Tetesan Air Mata Ibunda-Kota Tua- Holandia Jayapura -Melangka Tanpa Alas Kaki- Hati-hati pada penjajah yang selalu menciptakan panggung untuk menguras energi kita, panggung penuh amarah, penuh reaksi, tapi kosong dari kesadaran. Penjajah tahu, bangsa yang sibuk marah di dalam kandang penindasan tidak akan pernah sempat keluar utk menghancurkan jerujinya.
Maka mereka ciptakan ribuan panggung kecil agar kita sibuk berteriak satu sama lain: kita diadu lewat konflik pemilu, dipecah lewat perebutan jabatan, diadu lewat isu agama, disibukkan dengan penghinaan ras dan simbol budaya, dibenturkan lewat perebutan gaji, dana otsus, dan kursi kekuasaan,
diadu antar suku, antar gereja, antar tokoh, antar kelompok perjuangan.
Setiap kali kita ribut, mereka tertawa, karena itu berarti rakyat masih terjebak di arena yang mereka buat. Inilah politik pengalihan dan pementasan kolonial: membuat bangsa terjajah sibuk di arena kecil, agar tidak sempat melihat tangan besar yang mengatur semuanya dari atas.
Dalam bahasa Pierre Bourdieu menyebut mekanisme ini kekerasan simbolik: kekerasan yang tidak memukul, tetapi menundukkan lewat makna. Penjajah mengatur wacana dan nilai: apa yang tampak penting, apa yang layak diperdebatkan, siapa yang layak dimusuhi. Dengan cara itu, mereka memaksa kita berkelahi di ruang yang mereka desain. Membuat kita merasa sedang berjuang padahal sebenarnya hanya sedang diputar-putar dalam kandang yang sama.
Kalau dakam bahasa Frantz Fanon disebut penjajahan kesadaran: bangsa terjajah disibukkan deng pertengkaran kecil di bawah, sementara struktur penindasan di atasnya tetap kokoh. Atau Jean Baudrillard bilang penjajahan menciptakan “realitas palsu” (simulacra): dunia penuh drama dan simbol, agar rakyat melupakan realitas sebenarnya: operasi militer, pembunuhan, perampasan tanah, dan penghancuran ekologi.
Begitulah cara penjajah menjaga kekuasaannya: figur menjadikan rakyatnya sibuk marah dalam kandang. Mereka tahu, bangsa yang sibuk bertengkar tak sempat berstrategi; bangsa yang sibuk bereaksi tidak sempat berpikir.
Sementara kita sibuk debat di media sosial, mereka menandatangani kontrak Freeport.
Sementara kita ribut soal kursi jabatan, mereka memperluas PSN dan tambang. Sementara kita bertengkar karena agama, mereka buka hutan dan gusur kampung. Sementara kita marah pada penghinaan simbolik, mereka terus menembak dan membunuh, seperti 12 warga sipil yang dibatai di Soanggama.
Inilah siasat halus kolonialisme modern, mengalihkan energi rakyat dari struktur ke permukaan. Mereka biarkan kita berteriak keras, asal tidak menyentuh akar. Mereka biarkan kita marah, asal tidak sadar.
Kita mesti tolak peran yang mereka tuliskan untuk kita: peran rakyat yang reaktif, emosional, dan mudah diprovokasi. Kita harus menulis naskah sendiri, memainkan drama kita sendiri: drama pembebasan sejati, bukan drama simbolik.
Setiap isu yang muncul jangan ditelan mentah. Bertanyalah: siapa yang diuntungkan dari semua ini? Siapa yang diam-diam mengambil tanah, tambang, dan sumber hidup kita saat kita sibuk berdebat?
Kita harus belajar membaca lapisan di balik setiap peristiwa. Karena di balik semua keributan insidental itu, selalu ada satu pola: pengalihan perhatian agar bangsa Papua tidak sempat melihat bahwa akar penindasan tetap sama: militerisme, kapitalisme kolonial, dan penguasaan atas tanah serta sumber daya.
Bangsa Papua harus keluar dari jebakan ini. Kita harus mengubah amarah reaksioner menjadi kesadaran revolusioner. Setiap isu sektoral harus kita gunakan sebagai cermin utk melihat struktur yang menindas. Setiap penghinaan kecil harus menjadi pintu menuju analisis besar. Setiap konflik harus diarahkan menjadi pemahaman politik, bukan permusuhan sosial.
Jangan lagi marah di panggung yang mereka buat. Marahlah di medan yang mereka takuti: medan kesadaran, organisasi, solidaritas, dan pembongkaran sistem. Bangsa Papua akan kalah jika terus bertengkar di dalam kandang penjajahan. Tapi bangsa Papua akan menang jika mulai berpikir bersama, bergerak bersama, dan menembus dinding kandang itu menuju pembebasan bangsa.
Pos. Admin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar