Artikel.Victor Yeimo
Orang Papua Mereka, dibesarkan dalam keluarga dengan nasihat gereja dan sekolah tetapi dikendalikan oleh Koloniasme Indonesia.
Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Kota Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Orang Papua yang menjadi korban miras bukan berarti tidak memiliki kesadaran. Mereka dibesarkan dalam keluarga dengan nasihat gereja dan sekolah, tetapi realitas sosial yang dikendalikan kolonialisme jauh lebih kuat daripada nilai pengetahuan. Dalam Teori social learning Albert Bandura menegaskan bahwa perilaku manusia lebih banyak ditentukan oleh model dalam lingkungan, bukan sekadar informasi dalam otak. Di Papua, miras bukan sekadar pilihan individu, melainkan hasil rekayasa sosial yang memerangkap.
Struktur kolonial memegang kendali atas realitas sosial-ekonomi. Johan Galtung menyebutnya structural violence atau kekerasan yang tak selalu terlihat, tetapi bekerja lewat sistem yang memproduksi penderitaan. Di Papua, miras dilegalkan, distribusinya dilindungi aparat, sementara para peminum disalahkan. Kesadaran rakyat ibarat perahu kecil yang ingin ke tepian, tetapi arus deras kolonialisme menyeretnya kembali ke tengah sungai.
Sejarah memperlihatkan pola yang sama. Inggris merusak bangsa Tiongkok dengan opium, memaksa lahirnya Perang Candu. Suku Indian di Amerika dijerat dengan miras untuk menghancurkan komunitasnya. Di Afrika Selatan, sistem dop membayar buruh kulit hitam dengan alkohol agar tetap lemah. Semua ini contoh bagaimana penjajah paham psikologi bangsa terjajah: ciptakan pelarian lewat zat adiktif, maka daya juang akan padam.
Dari sisi biologi, alkohol menyerang sistem saraf pusat, meningkatkan dopamin untuk memberi rasa tenang semu, sekaligus melemahkan kontrol otak depan (prefrontal cortex). Tekanan sosial membuat bangsa terjajah lebih rentan mencari pelarian, sehingga siklus ketergantungan semakin kuat (WHO, Global Status Report on Alcohol and Health, 2018). Artinya, masalah ini bukan soal moral pribadi, melainkan kombinasi biologis, psikologis, dan sosial yang dipelihara oleh sistem kolonial.
Sebaliknya, di negara merdeka, peredaran miras tetap ada tetapi dikontrol. Skandinavia membatasi jam penjualan alkohol, Jepang membuka ruang publik untuk olahraga, seni, dan inovasi anak muda. Emile Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat sehat menjaga social integration sehingga energi generasi muda tersalurkan pada aktivitas membangun, bukan pelarian destruktif.
Papua justru mengalami kebalikannya. Semua ruang sosial-ekonomi diarahkan untuk pendatang, sementara orang Papua kehilangan akses. Anak muda tidak mendapat ruang berkembang, terasing dalam negeri sendiri, dan akhirnya menemukan satu-satunya dunia sosial di lingkaran miras. Bahkan ruang ekspresi kritis untuk menyalurkan energi positif (demonstrasi damai, mimbar bebas, diskusi terbuka) justru ditutup dan dilarang polisi. Dengan demikian, bukan hanya ekonomi dan pendidikan yang dimatikan, tetapi juga jalur politik dan kesadaran dibungkam.
Menyalahkan orang Papua yang mabuk sama seperti menyuruh perahu melawan arus deras tanpa dayung. Kesadaran pribadi penting, tetapi tidak akan menang melawan arus sistemik. Hanya dengan menghancurkan struktur kolonial yang merekayasa realitas sosial, serta membuka ruang sehat bagi rakyat untuk berpolitik, berbudaya, dan berekspresi bebas, bangsa Papua bisa membangun kehidupan bermartabat dan keluar dari jerat miras.
Pos Atmin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar