan jiwa langit. Suara itu melintas di atas lembah hijau, melayang di antara kabut gunung, dan menembus hingga ke dalam dada siapa pun yang mau mendengarnya dengan hati yang terbuka.
Di bawah sinar mentari pagi yang hangat, burung cenderawasih, sang perhiasan dari timur, menebarkan sayapnya yang berwarna-warni seperti lukisan tangan Tuhan. Setiap bulunya memantulkan cahaya kehidupan — merah, kuning, hijau, biru — seakan menceritakan kisah lama tentang keindahan, kebebasan, dan kesucian tanah Papua. Dalam keheningan hutan yang rimbun, suaranya bersatu dengan nyanyian sang malaikat, menciptakan harmoni yang menenangkan hati dan pikiran.
Nyanyian itu tidak hanya sekadar melodi; ia adalah doa yang mengalun dari bumi ke langit. Doa tentang cinta dan damai, tentang syukur atas tanah yang subur, laut yang luas, dan gunung yang berdiri gagah menjaga anak-anak Melanesia. Suaranya menembus batas-batas waktu, membangkitkan kenangan akan leluhur yang pernah menari di bawah cahaya bulan sambil memuji Sang Pencipta.
Bagi siapa pun yang mendengarnya, nyanyian itu membawa ketenangan yang dalam — seolah setiap nada mampu menyapu lelah, menghapus luka, dan menggantinya dengan harapan baru. Di dalamnya ada pesan rahasia: bahwa keindahan sejati tidak pernah berteriak, melainkan berbisik lembut lewat harmoni alam.
Dan di sanalah, di ujung timur Pulau Papua, sang malaikat bersuara lembut terus bernyanyi. Ia tidak menuntut tepuk tangan, tidak menginginkan kemegahan. Ia hanya ingin dunia tahu — bahwa di tanah Melanesia Barat, di tempat burung cenderawasih menari, masih ada suara surgawi yang menjaga kedamaian bumi dan menenangkan hati manusia.
******
TANAH YANG HAMPIR HILANG
Di suatu hari ketika lagi santai, angin sepoi dari arah hutan datang membisikkan cerita. Di kampung kecil di pinggir sungai, seorang bapak tua bernama Yonas duduk di depan pondoknya. Matanya memandang bukit yang mulai gundul, hutan yang dulu menjadi tempat berburu dan rumah roh-roh leluhur kini terbuka lebar untuk alat-alat berat. “Tanah ini sedang sekarat,” bisiknya pelan. “Dan kita ikut mati bersamanya.”
Anak-anak muda di kampung itu sudah jarang turun ke sungai. Mereka kini bekerja di proyek tambang, menggali batu dan emas yang bukan untuk mereka. Mereka bilang itu "pembangunan." Kata yang sering diulang pejabat yang datang dari kota dengan mobil berkilau. Tapi bapa Yonas tahu, pembangunan itu berarti kehilangan. Setiap kali alat berat datang, sebatang pohon sakral tumbang. Setiap kali jalan dibuka, suara marga satwa termasuk burung cenderawasih makin menjauh.
Di malam hari, bapa tua Yonas sering berbicara pada cucunya, Mikael. “Kalau kita terus tunduk,” katanya dengan suara bergetar, “kita sedang berjalan menuju akhir kita sendiri. Mereka tidak membunuh kita dengan peluru saja, tapi dengan janji.” Mikael hanya diam. Ia tahu kakeknya benar, tapi juga tahu sulit melawan. Semua orang takut. Siapa yang bersuara bisa hilang tanpa jejak. Entah ditembak! Entah diterror!
Keesokan harinya, bapa Yonas mendengar kabar bahwa sungai yang selama ini menjadi sumber air minum tercemar limbah tambang. Ikan mati, anak-anak sakit dan ibu-ibu mengelu. Tapi yang parah, pemerintah bilang itu “dampak kecil demi kemajuan.” Yonas tertawa getir dan bergumam, kemajuan bagi siapa? Ia mulai menulis di selembar kertas sebuah catatan, isinya: “Kami tidak butuh kemajuan yang membunuh ibu kami, tanah Papua. "
Tulisan itu tak sempat dibaca banyak orang. Tapi malamnya, bapa Yonas ditangkap, dituduh menyebar provokasi. Mikael, cucunya melihat dengan mata kepala sendiri ketika truk hitam membawa kakeknya pergi ke arah markas. Sejak itu, kampung menjadi sunyi. Tidak ada yang berani bicara. Orang-orang bagai diintimidasi dan ditindas dengan senjata.
Hari demi hari berlalu. Hutan semakin habis, suara burung hilang, dan kampung kehilangan jiwanya. Mikael menyadari, inilah genosida yang perlahan, bukan saja dengan darah yang tumpah di medan perang, tetapi juga dengan tindakan yang dipaksakan, dengan tunduk yang dibiasakan. Kita dibiasakan untuk tunduk dan pasrah.
Suatu malam, ia berdiri di tepi sungai yang sudah keruh. Ia menggenggam tanah dan berjanji dalam hati: “Aku tidak akan diam. Jika kami terus tunduk, maka tanah ini akan mati. Tapi jika kami berani bicara, mungkin masih ada harapan untuk hidup.”
Malam itu, untuk pertama kalinya, Mikael menulis ulang kata-kata kakeknya di dinding rumahnya, "Papua bukan tanah tanpa suara. Jika kami diam, kami lenyap. Jika kami bersuara, kami hidup.”
Dan di tengah keadaan yang menekan, suara kecil itu mulai bergema, sekalipun pelan, tapi pasti bahwa menentang genosida yang datang dalam nama pembangunan adalah kejayaan jiwa.
PaceKumisTopiMiring
PIGAI, honny - QC, 26102025
*******
KATA-KATA DARI PETANI SEJAT
Kini dunia sedang dalam krisis ekonomi. Mereka yang sedang bersenang-senang tidak merasakan apa-apa namun mereka sedang menganalisis data dan informasi terkait masalah ekonomi, sedang dalam kekhawatiran untuk mau bagaimana kan pangan lokal.
Kini manusia hidup atas makanan instan atau makan jadi yang dibuat oleh pabrik ekspor impor produk. Sehingga kini banyak faktor negatif yang muncul baik dalam konflik internal antara pribadi maupun kelompok bahkan sampai global.
Melihat dengan situasi seperti ini yang perlu saya, kamu, dia, dan kita lakukan saat ini untuk hari esok adalah:
1. Jaga Tanah
2. Jaga Pangan Lokal, dan;
3. Olah Tanah dan Pangan Lokal
Kita jaga Tanah maka kita jaga diri sendiri, kita jaga pangan lokal maka kita jaga jati diri kita sendiri. Maka itu, ayo kita sama-sama kembali ke sandang, pangan dan papan lokal yang ada agar warisan leluhur tetap terjaga dengan baik.
Karena makanan instan tidak selamanya bisa bertahan. Makanan instan itu ketika mesin tidak berfungsi akan hilang dalam waktu yang singkat. Kembali masa lalu dan hidupkan kembali.
Belajar dari Tungku Api ๐ฅ
Jelajahi Dunia Tulis ๐๐
Amansius E. Keiya
*****
Pendidikan yang Memenjarakan Rakyat Papua
Pendidikan seharusnya menjadi jalan pembebasan, bukan alat penjinakan. Namun di Papua hari ini, pendidikan justru sering menjelma sebagai bentuk penjara yang halus dikelola oleh pemerintahan yang tunduk pada kebijakan Jakarta.
Sekolah-sekolah dibangun, tetapi bukan untuk membebaskan pikiran rakyat Papua. Kurikulum yang diterapkan adalah salinan dari pusat menolak pengetahuan lokal, menolak sejarah tanah ini, dan menolak nilai-nilai kultural yang hidup di masyarakat adat. Di kelas, anak-anak diajarkan bagaimana menjadi pekerja yang patuh, bukan manusia yang merdeka berpikir.
Pemerintah daerah atau provinsi di tanah Papua seolah sibuk dengan proyek-proyek fisik dan anggaran, tetapi lupa bahwa pendidikan sejati adalah tentang kesadaran dan kemanusiaan. Mereka membiarkan birokrasi pendidikan menjadi alat kontrol sosial, bukan ruang refleksi. Guru-guru dipaksa mengejar angka dan laporan, bukan menumbuhkan cinta belajar.
Di bawah bayang-bayang Jakarta, sistem pendidikan kita kehilangan arah lebih mementingkan ketaatan ketimbang kejujuran, lebih menghargai ijazah ketimbang kearifan. Sementara itu, rakyat kecil tetap tertinggal, dan kampus-kampus lokal hanya menjadi tempat lahirnya birokrat baru, bukan pemikir bebas.
Pendidikan di Papua hari ini seperti penjara tanpa jeruji membatasi imajinasi, membunuh rasa ingin tahu, dan menutup jalan bagi kebebasan sejati.
Eko-vinsent
****
KoSaPa
Segenap Pengurus Komunitas Sastra Papua (Ko'SaPa) menyampaikan duka yang sangat mendalam atas kepergian Kaka Aprila Wayar. Penulis Novel Perempuan Papua yang pertama dan Jurnalis Papua Barat.
Aprila perempuan Papua yang berani, terlibat aktif menyuarakan isu isu Papua. Ia, aktif dalam bergai organisasi yang didirikan FNMP di Kota Studinya di Semarang kala itu.
Aprilia juga dikenal dengan sosok perempuan yang tegas, blak blakan, tidak malu untuk sampaikan salah dan benar. Apalagi tentang nasib orang Papua. Sosok perempuan cerdas dan berani.
Kami merindukanmu selalu, teman diskusi seputar Sastra Papua dan Perkembangan Literasi di Papua. Aprila juga berkontribusi awal awal komunitas Sastra Papua dibentuk.
Ia aktif dalam diskusi dikusi bedah buku artikel dsb. Terimakasih untuk itu kaka Aprilia.
Dalam berjalanya waktu ia terus berdiskusi memberikan motivasi kepada saya untuk mendorong komunitas Sastra Papua ini bertumbuh dan berkembang.
Belakang ia mendirikan sebuah Organisasi Fawawi Club organisasi mendorong penulis penulis asal Papua lahir. Seperti Manfred Kudiai, Julia Opki dkk.
Aprilia juga pernah mendirikan media Tapa News, kemudian tidak berjalan aktif. Kemudian ia mendirikan juga media online The Papua Journal bersama Manfred Kudiai. @MK Kudiai The Papua Journal
Terimakasih kaka Aprila sudah mendukung kami dan menjadi teman saat awal kami menjadi wartawan di lapangan. Saya akan ingat selalu kami dapat tembak dengan gas air mata di ekspo Waena baru kitong bubar, terkocar kacir. Waktu itu polisi melarang kami liput. Kaka berhadapan dengan mereka.
Karya :
Novel pertama Emil yang berjudul Mawar Hitam Tanpa Akar (2009) yang menggambarkan perjuangan orang asli Papua di tengah pelanggaran HAM besar-besaran oleh oknum aparat keamanan kala itu, berhasil mengantarnya ke Ubud Writers and Readers Festival (2012 dan 2015) di Bali bersama penulis-penulis terbaik di seluruh Indonesia. Ia juga diundang menghadiri ASEAN Literary Festival tahun 2014.
Sementara itu, novel kedua yang ditulis oleh Emil berjudul "Dua Perempuan" yang dirilis bersamaan dengan Novel "Mawar Hitam Tanpa Akar" di Abepura Jayapura merupakan hasil refleksi panjang dari seorang emil, baginya dengan menulis dapat mengobati luka di masa lalu.
Pada 27 April 2018, Emil merilis novel ketiganya yang berjudul "Sentuh Papua" di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Pada cetakan pertamanya novel "Sentuh Papua" dicetak sebanyak 300 eksemplar dengan jumlah halaman sebanyak 374 lembar.
Pada 21 Februari 2020, Emil kembali meluncurkan sebuah novel berjudul "Tambo Bunga Pala" yang diluncurkan di Pendopo Yayasan LKIS, Sorowajan Yogyakarta. Peluncuran novel tersebut dilaksanakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dan Fawawi Club yang merupakan komunitas sastra para penulis asal Papua.
Novel terbarunya berjudul "Hutan Rahasia" yang bercerita tentang kehidupan perempuan dari Suku Enggros, Jayapura, baru saja terbit pada Agustus 2020 ini.
Terimakasih Kaka Aprila teman diskusi, kawan saat awal kami mulai terjun ke dunia jurnalisme. Kami meliput aktivitas KNPB, Gempar Papua, mahasiswa saat melakukan demonstrasi di Abepura Waena. Akan menjadi cerita indah dalam perjalanan hidup ini.
Selamat Jalan Aprila Wayar
Nabire, 18 Oktober 2025
Koordinator Ko'SaPa Pusat
Henderik Yeimo
****
Rasa Kenyamanan, Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat Adalah Hukum Tertinggi Wajib Dilaksanakan Oleh Negara Atau Pemerintah Sebagai Pelayan Rakyat.
Frasa dari bahasa latin oleh filsuf Marcus Tutillus Cicero mengata “Salus populi suprema lex” keselamatan dan keadilan serta kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi.
Dalam penegakan hukum dan dalam kebijakan pemerintah ada diskriminasi dan tidak memberikan rasa keadilan dan selamatkan kepada rakyat baik dalam putusan hukum di pengadilan berdasarkan bukti fakta tanpa ada manipulasi maka lunturnya kepercayaan rakyat kepada sistem hukum suatu negara.
Dampaknya adalah negara yang banyak regulasi undang-undang dan hukum hanya dibuat untuk kepentingan korporasi oligarki alias autokritik legal maka disintegrasi bangsa bisa saja menunggu waktu entah revolusi sipil atau revolusi gerakan bersenjata.
Lebih baik jika revolusi seperti Suriyah dan Nepal lebih parahnya adalah revolusi sangat fundamental ada gerakan sosial menghancurkan sistem oligarki mengubah konstitusi dan seitem negara seperti yang terjadi di Eropa di abad 18 sampai abad ke 20.
Pemberontakan dan anarkisme itu bagian dari esensi dari demokrasi untuk mengaburkan sistem yang tidak adil melahirkan sistem yang diinginkan rakyat sebagai subjek utama berdirinya sebuah negara.
Pertanyaan filsuf Marcus tutillus dalam frasa bahasa latin Salus populi suprema lex” ini mengingatkan penguasa modern saat ini mementingkan kepentingan oligarki dan menindas rakyat.
Frasa Latin Salus populi suprema lex yang berarti “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Diktum ini menegaskan bahwa kesejahteraan dan keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan dan penegakan hukum, dengan kepentingan rakyat ditempatkan di atas segalanya.
Asal Usul dan Makna Frasa ini berasal dari karya filsuf Romawi, Marcus Tullius Cicero, dalam bukunya De Legibus (Tentang Hukum dalam suatu negara).
Kalimat ini digunakan sebagai prinsip dasar hukum dan politik untuk menekankan bahwa hukum atau kebijakan apa pun yang tidak menguntungkan atau bahkan merugikan rakyat, tidak layak dipertahankan. Istilah “salus” sendiri dapat merujuk pada kesehatan, kesejahteraan, atau kebahagiaan .
Penerapan Prinsip ini diadopsi oleh berbagai negara, lembaga hukum, hingga aparat keamanan sebagai semboyan untuk memastikan tujuan tertinggi dalam pemerintahan adalah tercapainya masyarakat yang aman, nyaman, dan tentram.
Dalam penegakan hukum institusi kepolisian sebagai penegak hukum demi keadilan dan kenyamanan rakyat tidak memiliki prespektif humanis berdasarkan azas hukum yaitu Keadilan tanpa ada diskriminasi dan tanpa ada imunitas institusi penegak hukum.
Dalam konteks negara hukum yang demokratis, prinsip ini menjadi paradigma dalam pengambilan keputusan demi kepentingan dan keselamatan masyarakat.
Di Indonesia, prinsip ini sering dikutip sebagai dasar dan pengingat bagi pejabat negara untuk menempatkan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Namun ada pula penegak hukum yang tidak memiliki kapasitas pengetahuan hukum diinjak-injak bahkan mencabut nyawa rakyat menggunakan alat negara dan menggunakan kekuasaan diberikan oleh negara.
Pada hal intuisi negara legislatif eksekutif dan yudikatif adalah pelayan rakyat. Karena mereka diberikan kewenangan, diberikan pekerjaan dan mengkaji mereka oleh Rakyat sebagai Tuan atas negara dan pemerintahan.
Penguasa tidak juga paham bahwa surat rakyat Sura Tuhan dalam bahasa latin Vox Populi, Vox Dei adalah sebuah risalah tahun 1709, yang artinya"suara rakyat adalah suara Tuhan" (tunggal, karena "Vox populi, vox deorum" berarti "Gods", jamak.
Dari pernyataan ini bisa kita tafsirkan Tetang hukum penciptaan manusia dan diberikan mandat oleh Tuhan kepada manusia sebagai wakil Tuhan di Bumi. Tidak ada yang madat Tuhan kepada pemerintahan sebagai wakil Tuhan di bumi.
Demikian juga syarat berdirinya suatu negara dan pemerintah adalah mandat dari rakyat sebagai memegang madat Tuhan.
Negara dan pemerintah diciptakan oleh rakyat sebagai alat untuk bekerja bagi rakyat, pemerintah adalah pelayan bagi rakyat, pemerintah karyawan rakyat mereka diberikan kewenangan dan kekuasaan untuk bekerja oleh rakyat dan rakyat juga membiayai hidup mereka melalui pajak dan sumber daya alam milik rakyat.
Dengan demikian negara harus patuhi perintah rakyat mendengar suara rakyat berdasarkan dua frasa latin tersebut yaitu:Vox Populi, Vox dan Salus populi suprema lex”.
Rakyat merasa bebas merasa adil dalam semua kebijakan publik keputusan politik dan penegakan hukum terwujudnya keadilan terhadap martabat manusia keharusan dan kewajiban penguasa.
*****
Santo Petrus To Rot
SANTO PETRUS TO ROT, ORANG KUDUS PERTAMA DALAM SEJARAH GEREJA KATOLIK DI TANAH PAPUA
SANTO PETRUS TO ROT, ORANG KUDUS PERTAMA DALAM SEJARAH GEREJA KATOLIK DI TANAH PAPUA
Santo Peter To Rot lahir pada 5 Maret 1912, dan meninggal pada 7 Juli 1945. Ia berasal dari orang tua yang termasuk di antara penduduk asli pertama yang dibaptis di Rakanui, kampung halamannya di Pulau New Britain, Papua Nugini. Ia adalah seorang Katolik dari Tanah Papua. Ia menjabat sebagai katekis di kampungnya dan dipercayakan untuk memimpin paroki setempat selama Perang Dunia II ketika pasukan Kekaisaran Jepang menduduki wilayah tersebut dan memenjarakan para Misionaris Hati Kudus (MSC).
Menanggapi penindasan Jepang terhadap komunitasnya, ia secara terbuka menentang tindakan mereka dan terus mengadakan doa setelah Jepang melarangnya dari pelayanan pastoral aktif. To Rot menikah pada tahun 1936, dan ia mengkritik upaya Jepang untuk mendorong umatnya kembali ke praktik pra-Kristen dengan mengambil banyak istri. Ia dieksekusi oleh Jepang pada tahun 1945.
To Rot adalah seorang katekis awam yang menjadi martir pada tahun 1945 karena melanjutkan kerasulannya meskipun ada larangan yang diberlakukan oleh Jepang. Kisahnya sangat istimewa dalam iman kita. Ia menjadi santo orang asli Papua pertama, karena menjadi seorang pembela setia perkawinan dan keluarga, seorang katekis yang berkomitmen pada misi Misionaris Hati Kudus (MSC). Kesuciannya adalah buah dari kerja sama erat antara para imam dan kaum awam dalam evangelisasi.
‘Saya dipenjara bagi mereka yang mengingkari janji perkawinan mereka dan bagi mereka yang tidak ingin melihat karya Tuhan itu maju. Itu saja. Saya harus mati. Saya telah dijatuhi hukuman mati. Kata-kata Peter To Rot ini, yang diucapkan beberapa jam sebelum kematiannya.
Ucapannya menggambarkan alasan kemartirannya.
Hari ini, 19 Oktober 2025, Peter To Rot menjadi santo pertama Orang Asli Papua dan orang Melanesia yang dikanonisasi. Kabar ini telah diumumkan oleh Paus Leo XIV pada 13 Juni lalu.
Santo Petrus To ROT, Doakanlah Kami umat katolik diatas tanah Papua ๐น
*****
Dunia kalian sudah dirancang untuk tidak melihat kami sebagai manusia
Kepada kalian pendatang (non-Papua) di tanah ini: Kalian lahir dan besar di sini. Sejak kalian kecil, dunia kalian sudah dirancang untuk tidak melihat kami sebagai manusia. Sejak kalian bisa bicara, kalian sudah diajari bahwa kami berbeda, bahwa kulit kami gelap, rambut kami keriting, dan karena itu kami bukan bagian dari kalian. Lalu kalian tumbuh dengan kebanggaan palsu: bahwa kalian adalah pembawa peradaban, dan kami adalah beban.
Kalian hidup di tengah kami tapi hati kalian tak pernah sampai kepada kami. Kami menangis di depan mata kalian, tapi kalian memalingkan wajah. Kami dibunuh di jalan, tapi kalian hanya berkata “itu sudah biasa di Papua.” Kami dibakar, dipukul, ditembak, tapi kalian tidak melihat anak-anak yang menjerit memanggil mama mereka di hutan. Kalian hanya melihat berita versi negara; bahwa kami pemberontak, bahwa kami pantas mati. Lalu kalian tidur nyenyak malam itu, sementara ibu kami menimang jenazah anaknya yang ditembak aparat yang katanya datang melindungi kalian.
Kalian bangga menyebut diri “pembangun Papua”, padahal kalian hidup dari reruntuhan rumah kami. Kalian bangun kota, tapi kubur kampung kami. Kalian gali emas, tapi kubur masa depan anak-anak kami. Kalian bangun gereja dan masjid megah, tapi hati kalian kosong, tak mampu melihat bahwa di balik dinding itu, doa-doa kami terkubur bersama rasa takut. Kalian menyebut diri misionaris, guru, pengusaha, pejabat, tapi tanpa sadar kalian telah menjadi bagian dari mesin yang menghancurkan kami perlahan, dengan bahasa manis, dengan senyum sopan, dengan dalih pembangunan.
Kami tahu, tidak semua di antara kalian jahat. Ada yang mencintai kami dengan tulus, yang makan di rumah kami, yang tertawa bersama kami di tanah yang sama. Tapi bahkan kalian pun sering terpenjara oleh ketakutan: takut disebut penghianat, takut dianggap separatis, takut dijauhi keluarga dan paguyuban kalian. Itulah racun yang ditanamkan oleh kekuasaan: bahwa berpihak pada kemanusiaan di Papua adalah dosa. Maka kalian memilih diam. Tapi diam di hadapan ketidakadilan adalah bentuk paling halus dari kekejaman.
Lihatlah dirimu baik-baik. Tubuhmu ini , darahmu, dagingmu, tulangmu, tumbuh dari tanah dan air Papua. Setiap hidangan yang kau makan, setiap tetes keringat yang menetes dari kulitmu, semuanya diberi oleh bumi ini. Tapi kau memilih membela penguasa yang menindas bumi yang memberimu hidup. Apakah itu bukan bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaanmu sendiri?
Kau pikir kami benci kalian. Tidak. Kami hanya lelah dicintai secara palsu. Kami hanya muak disenyumi oleh mereka yang tahu kami disembelih tapi tetap diam. Kami hanya ingin kau sembuh, sembuh dari penyakit yang diwariskan oleh sejarah penjajahan yang membuatmu merasa lebih tinggi dari kami. Kami ingin melihatmu berdiri, bukan sebagai pendatang atau penjajah, tapi sebagai manusia yang hatinya masih hidup.
Kami tidak butuh belas kasihanmu. Kami hanya butuh kau berani menjadi manusia. Berdirilah di sisi kebenaran, walau dunia menuduhmu pengkhianat. Tulis tentang kami, doakan kami, bela kami, bukan karena kami Papua, tapi karena kami manusia seperti kamu. Jangan lagi berpesta di atas penderitaan kami, sebab air mata kami akan tetap membasahi bumi ini sampai kebenaran ditegakkan.
Ketahuilah, kami, bangsa Papua, bahkan dalam luka terdalam kami, masih berjuang memanusiakanmu. Kami masih percaya bahwa suatu hari, ketika penjajahan ini tumbang, kalian juga akan bebas. Bebas dari kebodohan yang membuat kalian buta pada penderitaan orang lain. Bebas dari rasa takut yang membuat kalian berpihak pada penindas. Dan di hari itu, barulah kita bisa saling memandang bukan sebagai pendatang dan tuan rumah, tapi sebagai sesama manusia yang telah disembuhkan oleh kebenaran.
Dariku yg menyaksikanmu dengan hati yang hancur di Entrop, 19/10/25
SC: Victor Yeimo
*****
DIA PEREMPUAN HEBAT PAPUA "DALAM JUANG"
Dia berdiri di jalan perjuangan, saat banyak perempuan tak berani bersuara...
Ide-idenya sangat revolusionis...
Perdebatan gagasan selalu menjiwai dirinya.
Dari tempat baik sampai di lantai tanah, dia tetap bertahan, mendialektikalan gagasan...
Di atas karpet yang compang-camping di pinggir jalan pun ia duduk, berdialektika sambil menikmati tuangan kopi tanpa gula.
Namanya Aprilia Wayar, penulis Novel Mawar Hitam Tanpa Akar.
Demi berjuang, ia harus melangkah, meninggalkan keluarga hanya untuk Papua...
Jiwa kebangsaannya selalu membawanya dalam karpet diskusi hingga waktu terlupakan, keluarga pun terlupakan...
Semuanya hanya untuk Papua...
Hadirnya membongkar paradigma tentang perempuan.
Saat senja berlalu, di pinggir kota Jogja, kami berdiskusi hingga mentari melewati kami...
Sebagai rekan dalam wadah yang sama, dialektika adalah kopi pahit yang terasa manis selalu kami suguhkan untuk membedah perspektif...
Kerap kali Burjo Jakarta pun tempat kami nongkrong, masih di hal yang sama, berdialektika dalam membedah logika...
Dia perempuan hebat dengan segudang ilmu, mengajak kami memasak isu dalam logika rasional.
Banyak kader ia didik...
Banyak kader ia bangun konstruksi pikir...
Banyak kader ia ajar tuk berpikir kritis dan rasional
Kawan, walau tak hadir dalam penghormatan mu, semangat juang dan lorong dialektika yang kerap kau suguhkan akan terus hidup.
Selamat jalan pemimpin Bangsa Papua, perempuan hebat yang kami kenal.
Kau perempuan yang meninggalkan s'mua saat berbincang tentang Papua, bahkan keluarga-mu pun kau lupa...
Hanya PAPUA dalam jiwa dan rasa mu...
Hanya Papua yang kau utamakan demi bangsa yang harus diselamatkan.
Doa kami mengiringi kepergian-mu menuju rumah ILAHI, TUHAN Yang Maha Kuasa.
*****
MAGISTERIUM GEREJA & REALITAS PAPUA
(sebuah tanggapan Gereja untuk Papua)
[Oleh: PIGAI, honny]
Konflik berkepanjangan di Papua yang melibatkan kekerasan, ketidakadilan struktural, eksploitasi sumber daya alam, dan pelanggaran hak asasi manusia menuntut perhatian moral yang serius dari Gereja Katolik. Dalam terang Magisterium Gereja, konflik ini bukan hanya masalah politik, tetapi juga masalah moral dan kemanusiaan yang menyentuh inti ajaran sosial Gereja tentang martabat manusia, keadilan, perdamaian, dan kebaikan bersama (bonum commune).
Dokumen Konsili Vatikan II "Gaudium et Spes" menegaskan dengan tegas:
“Segala sesuatu yang bertentangan dengan kehidupan itu sendiri, seperti pembunuhan, genosida, penindasan terhadap manusia, perampasan kebebasan, serta segala bentuk ketidakadilan sosial dan politik, adalah aib bagi martabat manusia.” (GS, 27).
Kutipan ini tidak jauh dari realitas Papua yang mengalami kekerasan dan ketakutan, yang masih menjadi pengalaman sehari-hari banyak orang. Gereja menurut Magisterium, tidak boleh tinggal diam. Maka dalam Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI menulis:
“Gereja tidak akan pernah bisa berpaling dari tugasnya untuk membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan, terutama dosa dan struktur yang melanggengkannya.” (EN, 30).
Artinya, pewartaan Injil di tanah Papua juga harus berarti pembebasan konkret dari ketidakadilan dan kekerasan. Injil bukan hanya kabar rohani, tetapi juga kekuatan transformatif yang menyentuh struktur sosial dan politik.
Paus Yohanes Paulus II dalam Sollicitudo Rei Socialis menegaskan pentingnya solidaritas:
“Solidaritas bukanlah perasaan samar-samar, tetapi tekad yang teguh dan gigih untuk mengupayakan kesejahteraan bersama, yakni kesejahteraan semua orang dan setiap orang.” (SRS, 38).
Solidaritas ini berarti berdiri bersama mereka yang menderita, mendengarkan suara mereka yang dibungkam, dan membela hak mereka untuk hidup damai di tanah sendiri.
Magisterium juga menegaskan bahwa perdamaian sejati hanya mungkin jika berakar pada keadilan. Compendium of the Social Doctrine of the Church menyatakan:
“Perdamaian bukanlah semata-mata tidak adanya perang; melainkan hasil dari tatanan yang dikehendaki Allah, yang menuntut keadilan di antara manusia dan bangsa-bangsa.” (CSDC, 494).
Dengan demikian, segala kebijakan yang mengatasnamakan pembangunan di Papua, namun menimbulkan penderitaan bagi masyarakat lokal, bertentangan dengan prinsip perdamaian sejati menurut ajaran Gereja.
Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti menegaskan:
“Tidak akan pernah ada perdamaian sejati tanpa komitmen terhadap kebenaran dan keadilan; perdamaian menuntut penghormatan terhadap martabat setiap manusia.” (FT, 231).
Kutipan ini sangat relevan untuk Papua, di mana kebenaran sering tertutup oleh kepentingan ekonomi dan politik. Gereja dipanggil menjadi “suara kenabian” yang menyerukan keadilan, membuka ruang dialog, dan mendampingi para korban konflik.
Ajaran sosial Gereja juga menegaskan tanggung jawab negara untuk melindungi warganya, bukan menindas. Dalam ajaran Pacem in Terris, Paus Yohanes XXIII menulis:
“Negara didirikan untuk kesejahteraan bersama; maka kekuasaan politik yang tidak melayani keadilan kehilangan legitimasi moralnya.” (PT, 67).
Pesan ini menjadi teguran moral bagi setiap pemerintah yang gagal menjamin keadilan dan keamanan bagi rakyatnya.
Gereja di Papua telah berusaha menghidupi ajaran Magisterium ini dan akan terus berada di sisi keadilan, kemanusiaan dan perdamaian, serta pendampingan korban kekerasan. Dalam semangat Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus mengingatkan:
“Setiap komunitas kristiani dipanggil menjadi instrumen Allah bagi pembebasan dan kemajuan manusia, serta bagi keadilan dan perdamaian.” (EG, 183).
Maka, tanggapan Gereja terhadap konflik Papua bukanlah sikap politik, melainkan "tanggung jawab iman". Iman yang mewujud dalam cinta kasih, keadilan, dan pembelaan terhadap martabat manusia.
Dengan berpijak pada Magisterium, Gereja dipanggil menjadi suara bagi mereka yang tidak bersuara, pembawa harapan bagi yang tertindas, dan saksi kasih Kristus di tanah Papua agar damai, keadilan, dan kebenaran benar-benar bersemi di Bumi Cenderawasih.
PaceKumisTopiMiring
*****
Seni Dari Estetika Perlawanan
Ay, wei-wei
Seni sering dipahami sebatas estetika keindahan rupa, harmoni bunyi, atau bentuk yang memikat mata. Namun, pandangan semacam itu hanya menjadikan seni sebagai dekorasi, hiasan belaka yang tak menyentuh realitas sosial. Seni yang demikian berhenti pada permukaan, kehilangan daya kritisnya.
Padahal, seni bukanlah ruang netral. Ia lahir dari rahim sejarah, dari pergulatan manusia dengan kekuasaan, penindasan, dan kebebasan. Di sinilah seni menemukan makna terdalamnya: sebagai wacana kritis dan alat perjuangan.
Sejarah membuktikan, seni selalu hadir sebagai perlawanan. Puisi, teater, musik, lukisan, hingga film semuanya pernah menjadi medium untuk menantang kekuasaan yang menindas. Seni mampu membuka kesadaran, menggugat ketidakadilan, dan memberi bahasa pada mereka yang dibungkam.
Seni yang tidak melawan hanyalah dekorasi. Ia indah, tetapi kosong. Ia menenangkan, tetapi mematikan daya kritis. Sebaliknya, seni yang melawan adalah seni yang hidup, ia berdarah bersama rakyat, ia berteriak bersama kaum tertindas, dan ia menolak tunduk pada struktur yang mengekang.
Maka, ketika kita berbicara tentang seni hari ini, pertanyaan paling mendasar bukanlah “seberapa indah ia terlihat?”, melainkan “seberapa berani ia melawan?”.
Sebab bagi mereka yang percaya pada kebebasan, seni adalah melawan.
****
Bangun Perlawanan Mental
Bangun mental perlawanan adalah bentuk penyadaran ideologi dan integrasi bangsa.
Cukup kolonial Indonesia membentuk karakter kami bagaimana melawan penindasan diatas tanahnya sendiri, Menjadi tuan diatas tanahnya sendiri.
Pundak generasi Papua jembatan keselamatan rakyat, solidkan barisan perlawanan rakyat.
Indonesia itu penjajah.
Nabire, 14 Juli 2022
****
"Tanah yang Tak Pernah Diam
PSN datang dengan peta dan rencana,
mengukur bumi dengan meter, bukan rasa.
Mereka bilang: ini demi pembangunan,
tapi siapa yang mereka bangun
dan siapa yang mereka runtuhkan?
Tanah Papua—
bukan sekadar hamparan hijau dalam brosur investasi.
Ia adalah tubuh nenek moyang,
jiwa yang tumbuh dari lumpur dan hujan,
dari bisikan burung cendrawasih
yang tak pernah mengenal tirani.
Setiap alat berat yang menggali nadi bumi
adalah ingatan akan janji yang patah.
Setiap rel kereta yang dibangun di atas sungai sakral
adalah pengkhianatan terhadap roh penjaga.
Dan ketika tanah ini berdarah, bintang kejora tak bersembunyi.
Ia berkibar di dada mereka yang terdiam,
di mata anak kecil yang bertanya,
“Kenapa hutan kami hilang?”
Ia bukan sekadar lambang.
Ia adalah pertanyaan yang tak bisa dibunuh.
Filsafat pun menggigil:
Apakah kemajuan mesti lahir dari penderitaan?
Apakah suara adat kalah oleh dokumen negara?
Tanah Papua tidak bisu.
Ia hanya terlalu sering diabaikan.
Jika PSN masih melukai,
maka bintang kejora bukan hanya berkibar, ia menyala dalam hati yang belum menyerah.
****
Aku dan Lukisanku
'Bung Bidaipouga Mote'
Dari gubuk ini
Ingin ku sampaikan salam
Lewat polesan-polesan cat minyak
Mengisi ruang tekstur kanvas
Setiap detail adalah keunikannya
Menampakkan warna-warna kehangatan
Memancarkan kemilau cahaya nan sejuk
Dimana cinta dan kasih berpadu
Tetaplah memandang jauh
Langkah demi langkah
By, Vitalis Goo
*****
“Di Balik Penjara Kalisosok”
Oleh, Wenda Benny
Di sebuah sudut kota Surabaya, berdiri kokoh bangunan tua bernama Penjara Kalisosok. Dingin, lembab, dan penuh bayangan sejarah kelam penjajahan, tempat itu menjadi saksi bisu perjalanan para pejuang bangsa yang pernah merasakan jerat tirani. Namun, di penghujung abad ke-20, jeruji besi itu kembali menerima seorang anak bangsa Papua—Drs. Septin Mamborai Paiki.
Ia bukan penjahat, bukan pula pelaku kriminal. Kehadirannya di Kalisosok hanyalah karena sebuah keberanian: mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Papua pada 14 Desember 1988. Sebuah langkah yang oleh kekuasaan dianggap pemberontakan, namun oleh rakyatnya dipandang sebagai bukti cinta tanah air yang sejati.
Di dalam penjara itu, kehidupan berjalan lambat, seakan waktu sengaja diperlambat untuk menguji kesabaran. Dinding-dinding tebal menahan angin, tetapi tidak mampu menahan dinginnya kesepian. Bau besi karatan, tikar lusuh, dan suara rantai menjadi musik pengiring hari-hari yang panjang. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih kuat: suara hati nurani seorang pejuang.
Drs. Septin Mamborai Paiki tahu bahwa tubuhnya sedang dipenjara, tetapi ia juga sadar bahwa gagasan tidak bisa dikurung. Justru di balik sunyi itulah, ia menemukan ruang refleksi yang mendalam:
Bahwa proklamasi 14 Desember 1988 bukan sekadar peristiwa politik, melainkan perjanjian moral antara generasi pejuang dengan generasi yang akan datang.
Bahwa penderitaan pribadi tidak sebanding dengan penderitaan bangsanya yang terus terjajah di tanah sendiri.
Bahwa penjara hanyalah tempat persinggahan, sementara tujuan akhir adalah kebebasan sejati bagi seluruh rakyat Papua.
Kalisosok bukan hanya penjara fisik. Ia adalah simbol benturan antara hukum dunia dan hukum keadilan sejati. Hukum dunia menuduh, menghukum, dan mengikat; tetapi hukum keadilan yang lahir dari hati nurani terus membebaskan semangat. Dari balik jeruji itu, dunia internasional mulai mendengar bahwa ada sebuah bangsa kecil yang sedang memperjuangkan haknya untuk hidup merdeka.
Drs. Septin Mamborai Paiki tidak pernah berhenti menulis dalam hati dan pikirannya. Setiap malam, dalam doa yang lirih, ia berbicara dengan Tuhannya, menyerahkan nasibnya, dan menguatkan dirinya dengan keyakinan bahwa pengorbanan ini tidak sia-sia. Ia percaya, sebagaimana biji yang ditanam dalam tanah yang gelap, perjuangan yang disiram dengan air mata dan pengorbanan akan bertumbuh menjadi pohon kebebasan di kemudian hari.
Bagi banyak orang, penjara adalah akhir. Tetapi bagi Septin Mamborai Paiki, penjara Kalisosok adalah awal dari sebuah kesaksian: bahwa bangsa Papua pernah memiliki seorang anak yang rela dipenjara demi sebuah proklamasi. Bahwa bangsa ini tidak lahir dari keinginan sesaat, melainkan dari penderitaan panjang, keyakinan iman, dan keberanian menantang dunia.
Di balik penjara yang dingin, ada sebuah bangsa yang terus diperjuangkan. Itulah warisan moral dari Drs. Septin Mamborai Paiki. Ia mungkin kehilangan kebebasan secara fisik, tetapi ia justru mewariskan kebebasan rohani dan semangat perjuangan kepada seluruh rakyatnya.
Dan kelak, ketika sejarah menoleh kembali, dunia akan mencatat: bahwa dari balik penjara Kalisosok yang dingin dan kelam, lahirlah kisah seorang pejuang yang tidak pernah tunduk, demi kemerdekaan bangsanya.
Belanda 03.10.2025
By, Beny Wenda
****
DOAMU PASTI AKAN MENJAWAB KERINDUAN KAMI UMAT KESAYANGANMU.
Melawan Lupa bersama "TOPINYA" yang perna dikenakan di kepalanya, Alm. Mgr. John Philip.Gaiyabi Saklil, Pr.
Bapa yang terbaik bagi kami, kami butuh doamu untuk kami yang masih berdiri di Garis "PARATE VIAM DOMINI "SIAPKAN JALAN TUHAN".
Dengan rindu, Kami menanti penggantimu untuk melanjutkan jalan yang perna bapa buat bagi Gerejamu tercinta keuskupan Timika.
Doamu dan doa kami, akan menjawab segala kecemasan, kekhawatiran kami, kebimbangan kami, keraguan kami, dan kerinduan kami.
****
Pesan Leluhur dari Suku Mee
Diskusi panjang lebar bersama Kepala Dinas Ketahanan Pangan kabupaten Dogiyai tuan Silvester Dumupa, S. Per bersama Kabag. Humas Marsel Dou Kagipaiwaee dan satu Staf SETDA di ruang kerjaku ihwal KETAHANAN PANGAN di wilayah Adat suku bangsa Mee (Meeuwo).
Kita kaitkan dengan pesan leluhur ihwal kelaparan (Eniyauwa, igapuwa) yang pernah melanda tempo dulu dan akan dilanda di wilayah adat Meeuwo... "Igapuwa, Imoogiyai yamokato kitaa. Epaagiyai wokato kaita" manaa.
Terjadinya kelaparan dari arah Timur ke Barat karena semua tanaman termasuk Ubi jalar tidak berisi dan membusuk walau daunnya lebat. Kemudian kelaparan yang akan terjadi dari arah Barat ke Timur itu, kemungkinan... Pertama, karena semua tanaman tidak berisi dan membusuk. Kedua, Karena faktor kemalasan manusia.
______________
Kesimpulannya adalah...
"Individu, keluarga, kelompok, atau wilayah tertentu yang mengandalkan pangan dari hasil suplay, maka akan mengalami kelaparan yang amat dasyat ketika mengalami gangguan produksi akibat bencana tertentu di daerah penyuplay".
_____________
Semoga, kita miliki HIKMAT YUSUF untuk berfikir selalu sediakan bahan makanan di lumbung, agar ketika musim kelaparan tiba kita bisa ambil bahan makanan dari persediaan itu.
Hari-hati kita jangan fikir hanya dengan kegiatan rekreatif, kesenangan atau keramaian yang diadakan di Paniyai, di Deiyai, di Dogiyai dan di Nabire dengan konsekuensi pengorbanan pikiran, tenaga, waktu, biaya secara sia-sia tanpa dapat manfaat itu.
~~~~~~~
****
Lahir Dari Masalah Hidup Dalam Masalah
Lahir dalam masalah, tumbuh dewasa dalam masalah, maka hari ini kita berdiri tegak mengangkat keadilan bagi bangsa Papua.
Jalan panjang penuh luka dan penderitaan tidak akan membungkam suara kita.
Generasi lahir dari p3nind4s4n akan menjadi generasi yang menuntut kebebasan.
Dengan keyakinan dan keberanian, kita terus melangkah menuju hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat.
Untuk itu menuju pembebasan nasional bagi bangsa Papua,
tidak ada jalan lain selain rakyat bersatu dan tunduk dibawah komando tpnpb.
Salaam pembebasan Nasional
Kambrad
N Y K
Dok Numbay 24 September 2025.
****
Tetap Terbaik
Apa pun yang terjadi dalam hidup, tetaplah berhati baik.
Karena kebaikan adalah cahaya yang tidak akan pernah padam, sekalipun dunia di sekitarmu menjadi gelap.
Tetaplah memiliki hati yang penuh kepercayaan dan kesabaran, meski sering kali keikhlasanmu tidak dihargai, dan kebaikanmu disalahartikan.
Jangan biarkan kegelapan orang lain mengeraskan hatimu, jangan biarkan luka mengubahmu menjadi seseorang yang kamu benci.
Biarlah mereka dengan amarah dan keegoisannya, sementara kamu tetap memilih untuk berjalan dengan hati yang tenang dan penuh kasih.
Percayalah, setiap kebaikan yang kamu tanam akan kembali padamu, entah cepat atau lambat.
Mungkin bukan dalam bentuk yang kamu harapkan, tapi selalu dalam waktu yang tepat.
Teruslah bersinar, meski kadang cahaya itu hanya tampak redup.
Karena bahkan cahaya kecil pun mampu menuntun orang lain keluar dari gelap.
Dan mungkin tanpa kamu sadari kebaikanmu sedang menyelamatkan seseorang hari ini.
****
Andreas Harsono, Jurnalis termuda pada saat Pembantaian Biak Berdarah.
Saya ganti foto profil saya dengan sebuah pose di Pulau Biak tahun 2006. Saya sedang liputan soal pembantaian "Biak berdarah" tahun 1998 ketika Filep Karma menaikkan bendera Bintang Kejora di menara air. Lebih dari 100 orang asli Papua terbunuh atau hilang.
Saya umur 41 tahun ketika datang ke Biak dan mulai liputan soal Biak Berdarah. Ia belakangan membuat saya berteman dengan Filep Karma, yang saya temui pertama pada tahun 2008 di penjara Abepura.
Kenapa ganti foto? Sederhana sekali. Foto sebelum ini dipakai buat menipu orang. Mudah-mudahan penampilan muda begini membuat kurang tertarik buat dipakai menipu.
Kota Jeruk ๐ 26.09.2026
Aitanipa Madaii
*****
Sabar
Sabar bukanlah menunggu dalam diam,
tetapi duduk di tepi luka dengan hati yang tetap menyala.
Ia adalah bisikan halus dari langit,
“Jangan tergesa, setiap gelombang memiliki saat untuk reda.”
Ketika hatimu terbakar oleh api kehilangan,
sabar datang sebagai hujan rahmat
yang memadamkan,
namun meninggalkan tanahmu subur oleh kerendahan hati.
Sabar adalah sahabat yang tak pernah meninggalkanmu,
meski semua pintu terkunci dan jalan tertutup.
Ia berkata..
“Bukalah pintu hatimu, karena Tuhan mengetuk dari dalam.”
Ketahuilah,
sabar adalah kuda yang membawa jiwa
melintasi gurun waktu tanpa terjerembab,
hingga ia tiba di taman keabadian.
Wahai jiwa,
jangan takut pada panjangnya malam
atau getirnya perjalanan.
Sabar adalah bintang yang menuntun,
yang bersinar lebih terang
ketika gelap semakin pekat.
Dan bila engkau bertanya,
“Berapa lama aku harus bersabar?”
Maka dengarlah jawabannya..
“Sampai tiada lagi engkau yang bersabar,
hanya Allah yang sabar melalui dirimu.”
Kota Jeruk ๐ 22.09.2025
By. Yegema
Laki-laki Papua Tetap Kembali Ke Papua
Laki-laki Papua entah mau sekolah atau tidak mau keluar sejauh manapun Ia tetap balik ke Papua,Ia adalah laki-laki Papua yang meneruskan marga, sekalipun di jelek'an banyak orang Ia seorang laki-laki yang punya Drajat tertinggi dalam kebudayaan serta adat istiadat yang di Papua.
Tetapi berbanding terbalik dengan perempuan Papua,sekali ko gagal dalam pendidikan akan menjadi bahan gosip dan tidak ada seorangpun yang mau menghargai dirimu, engkau akan di pandang sebelah mata, dan akan ada kata.
*Perempuan tu wajib di dapur sampe kapan itu*
So bagi kita perempuan Papua sekolah setinggi-tingginya agar suatu hari nanti orang akan bilang itu bapa Si A punya anak perempuan hebat yang sekolah kah.
Hai perempuan Papua di saat ko sekolah dan punya gelar orang akan sebut ko bapa nama serta marga itu akan menjadi kebanggaan tersendiri buat ko punya orang tua.
Ini bukan soal pekerjaan tetapi soal mengangkat derajatnya orang tua, saya rasa kita perempuan juga bisa asalkan kita sekolah baik-baik karena tidak ada kata terlambat untuk kita perempuan Papua.
Orang akan pandang koi dan hargai koi kalo ko sekolah dan punya gelar, dan satu lagi kalo ko sekolah baik dan punya pekerjaan yang baik, ko harus percaya tidak harus perempuan di dapur dan tidak harus perempuan urusan pekerjaan rumah,kebun dan segalanya kalo ko punya gelar, pekerjaan,gaji sendiri semua bisa ko beli dengan uang.
Mohon maaf ini tidak menyinggung siapa pun. Hanya yang mau terima ya, wiwaoo
Len Marley
****
Ruang akulia Bukan Tampung Ilmu
Ruang kuliah bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan hanya titik awal dari perjalanan intelektual seseorang. Kuliah memberi kerangka dasar, tetapi pemahaman sejati lahir dari pengalaman yang lebih luas: membaca buku di luar silabus, berdiskusi lintas pemikiran, terlibat dalam organisasi, hingga berinteraksi langsung dengan kehidupan nyata masyarakat. Dengan cara itu, ilmu tidak berhenti pada teori, tetapi menemukan makna konkret dalam kenyataan sosial.
Pernyataan ini juga mengkritik kecenderungan sebagian mahasiswa yang merasa cukup dengan rutinitas akademik formal. Padahal, jika hanya mengandalkan kelas, ilmu sering kali kering dan jauh dari relevansi. Justru di luar ruang kuliah, mahasiswa diuji untuk menghubungkan teori dengan praktik: apakah ekonomi hanya soal grafik, atau tentang penderitaan rakyat kecil? Apakah hukum hanya teks undang-undang, atau juga soal keadilan yang hidup di tengah masyarakat? Dengan terjun ke luar, pengetahuan menjadi hidup, dinamis, dan berakar pada realitas.
Pendidikan sejati adalah proses pembentukan kesadaran kritis. Buku, diskusi, dan pengalaman nyata mengasah kemampuan berpikir reflektif sekaligus empati terhadap persoalan sosial. Inilah yang membedakan seorang intelektual sejati dari sekadar lulusan berijazah. Gelar bisa diperoleh di ruang kuliah, tetapi kebijaksanaan lahir dari keberanian keluar, belajar dari kenyataan, dan berjuang bersama rakyat.
Literture papua.
***
Makna Simbolis Perempuan Papua seperti Cendrawasih
Simbol Kehidupan: Perempuan di Tanah Papua dijuluki sebagai "pembuka pintu kehidupan" dan Cendrawasih juga sering diyakini sebagai penghubung antara kehidupan di bumi dan surga.
Keindahan dan Kecantikan: Kecantikan bulu Cendrawasih yang memukau menjadikannya perumpamaan bagi keindahan perempuan, yang diyakini dapat menutupi kesulitan dan tantangan yang dihadapi dalam hidup mereka.
Kekuatan dan Ketahanan: Meskipun Cendrawasih jantan memiliki bulu yang lebih indah, Cendrawasih betina juga penting, seperti halnya perempuan yang memiliki kekuatan dan peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata, terutama di daerah yang sulit dan memiliki fasilitas terbatas.
Peran dalam Masyarakat Adat: Penekanan peran perempuan dalam adat adalah salah satu alasan utama mengapa perempuan Papua dianalogikan dengan Cendrawasih.
Kota Jeruk ๐ 15.04.2025
Aitanipa Madaii
*****
CINTA & PENINDASAN PEREMPUAN:
Cinta adalah salah satu hubungan yang bisa menimbulkan ketimpangan relasi kuasa, antara laki-laki dan perempuan. Dalam budaya yang patriaki, yang memandang perempuan adalah mahluk yang lemah, maka hubungan cinta dapat dimanipulasi menjadi hubungan pengendalian. Laki-laki menjadi pengatur dan perempuan menjadi yang diatur.
Bahkan pada relasi cinta yang sangat "pekat" di mana perempuan berlebihan mencintai pasangannya bisa menjadi alat kekuasaan bagi laki-laki untuk mengendalikan perempuan. Pada posisi itulah "perempuan" sudah menjadi korban dalam relasi itu. Apalagi pada saat perempuan merasa harus menuruti pasangannya karena memang budayanya seperti itu.
Dalam hubungan cinta yang sehat harus terdapat equal relationship. Pada hubungan ini, keinginan dan kepentingan dihormati hanya pada tingkat yang wajar. Di mana tidak menimbulkan perasaan dikorbankan untuk memenuhi kepentingan pasangan kita.
Kedua pasangan harus merasa nyaman untuk mengungkapkan pikiran dan pendapat tanpa takut dihakimi, atau direndahkan. Dengan demikian, bila dalam hubungan cinta sudah merasa terlalu takut untuk mengungkapkan pikiranmu kepada pasangan, atau dia sering membuat keputusan besar tanpa mempertimbangkan kebutuhan, keinginan, preferensi, atau pendapatmu, maka itu tanda relasi kuasa dalam hubungan yang tidak sehat atau memiliki ketidakseimbangan.
