Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- New York Amerika Serikat -Melangka Tanpa Alas Kaki- Kekuatan negara kecil muncul dari kemampuannya untuk bekerja sama dengan pihak lain, kutipan pidato presiden Finlandia periode 12- September-2025.
Tuan Presiden, Yang Mulia, para hadirin sekalian,
Dalam bentuknya yang paling sederhana, politik luar negeri sebenarnya menyangkut tiga hal: nilai, kepentingan, dan kekuasaan. Saya berasal dari negara yang relatif kecil, Finlandia. Di koper kami hanya ada dua dari tiga itu, ialah nilai dan kepentingan. Kekuasaan, baik yang keras maupun yang lunak, biasanya adalah kemewahan bagi para pemain besar.
Kekuatan negara kecil muncul dari kemampuannya untuk bekerja sama dengan pihak lain. Diplomasi yang cerdas memberi negara kecil pengaruh relatif. PBB, tentu saja, adalah contohnya. Pemain besar memiliki kekuasaan melalui keanggotaan tetap di Dewan Keamanan. Tetapi kita, negara-negara yang lebih kecil, dapat memengaruhi arus naik-turun hubungan internasional dengan aktif di koridor diplomasi.
Sebagian besar pidato yang kita dengar hari ini menekankan bahwa tatanan dan keseimbangan dunia sedang berubah, sebagaimana terjadi setelah Perang Dunia II ketika PBB didirikan. Saya berpendapat bahwa tatanan pasca-Perang Dingin sudah berakhir, namun kita belum tahu tatanan baru akan seperti apa. Perlu setidaknya lima sampai sepuluh tahun sebelum semuanya benar-benar menetap. Pesan saya kepada majelis ini adalah bahwa, terlepas dari besar kecilnya negara, setiap anggota PBB memiliki peran dan suara dalam membentuk tatanan dunia yang baru. Penting bagi kita semua untuk menggunakan kekuatan ini dengan bijaksana dan penuh tanggung jawab.
Saya sepenuhnya menyadari bahwa kepentingan kita berbeda-beda, tergantung pada lokasi geografis, sejarah, tingkat pembangunan, atau budaya. Namun ada nilai-nilai mendasar yang seharusnya kita junjung bersama. Sebagian di antaranya sudah kita rumuskan dalam Piagam PBB. Hari ini saya ingin melakukan dua hal: pertama, menganalisis di mana posisi kita saat ini; kedua, menyampaikan usulan tentang apa yang bisa kita lakukan bersama.
Untuk memahami apa yang sedang terjadi di dunia, saya ingin mengangkat tiga perkembangan yang berbeda namun saling berkaitan. Pertama, tampaknya ada ketegangan yang semakin besar antara multilateralisme—tatanan berbasis hukum internasional—dan mereka yang berbicara dengan bahasa multipolaritas atau transaksionalisme. Saya bisa memahami godaan dan alasan para pendukung multipolaritas maupun transaksionalisme. Namun apakah mereka dapat menyelesaikan tantangan terbesar dunia, seperti perubahan iklim atau pembangunan berkelanjutan?
Kini saya melihat banyak negara, baik besar maupun kecil, menjalankan kebijakan luar negeri yang transaksional atau multivektor. Tujuannya pada dasarnya adalah mendiversifikasi hubungan dengan berbagai aktor, alih-alih bersekutu dengan satu blok tertentu. Hal ini bisa bersifat oportunis, tetapi juga bisa masuk akal, bergantung pada pilihan politik.
Kebijakan luar negeri transaksional atau multivektor didominasi oleh kepentingan. Kepentingan mendorong pilihan praktis negara, dan itu sah sepenuhnya. Kebijakan semacam ini berangkat dari pemahaman realistis tentang kekuasaan, sebab kekuasaanlah yang menentukan batas kemungkinan tiap negara. Namun nilai tetap harus menjadi landasan dari segala tindakan kita. Bahkan kebijakan luar negeri yang transaksional sekalipun harus berpijak pada nilai-nilai mendasar. Tanpa itu, politik luar negeri akhirnya akan berhadapan dengan perang. Jika nilai diabaikan demi mengejar kekuasaan dan kepentingan semata, masalah yang coba dihindari justru akan muncul kembali di hadapan kita.
Kedua, keseimbangan kekuasaan dalam tatanan dunia baru sedang bergeser ke selatan dan timur. Banyak negara, khususnya di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, sedang atau telah menjadi pemain kunci dalam menentukan arah tatanan baru. Singkatnya, mereka kini memiliki baik peran maupun kekuasaan. Mereka bukan hanya kekuatan ekonomi yang terus berkembang, melainkan juga didorong oleh pertumbuhan demografi yang tak terbendung. Ini akan menjadikan mereka kekuatan politik dan budaya, memberi mereka kekuasaan keras sekaligus lunak, dan mereka akan menggunakannya untuk memperjuangkan kepentingan mereka—sebagaimana mestinya.
Kesembilan puluh tiga anggota PBB tidak harus sepakat dalam setiap detail kecil tentang nilai, tetapi kita harus memiliki pemahaman bersama tentang hal-hal mendasar. Itu mencakup kedaulatan dan keutuhan wilayah negara, larangan penggunaan kekerasan, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Nilai-nilai ini adalah fondasi siapa kita dan apa yang kita perjuangkan sebagai Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Masyarakat internasional secara luas memiliki kepentingan besar untuk menegakkannya. Saya ingin menegaskan dengan jelas: Rusia tidak berhak melanjutkan agresinya terhadap Ukraina. Israel tidak berhak melanggar hukum internasional di Palestina. Negara mana pun tidak berhak menggunakan wilayah Sudan atau Kongo sebagai ajang perang proxy demi kepentingan ekonomi atau strategis mereka. Saya mendesak kita semua untuk memperhatikan pesan ini dari komunitas internasional dan bertindak sesuai dengannya.
Perang selalu merupakan kegagalan umat manusia. Ia adalah kegagalan kolektif terhadap nilai-nilai mendasar kita, kegagalan kita sebagai manusia.
Ketiga, saya ingin menyampaikan beberapa hal tentang keadaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, lembaga tempat kita berada saat ini. PBB dibentuk untuk menjaga dan memajukan perdamaian, stabilitas, pembangunan, dan hubungan persahabatan antarnegara. Untuk mencapai hal itu, diperlukan keseimbangan antara tiga unsur. Kekuasaan di tingkat tertinggi diwakili oleh Dewan Keamanan PBB. Kepentingan anggota yang lebih luas diwadahi di Majelis Umum ini. Nilai-nilai dijamin dalam Piagam PBB dan diteguhkan sebagai aturan hukum internasional.
Sayangnya, hari ini PBB kesulitan memenuhi janji utamanya untuk menghadirkan perdamaian dan stabilitas. Kita bisa saling menyalahkan, tetapi pada akhirnya keputusan itu bersifat kolektif. Negara-negara semakin berani melanggar hukum internasional, menggunakan kekerasan di wilayah negara lain, dan menindas bangsa lain.
PBB saat ini tidak cukup mencerminkan kenyataan keseimbangan kekuasaan. Terlalu sering PBB gagal berfungsi sebagai forum untuk menyelaraskan kepentingan, dan nilai-nilai yang menjadi inti Piagamnya terlalu sering tidak dihormati dengan sungguh-sungguh. Kita semua ingin memiliki kebebasan untuk memilih dan kesempatan memengaruhi dunia di sekitar kita. Saat ini banyak negara mencari jawaban dalam multipolaritas atau transaksionalisme. Jika PBB gagal menghadirkannya, kecenderungan ini akan semakin cepat berkembang.
Izinkan saya merangkumnya dengan tiga pilar: nilai, kepentingan, dan kekuasaan. Nilai dapat memecah belah kita, namun pada dasarnya nilai seharusnya menyatukan kita pada prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, supremasi hukum, dan larangan agresi. Kepentingan kita memang berbeda, dan wajar bila kita memperjuangkannya. Namun setiap pilihan membawa konsekuensi. Oportunisme pada akhirnya akan dipaksa menghadapi masalah yang coba diabaikan. Kekuasaan akan terus mencari keseimbangan baru, dan kita harus mampu menyesuaikan diri. Namun jangan sampai kebangkitan kekuasaan keras membutakan kita. Kekuasaan seharusnya didasarkan pada legitimasi, integritas, dan aturan.
*
Sekarang izinkan saya masuk ke bagian kedua: dari situasi menuju solusi atau langkah yang bisa kita tempuh bersama. Belum pernah dalam sejarah umat manusia kita memiliki sarana inovasi sebesar sekarang untuk menyelesaikan masalah-masalah mendesak dunia. Namun arah yang kita tempuh justru salah di begitu banyak hal. Perang kini lebih banyak dibanding kapan pun sejak Perang Dunia II. Dunia semakin terpecah, begitu juga masyarakat kita. Upaya menghadapi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan masih jauh tertinggal.
Di berbagai belahan dunia, kita menyaksikan penderitaan sipil yang luar biasa dan pengabaian terang-terangan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan. Bagi saya sebagai orang Finlandia, agresi Rusia terhadap Ukraina bukan hanya mengingatkan masa lalu kami, tetapi juga terkait langsung dengan keamanan kawasan tempat saya tinggal. Di satu sisi, kita melihat agresi yang sepenuhnya mengabaikan kehidupan sipil dan berusaha melemahkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi fondasi tatanan internasional. Di sisi lain, kita melihat sebuah benteng kebebasan yang berjuang mempertahankan haknya untuk hidup dan membuat pilihan sendiri. Pertarungan atas konsekuensi apa yang akan kita tarik dari agresi ini belum berakhir.
Belakangan ini ada upaya serius untuk mencari solusi diplomatik atas perang tersebut melalui inisiatif Amerika Serikat. Tidak ada solusi sempurna untuk perang. Namun kita tahu bahwa keputusan apa pun terkait perang ini akan berdampak jauh, baik bagi Ukraina maupun bagi dunia. Hampir tidak ada kepentingan yang lebih menyatukan di antara anggota PBB selain penolakan terhadap perang penaklukan. Agresi tidak boleh diberi hadiah. Pertanggungjawaban atas kejahatan internasional paling serius harus ditegakkan.
Di Timur Tengah, warga sipil di Gaza mengalami penderitaan yang luar biasa. Krisis kemanusiaan yang semakin dalam telah mencapai titik yang tak tertahankan dan mencerminkan kegagalan sistem internasional. Pada saat yang sama, Hamas masih menahan sandera yang mereka culik, dan banyak di antaranya sudah kehilangan nyawa.
Gencatan senjata secepatnya di Gaza sangat diperlukan, sebagaimana berkali-kali diserukan dari mimbar ini, baik hari ini maupun kemarin. Bantuan kemanusiaan harus mendapat akses aman tanpa hambatan. Para sandera harus dibebaskan. Saya menghargai upaya yang dipimpin Prancis dan Arab Saudi untuk mendorong solusi dua negara. Negosiasi harus memenuhi kebutuhan keamanan Israel sekaligus hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri, termasuk aspirasinya yang sah atas kenegaraan dan kedaulatan. Pendudukan yang dimulai tahun 1967 harus diakhiri, dan semua isu status permanen harus diselesaikan.
Sebaliknya, negara-negara yang belum mengakui Israel harus melakukannya. Pada saat yang sama, komunitas internasional harus mendukung dan memperkuat Otoritas Palestina agar mampu memerintah seluruh wilayah Palestina secara efektif. Ini satu-satunya pilihan nyata untuk mewujudkan solusi dua negara. Palestina yang stabil juga akan membawa manfaat besar bagi keamanan Israel.
Di banyak belahan dunia, konflik terus berkecamuk, menimbulkan penderitaan besar di tingkat lokal, ketidakstabilan di tingkat regional, dan dampak berantai di tingkat global. Kita telah menyaksikan kekerasan yang sangat brutal di Sudan, Republik Demokratik Kongo, Haiti, Myanmar, dan Mali, antara lain. Populasi sipil terus menghadapi kelaparan dan pengungsian dalam skala besar.
Kadang saya merasa kita cenderung hanya memperhatikan konflik yang dekat dengan kita. Padahal, tugas PBB adalah menanggapi semuanya dengan tekad yang sama. Saya memuji semua pihak yang dengan tulus terus bekerja untuk perdamaian, meskipun tugas itu begitu berat. Pada bulan Juni, sebuah perjanjian damai dicapai untuk konflik di timur Republik Demokratik Kongo. Ujian sejatinya, seperti semua perjanjian damai, ada pada pelaksanaannya: apakah ia bisa bertahan? Krisis kemanusiaan yang begitu parah memaksa kita semua untuk merespons.
Proses perdamaian tidak boleh bersifat transaksional. Ia harus dipandu oleh hukum internasional. Semua negara dan pemangku kepentingan di kawasan harus terlibat dan berkomitmen untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Kehadiran dan keterlibatan PBB sangatlah penting.
Saya juga ingin menekankan peran penting yang dijalankan para jurnalis di tengah konflik dan situasi sulit lainnya. Serangan terhadap awak media tidak dapat diterima. Kebebasan pers adalah landasan demokrasi dan prasyarat bagi masyarakat yang terbuka. Kemampuan pers menjalankan tugasnya penting bagi kita semua.
*
Hadirin sekalian, susunan PBB masih sangat mencerminkan dunia tahun 1945. Dunia telah berubah drastis, maka pengambilan keputusan di PBB pun harus ikut berubah. Tahun lalu di ruang ini, saya menyerukan reformasi Dewan Keamanan, dewan di mana kawasan-kawasan yang kini kurang terwakili seharusnya memiliki suara yang lebih kuat melalui kursi tetap di meja perundingan. Jumlah anggota tetap Dewan Keamanan harus ditambah. Setidaknya dua kursi baru untuk Asia, dua untuk Afrika. Saya rasa saya akan menyampaikan hal ini setiap tahun, karena hanya di sini saya mendapat tepuk tangan.
Tidak ada satu pun negara yang seharusnya memiliki hak veto. Jika ada anggota Dewan Keamanan yang melanggar Piagam PBB, hak suaranya harus ditangguhkan. Saya yakin perubahan ini perlu dilakukan agar PBB tetap memegang peran sentral dalam hubungan internasional.
Pada saat yang sama, reformasi PBB yang lebih menyeluruh juga dibutuhkan. Saya menghargai inisiatif UN8 dari Sekretaris Jenderal dan mendorongnya untuk mengambil langkah berani dan ambisius. Finlandia mendukung penuh PBB dan ingin melihatnya berhasil. Karena itu, kami menekankan perlunya reformasi sejati demi memperkuat kredibilitas, relevansi, dan efisiensi organisasi ini. Dengan demikian, PBB bisa bertindak.
PBB perlu memusatkan usahanya pada tujuan yang paling penting: mengakhiri dan mencegah perang, melindungi hak asasi manusia, dan menjadi katalis bagi pembangunan berkelanjutan. Kita juga perlu mengembalikan PBB pada peran mediasi perdamaian. Saya berpendapat, salah satu alasan mengapa saat ini begitu banyak perang adalah karena PBB absen dari mediasi perdamaian. Tidak ada organisasi lain yang bisa menawarkan legitimasi sebanding dengan PBB. Jika PBB absen, konflik tidak akan terselesaikan, dan itu jelas tidak sesuai dengan kepentingan kita bersama. PBB dibutuhkan sebagai mediator, dan negara-negara anggota harus mendukung upaya ini.
Akhirnya, Finlandia sangat terlibat dalam kerja PBB dan akan terus begitu. Karena itu, kami juga mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Keamanan untuk periode 2029–2030. Jika terpilih, Finlandia berjanji akan menjadi mitra yang berprinsip dan pragmatis demi perdamaian. Kami berprinsip dalam komitmen kami pada hukum internasional dengan Piagam PBB sebagai intinya. Kami pragmatis dalam mencari solusi yang benar-benar memajukan perdamaian dan keamanan internasional, dengan menyadari bahwa kemajuan sering kali bersifat bertahap.
Di awal pidato, saya mengatakan bahwa masing-masing dari kita memiliki peran dalam menentukan seperti apa tatanan dunia yang baru. Kita ingin dapat membuat pilihan sendiri dan memberi dampak pada dunia di sekitar kita. Nelson Mandela pernah mengatakan bahwa kebenaran dan rekonsiliasi adalah satu-satunya harapan bagi bangsa yang terpecah belah. Hal yang sama berlaku untuk hubungan antarnegara. Kita harus belajar dari sejarah, tetapi selalu menatap ke depan, dengan menyadari bahwa keputusan kita hari ini akan membentuk masa depan.
Pos. Admin
Komentar
Posting Komentar