Tetesan Air Mata Ibunda- Melangkah Tanpa Alas Kaki-Surat Perjanjian 15 Agustus 1962/ New York Agreement yang di setujui Perserikatan bangsa-bangsa Majelis Umum PBB adalah Syarat pembunuhan dan perampasan Tanah West Papua tanpa melibatkan pemilik Hak Ulayat Tanah.
Distribusi: TERBATAS
A/L.574
12 November 1969
ASLI: BAHASA INGGRIS
Sidang ke-24
Agenda butir 98
PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN KERAJAAN BELANDA MENGENAI IRIAN BARAT (IRIAN JAYA)
Belgia, Indonesia, Luksemburg, Malaysia, Belanda, dan Thailand: rancangan resolusi
Majelis Umum,
Mengingat kembali resolusinya 1752 (XVII) tanggal 21 September 1962, di mana Majelis mencatat Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda mengenai Irian Barat (Irian Jaya), mengakui peran yang diberikan kepada Sekretaris Jenderal dalam Perjanjian tersebut, dan memberinya wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya di dalam perjanjian itu,
Mengingat pula keputusannya pada 6 November 1963 untuk mencatat laporan Sekretaris Jenderal mengenai penyelesaian tugas Otoritas Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa di Irian Barat,
Mengingat lebih lanjut bahwa pengaturan untuk tindakan memilih secara bebas (act of free choice) menjadi tanggung jawab Indonesia dengan nasihat, bantuan, dan partisipasi seorang perwakilan khusus dari Sekretaris Jenderal, sebagaimana diatur dalam Perjanjian,
Setelah menerima laporan mengenai pelaksanaan dan hasil dari tindakan memilih secara bebas yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal sesuai dengan Pasal XXI, ayat 1, dari Perjanjian tersebut,
Mengingat bahwa, sesuai dengan Pasal XXI, ayat 2, kedua pihak dalam Perjanjian telah mengakui hasil ini dan mematuhinya,
Mencatat bahwa Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan rencana pembangunan nasionalnya, memberikan perhatian khusus pada kemajuan Irian Barat, dengan mempertimbangkan kondisi khusus penduduknya, dan bahwa Pemerintah Belanda, bekerja sama erat dengan Pemerintah Indonesia, akan terus memberikan bantuan keuangan untuk tujuan ini, khususnya melalui Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) dan lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa,
1. Mencatat laporan Sekretaris Jenderal dan mengakui dengan penghargaan pemenuhan tugas oleh Sekretaris Jenderal dan perwakilannya atas tugas-tugas yang diamanatkan kepada mereka berdasarkan Perjanjian tahun 1962 antara Indonesia dan Belanda;
2. Mengapresiasi segala bentuk bantuan yang diberikan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa atau melalui cara lain kepada Pemerintah Indonesia dalam upayanya untuk memajukan pembangunan ekonomi dan sosial Irian Barat.
********************#
NIEUW GUINEA RAAD TEGASKAN PERJANJIAN NEW YORK AGREEMENT 1962 ILEGAL DAN CACAT HUKUM
PERNYATAAN SIKAP NGR/ KNPB
63 Tahun Pengabaian Hak Politik Bangsa Papua
Dalam peringatan 63 tahun penandatanganan Perjanjian New York Agreement pada 15 Agustus 1962, Nieuw Guinea Raad dengan tegas dan bulat menyatakan bahwa perjanjian tersebut adalah Ilegal, Cacat hukum secara fundamental, dan tidak mengikat bangsa Papua secara hukum maupun moral.
Bangsa Papua adalah rakyat pribumi Papua ras Melanesia asli yang telah berabad-abad hidup dalam struktur sosial-politik tradisional di tanah leluhurnya. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Kerajaan Belanda secara progresif mempersiapkan bangsa Papua menuju kemerdekaan penuh melalui pembentukan institusi-institusi pemerintahan sendiri.
Puncak dari proses dekolonisasi ini terjadi pada 1 Desember 1961, ketika Dewan Papua atau Nieuw Guinea Raad secara resmi memproklamasikan kemerdekaan Papua Barat, mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan menetapkan lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua". Proklamasi kemerdekaan ini diakui secara resmi oleh Pemerintah Belanda dan disaksikan oleh berbagai negara internasional.
Respons Indonesia terhadap kemerdekaan Papua sangat keras. Presiden Sukarno pada 19 Desember 1961 mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) dengan tujuan eksplisit menggagalkan kemerdekaan bangsa Papua melalui kekuatan militer. Operasi Trikora yang diluncurkan selanjutnya menciptakan eskalasi konflik bersenjata di wilayah tersebut.
Di tengah dinamika Perang Dingin, Amerika Serikat memberikan tekanan diplomatik dan ekonomi yang intensif terhadap Belanda untuk menyerahkan wilayah West Papua kepada Indonesia, demi menjaga Indonesia tetap berada di blok Barat melawan pengaruh komunis.
Akibat tekanan militer dan diplomatik tersebut, Belanda dan Indonesia akhirnya melakukan negosiasi di bawah mediasi Amerika Serikat. Yang sangat krusial adalah bahwa tidak satu pun perwakilan resmi bangsa Papua diundang atau dilibatkan dalam proses negosiasi yang menentukan nasib bangsa Papua.
Pada 15 Agustus 1962, New York Agreement ditandatangani di Markas Besar PBB oleh Belanda dan Indonesia, mengatur penyerahan administrasi wilayah West Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan selanjutnya kepada Indonesia, dengan komitmen menggelar referendum "Act of Free Choice" sebelum akhir 1969.
Nieuw Guinea Raad, setelah melakukan kajian mendalam terhadap hukum internasional, menegaskan bahwa New York Agreement mengandung tiga cacat hukum fundamental yang menjadikannya ilegal dan tidak mengikat:
1. Pelanggaran Prinsip Pacta Tertiis (Pihak Ketiga)
Berdasarkan prinsip hukum internasional yang telah mapan, sebuah perjanjian tidak dapat mengikat atau merugikan pihak ketiga tanpa persetujuan eksplisit dari pihak tersebut. Papua sebagai entitas politik yang telah memproklamasikan kemerdekaannya adalah pihak ketiga yang tidak pernah diundang, dikonsultasi, atau memberikan persetujuan atas perjanjian yang menentukan nasibnya.
2. Pengingkaran Hak Menentukan Nasib Sendiri
Deklarasi kemerdekaan bangsa Papua pada 1 Desember 1961 adalah pelaksanaan sah dari hak fundamental untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination) yang dijamin dalam Piagam PBB dan hukum internasional. New York Agreement secara sepihak membatalkan pelaksanaan hak asasi ini tanpa dasar hukum yang sah.
3. Perjanjian di Bawah Duress (Tekanan)
Perjanjian ini dinegosiasikan dalam kondisi duress berupa ancaman invasi militer aktif dari Indonesia dan tekanan politik-ekonomi masif dari Amerika Serikat terhadap Belanda. Dalam hukum internasional, perjanjian yang dibuat di bawah tekanan atau ancaman kekerasan adalah batal demi hukum (null and void).
Dengan demikian Nieuw Guinea Raad menyatakan sikap bahwa:
1. New York Agreement bukanlah kesepakatan bangsa Papua melainkan New York Agreement adalah hasil perundingan dua negara yang memperlakukan tanah suci dan rakyat Papua sebagai objek transaksi politik belaka. NGR, atas nama bangsa Papua, tidak akan pernah mengakui legitimasi dan kekuatan mengikatnya serta menyatakan New York Agreement adalah Perjanjian Ilegal.
2. Kami menegaskan bahwa New York Agreement tidak memiliki landasan moral, hukum, maupun politik untuk mengikat bangsa Papua, karena dibuat tanpa partisipasi atau persetujuan rakyat pribumi Papua dan mengabaikan kedaulatan yang telah diproklamasikan secara sah pada 1961 serta Merupakan produk dari tekanan militer dan diplomasi paksa.
3. Kami menegaskan penolakan total terhadap hasil "Penentuan Pendapat Rakyat" (Pepera) tahun 1969, karena bukan referendum dalam arti sebenarnya, melainkan hanya konsultasi terbatas dengan 1.026 orang yang dipilih secara selektif dan dilaksanakan di bawah intimidasi militer dan kontrol ketat aparatus Indonesia, tidak memenuhi standar internasional untuk pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri serta bertentangan dengan janji awal dalam New York Agreement tentang referendum yang bebas dan adil.
4. Kami menuntut Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui dan memperbaiki kekeliruan historis yang terkandung dalam New York Agreement 1962 karena perjanjian tersebut cacat hukum dan tidak mengikat bangsa Papua dan Mengakui Deklarasi Kemerdekaan Bangsa Papua 1 Desember 1961 serta mengaktifkan kembali mekanisme dekolonisasi yang sesuai dengan standar internasional modern.
5. Kami mendesak komunitas Internasional untuk mengakui hak fundamental bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri sesuai hukum internasional dan memberikan dukungan politik dan diplomatik untuk penyelesaian status politik bangsa Papua yang adil dan bermartabat serta mendorong penghentian segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan represi politik di West Papua.
6. Kami menegaskan kepada Pemerintah Indonesia bahwa New York Agreement bukan kekuatan terlegitimasi yang memberikan mandat kepada Indonesia untuk melakukan represi bangsa Papua sehingga SEGERA Berhenti.
Nieuw Guinea Raad menegaskan bahwa New York Agreement 1962 telah menjadi akar dari konflik politik berkepanjangan dan pelanggaran hak asasi manusia sistematis di Papua selama lebih dari enam dekade. Perjanjian yang cacat secara hukum ini telah menciptakan situasi kolonial de facto yang bertentangan dengan semangat dekolonisasi global dan prinsip-prinsip hukum internasional modern.
Papua Barat bukanlah barang dagangan dalam transaksi diplomasi internasional, melainkan bangsa yang berdaulat dengan hak-hak fundamental yang dijamin oleh hukum internasional.
Nieuw Guinea Raad menyerukan kepada semua pihak yang berkomitmen pada keadilan, hukum internasional, dan hak asasi manusia untuk mengakui dan mendukung perjuangan sah bangsa Papua dalam mewujudkan haknya untuk menentukan nasib sendiri secara bebas, adil, dan bermartabat.
Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang diingkari. Setelah 63 tahun, saatnya komunitas internasional memperbaiki kesalahan historis ini dan memungkinkan bangsa Papua menentukan masa depannya sendiri sesuai kehendak bebas bangsa Papua.
Hollandia (Jayapura), 15 Agustus 2025
Nieuw Guinea Raad
AMINUS BALINGGA
Ketua
Pos. Admin
Komentar
Posting Komentar