Apalagi kemudian hubungan sudah melahirkan kekerasan fisik dan non fisik, lalu mereka yg mengalami kekerasan merasa wajar karena cinta pada pasangannya terlalu besar dan kuat. Di situlah cinta itu sendiri menjadi sebab penindasan.
Hubungan cinta yang sehat adalah jika kedua pasangan merasa aman, dihargai, dan didukung. Kamu bisa mengatakan apa pun kepada pasangan dan menerima satu sama lain apa adanya, bahkan ketika saling tidak setuju. Cinta yang sehat adalah cinta yang dibangun pada relasi yang "demokratis" atau saling menghormati.
Perempuan Bersuara
***
Kontes kecantikan Wajah Atas
1. Lapisan paling bawah (Proletariat: buruh, tani, kaum miskin)
Mereka adalah rakyat kecil yang bekerja keras, namun hasil kerja mereka menopang semua lapisan di atas.
Mereka digambarkan sebagai pihak yang paling menderita karena memikul beban sistem.
2. Lapisan militer/polisi/intelejen
Berfungsi menjaga ketertiban sosial dan melindungi kepentingan kelas penguasa.
Digambarkan sebagai alat represif yang mempertahankan kekuasaan di atasnya.
3. Lapisan partai politik
Mereka merepresentasikan kepentingan elite politik, bukan kepentingan rakyat.
Partai diposisikan sebagai penghubung atau perantara yang memperkuat kekuasaan kapitalisme.
4. Lapisan kapitalisme negara
Simbol orang kaya/kapitalis dengan uang, menggambarkan bahwa mereka yang sebenarnya paling diuntungkan.
Mereka berada di puncak piramida kekuasaan karena mengendalikan politik, aparat, dan ekonomi.
Makna keseluruhan:
Gambar ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme negara menindas kelas bawah. Kaum buruh, tani, dan rakyat miskin menjadi fondasi yang menopang keberlangsungan sistem, sementara kelas atas (kapitalis, partai, dan militer) hidup di atas penderitaan mereka.
Kota Jeruk ๐ 12.03.2025
Aitanipa Madaii
****
Di tanah Papua, setiap luka adalah cerita. Luka karena tanah dirampas, hutan dibabat, sungai tercemar, dan rumah-rumah dibakar. Luka karena ayah ditangkap, mama dipukul, anak-anak dipisahkan dari kasih sayang keluarganya. Semua itu meninggalkan jejak yang sulit terhapus.
Namun, dari sekian banyak luka itu, lahirlah satu kekuatan yang tak bisa dikalahkan: perlawanan seorang perempuan Papua.
Perempuan Papua bukan sekadar ibu rumah tangga. Mereka adalah penjaga kehidupan. Dari rahim merekalah lahir generasi yang terus berdiri tegak di tengah badai penindasan. Dengan noken di pundak, mereka memikul masa depan; dengan air mata yang jatuh, mereka menumbuhkan harapan.
Mereka tahu rasanya kehilangan, mereka tahu pedihnya ditinggalkan. Tetapi mereka juga tahu bagaimana cara bangkit. Dari ladang yang gersang, mereka menanam. Dari dapur yang kosong, mereka berjuang untuk tetap memasak. Dari kampung yang dibakar, mereka membangun kembali.
Perempuan Papua adalah perlawanan yang paling sunyi namun paling kuat.
Mereka melawan dengan doa, dengan tangisan, dengan cinta yang tak pernah padam untuk anak-anaknya. Dan di balik kelembutan itu, ada keberanian yang membuat dunia harus berhenti dan belajar: bahwa tidak ada luka yang bisa mematikan cinta seorang mama Papua terhadap tanah dan bangsanya.
Hari ini, saat kita bicara tentang Papua, kita tidak hanya bicara tentang gunung yang megah atau laut yang indah. Kita bicara tentang perempuan Papua yang berdiri di garis depan, menjaga kehidupan, menjaga harga diri, dan menjaga martabat bangsanya.
✨ Dari banyak luka, lahirlah satu perlawanan. Dan perlawanan itu bernama: Perempuan Papua..
Holandia Jayapura 25.07.2024
Ronald Poliwangi
Cinta Sejati Bukan Muda Datang
Cinta sejati bukanlah tentang mudahnya jatuh, melainkan tentang keberanian untuk bertahan. Ada seribu alasan yang bisa dijadikan dalih untuk pergi: luka, perbedaan, bahkan rasa letih. Namun, cinta justru diuji ketika semua itu hadir, dan hati tetap memilih untuk menetap.
Keputusan untuk tinggal bukan berarti buta terhadap kekurangan, melainkan kesadaran bahwa ada sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar kenyamanan sesaat. Cinta adalah tekad untuk merawat, meski jalan terasa terjal; ia adalah pilihan untuk percaya, meski keraguan kerap menghantui.
Karena itu, cinta bukan sekadar perasaan, melainkan komitmen. Ia tidak hidup dari kata-kata indah, melainkan dari keberanian mengambil risiko, menanggung sakit, dan tetap menyalakan api harapan. Dan dalam pilihan untuk menetap, meski ada seribu alasan untuk pergi, di sanalah cinta menemukan makna terdalamnya.
By, literasi
*****
Gadis Itali Tidak Menyukai Kulit Hitam
_"Sebelum saya menjadi kaya dan terkenal, gadis-gadis Italia tidak menyukaiku, bahkan beberapa teman sekolahku pun tidak. Mereka bilang mereka tidak suka orang kulit hitam, sulit menemukan gadis kulit putih. Jadi saya mencoba pergi ke lingkungan lampu merah dengan sedikit uang yang saya miliki, tetapi mereka terus menolak saya karena saya berkulit hitam.
Ketika saya akhirnya menandatangani kontrak sepak bola profesional saya, saya naik level, membeli mobil dan pergi keluar untuk memilih empat gadis untuk bersenang-senang dengannya. Aku duduk di tengah, dua gadis di sebelah kanan dan dua di sebelah kiri. Orang mengira aku Casanova, tapi aku melakukannya untuk membalas dendam.
Sejak saat itu aku mengerti bahwa yang diinginkan wanita hanyalah uang. Ketika Anda kaya, mereka tidak melihat warna kulit Anda atau dari mana Anda berasal. "
Mario Balotelli♥️๐ค
INI YG SEDANG TERJADI DI PEJABAT PAPUA
*****
SETELAH SEPI MENEMUKAN RUMAH
Aku sudah tidak tahu cara menyebut namamu tanpa merasa kehilangan. Bahkan sunyi kini punya suara, dan ia lebih sering memanggilku dengan nada yang kau tinggalkan. Kau seperti hujan yang hanya turun sekali, tapi membuat tanah ini basah selamanya.
Kita tidak pernah benar-benar berpamitan. Hanya saling diam di ujung kata yang tidak selesai. Lalu waktu, seperti biasa bekerja tanpa banyak bicara, membuat jarak tumbuh di antara dua orang yang dulu begitu dekat, seperti doa dan yang didoakan.
Apa kabar luka yang kau wariskan padaku? Ia tumbuh dengan baik, belajar menyamar sebagai ketabahan. Kadang aku menyentuhnya perlahan, seperti menyentuh punggung seseorang yang sudah lama pergi tapi masih hangat dalam ingatan.
Kalau kau membaca ini, anggaplah sebagai surat dari seseorang yang masih menunggumu di tempat terakhir kalian saling percaya. Bukan untuk kembali, hanya untuk tahu, bahwa kehilangan ini tidak sia-sia.
Sajak Pesisir | Pesisir Timur, 2025
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar