Artikel
Oleh:Laurensius Ndunggoma
Tetesan Air Mata Ibunda- Kota Tua Merauke Papua-Melangkah Tanpa Alas Kaki- Merauke Papua Selatan pintu masuk merusak Manusia dan Alam Papua, Kenapa saya mengatakan Merauke menjadi pintu masuk kehancuran bagi orang Papua beserta tanahnya? Jawabannya bisa kita temukan dalam empat poin penting berikut ini.
Pertama: Awal Kehancuran melalui Pepera 1969
Merauke adalah wilayah pertama di Tanah Papua yang melaksanakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969. Sejarah mencatat, dari titik inilah jalan kehancuran orang Papua dibuka lebar.
Proses Pepera di Merauke tidak pernah benar-benar melibatkan rakyat Papua secara keseluruhan. Yang diikutsertakan hanyalah segelintir orang yang dianggap bisa “diajak bicara” oleh pemerintah Indonesia. Mereka diberi janji-janji murahan: akan disediakan perempuan Jawa, beras, gula, kopi, susu, mi instan, sarden, hingga alat kerja. Semua itu hanyalah tipu daya untuk memanipulasi pilihan rakyat.
Lebih parah lagi, pelaksanaan Pepera di bawah bayang-bayang militer. ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) melakukan pengawasan ketat, disertai ancaman keras: siapa pun yang tidak memilih bergabung dengan Indonesia akan dipotong lidahnya bahkan dieksekusi mati.
Cara pemilihannya juga penuh manipulasi. Satu kampung hanya diwakili kepala kampung, sehingga suara rakyat dibungkam. Lebih ironis lagi, sebagian besar peserta yang hadir justru bukan orang Papua asli. Hasil akhirnya jelas berpihak pada Indonesia.
Ini merupakan pelanggaran berat terhadap New York Agreement dan Roma Agreement. Pepera 1969 adalah sejarah penuh intimidasi, kebohongan, dan kejahatan politik. Luka ini masih membekas hingga kini, menjadi ingatan kolektif sekaligus bahan bakar perlawanan orang Papua terhadap segala bentuk penindasan.
Kedua: Merauke sebagai Basis Militer dan Kontrol Negara
Setelah Pepera, Merauke berubah menjadi salah satu basis militer terbesar di Papua Selatan. Negara menjadikan wilayah ini sebagai titik kontrol utama terhadap orang Papua. Kehadiran aparat keamanan begitu dominan, membuat masyarakat hidup dalam ketakutan.
Setiap bentuk protes atau perlawanan kecil pun langsung dicap sebagai tindakan subversif atau separatis. Rakyat tidak bebas menyampaikan aspirasi. Penempatan pasukan di Merauke bukan hanya untuk menjaga wilayah, tetapi juga untuk membungkam suara orang Papua.
Dengan menjadikan Merauke sebagai daerah militerisasi, negara telah membuka jalan bagi praktik-praktik pelanggaran HAM: intimidasi, penyiksaan, penghilangan paksa, hingga pembunuhan. Semua ini semakin mempertegas bahwa Merauke adalah pintu masuk kontrol represif terhadap orang Papua.
Ketiga: Merauke sebagai Gerbang Investasi Perampasan Tanah
Selain militer, Merauke juga menjadi pintu masuk proyek-proyek investasi raksasa yang merampas tanah orang Papua. Salah satu yang paling terkenal adalah proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) sejak tahun 2010.
Dengan dalih ketahanan pangan nasional, lebih dari 2,5 juta hektare tanah ulayat masyarakat adat dirampas untuk perkebunan kelapa sawit, tebu, dan komoditas lainnya. Hutan-hutan adat ditebang, rawa-rawa dan ladang sagu.sumber utama kehidupan orang Papua—dihancurkan.
Rakyat kehilangan ruang hidupnya. Mereka dipaksa menjadi buruh murah di tanah sendiri, sementara keuntungan besar dibawa keluar oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Inilah bentuk penjajahan ekonomi modern yang dimulai dari Merauke.
Keempat: Merauke sebagai Simbol Pemusnahan Identitas Papua
Tidak hanya tanah dan sumber daya yang dirampas, Merauke juga menjadi pintu masuk pemusnahan identitas budaya Papua. Melalui transmigrasi besar-besaran, jumlah penduduk non-Papua semakin mendominasi.
Akibatnya, orang asli Papua perlahan menjadi minoritas di tanah leluhurnya sendiri. Bahasa, budaya, dan kearifan lokal terpinggirkan. Sistem pendidikan dan kebijakan pemerintah lebih mengedepankan nilai-nilai luar, sehingga generasi muda Papua tercerabut dari akar budayanya.
Dengan demikian, Merauke tidak hanya menjadi pintu masuk secara politik dan ekonomi, tetapi juga pintu masuk kolonisasi budaya yang mengikis jati diri orang Papua.
Merauke adalah simbol luka panjang bangsa Papua. Dari Pepera 1969 yang penuh manipulasi, basis militer yang menindas, proyek investasi yang merampas tanah, hingga pemusnahan identitas melalui transmigrasi.semua bermula dari sini.
Itulah sebabnya Merauke disebut sebagai pintu masuk kehancuran orang Papua beserta tanahnya. Dan luka ini tidak boleh dilupakan, karena dari ingatan inilah lahir tekad untuk terus melawan penindasan serta memperjuangkan keadilan dan kedaulatan bagi bangsa Papua.
Pos. Admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar